Posisi Bangsa Arab dan Kaumnya

Posisi Bangsa Arab dan Kaumnya

POSISI BANGSA ARAB DAN KAUMNYA

Pada hakikatnya istilah Sirah Nabawiyah merupakan ungkapan tentang risalah yang dibawa Rasulullah ٠ kepada manusia, untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, dari penyembahan terhadap hamba kepada penyembahan Allah. Jadi tidak mungkin bisa menghadirkan gambarannya secara pas dan mengena kecuali setelah membandingkan hal-hal di balik risalah ini dan pengaruhnya. Berangkat dari sinilah kami merasa perlu mengemukakan sedikit uraian tentang kaum-kaum bangsa Arab dan perkembangannya sebelum Islam, serta tentang kondisi-kondisi saat beliau diutus sebagai rasul.

Posisi Bangsa Arab

Menurut bahasa, Arab artinya padang pasir, tanah gundul, dan gersang yang tiada air dan tanamannya. Sebutan dengan istilah ini sudah diberikan sejak dahulu kala kepada jazirah Arab, sebagaimana sebutan yang diberikan kepada suatu kaum yang disesuaikan dengan daerah tertentu, lalu mereka menjadikannya sebagai tempat tinggal.

Jazirah Arab dibatasi Laut Merah dan Gurun Sinai di sebelah barat, di sebelah timur dibatasi Teluk Arab dan sebagian besar negara Irak bagian selatan, di sebelah utara dibatasi Laut Arab yang bersambung dengan Lautan India, di sebelah utara dibatasi negeri Syam dan sebagian kecil dari negara Irak, sekalipun mungkin ada sedikit perbedaan dalam penentuan batasan ini. Luasnya membentang antara satu juta mil sampai satu juta tiga ratus ribu mil.

Jazirah Arab memiliki peranan yang sangat besar karena letak geografis. Sedangkan dilihat dari kondisi internalnya, Jazirah Arab hanya dikelilingi gurun dan pasir di segala sudutnya. Karena kondisi seperti inilah yang membuat Jazirah Arab seperti benteng pertahanan yang kokoh, yang tidak memperkenankan bangsa asing untuk menjajah, mencaplok, atau menguasai bangsa Arab. Oleh karena itu kita bisa melihat penduduk Jazirah Arab yang hidup merdeka dan bebas dari segala urusan semenjak zaman dahulu. Sekalipun begitu mereka 

tetap hidup berdampingan dengan dua imperium yang besar saat itu, yang serangannya tak mungkin bisa dihalangi andaikata tidak ada benteng pertahanan yang kokoh seperti itu.

Sedangkan hubungan dengan dunia luar. Jazirah Arab terletak di benua yang sudah dikenal semenjak dahulu kala, yang mempertautkan daratan dan lautan. Sebelah barat laut merupakan pintu masuk ke Benua Afrika, sebelah timur laut merupakan kunci untuk masuk ke Benua Eropa, dan sebelah timur merupakan pintu masuk bagi bangsa-bangsa non-Arab, timur tengah dan timur dekat, terus membentang ke India dan Cina. Setiap benua mempertemukan lautnya dengan Jazirah Arab dan setiap kapal laut berlayar tentu akan bersandar di ujungnya.

Karena letak geografisnya seperti itu, sebelah utara dan selatan dari Jazirah Arab menjadi tempat berlabuh berbagai bangsa untuk saling tukar-menukar perniagaan, peradaban, agama, dan seni.

Kaum-kaum Bangsa Arab

Ditilik dari silsilah keturunan dan cikal-bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum bangsa Arab menjadi tiga bagian, yaitu:

1.         Arab Ba 'idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit, seperti Ad, Tsamud, Thasm, Jadis, Imlaq, dan lain-lainnya.

2.         Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.

