وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ
مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا
إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِين
وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ (125)
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang rukuk, dan yang sujud" (QS. Al-Baqarah ayat 125)
Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan
rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan
jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami jadikan rumah
itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah: 125) Yakni mereka
tidak akan merasa puas dengan keperluan mereka darinya; mereka datang
kepadanya, lalu kembali kepada keluarganya, kemudian kembali lagi kepadanya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan makna masabatal linnas, bahwa mereka berkumpul di
tempat tersebut (Baitullah). Riwayat ini dan yang sebelumnya, kedua-duanya
diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Raja, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Muslim, dari Mujahid, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami
menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah:
125) Bahwa mereka berkumpul padanya, kemudian kembali ke tempat asalnya
masing-masing.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah
diriwayatkan dari Abul Aliyah dan Sa'id ibnu Jubair —menurut riwayat yang
lain—.
Hal yang semisal diriwayatkan pula
dari Ata, Mujahid, Al-Hasan, Atiyyah, Ar-Rabi' ibnu Anas serta Ad-Dahhak.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Abdul Karim ibnu Abu Umair, telah menceritakan kepadaku
Al-Walid ibnu Muslim yang mengatakan bahwa Abu Amr (yakni Al-Auza'i) pernah
berkata, telah menceritakan kepadanya Abdah ibnu Abu Lubabah sebuah asar
mengenai takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu
(Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah: 125) Bahwa tiada
seorang pun yang meninggalkannya —setelah menunaikan keperluannya— merasakan
bahwa dirinya telah menunaikan keperluan darinya (yakni masih belum merasa puas
dan ingin kembali lagi menunaikannya).
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Yunus, dari Ibnu Wahb yang mengatakan bahwa Ibnu Zaid
pernah berkata sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami
menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah:
125) Mereka berkumpul di Baitullah dari berbagai negeri, semua datang
kepadanya. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh seorang penyair sehubungan
dengan pengertian ini, seperti yang dikemukakan oleh Imam Qurtubi, yaitu:
جُعِلَ الْبَيْتُ مَثَابًا
لَهُمْ ... لَيْسَ مِنْهُ الدَّهْرُ يَقْضُونَ الْوَطَرْ
Baitullah dijadikan tempat berkumpul
bagi mereka, tetapi selamanya mereka tetap merasa belum puas akan keperluannya
di Baitullah itu.
Sa'id ibnu Jubair dalam riwayatnya
yang lain —demikian pula Ikrimah, Qatadah, dan Ata Al-Khurrasani— mengatakan
bahwa masabatal linnas artinya tempat berkumpul.
Sedangkan makna lafaz amnan —menurut
Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas— adalah tempat yang aman bagi manusia.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari
Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Dan
(ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempal berkumpul bagi
manusia dan tempat yang aman. (Al-Baqarah: 125) Maksudnya, aman dari gangguan
musuh dan tidak boleh membawa senjata di dalam kotanya. Sedangkan di masa
Jahiliah orang-orang yang ada di sekitar Mekah saling berperang dan membegal,
tetapi penduduk Mekah dalam keadaan aman tiada seorang pun yang mengganggu
mereka.
Diriwayatkan dari Mujahid, Ata,
As-Saddi, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas yang mengatakan bahwa barang siapa
memasukinya (Baitullah itu), menjadi amanlah dia.
Kesimpulan dari penafsiran mereka
terhadap ayat ini ialah, bahwa Allah menyebutkan kemuliaan Baitullah dan segala
sesuatu yang menjadi ciri khasnya yang mengandung ritual dan ketetapan hukum,
yaitu Baitullah sebagai tempat berkumpulnya manusia.
Dengan kata lain, Allah menjadikannya
sebagai tempat yang dirindukan dan disukai manusia; dan tiada suatu keperluan
pun padanya ditunaikan oleh para pelakunya (yakni dia tidak akan merasa puas
dengannya), sekalipun ia kembali lagi setiap tahunnya. Hal itu sebagai perkenan
dari Allah Swt. terhadap doa Nabi Ibrahim a.s. di dalam firman-Nya:
{فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي
إِلَيْهِمْ} إِلَى أَنْ قَالَ: {رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ }
Maka jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung kepada mereka —sampai dengan firman-Nya— Ya Tuhan kami,
perkenankanlah doaku. (Ibrahim: 37-40)
Allah menjadikannya sebagai tempat
yang aman. Barang siapa yang memasukinya, niscaya dia aman. Sekalipun dia telah
melakukan apa yang telah dilakukannya, lalu dia masuk ke dalamnya, niscaya dia
akan aman.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam
mengatakan, pernah ada seorang lelaki menjumpai pembunuh ayahnya atau saudara
laki-lakinya di dalam Masjidil Haram, ternyata lelaki tersebut tidak berani
mengganggunya. Seperti yang digambarkan di dalam surat Al-Ma-idah, yaitu
melalui firman-Nya:
جَعَلَ
اللَّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرامَ قِياماً لِلنَّاسِ
Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah
suci itu, sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia.
(Al-Maidah: 97)
Dengan kata lain, ia merupakan tempat
yang dapat melindungi mereka dari kejahatan disebabkan keagungannya.
