لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ
وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى
الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي
الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (177(
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Ayat yang mulia ini mengandung
kalimat-kalimat yang agung, kaidah-kaidah yang luas, dan akidah yang lurus.
Seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim:
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا
عُبيد بْنُ هِشَامٍ الْحَلَبِيُّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ
عَامِرِ بْنِ شُفَي، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ:
أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا
الْإِيمَانُ؟ فَتَلَا عَلَيْهِ: {لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ}
إِلَى آخِرِ الْآيَةِ. قَالَ: ثُمَّ سَأَلَهُ أَيْضًا، فَتَلَاهَا عَلَيْهِ ثُمَّ
سَأَلَهُ. فَقَالَ: "إِذَا عَمِلْتَ حَسَنَةً أَحَبَّهَا قَلْبُكَ، وَإِذَا
عَمِلْتَ سَيِّئَةً أَبْغَضَهَا قَلْبُكَ"
telah menceritakan kepada kami
ayahku, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Hisyam Al-Halbi, telah
menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Amr, dari Amir ibnu Syafi, dari Abdul
Karim, dari Mujahid, dari Abu Zar r.a., telah menceritakan bahwa ia pernah
bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang iman, "Apakah yang dinamakan iman
itu?" Maka Rasulullah Saw. membacakan kepadanya firman Allah Swt.:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan.
(Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa
setelah itu Abu Zar kembali bertanya, dan Rasulullah Saw. membacakan lagi ayat
ini kepadanya. Kemudian Abu Zar bertanya lagi, maka Rasul Saw. menjawab:
Apabila kamu hendak mengerjakan suatu kebaikan, maka buatlah hatimu cinta
kepadanya; dan apabila kamu hendak melakukan suatu keburukan, maka buatlah
hatimu benci kepadanya.
Akan tetapi, hadis ini berpredikat
munqati (terputus mata rantai sanadnya), mengingat Mujahid sebenarnya belum
pernah bersua dengan sahabat Abu Zar, karena Abu Zar telah meninggal dunia di
masa sebelumnya.
قَالَ الْمَسْعُودِيُّ:
حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى أَبِي
ذَرٍّ، فَقَالَ: مَا الْإِيمَانُ؟ فَقَرَأَ عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةَ: {لَيْسَ
الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ} حَتَّى فَرَغَ مِنْهَا. فَقَالَ الرَّجُلُ:
لَيْسَ عَنِ الْبَرِّ سألتُكَ. فَقَالَ أَبُو ذَرٍّ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَمَّا سَأَلْتَنِي عَنْهُ،
فَقَرَأَ عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةَ، فَأَبَى أن يرضى كما أبيت [أنت] أن تَرْضَى
فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَأَشَارَ
بِيَدِهِ -: "الْمُؤْمِنُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً سَرته وَرَجَا ثَوَابَهَا،
وَإِذَا عَمِلَ سَيِّئَةً أَحْزَنَتْهُ وَخَافَ عِقَابَهَا"
Al-Mas'udi mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Al-Qasim Abdur Rahman, bahwa ada seorang lelaki datang
kepada sahabat Abu Zar, lalu lelaki itu bertanya, "Apakah iman itu?"
Kemudian Abu Zar membacakan kepadanya ayat berikut: Bukanlah menghadapkan
wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. (Al-Baqarah: 177), hingga
akhir ayat. Kemudian lelaki itu berkata, "Yang kutanyakan kepadamu
bukanlah masalah kebajikan." Maka Abu Zar r.a. menceritakan kepadanya
bahwa ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu menanyakan
kepadanya seperti pertanyaan yang baru kamu ajukan kepadaku, maka beliau Saw.
membacakan ayat ini kepadanya. Akan tetapi, lelaki itu masih kurang puas
sebagaimana kamu kurang puas. Maka akhirnya Rasulullah Saw. bersabda kepadanya
dan mengisyaratkan dengan tangannya: Orang mukmin itu apabila melakukan suatu
kebaikan, ia merasa gembira dan mengharapkan pahalanya; dan apabila dia
mengerjakan suatu keburukan (dosa), maka hatinya sedih dan takut akan
siksaannya.
Hadis riwayat Ibnu Murdawaih, dan
hadis ini berpredikat munqati' pula.