3.         Arab Musta ’rabah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il yang disebut pula Arab Adnaniyah.

Tempat kelahiran Arab Aribah atau kaum Qahthan adalah negeri Yaman, lalu berkembang menjadi beberapa kabilah dan suku, yang dikenal adalah dua kabilah:

a.         Kabilah Himyar, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Zaid Al- Jumhur, Qudha’ah dan Sakasik.

b.         Kahlan, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Hamdan, Amnar, Thayyi’, Madzhij, Kindah, Lakham, Judzam, Uzd, Aus, Khazraj, dan anak keturunan Jafnah raja Syam.

Suku-suku Kahlan banyak yang hijrah meninggalkan Yaman, lalu menyebar ke berbagai penjuru jazirah sebelum ada bencana karena kegagalan mereka dalam perdagangan, sebagai akibat dari tekanan bangsa Romawi dan tindakan mereka yang menguasai jalan perdagangan lewat laut dan setelah mereka menghancurkanjalan darat serta berhasil menguasai Mesir dan Syam.

Juga tidak menutup kemungkinanjika hal itu sebagai akibat dari persaingan antara suku-suku Himyar dan Kahlan, yang disudahi dengan menetapnya suku- suku Himyar dan kepindahan suku-suku Kahlan.

Suku-suku Kahlan yang berhijrah bisa dibagi menjadi empat golongan:

a. Uzd. Hijrah mereka langsung dipimpin pemuka dan pemimpin mereka, Imran bin Amru Muzaiqiya'. Mereka berpindah-pindah di negeri Yaman dan mengirim para pemandu, lalu berjalan ke arah utara. Setelah sekian lama mengadakan perjalanan, akhirnya mereka berpencar ke beberapa tempat. Tsalabah bin Amru dari Al-Uzd menuju Hijaz, lalu menetap di daerah yang diapit TsaTabiyah dan Dzi Qar. Setelah anaknya besar dan kuat, dia pindah ke Madinah dan menetap di sana. Di antara keturunan Tsalabah ini adalah Aus dan Khazraj, yang merupakan dua dari anak Haritsah bin Tsalabah.

Di antara keturunan mereka yang bernama Haritsah bin Amr atau Khuza’ah dan anak keturunannya berpindah ke Hijaz, hingga mereka menetap di Murr Azh-Zahahran, yang selanjutnya menguasai tanah suci dan mendiami Makkah.

Sedangkan Imran bin Amr singgah di Omman lalu bertempat tinggal di sana bersama anak-anak keturunannya, yang disebut Uzd Omman, sedangkan kabilah-kabilah Nash bin Al-Uzd menetap di Tihamah, yang disebut Uzd Syanu’ah.

Jafnah bin Amr pergi ke Syam dan menetap di sana bersama anak keturunannya. Dia dijuluki Abul Muluk Al-Ghassasanah,yangdinisbatkan kepada mata air di Hijaz, yang dikenal dengan nama Ghassan. Sebelum itu mereka singgah di sana, sebelum akhirnya pindah ke Syam.

b.         Lakham dan Judzam. Tokoh di kalangan mereka adalah Nashr bin Rabi’ah, pemimpin raja-raja Al-Mundzir di Hirah.

c.         Bani Thayyi' mereka berpindah ke arah utara hingga singgah di antara dua gunung, Aja dan Salma, dan akhirnya menetap di sana, hingga mereka dikenal dengan sebutan Al-Jabalani (dua gunung) di Gunung Tha’i.

d.         Kindah. Mereka tinggal di Bahrain, lalu terpaksa meninggalkanya dan akhirnya singgah di Hadhramaut. Namun nasib mereka tidakjauh berbeda saat berada di Bahrain, hingga mereka pindah lagi ke Najd. Di sana mereka mendirikan pemerintahan yang besar dan kuat. Tetapi secepat itu pula mereka punah dan tak meninggalkan jejak.

Di sana masih ada satu kabilah dari Himyar yang diperselisihkan asal keturunannya, yaitu Qudha’ah. Mereka hijrah meninggalkan Yaman dan menetap di pinggiran Irak.[1]

Tentang Arab Musta’rabah, cikal bakal kakek mereka yang tertua adalah Ibrahim AS, yang berasal dari negeri Irak, dari sebuah daerah yang disebut Ar, berada di pinggir barat Sungai Eufrat, berdekatan dengan Kufah. Cukup banyak penelusuran dan penelitian yang kemudian disajikan secara terinci mengenai negeri ini, keluarga Ibrahim I, kondisi relijius dan sosial di negeri tersebut.