Ibnu Abbas mengatakan,
"Seandainya manusia tidak berhaji ke Baitullah itu, niscaya Allah akan
membalikkan langit ke atas bumi." Kemuliaan ini tiada lain berkat
kemuliaan orang yang mula-mula membinanya (membangunnya), yaitu kekasih Tuhan
Yang Maha Pemurah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَإِذْ بَوَّأْنا لِإِبْراهِيمَ
مَكانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئاً
Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan
tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), "Janganlah
kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku." (Al-Hajj: 26)
Adapun firman Allah Swt.:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ
لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبارَكاً وَهُدىً لِلْعالَمِينَ. فِيهِ آياتٌ
بَيِّناتٌ مَقامُ إِبْراهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كانَ آمِناً
Sesungguhnya rumah yang mula-mula
dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah)
yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat
tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya
(Baitullah itu), menjadi amanlah dia. (Ali Imran: 96-97)
Di dalam ayat ini disebutkan perihal
maqam Ibrahim dan perintah mengerjakan salat padanya, yaitu melalui firman-Nya:
Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125)
Mufassirin berbeda pendapat mengenai
pengertian yang dimaksud dengan maqam Ibrahim ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Amr ibnu Syabah An-Numairi, telah menceritakan kepada
kami Abu Khalaf (yakni Abdullah ibnu Isa), telah menceritakan kepada kami Daud
ibnu Abu Hindun, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil
firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah:
125) Yang dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah seluruh Masjidil Haram.
Hal yang semisal dengan riwayat ini
diriwayatkan dari Mujahid dan Ata.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan
kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya
kepada Ata tentang takwil firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim
tempat salat. (Al-Baqarah: 125) Maka Ata menjawab bahwa ia pernah mendengar
Ibnu Abbas r.a. berkata, "Maqam Ibrahim yang disebutkan dalam ayat ini
ialah maqam Ibrahim yang ada di dalam Masjidil Haram."
Kemudian Ibnu Juraij mengatakan,
maqam Ibrahim menurut kebanyakan dimaksudkan manasik haji seluruhnya. Kemudian
Ata mengartikannya kepadaku, untuk itu dia berkata bahwa maqam Ibrahim adalah
maqam Ibrahim yang terdapat di dalam Masjidil Haram, dan dua salat (Lohor dan
Asar secara jamak) di Arafah, Al-Masy'ar, Mina, melempar jumrah, dan tavvaf
(sa'i) antara Safa dan Marwah. Lalu aku bertanya, "Apakah Ibnu Abbas yang
menafsirkan semuanya itu?" Ata menjawab, "Tidak, tetapi dia hanya
mengatakan maqam Ibrahim adalah seluruh manasik haji." Aku bertanya,
"Apakah engkau mendengar hal tersebut seluruhnya dari dia?" Ata
menjawab, "Ya, aku mendengarnya dari dia."
Sufyan As-Sauri mengatakan dari
Abdullah ibnu Muslim, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan takwil
firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim lempat salat. (Al-Baqarah:
125) Yang dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah sebuah batu yang dijadikan oleh
Allah sebagai rahmat. Dan tersebutlah bahwa di masa lalu Nabi Ibrahim-berdiri
di atasnya, sedangkan Nabi Ismail yang mengulurkan batu-batu bangunan Ka'bah
kepadanya. Seandainya bagian atas dari batu itu dibasuh —menurut mereka—
niscaya kedua kakinya menjadi bersilang.
As-Saddi mengatakan bahwa maqam
Ibrahim adalah batu yang diletakkan oleh istri Nabi Ismail di bawah telapak
kaki Nabi Ibrahim, hingga istri Nabi Ismail mencuci bagian atasnya. Demikianlah
menurut riwayat yang diketengahkan oleh Al-Qurtubi dan dinilainya daif, tetapi
selain Al-Qurtubi menguatkannya. Diriwayatkan pula oleh Ar-Razi di dalam kitab
tafsirnya, dari Al-Hasan Al-Basri dan Qatadah serta Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan
kepada kami Abdul Wahhab ibnu Ata, dari Ibnu Juraij, dari Ja'far ibnu Muhammad,
dari ayahnya, bahwa ia pernah mendengar Jabir menceritakan hadis tentang haji
yang dilakukan oleh Nabi Saw.: Setelah Nabi Saw. tawaf, Umar berkata kepadanya,
"Inikah maqam bapak kita? Nabi Saw. menjawab, "Ya." Umar
berkata, "Mengapa kita tidak menjadikannya sebagai tempat salat?"
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam
Ibrahim tempat salat." (Al-Baqarah: 125)
Usman ibnu Abu Syaibah mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Zakaria, dari Abu Ishaq, dari
Abu Maisarah, bahwa sahabat Umar pernah menceritakan hadis berikut: Aku
bertanya, "Wahai Rasulullah, inikah maqam kekasih Tuhan kita!" Nabi
Saw. menjawab, "Ya." Umar berkata, "Mengapa kita tidak
menjadikannya sebagai tempat salat? Maka turunlah ayat, "Dan jadikanlah
sebagian maqam Ibrahim tempat salat." (Al-Baqarah: 125)
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami
Gailan ibnu Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Masruq ibnul Mirzaban,
telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Abu Ishaq, dari
Amr ibnu Maimun, dari Umar ibnul Khattab, bahwa ia pernah melewati maqam
Ibrahim; lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah kita sekarang
berada di maqam kekasih Tuhan kita?" Nabi Saw. menjawab, "Memang
benar." Umar berkata, "Mengapa kita tidak menjadikannya sebagai
tempat salat." Sebentar kemudian turunlah firman-Nya: Dan jadikanlah
sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125)
Ibnu Murdawaih mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Ali ibnu Ahmad ibnu Muhammad Al-Qazwaini, telah
menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami
Junaid, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Khalid, telah menceritakan
kepada kami Al-Walid, dari Malik ibnu Anas, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari
ayahnya, dari Jabir yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah Saw. berdiri di
dekat maqam Ibrahim pada hari pembukaan kota Mekah, Umar bertanya kepadanya,
"Wahai Rasulullah, inikah maqam Ibrahim yang disebutkan oleh firman-Nya,
'Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat'?" Nabi Saw. menjawab,
"Ya." Al-Walid berkata, "Aku bertanya kepada Malik, 'Apakah
memang demikian dia (Ja'far ibnu Muhammad) menceritakannya kepadamu, yakni
wattakhizu? Ia menjawab, "Ya."
