يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ
بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ
فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ
رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ (178)
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
(179(
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa.
Allah Swt. berfirman, "Telah
diharuskan atas kalian berbuat adil dalam hukum qisas, hai orang-orang mukmin;
orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan
wanita; janganlah kalian melampaui batas dan jangan pula kalian berbuat aniaya,
sebagaimana orang-orang sebelum kalian berbuat kelewat batas karena mereka
mengubah hukum Allah yang berkaitan dengan qisas."
Penyebabnya ialah Bani Quraizz dan
Bani Nadir. Di masa Jahiliah Bani Nadir berperang melawan Bani Quraizz dan
dapat mengalahkan mereka. Tersebutlah bahwa apabila seorang dari Bani Nadir
membunuh seorang dari Bani Quraizz, maka si pembunuh tidak dikenakan hukum
balasan, melainkan hanya membayar tebusan berupa seratus wasaq kurma. Tetapi
apabila seorang Quraizz membunuh seorang Nadir, maka tebusannya dua kali lipat,
yaitu dua ratus wasaq kurma; jika tidak, ia akan dikenakan hukuman qisas
(dibunuh lagi). Maka Allah memerintahkan agar keadilan ditegakkan dalam hukum
qisas, tidak boleh mengikuti jalan orang-orang yang merusak lagi menyimpang dan
menentang hukum-hukum Allah di kalangan mereka karena ingkar dan melampaui
batas. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ
فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى
بِالأنْثَى
Diwajibkan atas kalian qisas
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. (Al-Baqarah: 178)
Mengenai asbabun nuzul ayat ini,
menurut riwayat Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim disebutkan, telah menceritakan
kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu
Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan
kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh. (Al-Baqarah: 178) Yakni jika kasus pembunuhan terjadi
dengan sengaja, maka ketentuan hukumnya ialah orang merdeka dengan orang
merdeka. Demikian itu karena ada dua kabilah dari kalangan orang-orang Arab
saling berperang di zaman Jahiliah yang mendekati zaman Islam dalam jangka
waktu yang tidak begitu lama. Dahulu di antara mereka terjadi pembunuhan dan
pelukaan, yang terbunuh termasuk budak-budak dan kaum wanita. Maka sebagian
dari mereka belum sempat menuntut sebagian yang lain hingga mereka masuk Islam
semuanya. Salah satu dari kedua belah pihak mempunyai keunggulan atas pihak
lain yang menjadi lawannya dalam hal persenjataan dan harta benda (perbekalan).
Mereka bersumpah bahwa mereka tidak rela sebelum orang merdeka dari kalangan
musuhnya dibunuh karena membunuh budak dari kalangan mereka, dan seorang lelaki
dari kalangan musuh dibunuh karena membunuh seorang wanita dari kalangan
mereka. Berkenaan dengan mereka itu turunlah firman-Nya: Orang merdeka dengan
orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. (Al-Baqarah: 178)
Sebagian dari kandungan ayat ini ada yang di-mansukh dengan ayat yang
menyatakan, "Jiwa dengan jiwa."
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: wanita (dihukum mati) karena
(membunuh) wanita. (Al-Baqarah: 178) Demikian itu membuat mereka tidak
menghukum mati lelaki karena membunuh wanita. Mereka hanya membunuh lelaki karena
membunuh lelaki lainnya, dan wanita dibunuh karena membunuh wanita lainnya.
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan
mata. (Al-Maidah: 45)
Dengan demikian, orang-orang yang
merdeka dijadikan sama dalam hukum qisas dalam kasus pembunuhan yang terjadi di
antara sesama mereka dengan sengaja; kaum lelaki dan kaum wanitanya dalam kasus
jiwa dan pelukaan diberlakukan sama, tanpa membedakan jenis kelamin.
Budak-budak dijadikan sama di antara sesama mereka dalam kasus pembunuhan yang
disengaja, demikian pula dalam kasus pelukaan di antara kaum lelaki dan kaum
wanitanya.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari
Abu Malik, bahwa ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: jiwa (dibalas) dengan
jiwa. (Al-Maidah: 45)
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
orang merdeka dihukum mati karena membunuh budak, berdasarkan keumuman makna
ayat surat Al-Maidah (ayat 45). Pendapat ini diikuti oleh As-Sauri, Ibnu Abu
Laila, dan Daud. Pendapat inilah yang diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Sa'id
ibnul Musayyab, Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah, dan Al-Hakam.