Sudah diketahui bersama bahwa Ibrahim I hijrah dari Irak ke Haran atau Hurran, termasuk pula ke Pakistan, dan menjadikan negeri itu sebagai pijakan dakwah beliau. Beliau banyak menyusuri negeri ini dengan setitik harapan, hingga akhirnya beliau sampai ke Mesir. Fir’aun, penguasa Mesir, merekayasa dan memasang siasat buruk terhadap istri beliau, Sarah. Namun Allah justru mengembalikan jerat itu ke lehernya sendiri. Hingga akhirnya Fir’aun tahu kedekatan hubungan Sarah dengan Allah «. Untuk itu dia menghadiahkan putrinya, Hajar menjadi pembantu Sarah, sebagai pengakuan terhadap keutamaan Sarah, dan akhirnya Sarah mengawinkan Hajar dengan Ibrahim.[2]

Ibrahim AS kembali ke Palestina dan Allah menganugerahkan Isma’il dari Hajar. Sarah terbakar api cemburu. Dia memaksa Ibrahim untuk melenyapkan Hajar dan putranya yang masih kecil, Isma’il. Maka beliau membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan mereka berdua di suatu lembah yang tiada ditumbuhi tanaman, tepatnya di dekat Baitul-Haram, yang saat itu hanya berupa gundukan-gundukan tanah. Rasa gundah mulai menggayuti pikiran Ibrahim. Beliau menolek ke kiri dan kanan, lalu meletakkan putranya di dalam tenda, tepatnya di dekat mata air Zamzam. Saat itu di Makkah belum ada seorang pun manusia dan tidak ada mata air. Beliau meletakkan geriba, wadah air di dekat Hajar dan Isma’il, juga korma. Setelah itu beliau kembali lagi ke Palestina.

Beberapa hari kemudian, bekal dan air sudah habis. Sementara tidak ada mata air yang mengalir. Tiba-tiba mata air Zamzam memancar berkat karunia Allah, sehingga bisa menjadi sumber penghidupan bagi mereka berdua, yang tak pernah habis hingga sekarang. Kisah mengenai hal ini sudah banyak diketahui secara lengkap.[3]

Suatu kabilah dari Yaman (Jurhum Kedua) datang di sana, dan atas perkenan ibu Isma’il mereka menetap di sana. Ada yang mengatakan mereka sudah berada di sana sebelum itu, menetap di lembah-lembah di pinggir kota Makkah. Adapun riwayat Al-Bukhari menegaskan bahwa mereka singgah di Makkah setelah kedatangan Isma’il dan ibunya, sebelum Isma’il remaja. Mereka sudah biasa melewati jalur Makkah sebelum itu.[4]

Dari waktu ke waktu Ibrahim datang ke Makkah untuk menjenguk keluarganya. Beliau tidak tahu berapa kali kunjungan yang dilakukannya. Hanya saja menurut beberapa referensi sejarah yang dapat dipercaya, kunjungan itu dilakukan sebanyak empat kali.

Allah «telah menyebutkan di dalam Al-Qur' an, bahwa Ibrahim bermimpi selagi tidur, bahwa beliau menyembelih anaknya, Isma’il. Maka dari itu beliau bangun dan hendak melaksanakan mimpi yang dianggap sebagai sebuah perintah.

فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۙ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّءْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا الْمُبِيْنُ وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ

103.  Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah).

104.  Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim!

105.  sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

106.  Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.

107.  Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (QS. Ash-Shaffat [37] ayat 103-107)

 

Di dalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa umur Isma il selisih tiga belas tahun, lebih tua darilshaq. Dari rentetan kisah ini menunjukkanbahwaperistiwa itu terjadi sebelum kelahiran Ishaq. Sebab kabar gembira tentang kelahiran Ishaq disampaikan setelah terjadinya kisah ini.