Demikianlah yang disebutkan di dalam
riwayat terakhir ini.
Sanad hadis ini berpredikat garib,
tetapi Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Al-Walid ibnu Muslim dengan
makna yang semisal.
Imam Bukhari mengatakan dalam bab
tafsir firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat.
(Al-Baqarah: 125) Masabah artinya tempat berkumpul bagi mereka, setelah itu
mereka kembali (ke negerinya masing-masing).
حَدَّثَنَا مُسدَّد، حَدَّثَنَا
يَحْيَى، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ. قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ وافقتُ رَبِّي فِي ثَلَاثٍ، أَوْ وَافَقَنِي رَبِّي فِي ثَلَاثٍ،
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوِ اتَّخَذْتَ مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى؟
فَنَزَلَتْ: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى} وَقُلْتُ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ يَدْخُلُ عَلَيْكَ الْبَرُّ وَالْفَاجِرُ، فَلَوْ أَمَرْتَ
أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِالْحِجَابِ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ الْحِجَابِ.
وَقَالَ: وَبَلَغَنِي مُعَاتبة النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَعْضَ نِسَائِهِ، فَدَخَلْتُ عَلَيْهِنَّ فَقُلْتُ: إِنِ انْتَهَيْتُنَّ أَوْ
ليبدلَن اللَّهُ رَسُولَهُ خَيْرًا مِنْكُنَّ، حَتَّى أَتَيْتُ إِحْدَى نِسَائِهِ،
فَقَالَتْ: يَا عُمَرُ، أَمَا فِي رَسُولِ اللَّهِ مَا يَعِظُ نِسَاءَهُ حَتَّى
تَعظهن أَنْتَ؟! فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ
يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ} الْآيَةَ [التَّحْرِيمِ: 5] .
Telah menceritakan kepada kami
Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Humaid, dari Anas ibnu
Malik yang mengatakan bahwa Umar pernah berkata: Aku bersesuaian dengan
Tuhanku, atau Tuhanku bersesuaian denganku dalam tiga perkara. Aku bertanya,
"Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan sebagian maqam Ibrahim
tempat salat." Maka turunlah firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian
maqam Ibrahim tempat salat" (Al-Baqarah: 125). Aku berkata, "Wahai
Rasulullah, orang yang masuk menemuimu ada yang baik dan ada yang fajir
(durhaka), sekiranya engkau perintahkan kepada Ummahatul Mu’minin untuk memakai
hijab." Maka Allah Swt. menurunkan ayat hijab. Umar melanjutkan kisahnya,
"Telah sampai kepadaku berita celaan Nabi Saw. terhadap salah seorang istrinya,
maka aku masuk menemui mereka (istri-istri Nabi Saw.) dan kukatakan kepada
mereka, 'Berhentilah kalian dari tuntutan kalian atau Allah benar-benar akan
memberikan ganti kepada Rasul-Nya wanita-wanita yang lebih baik daripada
kalian,' hingga sampailah aku pada salah seorang istrinya yang mengatakan, 'Hai
Umar, adapun Rasulullah Saw., beliau belum pernah menasihati istri-istrinya
hingga engkau sendirilah yang menasihati mereka.' Maka Allah menurunkan
firman-Nya, “Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi
ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian yang patuh'
(At-Tahrim: 5), hingga akhir ayat."
Ibnu Abu Maryam mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Humaid
yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas menceritakan sebuah hadis dari
Umar r.a.
Demikianlah menurut konteks yang
diketengahkan oleh Imam Bukhari dalam bab ini, dan ia men-ta'liq-kan jalur yang
kedua dari gurunya (yaitu Sa'id ibnul Hakam yang dikenal dengan nama Ibnu Abu
Maryam Al-Masri).
Imam Bukhari menyendiri dalam
periwayatan hadis ini dari gurunya di kalangan pemilik kitab-kitab Sittah.
Sedangkan yang lainnya meriwayatkan hadis ini dari guru Imam Bukhari melalui
perantara. Tujuan Imam Bukhari men-ta'liq hadis ini ialah untuk menjelaskan
ittisal (hubungan) sanad hadis ini, dan sesungguhnya dia tidak meng-isnad-kan
hadis ini mengingat Yahya ibnu Abu Ayyub Al-Gafiqi orangnya masih mengandung
sesuatu cela; menurut Imam Ahmad, hafalannya lemah.
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Hamid, dari
Anas yang mengatakan bahwa Umar pernah berkata: Aku bersesuaian dengan Tuhanku
dalam tiga perkara. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau
menjadikan sebagian maqam Ibrahim tempat salat" Maka turunlah firman-Nya,
"Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat (Al-Baqarah: 125). Dan
aku berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang yang masuk
menemui istri-istrimu ada orang yang takwa dan ada pula orang yang fasik, maka
sekiranya engkau memerintahkan mereka memakai hijab." Lalu turunlah ayat
hijab. Dan semua istri Rasulullah Saw. berkumpul menemuinya dalam masalah
cemburu, maka aku berkata kepada mereka, "Jika Nabi menceraikan kalian,
boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih
baik daripada kalian." Maka ternyata turunlah ayat yang berbunyi demikian.
