POSISI BANGSA ARAB DAN KAUMNYA
Pada hakikatnya istilah Sirah Nabawiyah merupakan ungkapan tentang risalah yang dibawa Rasulullah ٠ kepada manusia, untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, dari penyembahan terhadap hamba kepada penyembahan Allah. Jadi tidak mungkin bisa menghadirkan gambarannya secara pas dan mengena kecuali setelah membandingkan hal-hal di balik risalah ini dan pengaruhnya. Berangkat dari sinilah kami merasa perlu mengemukakan sedikit uraian tentang kaum-kaum bangsa Arab dan perkembangannya sebelum Islam, serta tentang kondisi-kondisi saat beliau diutus sebagai rasul.
Posisi Bangsa Arab
Menurut bahasa, Arab artinya padang
pasir, tanah gundul, dan gersang yang tiada air dan tanamannya. Sebutan dengan
istilah ini sudah diberikan sejak dahulu kala kepada jazirah Arab, sebagaimana
sebutan yang diberikan kepada suatu kaum yang disesuaikan dengan daerah
tertentu, lalu mereka menjadikannya sebagai tempat tinggal.
Jazirah Arab dibatasi Laut Merah dan
Gurun Sinai di sebelah barat, di sebelah timur dibatasi Teluk Arab dan sebagian
besar negara Irak bagian selatan, di sebelah utara dibatasi Laut Arab yang
bersambung dengan Lautan India, di sebelah utara dibatasi negeri Syam dan
sebagian kecil dari negara Irak, sekalipun mungkin ada sedikit perbedaan dalam
penentuan batasan ini. Luasnya membentang antara satu juta mil sampai satu juta
tiga ratus ribu mil.
Jazirah Arab memiliki peranan yang
sangat besar karena letak geografis. Sedangkan dilihat dari kondisi
internalnya, Jazirah Arab hanya dikelilingi gurun dan pasir di segala sudutnya.
Karena kondisi seperti inilah yang membuat Jazirah Arab seperti benteng
pertahanan yang kokoh, yang tidak memperkenankan bangsa asing untuk menjajah,
mencaplok, atau menguasai bangsa Arab. Oleh karena itu kita bisa melihat
penduduk Jazirah Arab yang hidup merdeka dan bebas dari segala urusan semenjak
zaman dahulu. Sekalipun begitu mereka
tetap hidup berdampingan dengan dua
imperium yang besar saat itu, yang serangannya tak mungkin bisa dihalangi
andaikata tidak ada benteng pertahanan yang kokoh seperti itu.
Sedangkan hubungan dengan dunia luar.
Jazirah Arab terletak di benua yang sudah dikenal semenjak dahulu kala, yang
mempertautkan daratan dan lautan. Sebelah barat laut merupakan pintu masuk ke
Benua Afrika, sebelah timur laut merupakan kunci untuk masuk ke Benua Eropa,
dan sebelah timur merupakan pintu masuk bagi bangsa-bangsa non-Arab, timur
tengah dan timur dekat, terus membentang ke India dan Cina. Setiap benua
mempertemukan lautnya dengan Jazirah Arab dan setiap kapal laut berlayar tentu
akan bersandar di ujungnya.
Karena letak geografisnya seperti
itu, sebelah utara dan selatan dari Jazirah Arab menjadi tempat berlabuh
berbagai bangsa untuk saling tukar-menukar perniagaan, peradaban, agama, dan
seni.
Kaum-kaum Bangsa Arab
Ditilik dari silsilah keturunan dan
cikal-bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum bangsa Arab menjadi tiga
bagian, yaitu:
1. Arab
Ba 'idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak
secara rinci dan komplit, seperti Ad, Tsamud, Thasm, Jadis, Imlaq, dan
lain-lainnya.
2. Arab
Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub Yasyjub bin
Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.
3. Arab
Musta ’rabah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il yang
disebut pula Arab Adnaniyah.
Tempat kelahiran Arab Aribah atau
kaum Qahthan adalah negeri Yaman, lalu berkembang menjadi beberapa kabilah dan
suku, yang dikenal adalah dua kabilah:
a. Kabilah
Himyar, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Zaid Al- Jumhur,
Qudha’ah dan Sakasik.
b. Kahlan,
yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Hamdan, Amnar, Thayyi’,
Madzhij, Kindah, Lakham, Judzam, Uzd, Aus, Khazraj, dan anak keturunan Jafnah
raja Syam.