Setidaknya kisah ini menjamin satu fase kisah perjalanan, bahwa peristiwa tersebut terjadi sebelum Isma’il menginjak remaja. Sedangkan tiga fase lainnya telah diriwayatkan Al-Bukhari secara panjang lebar, dari Ibnu Abbas secara marfu’, yang intinya bahwa sebelum remaja, Isma’il belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum. Karena merasa tertarik kepadanya, maka mereka mengawinkan dengan salah seorang wanita dari golongan mereka. Saat itu ibu Isma’il sudah meninggal dunia.

Suatu saat Ibrahim hendak menjenguk keluarga yang ditinggalkannya. Maka beliau datang setelah pernikahan itu. Tatkala tiba di rumah Isma’il, beliau tidak mendapatkan Isma’il. Maka beliau bertanya kepada istrinya, bagaimana keadaan mereka berdua. Istri Isma’il mengeluhkan kehidupan mereka yang melarat. Maka Ibrahim menitip pesan, agar istrinya menyampaikan kepada Isma’il untuk mengubah palang pintu rumahnya. Setelah diberitahu, Ismail mengerti maksud pesan ayahnya. Maka Isma’il menceraikan istrinya dan kawin lagi dengan wanita lain, yaitu putri Mudhadh bin Amru, pemimpin dan pemuka kabilah Jurhum.[5]

Setelah perkawinan Isma’il yang kedua ini, Ibrahim datang lagi, namun tidak bisa bertemu dengan Isma’il. Beliau bertanya kepada istri Isma’il tentang keadaan mereka berdua. Jawaban istri Isma’il adalah pujian kepada Allah. Lalu Ibrahim kembali lagi ke Palestina setelah menitipkan pesan lewat istri Isma’il. Agar Isma’il memperkokoh palang pintu rumahnya.

Pada kedatangan yang ketiga kalinya Ibrahim bisa bertemu dengan Isma’il yang saat itu Isma’il sedang meraut anak panahnya di bawah sebuah pohon dekat Zamzam. Tatkala melihatkehadiran ayahnya, Isma’il berbuat sebagaimana layaknya seorang anak yang lama tidak bersua bapaknya, dan Ibrahim juga berbuat layaknya seorang bapak yang lama tidak bersua anaknya. Pertemuan ini terjadi setelah sekian lama. Sebagai seorang ayah yang penuh rasa kasih sayang dan lemah lembut, sulit rasanya beliau bisa menahan kesabaran untuk bersua anaknya. Begitu pula dengan Isma’il, sebagai anak yang berbakti dan salih. Dengan adanya perjuangan ini mereka berdua sepakat untuk membangun Ka’bah, meninggikan sendi-sendinya dan Ibrahim memperkenankan manusia untuk berhaji sebagaimana yang diperintahkan Allah kepada beliau.

Dari perkawinannya dengan putri Mudhadh, Isma’il dikarunia anak oleh Allah sebanyak dua belas, yang semuanya laki-laki, yaitu: Nabat atau Nabuyuth, Qaidar, Adba’il, Mibsyam, Misyma’, Duma, Misya, Hadad, Taima, Yathur, Nafis, dan Qaiduman. Dari mereka inilah kemudian berkembang menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap di Makkah untuk sekian lama. Pokok pencaharian mereka adalah berdagang, membentang dari negeri Yaman hingga ke negeri Syam dan Mesir. Selanjutnya kabilah-kabilah ini menyebar di berbagai penjuru jazirah, dan bahkan keluar jazirah. Seiring dengan perjalanan waktu, keadaan mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak keturunan Nabat dan Qaidar.