Kemudian hadis ini diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, dari Yahya dan Ibnu Abu Addi yang kedua-duanya menerima hadis ini
dari Humaid, dari Anas, dari Umar r.a. Disebutkan bahwa Umar pernah mengatakan,
"Aku bersesuaian dengan Rabbku dalam tiga perkara, atau Rabb-ku
bersesuaian denganku dalam tiga perkara." Kemudian ia menuturkan hadis
ini.
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui
Umar dan Ibnu Aun; Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui Ahmad ibnu Mani', Imam
Nasai meriwayatkannya melalui Ya'qub ibnu Ibrahim Ad-Daruqi, dan Ibnu Majah
meriwayatkannya dari Muhammad ibnus Sabah; semuanya dari Hasyim ibnu Basyir
dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi meriwayatkannya pula
dari Abdu ibnu Humaid, dari Hajjaj ibnu Minhal, dari Hammad ibnu Salamah; dan
Imam Nasai meriwayatkannya dari Hanad, dari Yahya ibnu Abu Zaidah; keduanya
menerimanya dari Humaid (yaitu Ibnu Tairawih At-Tawil) dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis
ini hasan sahih.
Imam Ali ibnul Madini meriwayatkannya
dari Yazid ibnu Zurai', dari Humaid dengan lafaz yang sama; dia mengatakan
bahwa hadis ini termasuk sahih, dia (Imam Ali ibnul Madini) orang Basrah.
Imam Muslim ibnu Hajjaj
meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya dengan sanad dan lafaz yang lain.
حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ
مُكْرَم، أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ عَامِرٍ، عَنْ جُوَيْرِيَةَ بْنِ أَسْمَاءَ،
عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ عُمَرَ، قَالَ: وَافَقْتُ رَبِّي فِي
ثَلَاثٍ: فِي الْحِجَابِ، وَفِي أُسَارَى بَدْرٍ، وَفِي مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ
Dia mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amir,
dari Juwairiyah binti Asma', dari Nafi’ dari Ibnu Umar, dari Umar r.a., bahwa
Umar pernah mengatakan: Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara,
yaitu dalam masalah hijab, dalam masalah tawanan Perang Badar, dan dalam
masalah maqam Ibrahim.
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Ansari, telah menceritakan
kepada kami Humaid At-Tawil, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Umar
ibnul Khattab r.a. pernah berkata:
Tuhanku bersesuaian denganku dalam tiga perkara, atau aku bersesuaian
dengan Tuhanku dalam tiga perkara. Aku berkata, "Wahai Rasulullah,
sekiranya engkau menjadikan sebagian maqam Ibrahim tempal salat.? Maka turunlah
fiman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat" (Al-Baqarah:
125). Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan hijab
buat istri-istrimu. Maka turunlah ayat hijab. Dan yang ketiga ialah ketika
Abdullah ibnu Ubay mati, Rasulullah Saw. datang untuk menyalatkan (jenazah)nya,
maka aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau salatkan orang kafir
lagi munafik ini!" Nabi Saw. bersabda, "Diamlah kamu, hai Ibnul
Khatab." Maka turunlah firman-Nya, "Dan janganlah kamu sekali-kali
menyalatkan (jenazah) orang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu
berdiri di kuburnya" (At-Taubah: 84).
Sanad asar ini berpredikat sahih.
Tidak ada pertentangan di antara asar ini dan asar sebelumnya, bahkan semuanya
sahih. Dan apabila majhum 'adad bertentangan dengan mantuq, maka majhum 'adad
lebih diprioritaskan atasnya.
Ibnu Juraij mengatakan, telah
menceritakan kepadanya Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir: Bahwa Rasulullah Saw. berlari kecil sebanyak
tiga kali putaran dan berjalan biasa sebanyak empat kali putaran. Setelah
beliau menyelesaikan (tawafnya), lalu beliau menuju ke maqam Ibrahim dan salat
dua rakaat di belakangnya. Setelah itu beliau membacakan firman-Nya, "Dan
jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat" (Al-Baqarah: 125).
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ:
حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ سَلْمَانَ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ،
حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: اسْتَلَمَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرُّكْنَ، فَرْمَلَ ثَلَاثًا،
وَمَشَى أَرْبَعًا، ثُمَّ تَقَدَّمُ إِلَى مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ، فَقَرَأَ:
{وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى} فَجَعَلَ الْمَقَامَ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ الْبَيْتِ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami
Hatim ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, dari
ayahnya, dari Jabir yang mengatakan: Rasulullah Saw. mengusap rukun, lalu
berlari kecil sebanyak tiga kali (putaran) dan berjalan biasa sebanyak empat
kali (putaran). Kemudian beliau menuju ke maqam Ibrahim dan membacakan
firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat"
(Al-Baqarah: 125). Maka beliau menjadikan posisi maqam berada di antara diri
beliau dan Baitullah, lalu beliau salat dua rakaat.
Hadis ini merupakan cuplikan dari
sebuah hadis yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab
sahihnya melalui hadis Hatim ibnu Ismail.
Imam Bukhari meriwayatkan berikut
sanadnya melalui Amr ibnu Dinar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu
Umar menceritakan, "Rasulullah Saw. tiba (di Mekah), lalu melakukan tawaf
di Baitullah sebanyak tujuh kali putaran dan salat dua rakaat di belakang maqam
Ibrahim."