Imam Bukhari, Ali ibnul Madini,
Ibrahim An-Nakha'i, dan As-Sauri menurut salah satu riwayat darinya mengatakan
bahwa seorang tuan pemilik budak dihukum mati karena membunuh budaknya, karena
keumuman makna hadis Al-Hasan dari Samurah yang mengatakan:
"مَنْ
قَتَلَ عَبْدَهُ قَتَلْنَاهُ، وَمَنْ جَذَعَهُ جَذَعْنَاهُ، وَمَنْ خَصَاهُ
خَصَيْنَاهُ"
Barang siapa yang membunuh budaknya,
maka kami bunuh pula dia; dan barang siapa yang memotong hidung budaknya, maka
kami potong pula hidungnya; dan barang siapa yang mengebiri budaknya, maka kami
kebiri pula ia.
Akan tetapi, jumhur ulama berbeda
pendapat dengan mereka. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang merdeka tidak
dihukum mati karena membunuh budak, karena budak kedudukannya sama dengan
barang dagangan; sekiranya seorang budak dibunuh secara keliru (tidak sengaja),
maka tidak wajib diat dalam kasusnya, melainkan yang wajib hanyalah membayar
harga budak tersebut. Demikian pula halnya dalam kasus pemotongan anggota
tubuh, tidak ada hukum balasan; terlebih lagi terhadap jiwa, tidak ada hukuman
qisas bagi orang merdeka yang melakukannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa
seorang muslim tidak dihukum mati karena membunuh orang kafir, berdasarkan
sebuah hadis sahih yang diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui sahabat Ali
r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا
يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ"
Orang muslim tidak dihukum mati
karena (membunuh) orang kafir.
Tidak ada suatu hadis atau asar sahih
pun yang bertentangan dengan makna hadis ini.
Akan tetapi, Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa orang muslim tetap dihukum mati karena membunuh orang kafir,
karena keumuman surat Al-Maidah ayat 45.
Al-Hasan dan Ata mengatakan bahwa
seorang lelaki tidak dihukum mati karena membunuh seorang wanita, berdasarkan
surat Al-Baqarah ayat 178. Berbeda dengan jumhur ulama, mereka berpendapat
sebaliknya karena berdasarkan surat Al-Maidah ayat 45. Juga berdasarkan sabda
Rasulullah Saw. yang mengatakan:
"الْمُسْلِمُونَ
تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ"
Orang-orang muslim itu, darah mereka
sebanding (satu sama lainnya).
Al-Lais mengatakan, sekiranya seorang
suami membunuh istrinya, maka si suami tidak dikenai hukuman mati hanya karena
membunuh istrinya.
Mazhab keempat Imam dan jumhur ulama
mengatakan bahwa sejumlah orang-orang terkena hukuman mati semuanya karena
membunuh satu orang. Khalifah Umar r.a. pernah berkata dalam kasus seorang
pelayan yang dibunuh oleh tujuh orang, "Seandainya semua penduduk San'a
ikut mengeroyoknya, niscaya aku hukum mati mereka semuanya." Ternyata di
masanya itu tidak ada seorang sahabat pun yang menentang pendapatnya; yang
demikian itu sama kedudukannya dengan ijma' (kesepakatan).
Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad
sebuah riwayat yang menyatakan bahwa suatu jamaah tidak dibunuh karena hanya
membunuh satu orang, dan tidaklah suatu jiwa itu dihukum mati kecuali karena
membunuh satu jiwa lainnya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnul Munzir, dari
Mu'az dan Ibnuz Zubair, Abdul Malik ibnu Marwan, Az-Zuhri, Ibnu Sirin, dan
Habib ibnu Abu Sabit. Kemudian Ibnul Munzir mengatakan bahwa sanad riwayat ini
lebih sahih, dan tidak ada hujah bagi orang yang membolehkan menghukum mati
suatu jamaah karena hanya membunuh satu orang. Sesungguhnya terbukti adanya
suatu riwayat dari Ibnuz Zubair yang menentang pendapat pertama tadi. Untuk itu
apabila para sahabat berbeda pendapat, maka jalan keluarnya ialah
mempertirnbangkannya.