Pembahasan mengenai tafsir ayat ini
ialah: Sesungguhnya Allah Swt. setelah memerintahkan kepada orang-orang mukmin
pada mulanya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, lalu Allah memalingkan
mereka ke arah Ka'bah, maka hal tersebut terasa berat oleh segolongan
orang-orang dari kalangan Ahli Kitab dan sebagian kaum muslim. Maka Allah Swt.
menurunkan penjelasan hikmah yang terkandung di dalam hal tersebut. Yang
intinya berisikan bahwa tujuan utama dari hal tersebut tiada lain adalah taat
kepada Allah dan mengerjakan perintah-perintah-Nya dengan patuh, serta
menghadap ke arah mana yang dikehendaki-Nya dan mengikuti apa yang telah
disyariatkan-Nya.
Demikianlah makna kebajikan, takwa,
dan iman yang sempurna; dan kebajikan serta ketaatan itu tidak ada kaitannya
sama sekali dengan kepatuhan menghadap ke arah timur atau barat, jika bukan
karena perintah Allah dan syariatnya. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِر}
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah
timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian. (Al-Baqarah: 177),
hingga akhir ayat.
Seperti yang disebutkan oleh Allah
Swt. dalam masalah kurban dan menyembelih hadyu, yaitu firman-Nya:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ
لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
Daging-daging unta dan darahnya itu
sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan kalianlah
yang dapat mencapainya. (Al-Hajj: 37)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa kebajikan itu bukanlah kalian melakukan
salat tetapi tidak beramal. Hal ini diturunkan ketika Nabi Saw. hijrah dari
Mekah ke Madinah, dan diturunkan hukum-hukum fardu dan hukum-hukum had, maka
Allah memerintahkan mereka untuk mengerjakan fardu-fardu dan mengamalkannya.
Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ad-Dahhak serta Muqatil.
Abul Aliyah mengatakan bahwa
orang-orang Yahudi menghadap ke arah barat, dan orang-orang Nasrani menghadap
ke arah timur. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Bukanlah menghadap
wajahmu ke arah timur dan barat itu suatii kebajikan. (Al-Baqarah: 177) Apa
yang dibahas oleh ayat ini adalah iman dan hakikatnya, yaitu pengalamannya. Hal
yang semisal telah diriwayatkan dari Al-Hasan serta Ar-Rabi' ibnu Anas.
Mujahid mengatakan, "Kebajikan
yang sesungguhnya ialah ketaatan kepada Allah Swt. yang telah meresap ke dalam
hati."
Ad-Dahhak mengatakan bahwa kebajikan
dan ketakwaan itu ialah bila kalian menunaikan fardu-fardu sesuai dengan
ketentuan-ketentuannya.
As-Sauri mengatakan sehubungan dengan
takwil firman-Nya: tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan
orang-orang yang beriman kepada Allah. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat.
Semua yang disebutkan oleh ayat ini merupakan aneka ragam kebajikan.
Memang benarlah apa yang dikatakan
oleh Imam Sauri ini, karena sesungguhnya orang yang memiliki sifat seperti yang
disebutkan oleh ayat ini berarti dia telah memasukkan dirinya ke dalam ikatan
Islam secara keseluruhan dan mengamalkan semua kebaikan secara menyeluruh;
yaitu iman kepada Allah dan tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Dia,
juga beriman kepada para malaikat yang merupakan duta-duta antara Allah dan
rasul-rasul-Nya.
Wal kitabi, merupakan isim jinis yang
pengertiannya mencakup semua kitab yang diturunkan dari langit kepada para nabi
hingga diakhiri dengan yang paling mulia di antara semuanya, yaitu kitab
Al-Qur'an yang isinya mencakup semua kitab sebelumnya, berakhir
padanya semua kebaikan, serta mengandung semua kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Dengan diturunkan-Nya Al-Qur'an, maka di-na-sakh-lah semua kitab
sebelumnya, di dalamnya terdapat anjuran beriman kepada semua nabi Allah dari
permulaan hingga yang paling akhir, yaitu Nabi Muhammad Saw.
*********
Firman Allah Swt.:
وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ
dan memberikan harta yang
dicintainya. (Al-Baqarah: 177)
Yakni mengeluarkannya, sedangkan dia
mencintainya dan berhasrat kepadanya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas'ud,
Sa'id ibnu Jubair, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf,
seperti yang disebutkan di dalam hadis sahihain dari hadis Abu Hurairah secara
marfu', yaitu:
"أَفْضَلُ
الصَّدَقَةِ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَأْمُلُ الْغِنَى،
وَتَخْشَى الْفَقْرَ".