Semua yang disebutkan di atas
termasuk dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah
sebuah batu yang pernah dijadikan sebagai tangga tempat berdiri Nabi Ibrahim
a.s. ketika membangun Ka'bah. Ketika tembok Ka'bah makin tinggi, maka Ismail
datang membawa batu tersebut agar Nabi Ibrahim berdiri di atasnya, sedangkan
Nabi Ismail mengambilkan batu-batu untuk tembok Ka'bah, lalu diberikan
kepadanya, dan Nabi Ibrahim memasang batu-batuan tersebut dengan tangannya
untuk meninggikan bangunan Ka'bah. Manakala telah rampung dari satu sisi, maka
batu itu dipindahkan oleh Nabi Ismail ke sisi berikutnya; demikianlah
seterusnya hingga semua tembok Ka'bah selesai dibangun, seperti yang akan
dijelaskan nanti dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membangun Ka'bah,
melalui riwayat Ibnu Abbas yang hadisnya berada pada Imam Bukhari.
Jejak bekas kedua telapak kaki Nabi
Ibrahim tampak jelas pada batu tersebut, hal ini masih tetap terkenal;
orang-orang Arab di zaman Jahiliah mengetahuinya. Karena itulah Abu Talib
pernah mengatakan dalam salah satu qasidah lamiyahnya, yang antara lain disebutkan:
وَمَوْطِئُ إِبْرَاهِيمَ فِي
الصَّخْرِ رَطْبَةٌ ... عَلَى قَدَمَيْهِ حَافِيًا غَيْرَ نَاعِلِ
Tempat berpijak Nabi Ibrahim di batu
besar itu masih basah; ia berdiri di atasnya pada kedua telapak kakinya tanpa
memakai terompah.
Kaum muslim masih sempat menjumpainya
pula, seperti yang dikatakan oleh Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan
kepadaku Yunus ibnu Yazid, dari Ibnu Syihab, bahwa Anas ibnu Malik pernah
menceritakan kepada mereka kisah berikut. Ia berkata, "Aku pernah melihat
maqam Ibrahim, padanya masih ada jejak bekas jari-jari kaki Nabi Ibrahim a.s.,
juga bekas kedua telapak kakinya, hanya sudah pudar karena banyak diusap oleh
orang-orang dengan tangan-tangan mereka.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami Yazid
ibnu Zurai telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah sehubungan dengan
takwil firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat.
(Al-Baqarah: 125) Sesungguhnya mereka hanya diperintahkan untuk melakukan salat
di dekatnya, tidak diperintahkan mengusapnya. Akan tetapi, umat ini telah
memaksakan diri melakukan sesuatu hal seperti yang pernah dilakukan oleh
umat-umat sebelumnya. Pernah dikisahkan kepada kami oleh orang yang melihat
jejak bekas telapak kaki dan jari-jarinya masih tetap ada pada batu tersebut.
Akan tetapi, umat ini masih terus mengusap-usapnya hingga jejak tersebut pudar
dan terhapus.
Menurut kami, pada mulanya (yakni di
masa silam) maqam Ibrahim ini menempel pada dinding Ka'bah, tempatnya berada di
sebelah pintu Ka'bah (Multazam) yang berada di dekat Hajar Aswad. Tepatnya
tempat maqam Ibrahim tersebut berada di sebelah kanan pintu Ka'bah bagi orang
yang hendak memasukinya, yaitu di salah satu bagian yang terpisah. Ketika Nabi
Ibrahim a.s. selesai membangun Baitullah, ia meletakkan (menempelkan) batu
tersebut pada dinding Ka'bah. Atau setelah menyelesaikan pembangunannya beliau
tinggalkan batu tersebut di tempat beliau menyelesaikannya. Karena itu —hanya
Allah Yang lebih mengetahui—, diperintahkan melakukan salat di tempat itu bila
seseorang telah selesai dari tawaf. Hal ini secara kebetulan tepat berada di
dekat maqam Ibrahim, ketika beliau selesai dari membangun Ka'bah.
Sesungguhnya orang yang menjauhkannya
dari Ka'bah adalah Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab r.a., salah seorang imam
yang mendapat petunjuk dan salah seorang Khulafaur Rasyidin yang kita semua
diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Umar r.a. adalah salah seorang di
antara dua orang lelaki yang pernah dikatakan oleh Rasulullah Saw. dalam salah
satu sabdanya, yaitu:
«اقْتَدَوْا
بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ»
Ikutilah oleh kalian dua orang yang
sesudahnya, yaitu Abu Bakar dan Umar.
Dia adalah orang yang Al-Qur'an
diturunkan bersesuaian dengan idenya menganjurkan melakukan salat di dekat
maqam Ibrahim. Karena itu, tiada seorang pun di antara para sahabat yang
memprotes perbuatannya (menjauhkan maqam Ibrahim dari dinding Ka'bah).
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ibnu
Juraij, telah menceritakan kepadaku Ata dan lain-lainnya dari kalangan
teman-teman kami bahwa orang yang mula-mula memindahkan maqam Ibrahim adalah
Umar ibnul Khattab r.a.
Abdur Razzaq meriwayatkan pula dari
Ma'mar, dari Humaid Al-A'raj, dari Mujahid yang mengatakan bahwa orang yang
mula-mula memindahkan maqam Ibrahim hingga ke tempatnya sekarang adalah Umar
ibnul Khattab r.a.
Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Ali
ibnul Husain Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Husain
ibnul Fadl Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Al-Qadi Abu Bakar Ahmad
ibnu Kamil, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail Muhammad ibnu Ismail
As-Sulami, telah menceritakan kepada kami Abu Sabit, telah menceritakan kepada
kami Ad-Darawardi, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a.
yang mengatakan: Bahwa maqam (Ibrahim) dahulu di masa Rasulullah Saw. dan masa
Abu Bakar r.a. menempel pada (dinding) Ka'bah, kemudian dijauhkan oleh Umar
ibnul Khattab r.a.