*********
Firman Allah Swt.:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ
أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
Maka barang siapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang dimaafkan) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178)
Mujahid mengatakan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka barang siapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Yakni konsekuensi memberi maaf
dalam kasus pembunuhan secara sengaja ialah menerima pembayaran diat.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari
Abul Aliyah, Abusy Sya'sa, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Al-Hasan, Qatadah,
dan Muqatil ibnu Hayyan.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka barang siapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Bahwa barang siapa yang diberi
suatu pemaafan dari saudaranya, yakni saudaranya memilih mengambil diat sesudah
berhak menuntut darah, yang demikian itulah yang dimaksud dengan pemaafan.
Selanjutnya disebutkan: hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik. (Al-Baqarah: 178) Dengan kata lain, pihak si penuntut hendaklah mengikuti
cara yang baik bila ia menerima diat, yakni jangan mempersulit dan mengada-ada.
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178) Yakni hendaklah si pembunuh
membayar diat-nya tanpa membahayakan dirinya, juga tidak boleh menolak.
Telah diriwayatkan oleh Imam Hakim
melalui hadis Sufyan, dari Amr, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang
dimaksud ialah hendaklah orang yang diberi maaf menunaikan apa yang diminta
pihak si terbunuh dengan cara yang baik. Hal yang sama dikatakan pula oleh
Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan, Qatadah, Ata
Al-Khurra-sani, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Imam Malik mengatakan di dalam
riwayat Ibnul Qasim darinya, yang merupakan pendapat yang terkenal di kalangan
mazhabnya. Begitu pula Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, juga Imam Syafii
dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa pihak wali darah tidak
mempunyai hak memberi maaf dengan imbalan diat, kecuali dengan kerelaan dari
pihak si pembunuh. Sedangkan ulama lainnya berpendapat, pihak wali darah boleh
memaafkan dengan imbalan diat, sekalipun pihak si pembunuh tidak rela.
Segolongan ulama Salaf berpendapat
bahwa bagi kaum wanita tidak ada hak untuk memberi maaf. Mereka yang mengatakan
demikian antara lain Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Ibnu Syabramah, Al-Lais, dan
Al-Auza'i; tetapi ulama Salaf lainnya berpendapat berbeda.
***********
Firman Allah Swt.:
ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ
رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ
Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kalian dan rahmat. (Al-Baqarah: 178)
Yakni sesungguhnya Allah
mensyariatkan kepada kalian pembayaran diat dalam kasus pembunuhan sengaja
tidak lain hanyalah suatu keringanan dari Allah buat kalian dan merupakan suatu
rahmat bagi kalian, yang membebaskan kalian dari apa yang berlaku di kalangan
umat-umat terdahulu sebelum kalian, yaitu hukuman mati atau memaafkan secara
cuma-cuma.
Seperti yang dikatakan oleh Sa'id
ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, telah
menceritakan kepadaku Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diwajibkan
atas kaum Bani Israil hukuman qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh
tanpa ada pemaafan di kalangan mereka. Maka Allah berfirman kepada umat ini
(umat Nabi Muhammad Saw.): Diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan
budak, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Pemaafan itu ialah menerima diat dalam kasus
pembunuhan sengaja. Yang demikian itu merupakan keringanan ketimbang apa yang
diwajibkan atas kaum Bani Israil dan umat-umat sebelum kalian. hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
(Al-Baqarah: 178)
Takwil ini telah diriwayatkan bukan
hanya oleh seorang saja, melalui Amr. Diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam
kitab sahihnya melalui Amr ibnu Dinar; hal yang semisal diriwayatkan pula oleh
Jamaah melalui Mujahid, dari Ibnu Abbas.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan
takwil firman-Nya: Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian.
(Al-Baqarah: 178) Semoga Allah merahmati umat ini, Allah telah memperkenankan
bagi mereka makan hasil diat yang belum pernah dihalalkan kepada seorang pun
sebelumnya. Tersebutlah bahwa hukum yang berlaku di kalangan ahli Taurat
hanyalah qisas dan pemaafan tanpa diat. Sedangkan dalam syariat ahli Injil,
hanya maaf belaka yang dianjurkan kepada mereka. Maka Allah menjadikan bagi
umat ini hukum qisas dan pemaafan serta diat.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari
Sa'id ibnu Jubair, Muqatil ibnu Hayyan, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
***********
Firman Allah Swt.:
فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ
فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Barang siapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (Al-Baqarah: 178)
Dengan kata lain, barang siapa yang
membunuh sesudah mengambil diat dari si terbunuh atau sesudah ia setuju dengan
diat, maka baginya siksa Allah yang sangat pedih lagi menyakitkan dan sangat
keras.