Suku-suku Kahlan banyak yang hijrah
meninggalkan Yaman, lalu menyebar ke berbagai penjuru jazirah sebelum ada
bencana karena kegagalan mereka dalam perdagangan, sebagai akibat dari tekanan
bangsa Romawi dan tindakan mereka yang menguasai jalan perdagangan lewat laut
dan setelah mereka menghancurkanjalan darat serta berhasil menguasai Mesir dan
Syam.
Juga tidak menutup kemungkinanjika
hal itu sebagai akibat dari persaingan antara suku-suku Himyar dan Kahlan, yang
disudahi dengan menetapnya suku- suku Himyar dan kepindahan suku-suku Kahlan.
Suku-suku Kahlan yang berhijrah bisa
dibagi menjadi empat golongan:
a. Uzd. Hijrah mereka langsung
dipimpin pemuka dan pemimpin mereka, Imran bin Amru Muzaiqiya'. Mereka
berpindah-pindah di negeri Yaman dan mengirim para pemandu, lalu berjalan ke
arah utara. Setelah sekian lama mengadakan perjalanan, akhirnya mereka
berpencar ke beberapa tempat. Tsalabah bin Amru dari Al-Uzd menuju Hijaz, lalu
menetap di daerah yang diapit TsaTabiyah dan Dzi Qar. Setelah anaknya besar dan
kuat, dia pindah ke Madinah dan menetap di sana. Di antara keturunan Tsalabah
ini adalah Aus dan Khazraj, yang merupakan dua dari anak Haritsah bin Tsalabah.
Di antara keturunan mereka yang
bernama Haritsah bin Amr atau Khuza’ah dan anak keturunannya berpindah ke
Hijaz, hingga mereka menetap di Murr Azh-Zahahran, yang selanjutnya menguasai
tanah suci dan mendiami Makkah.
Sedangkan Imran bin Amr singgah di
Omman lalu bertempat tinggal di sana bersama anak-anak keturunannya, yang
disebut Uzd Omman, sedangkan kabilah-kabilah Nash bin Al-Uzd menetap di
Tihamah, yang disebut Uzd Syanu’ah.
Jafnah bin Amr pergi ke Syam dan
menetap di sana bersama anak keturunannya. Dia dijuluki Abul Muluk Al-Ghassasanah,yangdinisbatkan
kepada mata air di Hijaz, yang dikenal dengan nama Ghassan. Sebelum itu mereka
singgah di sana, sebelum akhirnya pindah ke Syam.
b. Lakham
dan Judzam. Tokoh di kalangan mereka adalah Nashr bin Rabi’ah, pemimpin
raja-raja Al-Mundzir di Hirah.
c. Bani
Thayyi' mereka berpindah ke arah utara hingga singgah di antara dua gunung, Aja
dan Salma, dan akhirnya menetap di sana, hingga mereka dikenal dengan sebutan
Al-Jabalani (dua gunung) di Gunung Tha’i.
d. Kindah.
Mereka tinggal di Bahrain, lalu terpaksa meninggalkanya dan akhirnya singgah di
Hadhramaut. Namun nasib mereka tidakjauh berbeda saat berada di Bahrain, hingga
mereka pindah lagi ke Najd. Di sana mereka mendirikan pemerintahan yang besar
dan kuat. Tetapi secepat itu pula mereka punah dan tak meninggalkan jejak.
Di sana masih ada satu kabilah dari
Himyar yang diperselisihkan asal keturunannya, yaitu Qudha’ah. Mereka hijrah
meninggalkan Yaman dan menetap di pinggiran Irak.[1]
Tentang Arab Musta’rabah, cikal bakal
kakek mereka yang tertua adalah Ibrahim AS, yang berasal dari negeri Irak, dari
sebuah daerah yang disebut Ar, berada di pinggir barat Sungai Eufrat,
berdekatan dengan Kufah. Cukup banyak penelusuran dan penelitian yang kemudian
disajikan secara terinci mengenai negeri ini, keluarga Ibrahim I, kondisi
relijius dan sosial di negeri tersebut.