Sanad hadis ini berpredikat sahih
bersama riwayat-riwayat yang telah disebutkan sebelumnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Amr
Al-Adani yang mengatakan bahwa Sufyan (yakni Ibnu Uyaynah, imam ulama Mekah di
masanya) pernah mengatakan bahwa dahulu di masa Nabi Saw. maqam Ibrahim
merupakan bagian dari dinding Ka'bah, kemudian dipindahkan oleh Umar ke
tempatnya yang sekarang setelah Nabi Saw. wafat dan setelah firman-Nya: Dan
jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125)
Ibnu Uyaynah mengatakan bahwa banjir
telah mengalihkannya setelah dipindahkan oleh Umar dari tempatnya sekarang,
kemudian Umar r.a. mengembalikannya ke tempatnya.
Sufyan mengatakan, "Aku tidak
mengetahui berapa jarak antara maqam dan Ka'bah sebelum dipindahkan oleh Umar.
Aku pun tidak mengetahui apakah maqam tadinya menempel atau tidak."
Semua asar yang kami kemukakan ini
memperkuat apa yang kami sebutkan sebelumnya.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Umar alias Ahmad ibnu Muhammad
ibnu Hakim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Wahhab ibnu Abu
Tamam, telah menceritakan kepada kami Adam alias Ibnu Abu Iyas di dalam kitab
tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Ibrahim ibnul Muhajir,
dari Mujahid yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah bertanya,
"Wahai Rasulullah, sekiranya kita salat di belakang maqam Ibrahim."
Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat
salat. (Al-Baqarah: 125) Pada awalnya maqam Ibrahim berada di dekat Ka'bah,
kemudian dipindahkan oleh Rasulullah Saw. ke tempatnya yang sekarang. Mujahid
mengatakan, tersebutlah bahwa Umar r.a. mempunyai suatu ide. Maka turunlah ayat
Al-Qur'an yang sependapat dengannya.
Asar ini berpredikat mursal dari
Mujahid, tetapi asar ini berbeda dengan apa yang telah disebutkan dalam riwayat
Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Humaid Al-A'raj, dari Mujahid yang menyebutkan
bahwa orang yang mula-mula memindahkan maqam Ibrahim ke tempatnya sekarang
adalah Umar ibnul Khattab r.a. Akan tetapi, riwayat ini lebih sahih daripada
jalur Ibnu Murdawaih, bila riwayat terakhir ini dikuatkan oleh riwayat-riwayat
sebelumnya.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan
sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim
dan Ismail. (Al-Baqarah: 125) Allah memerintahkan kepada keduanya untuk
menyucikan Baitullah dari kotoran dan najis, dan agar Baitullah jangan terkena
sesuatu pun dari hal tersebut.
Ibnu Juraij pernah bertanya kepada
Ata, "Apakah yang dimaksud dengan lafaz al-'ahdu dalam ayat ini?" Ata
menjawab, "Yang dimaksud adalah perintah Allah."
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam
pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Dan telah Kami
perintahkan kepada Ibrahim" (Al-Baqarah: 125). Makna yang dimaksud ialah,
"Telah Kami perintahkan kepadanya." Demikian menurut Abdur
Rahman.
Makna lahiriah lafaz ini
di-muta'addi-kan kepada huruf ila, mengingat makna yang dimaksud ialah telah
Kami dahulukan dan telah Kami wahyukan.
Sa'id ibnu Jubair meriwayatkan dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Bersihkanlah rumah-Ku ini untuk
orang-orang yang tawaf, yang i’tikaf. (Al-Baqarah: 125) Yang dimaksud dengan
dibersihkan ialah dibersihkan dari berhala-berhala.
Mujahid dan Sa'id ibnu Jubair
mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya:
Bersihkanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang tawaf. (Al-Baqarah:
125) Sesungguhnya perintah membersihkan Baitullah ini ialah membersihkannya
dari berhala-berhala, perbuatan cabul (tawaf dengan telanjang), perkataan
dusta, dan kotoran.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
diriwayatkan dari Ubaid ibnu Umair, Abul Aliyah, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid,
Ata, dan Qatadah sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Bersihkanlah
rumah-Ku oleh kamu berdua" (Al-Baqarah: 125), yakni dari kemusyrikan,
dengan kalimat La ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah). Lafaz taifin
artinya orang-orang yang tawaf. Tawaf di Baitullah merupakan hal yang sudah
dikenal.
Dari Sa'id ibnu Jubair, disebutkan
bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Lit
taifin." Yang dimaksud ialah orang yang datang kepada Baitullah dari
negeri lain, sedangkan yang dimaksud dengan al-'akifin ialah orang-orang yang
mukim (penduduk asli). Hal yang sama dikatakan pula dari Qatadah dan Ar-Rabi'
ibnu Anas, bahwa keduanya menafsirkan lafaz al-'akifin dengan makna penduduk
asli yang mukim padanya; begitu pula apa yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair.
Yahya Al-Qattan meriwayatkan dari
Abdul Malik (yakni Ibnu Abu Sulaiman), dari Ata sehubungan dengan tafsir
firman-Nya, "Al-'akifin" bahwa al-'akifin ialah orang yang datang
dari pelbagai kota, lalu bermukim di Baitullah. Ata mengatakan kepada kami,
sedangkan kami tinggal bersebelahan dengan Baitullah, "Kalian adalah
orang-orang yang i'tikaf."