Sedekah yang paling ulama ialah bila
kamu mengeluarkannya, sedangkan kamu dalam keadaan sehat lagi pelit
bercita-cita ingin kaya dan takut jatuh miskin.
وَقَدْ رَوَى الْحَاكِمُ فِي
مُسْتَدْرَكِهِ، مِنْ حَدِيثِ شُعْبَةَ وَالثَّوْرِيِّ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ
زُبَيد، عَنْ مُرَّة، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ} أَنْ تُعْطِيَهُ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَأْمُلُ
الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقْرَ".
Imam Hakim meriwayatkan di dalam
kitab Mustadrak-nya melalui hadis Syu'bah dan As-Sauri, dari Mansur, dari
Zubair, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya: "Dan memberikan
harta yang dicintainya" (Al-Baqarah: 177), yaitu hendaknya kamu
memberikannya, sedangkan kamu dalam keadaan sehat lagi pelit, mengharapkan
kecukupan dan takut jatuh miskin.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa
hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), sedangkan
keduanya tidak mengetengahkannya.
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan
pula oleh Waki', dari Al-A'masy, dan Sufyan, dari Zubaid, dari Murrah, dari
Ibnu Mas'ud secara mauquf dan lebih sahih.
Allah Swt. telah berfirman:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعامَ عَلى
حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً. إِنَّما نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ
لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزاءً وَلا شُكُوراً
Dan mereka memberikan makanan yang
disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya
kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah,
kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima
kasih. (Al-Insan: 8-9)
لَنْ تَنالُوا الْبِرَّ حَتَّى
تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Kalian sekali-kali tidak sampai
kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta
yang kalian cintai. (Ali Imran: 92)
وَيُؤْثِرُونَ عَلى
أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كانَ بِهِمْ خَصاصَةٌ
Dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.
(Al-Hasyr: 9)
Apa yang telah disebutkan oleh ketiga
ayat di atas merupakan jenis lain dari cara bersedekah yang lebih tinggi
kedudukannya daripada yang disebutkan oleh ayat ini (Al-Baqarah: 177). Demikian
itu karena mereka lebih mengutamakan diri orang lain daripada diri mereka
sendiri, padahal mereka sangat memerlukannya, tetapi mereka tetap memberikannya
dan memberi makan orang-orang lain dari harta yang mereka sendiri mencintai dan
memerlukannya.
Yang dimaksud dengan Zawil Qurba
dalam ayat ini ialah kaum kerabat lelaki yang bersangkutan, mereka adalah
orang-orang yang lebih utama untuk diberi sedekah. Seperti yang telah
ditetapkan di dalam hadis sahih, yaitu:
«الصَّدَقَةُ
عَلَى الْمَسَاكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ: صَدَقَةٌ
وَصِلَةٌ، فَهُمْ أَوْلَى النَّاسِ بِكَ وَبِبِرِّكَ وَإِعْطَائِكَ»
Sedekah kepada orang-orang miskin
adalah suatu sedekah, dan sedekah kepada kerabat merupakan dua amal, yaitu
sedekah dan silaturahmi. Karena kaum kerabat adalah orang-orang yang lebih
utama bagimu untuk mendapatkan kebajikan dan pemberianmu.
Allah Swt. telah memerintahkan untuk
berbuat baik kepada kaum kerabat, hal ini diutarakan-Nya bukan hanya pada satu
tempat dari kitab-Nya.
Wal yatama, yang dimaksud dengan
anak-anak yatim ialah mereka yang tidak mempunyai penghasilan, sedangkan
ayah-ayah mereka telah tiada, mereka dalam keadaan lemah, masih kecil, dan
berusia di bawah usia balig serta belum mampu mencari mata pencaharian. Sehubungan
dengan masalah ini Abdur Razzaq mengatakan:
أَنْبَأَنَا مَعْمَر، عَنْ
جُوَيْبِرٍ، عَنِ الضَّحَّاكِ، عَنِ النَّزَّالِ بْنِ سَبْرَةَ، عَنْ عَلِيٍّ،
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يُتْم
بَعْدَ حُلُم".
telah menceritakan kepada kami
Ma'mar, dari Juwaibir, dari Ad-Dahhak, dari An-Nizal ibnu Sabrah, dari sahabat
Ali, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Tiada yatim lagi sesudah usia
balig.