Demikianlah takwil ayat menurut apa
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah,
Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Kesimpulan dari semuanya itu, yang
dimaksud dengan orang yang melampaui batas ialah orang yang membunuh si
pembunuh sesudah mengambil diat darinya.
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ
إِسْحَاقَ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ فُضَيْلٍ، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ أَبِي
الْعَوْجَاءِ، عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْخُزَاعِيِّ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ أُصِيبَ بِقَتْلٍ أَوْ خَبْل
فَإِنَّهُ يَخْتَارُ إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ يَقْتَصَّ، وَإِمَّا أَنْ
يَعْفُوَ، وَإِمَّا أَنْ يَأْخُذَ الدِّيَةَ؛ فَإِنْ أَرَادَ الرَّابِعَةَ
فَخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ. وَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ نَارُ جَهَنَّمَ
خَالِدًا فِيهَا"
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari
Al-Haris ibnu Fudail, dari Sufyan ibnu Abul Auja, dari Abu Syuraih Al-Khuza'i,
bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang tertimpa musibah pembunuhan
atau pelukaan, maka sesungguhnya dia memilih salah satu di antara tiga perkara,
yaitu: Adakalanya meng-qisas (pelakunya), adakalanya memaafnya, dan adakalanya
mengambil diat. Dan jika dia menghendaki yang keempat, maka belenggulah kedua
tangannya (lakukanlah qisas terhadapnya). Dan barang siapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. (Riwayat Imam
Ahmad)
Sa'id ibnu Abu Urubah meriwayatkan
dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah yang menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. telah bersabda:
"لا
أُعَافِي رَجُلًا قَتَلَ بَعْدَ أَخْذِ الدِّيَةِ -يَعْنِي: لَا أَقْبَلُ مِنْهُ
الدِّيَةَ -بَلْ أَقْتُلُهُ"
Aku tidak akan memaafkan seorang
lelaki yang membunuh (si pembunuh) sesudah dia mengambil diat (darinya).
Dengan kata lain, aku tidak mau
menerima diat darinya melainkan kujalankan hukum qisas terhadapnya, tanpa
ampun.
************
Firman Allah Swt.:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ
حَيَاةٌ
Dan dalam qisas itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagi kalian. (Al-Baqarah: 179)
Allah Swt. berfirman bahwa di dalam
pen-tasyri'-an hukum qisas bagi kalian, yakni membunuh si pembunuh, terkandung
hikmah yang besar, yaitu jaminan kelangsungan hidup dan terpeliharanya nyawa.
Sesungguhnya seseorang itu apabila mengetahui (jika dia membunuh seseorang,
maka ia akan dikenai hukuman mati), niscaya dia akan mencegah dirinya dari
melakukan niatnya itu. Di dalam peraturan ini terkandung jaminan kelangsungan
hidup bagi jiwa manusia.
Di dalam kitab-kitab terdahulu
disebutkan bahwa hukum mati itu lebih meniadakan pembunuhan. Maka pengertian
ini diungkapkan oleh Al-Qur'an dengan ungkapan yang lebih fasih, lebih mengena,
dan lebih ringkas, yaitu melalui firman-Nya:
Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian.
(Al-Baqarah: 179)
Abul Aliyah mengatakan, Allah
menjadikan hukum qisas sebagai jaminan kelangsungan hidup bagi kalian; karena
berapa banyak orang dari kaum laki-laki yang hendak melakukan pembunuhan,
tetapi niatnya itu dia urungkan karena takut akan terkena hukum qisas. Hal yang
sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Malik, Al-Hasan,
Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.
*********
Firman Allah Swt.:
يَا أُولِي الألْبَابِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
hai orang-orang yang berakal, supaya
kalian bertakwa. (Al-Baqarah: 179)
Allah Swt. berfirman, "Hai
orang-orang yang berakal, mempunyai pengertian dan pemahaman (ditetapkan-Nya
demikian itu) supaya kalian sadar dan menghentikan hal-hal yang diharamkan
Allah dan semua perbuatan dosa." Takwa merupakan isim yang pengertiannya
mencakup semua perbuatan taat dan menghentikan hal-hal yang mungkar.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.