Waki' meriwayatkan dari Abu Bakar
Al-Huzali, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa apabila seseorang
duduk padanya, maka dia termasuk orang-orang yang i'tikaf.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu
Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan
kepada kami Sabit yang mengatakan bahwa kami pernah berkata kepada Abdullah
ibnu Ubaid ibnu Umair, "Aku harus berbicara kepada Amir agar dia
mengizinkan aku melarang orang-orang yang tidur di dalam Masjidil Haram, karena
sesungguhnya mereka mempunyai jinabah dan berhadas." Abdullah ibnu Ubaid
ibnu Umair menjawab, "Jangan kamu lakukan itu, karena sesungguhnya Ibnu
Umar pernah ditanya mengenai mereka (yang tidur di dalam Masjidil Haram). Ia
menjawab, 'Mereka adalah orang-orang yang sedang ber-i'tikaf." Hal yang
sama diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari Sulaiman ibnu Harb, dari
Hammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama.
Menurut kami, di dalam kitab sahih
disebutkan bahwa Ibnu Umar sering tidur di dalam Masjid Rasul (di Madinah)
ketika ia masih jejaka.
***********
Mengenai firman-Nya:
وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Orang-orang yang rukuk dan
orang-orang yang sujud. (Al-Baqarah: 125)
Maka Waki' meriwayatkan dari Abu
Bakar Al-Huzali, dari Ata, dari Ibnu Abbas, "Apabila seseorang sedang
salat, maka dia termasuk orang-orang yang rukuk dan sujud."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata
dan Qatadah.
Kemudian ibnu Jarir menilai lemah
kedua hadis tersebut karena masing-masing dari kedua hadis tersebut mengandung
orang-orang yang daif; dan kenyataannya memang seperti apa yang dikatakan oleh
ibnu Jarir, yaitu kedua hadis ini tidak dapat dijadikan pegangan.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat ini
ialah "Dan Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail untuk menyucikan
rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf'. Perintah menyucikan Baitullah yang
ditujukan kepada keduanya ialah agar menyucikannya dari berhala-berhala dan
dari penyembahan kepada berhala-berhala di dalamnya, juga menyucikannya dari
segala kemusyrikan.
Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan
hipotesisnya. Untuk itu dia mengatakan, jika timbul pertanyaan "Apakah
sebelum Nabi Ibrahim membangun Ka'bah, di dalam Ka'bah terdapat sesuatu dari
hal tersebut yang Nabi Ibrahim diperintahkan untuk memberantasnya?"
Sebagai jawabannya dapat dikatakan dua alasan berikut.
Pertama, Allah memerintahkan keduanya
(Ibrahim dan Ismail) untuk menyucikan Baitullah dari penyembahan segala macam
berhala dan patung-patung, yang hal ini dilakukan di masa silam di zaman Nabi
Nuh a.s. agar hal tersebut menjadi teladan bagi orang-orang sesudah zaman
keduanya; mengingat Allah Swt. telah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai seorang
imam yang diikuti. Seperti apa yang dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid
sehubungan dengan takwil firman-Nya: Bersihkanlah rumah-Ku olehmu berdua.
(Al-Baqarah: 125) Yakni dari segala macam berhala yang disembah dan diagungkan
oleh orang-orang musyrik di masa lalu.
Menurut kami, jawaban ini
menyimpulkan bahwa dahulu di masa sebelum Nabi Ibrahim a.s. dilakukan
penyembahan terhadap berhala di tempat tersebut. Tetapi hal ini memerlukan
bukti berupa dalil dari orang yang ma'sum, yaitu dari Nabi Saw.
Kedua, Allah memerintahkan keduanya
ikhlas dalam membangunnya karena Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Maka
keduanya membangunnya seraya menyucikannya dari kemusyrikan dan keraguan,
seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيانَهُ
عَلى تَقْوى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيانَهُ عَلى
شَفا جُرُفٍ هارٍ
Maka apakah orang-orang yang
mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan-(Nya) itu
yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang
runtuh. (At-Taubah: 109)
Demikian pula dalam firman-Nya:
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ
Dan telah Kami perintahkan kepada
Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku." (Al-Baqarah: 125)
Artinya, bangunlah rumah-Ku oleh kamu
berdua dalam keadaan bersih dan suci dari kemusyrikan dan keraguan. Seperti apa
yang dikatakan oleh As-Saddi, makna an-tahhira baitiya ialah bangunlah oleh
kamu berdua rumah-Ku ini buat orang-orang yang tawaf.
Kesimpulan dari jawaban di atas ialah
bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s.
membangun Ka'bah atas nama-Nya semata —tiada sekutu bagi-Nya— buat orang-orang
yang tawaf dan i'tikaf serta orang-orang yang mengerjakan salat di dalamnya
dari kalangan orang-orang yang rukuk dan sujud, seperti yang disebutkan di
dalam firman-Nya:
وَإِذْ بَوَّأْنا لِإِبْراهِيمَ
مَكانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهِّرْ بَيْتِيَ
لِلطَّائِفِينَ وَالْقائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan
tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), "Janganlah
kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi
orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang
rukuk dan sujud." (Al-Hajj: 26) serta beberapa ayat berikutnya.
Fuqaha (para ahli fiqih) berbeda
pendapat mengenai masalah manakah yang lebih afdal antara salat di Baitullah
dan tawaf. Imam Malik rahimahullah mengatakan, tawaf di Baitullah bagi penduduk
kota-kota besar adalah lebih utama. Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa
salat lebih afdal secara mutlak. Alasan masing-masing dari kedua pendapat ini
disebutkan secara rinci di dalam pembahasan hukum-hukum.