Wal masakin, mereka adalah
orang-orang yang tidak dapat menemukan apa yang mencukupi kebutuhan sandang,
pangan, dan papan mereka. Untuk itu mereka diberi apa yang dapat memenuhi
kebutuhan dan keperluan mereka. Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis
dari sahabat Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَيْسَ
الْمِسْكِينُ بهذا الطوَّاف الذي تَرده التمرة وَالتَّمْرَتَانِ وَاللُّقْمَةُ
وَاللُّقْمَتَانِ، وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ،
وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدق عَلَيْهِ.
Orang miskin itu bukanlah orang yang
suka berkeliling (meminta-minta) yang pergi setelah diberi sebutir atau dua
butir kurma, dan sesuap atau dua suap makanan, tetapi orang miskin yang
sesungguhnya ialah orang yang tidak mendapatkan apa yang mencukupinya, dan pula
keadaan dirinya tidak diketahui (sebagai orang miskin) hingga mudah diberi
sedekah.
Yang dimaksud dengan ibnu sabil ialah
orang musafir jauh yang kehabisan bekalnya, untuk itu dia harus diberi bekal
yang dapat memulangkannya ke tempat tinggalnya. Demikian pula halnya orang yang
akan mengadakan perjalanan untuk tujuan ketaatan, ia boleh diberi bekal yang
mencukupinya buat pulang pergi.
Termasuk ke dalam pengertian ibnu
sabil ialah tamu, seperti yang dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu
Abbas yang mengatakan: Ibnu Sabil ialah tamu yang menginap di kalangan
orang-orang muslim. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu
Jubair, Abu Ja'far Al-Baqir, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Ar-Rabi'
ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Wassailina, mereka adalah orang-orang
yang merelakan dirinya meminta-minta, maka mereka diberi dari sebagian harta
zakat dan sedekah. Seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا وَكِيع وَعَبْدُ
الرَّحْمَنِ، قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ
يَعْلَى بْنِ أَبِي يَحْيَى، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْحُسَيْنِ، عَنْ أَبِيهَا
-قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ -قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لِلسَّائِلِ حَقٌّ وَإِنْ جَاءَ عَلَى
فَرَسٍ".
bahwa telah menceritakan kepada kami
Waki' dan Abdur Rahman; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Sufyan, dari Mus'ab ibnu Muhammad, dari Ya'la ibnu Abu Yahya, dari Fatimah
bintil Husain, dari ayahnya (yakni Husain ibnu Ali), bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Orang yang meminta-minta mempunyai hak (untuk diberi),
sekalipun dia datang dengan berkendaraan kuda. (Riwayat Imam Abu Daud)
Ar-Riqab, mereka adalah budak-budak
mukatab yang tidak menemukan apa yang mereka jadikan untuk melunasi transaksi
kitabahnya.
Pembahasan mengenai golongan tersebut
nanti akan diterangkan di dalam ayat sedekah (zakat), bagian dari surat
Al-Bara’ah (surat Taubah).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu
Abdul Hamid, telah menceritakan kepadaku Syarik, dari Abu Hamzah, dari
Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepadaku Fatimah binti Qais yang mengatakan
bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Apakah pada harta benda
terdapat kewajiban selain zakat?" Maka beliau membacakan ayat berikut
kepadanya, yaitu firman-Nya: dan memberikan harta yang dicintainya.
(Al-Baqarah: 177)
وَرَوَاهُ ابْنُ مَرْدُويه مِنْ
حَدِيثِ آدَمَ بْنِ أَبِي إِيَاسٍ، وَيَحْيَى بْنِ عَبْدِ الْحَمِيدِ، كِلَاهُمَا،
عن شريك، عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ،
قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "فِي
الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ" ثُمَّ تَلَا {لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ
تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَفِي
الرِّقَابِ}
Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula
melalui hadis Adam ibnu Abu Iyas dan Yahya ibnu Abdul Hamid, keduanya menerima
hadis berikut dari Syarik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya'bi, dari Fatimah binti
Qais yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Di
dalam harta benda terdapat kewajiban selain zakat." Kemudian beliau
membacakan firman-Nya, "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan
barat itu suatu kebajikan —sampai dengan firman-Nya—dan (memerdekakan) hamba
sahaya" (Al-Baqarah: 177).