Peradaban anak keturunan Nabat bersinar di Hijaz Utara. Mereka mampu mendirikan pemerintahan yang kuat dan menguasai daerah-daerah di sekitarnya, dan menjadikan ALBathra' sebagai ibukotanya. Tak seorang pun berani memusuhi mereka hingga datang pasukan Romawi yang menindas mereka. Setelah melakukan penyelidikan yang mendalam dan penelitian yang akurat, As- Sayyid Sulaiman An-Nadwi menegaskan bahwa raja-raja keturunan Ghassan, termasuk Aus dan Khazraj, bukan berasal dari keturunan Qahthan, tetapi dari keturunan Nabat, anak Isma’il.[6]

Sedangkan anak keturunan Qaidar bin Isma’il tetap menetap di Makkah, beranak pinak di sana hingga menurunkan Adnan dan anaknya, Ma’ad. Dari dialah keturunan Arab Adnaniyah masih bisa dipertahankan keberadaannya. Adnan adalah kakek kedua puluh dua dalam silsilah keturunan Nabi Saw. Diriwayatkan bahwa jika beliau menyebutkan nasabnya dan sampai kepada Adnan, maka beliau berhenti dan bersabda, “Para ahli silsilah nasab banyak yang berdusta.” Lalu beliau tidak melanjutkannya. Segolongan ulama memperbolehkan mengangkat nasab dari Adnan ke atas, dengan berlandaskan kepada hadits yang memang mengisyaratkan hal itu. Menurut mereka, antara Adnan sampai Ibrahim I ada empat puluh keturunan, yang didasarkan kepada penelitian yang cukup mendetil.[7]

Keturunan Ma’ad dari anaknya, Nizar, telah berpencar kemana-mana. Menurut suatu pendapat, Nizar adalah satu-satunya anak Ma’ad. Sedangkan Nizar sendiri mempunyai empat anak, yang kemudian berkembang menjadi empat kabilah yang besar, yaitu Iyad, Anmar, Rabi’ah, dan Mudhar. Dua kabilah terakhir inilah yang paling banyak marga dan sukunya. Dari Rabi’ah ada Asad bin Rabi’ah, Anzah, Abdul Qais, dua anak Wa’il, Bakr dan Taghlib, Hanifah, dan lain-lainnya.

Sedangkan kabilah Mudhar berkembang menjadi dua suku yang besar, yaitu Qais Ailan bin Mudhar dan marga-marga Ilyas bin Mudhar. Dari Qais Ailan ada Bani Sulaim, Bani Hawazin, Bani Ghathafan. Dari Ilyas bin Mudhar ada Tamim bin Murrah, Hudzail bin Mudrikah, Bani Asad bin Khuzaimah, dan marga-marga Kinanah bin Khuzimah. Dari Kinanah ada Quraisy, yaitu anak keturunan Fihr bin Malik bin An- Nadhar bin Kinanah.

Quraisy terbagi menjadi beberapa kabilah, yang terkenal adalah Jumuh, Sahm, Adi, Makhzum, Taim, Zuhrah, dan suku-suku Quraisy bin Kilab, yaitu Abdud-Dar bin Qushay, Asad bin Abdul Uzza bin Qushay dan Abdi Manaf bin Qushay.

Abdi Manaf mempunyai empat anak: Abdi Syams, Naufal, Al-Muththalib dan Hasyim. Hasyim adalah keluarga yang dipilih Allah bagi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim. Rasulullah ٠ pernah bersabda,

إنَّ اللهَ اصْطَفَى مِنْ وَلَدِ ابْرَاهِيْمَ اِسْمَاعِيْلَ واصْطَفَى مِنْ وَلَدِ إسْمَاعِيلَ بَنِي كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ بَنِي كِنَانَةَ قُرَيْشًا وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ. رَواهُ مُسْلِمٌ وَالتِرْمِذِيُّ.

“Sesungguhnya Allah telah memilih Isma’il dari anak Ibrahim, memilih Kinanah dari anak Isma’il, memilih Quraisy dari Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan memilihku dari Bani Hasyim. (HR. Muslim dan At-Tirmidzi)

Dari Al-Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata,،Rasulullah Saw, bersabda,

إنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ فَجَعَلَنِي مِنْ خَيْرِهِمْ مِنْ خَيْرِ فِرَقِهِمْ وَخَيْرِ الْفَرِيْقَيْنِ ثُمَّ تَخَيَّرَ الْقَبَائِلَ فَجَعَلَنِي مِنْ خَيْرِ قَبِيْلَةٍ ثُمَّ تَخَيَّرَ الْبُيُوْتَ فَجَعَلَنِي مِنْ خَيْرِ بُيُوْتِهِمْ فَأَنَا خَيْرُهُمْ نَفْسًا وَخَيْرُهُمْ بَيْتًا.