Maksud dan tujuan perintah tersebut
adalah untuk membalas perbuatan orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah
di rumah-Nya yang dibangun atas dasar menyembah-Nya semata dan tiada sekutu
bagi-Nya. Kemudian selain itu mereka menghalang-halangi kaum mukmin yang
memilikinya, tidak boleh memasukinya, seperti yang disebutkan di dalam
firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرامِ الَّذِي جَعَلْناهُ
لِلنَّاسِ سَواءً الْعاكِفُ فِيهِ وَالْبادِ وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحادٍ
بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذابٍ أَلِيمٍ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir
dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami
jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir
dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya
akan kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih. (Al-Hajj: 25)
Kemudian Allah Swt. menyebutkan,
sesungguhnya Baitullah itu hanya dibangun bagi orang yang menyembah Allah
semata, tiada sekutu bagi-Nya, baik dengan cara tawaf ataupun salat.
Selanjutnya di dalam surat Al-Hajj disebutkan ketiga bagian dari salat, yaitu berdirinya,
rukuknya, dan sujudnya, tetapi tidak disebutkan al-'akifin karena telah
disebutkan dalam ayat sebelumnya, yaitu: baik yang bermukim di situ maupun di
padang pasir. (Al-Hajj: 25)
Sedangkan di dalam ayat ini (Al-Hajj:
25) tidak disebutkan rukuk, sujud, dan qiyam, tetapi hanya disebutkan taifin
dan 'akifin, karena sesungguhnya telah diketahui bahwa tiada rukuk dan tiada
sujud melainkan sesudah qiyam (berdiri). Di dalam ayat ini terkandung pula
bantahan terhadap orang-orang yang tidak mau berhaji kepadanya dari kalangan
ahli kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena sesungguhnya mereka
mengakui keutamaan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, dan mereka pun mengetahui
bahwa rumah itu (Baitullah) dibangun untuk tawaf dalam ibadah haji dan umrah
serta ibadah lainnya; juga untuk i’tikaf serta melakukan salat padanya,
sedangkan mereka tidak mengerjakan sesuatu pun dari hal tersebut. Maria mungkin
mereka dinamakan sebagai orang-orang yang menganut agama Nabi Ibrahim,
sedangkan mereka sendiri tidak mengerjakan apa yang telah disyariatkan oleh
Allah kepada Nabi Ibrahim?
Sesungguhnya Nabi Musa ibnu Imran
serta nabi-nabi lainnya telah melakukan haji ke Baitullah, seperti yang telah
diberitakan oleh orang yang di-ma'sum yang tidak sekali-kali berbicara dari
dirinya sendiri melainkan hanya semata-mata wahyu yang diturunkan kepadanya.
Dengan demikian, berarti makna ayat
adalah seperti berikut Wa'ahidna ila Ibrahima, Kami telah perintahkan kepada
Ibrahim dan Ismail melalui wahyu kami, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk
orang-orang yang tawaf, yang i'tikaf, yang rukuk, dan yang sujud." Dengan
kata lain, bersihkanlah rumah-Ku dari kemusyrikan dan keraguan, dan bangunlah
rumah-Ku dengan ikhlas karena Allah, yang kelak akan menjadi tempat bagi
orang-orang yang i'tikaf, yang tawaf, yang rukuk, dan yang sujud.
Pengertian menyucikan masjid diambil
dari ayat ini dan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ
أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيها بِالْغُدُوِّ
وَالْآصالِ
Bertasbih kepada Allah di
masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di
dalamnya, pada waktu pagi dan petang. (An-Nur: 36)
Sedangkan dalil dari sunnah banyak
hadis yang memerintahkan membersihkan masjid-masjid dan memberinya wewangian
serta lain-lainnya, seperti membersihkannya dari kotoran dan najis-najis serta
hal-hal yang serupa dengannya. Karena itu, Nabi Saw. pernah bersabda:
«إِنَّمَا
بُنِيَتِ الْمَسَاجِدُ لِمَا بُنِيَتْ لَهُ»
Sesungguhnya masjid-masjid itu
dibangun hanya untuk tujuan yang sesuai dengan fungsinya.
Sesungguhnya kami menghimpun
pembahasan ini dalam sebuah kitab tersendiri secara rinci.
Para ulama berbeda pendapat mengenai
orang yang mula-mula membangun Ka'bah. Menurut suatu pendapat, yang mula-mula
membangun Ka'bah adalah para malaikat Hal ini diriwayatkan melalui Abu Ja'far
Al-Baqir, yaitu Muhammad ibnu Ali ibnul Husain; Imam Qurtubi menyebutkannya dan
mengetengahkan riwayat tersebut, tetapi di dalamnya terkandung garabah
(keanehan).
Menurut pendapat yang lain, orang
yang mula-mula membangun Ka'bah adalah Nabi Adam a.s. Demikianlah menurut
riwayat Abdur Razzaq, dari Ibnu Juraij, dari Ata dan Sa'id ibnul Musayyab sena
lain-lainnya. Disebutkan bahwa Nabi Adamlah yang mula-mula membangunnya dari
lima buah gunung, yaitu dari Gunung Hira, Gunung Tursina, Gunung Tur Zaitan,
Gunung Libanon, dan Gunung Al-Judi. Akan tetapi, riwayat ini garib sekali.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ka'b
Al-Ahbar dan Qatadah, dari Wahb ibnu Munabbih, bahwa orang yang mula-mula
membangunnya ialah Nabi Syis a.s.
Kebanyakan orang-orang yang
mengetengahkan riwayat masalah ini mengambil sumber dari kitab-kitab kaum ahli
kitab. Hal tersebut merupakan suatu topik yang tidak boleh dibenarkan, tidak
boleh didustakan, tidak boleh pula dijadikan sebagai pegangan hanya berlandaskan
ia semata. Jika ada hadis sahih yang menceritakan hal tersebut, maka dengan
senang hati harus diterima.
********
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.