Hadis diketengahkan oleh Ibnu Majah
dan Imam Turmuzi, tetapi Abu Hamzah (yakni Maimun Al-A'war, salah seorang
perawinya) dinilai daif. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Sayyar dan Ismail
ibnu Salim, dari Asy-Sya'bi.
Firman Allah Swt., "Wa-aqamas
salata," artinya 'dan merampungkan semua pekerjaan salat pada waktunya
masing-masing', yakni menyempurnakan rukuk-rukuknya, sujud-sujudnya, dan
tumaninah serta khusyuknya sesuai dengan perintah syariat yang diridai.
Firman Allah Swt., "Wa-ataz
zakata," artinya 'dan menunaikan zakat', tetapi dapat pula
diinterpretasikan dengan pengertian membersihkan jiwa dan membebaskannya dari
akhlak-akhlak yang rendah lagi kotor, seperti pengertian yang terkandung di dalam
firman-Nya:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها.
وَقَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها
Sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
(Asy-Syams: 9-10)
Ucapan Musa a.s. kepada Fir'aun yang
disitir oleh firman-Nya:
هَلْ لَكَ إِلى أَنْ تَزَكَّى
وَأَهْدِيَكَ إِلى رَبِّكَ فَتَخْشى
Adakah keinginan bagimu untuk
membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu
agar kamu takut kepada-Nya?" (An-Nazi'at: 18-19)
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ
الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكاةَ
Dan kecelakaan yang besarlah bagi
orang-orang yang mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak
menunaikan zakat. (Fushshilat: 6-7)
Dapat pula diartikan zakat harta
benda, seperti yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Muqatil ibnu Hayyan.
Dengan demikian, berarti hal yang telah disebutkan sebelumnya —yaitu memberikan
sebagian harta kepada golongan-golongan yang telah disebutkan— hanyalah
dianggap sebagai amal tatawwu' (sunat), kebajikan, dan silaturahmi. Sebagai
dalilnya ialah hadis Fatimah binti Qais yang telah disebutkan di atas, yaitu
yang menyatakan bahwa pada harta benda terdapat kewajiban selain zakat.
******
Firman Allah Swt.:
{وَالْمُوفُونَ
بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا}
dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji. (Al-Baqarah: 177)
Ayat ini semakna dengan firman Allah
Swt.:
{الَّذِينَ
يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ}
(Yaitu) orang-orang yang memenuhi
janji Allah dan tidak merusak perjanjian. (Ar-Ra'd: 20)
Kebalikan dari sifat ini adalah sifat
munafik. Seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih, yaitu:
"آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ".
Pertanda munafik itu ada tiga, yaitu:
Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar; dan apabila dipercaya,
berkhianat.
Di dalam hadis lainnya disebutkan
seperti berikut:
:"إِذَا
حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ"
Apabila berbicara, berdusta; apabila
berjanji, merusak (janjinya); dan apabila bersengketa, berbuat curang.
*********
Firman Allah Swt.:
وَالصَّابِرِينَ فِي
الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ
dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. (Al-Baqarah: 177)
Yang dimaksud dengan ba-sa ialah
dalam keadaan miskin dan fakir, sedangkan yang dimaksud dengan darra ialah
dalam keadaan sakit dan kesusahan. Yang dimaksud dengan hinal ba-su ialah
ketika peperangan sedang berkecamuk. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas'ud,
Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Murrah Al-Hamdani, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair,
Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Abu
Malik, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya.
Sesungguhnya lafaz sabirina
di-nasab-kan karena mengandung pujian terhadap sikap sabar dan sekaligus
sebagai anjuran untuk bersikap sabar dalam situasi seperti itu, mengingat
situasinya sangat keras lagi sulit.
******
Firman Allah Swt.:
أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا
Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya). (Al-Baqarah: 177)
Maksudnya, mereka yang memiliki
sifat-sifat ini adalah orang-orang yang benar imannya, karena mereka
merealisasikan iman hati dengan ucapan dan amal perbuatan; maka mereka itulah
orang-orang yang benar. Mereka itulah orang-orang yang bertakwa, karena mereka
memelihara dirinya dari hal-hal yang diharamkan dan mengerjakan semua amal
ketaatan.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.