“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu menjadikanku dari sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikanku dari sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga lalu menjadikanku dari sebaik- baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik diri dan sebaik-baik keluarga di antara mereka.” (HR. Tirmidzi)

 

Setelah anak-anak Adnan menjadi banyak, mereka berpencar di berbagai tempat di penjuru Jazirah Arab, masing-masing mencari tempat yang strategis dan daerah yang subur.

Abdul Qais dan anak-anak Bakr bin Wa’il serta anak-anak Tamim pindah ke Bahrain dan menetap di sana. Sedangkan Bani Hanifah bin Sha’b bin Ali bin Bakr pindah ke Yamamah dan menetap di Hijr, ibukota Yamamah. Semua keluarga Bakr bin Wa’il menetap di berbagai penjuru Yamamah, membentang hingga ke Bahrain.

Taghlib menetap di jazirah Eufrat dan sebagian anak keturunannya bergabung dengan Bakr. Bani Tamim menetap di Bashrah. Bani Sulaim menetap di dekat Madinah, dari lembah-lembah di pinggiran Madinah hingga ke Khaibar, di bagian timur Madinah dan penghujung Hurrah. Tsaqif menetap di Tha’if, Hawazin di timur Makkah, antara Makkah dan Bashrah. Bani Asad menetap di timur Taima' dan barat Kufah. Di antara mereka dan Taima' ada perkampungan Buhtur dari Thayyi'. Sedangkan jarak dari tempat mereka ke Kufah bisa ditempuh selama perjalanan lima hari. Dzubyan menetap di dekat Taima' hingga Hawazin. Di Tihamah ada beberapa suku Kinanah, sedangkan di Makkah ada suku-suku Quraisy. Mereka berpencar-pencar dan tidak ada sesuatu yang bisa menghimpun mereka, hingga muncul Qushay bin Kilab. Dialah yang telah menyatukan mereka dan membentuk satu kesatuan yang bisa mengangkat kedudukan mereka.[8]

Sumber : Sirah Nabawiyah/kitab Ar-Rahiqul Makhtum karya Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakafuri (hal. 1-9)



[1] Lihat rincian tentang kabilah-kabilah ini dan hijrahnya dalam Muhadharat Tarikhil-UmamAl- Islamiyyah, Al-Khadhri, 1/11-13: QalbuJaziratil-Arab, hal.231-235.Ada perbebedaan yang cukup mencolok dalam berbagai refrensi sejarah dalam menetapkan waktu hijrah dan sebab-sebabnya. Tetapi setelah mengamati secara cermat ke berbagai sudut pandang, maka kami dapat mengambil kesimpulan seperti yang tertulis di sini, yang tentu saja dengan beberapa bukti penguat.

[2] Menurut kisah yang sudah banyak dikenal, Hajar adalah seorang budak wanita. Tetapi seorang penulis kenamaan, Al-AllamahAl-Qadhi Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri telah melakukan penyelidikan yang seksama bahwa Hajar adalah seorang wanita merdeka, dan dia adalah putri Fir’aun sendiri. Lihat, Rahmah Lil-Alamin, 2/36-37.

[3] Lihat Shahihul-Bukhari, Kitabul-Anbiya1/474-475.

[4] Ibid, 1/475.

[5] Qalbu Jaziratil-Arab, hal 230.

[6] Lihat buku Tarikhul ardhi-Qur’an, 2/78-86.

[7] RahmatunLil-Alamin, 2/7,8,14-17.

[8] Muhadharatu Tarikhil UmamAl-Islamiyah, Al-Hashri, 1/15-16.

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

Contact Us