Sudah diketahui bersama bahwa Ibrahim
I hijrah dari Irak ke Haran atau Hurran, termasuk pula ke Pakistan, dan
menjadikan negeri itu sebagai pijakan dakwah beliau. Beliau banyak menyusuri
negeri ini dengan setitik harapan, hingga akhirnya beliau sampai ke Mesir.
Fir’aun, penguasa Mesir, merekayasa dan memasang siasat buruk terhadap istri
beliau, Sarah. Namun Allah justru mengembalikan jerat itu ke lehernya sendiri.
Hingga akhirnya Fir’aun tahu kedekatan hubungan Sarah dengan Allah «. Untuk itu
dia menghadiahkan putrinya, Hajar menjadi pembantu Sarah, sebagai pengakuan
terhadap keutamaan Sarah, dan akhirnya Sarah mengawinkan Hajar dengan Ibrahim.[2]
Ibrahim AS kembali ke Palestina dan
Allah menganugerahkan Isma’il dari Hajar. Sarah terbakar api cemburu. Dia
memaksa Ibrahim untuk melenyapkan Hajar dan putranya yang masih kecil, Isma’il.
Maka beliau membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan mereka berdua di suatu
lembah yang tiada ditumbuhi tanaman, tepatnya di dekat Baitul-Haram, yang saat
itu hanya berupa gundukan-gundukan tanah. Rasa gundah mulai menggayuti pikiran
Ibrahim. Beliau menolek ke kiri dan kanan, lalu meletakkan putranya di dalam
tenda, tepatnya di dekat mata air Zamzam. Saat itu di Makkah belum ada seorang
pun manusia dan tidak ada mata air. Beliau meletakkan geriba, wadah air di
dekat Hajar dan Isma’il, juga korma. Setelah itu beliau kembali lagi ke
Palestina.
Beberapa hari kemudian, bekal dan air
sudah habis. Sementara tidak ada mata air yang mengalir. Tiba-tiba mata air
Zamzam memancar berkat karunia Allah, sehingga bisa menjadi sumber penghidupan
bagi mereka berdua, yang tak pernah habis hingga sekarang. Kisah mengenai hal
ini sudah banyak diketahui secara lengkap.[3]
Suatu kabilah dari Yaman (Jurhum
Kedua) datang di sana, dan atas perkenan ibu Isma’il mereka menetap di sana.
Ada yang mengatakan mereka sudah berada di sana sebelum itu, menetap di
lembah-lembah di pinggir kota Makkah. Adapun riwayat Al-Bukhari menegaskan
bahwa mereka singgah di Makkah setelah kedatangan Isma’il dan ibunya, sebelum
Isma’il remaja. Mereka sudah biasa melewati jalur Makkah sebelum itu.[4]
Dari waktu ke waktu Ibrahim datang ke
Makkah untuk menjenguk keluarganya. Beliau tidak tahu berapa kali kunjungan
yang dilakukannya. Hanya saja menurut beberapa referensi sejarah yang dapat
dipercaya, kunjungan itu dilakukan sebanyak empat kali.
Allah «telah menyebutkan di dalam
Al-Qur' an, bahwa Ibrahim bermimpi selagi tidur, bahwa beliau menyembelih
anaknya, Isma’il. Maka dari itu beliau bangun dan hendak melaksanakan mimpi
yang dianggap sebagai sebuah perintah.
فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ
لِلْجَبِيْنِۚ وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۙ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّءْيَا
ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا
الْمُبِيْنُ وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ
103.
Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan
anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah).
104.
Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim!
105.
sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami
memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
106.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
107.
Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (QS.
Ash-Shaffat [37] ayat 103-107)
Di dalam Kitab Kejadian disebutkan
bahwa umur Isma il selisih tiga belas tahun, lebih tua darilshaq. Dari rentetan
kisah ini menunjukkanbahwaperistiwa itu terjadi sebelum kelahiran Ishaq. Sebab
kabar gembira tentang kelahiran Ishaq disampaikan setelah terjadinya kisah ini.
Setidaknya kisah ini menjamin satu
fase kisah perjalanan, bahwa peristiwa tersebut terjadi sebelum Isma’il
menginjak remaja. Sedangkan tiga fase lainnya telah diriwayatkan Al-Bukhari
secara panjang lebar, dari Ibnu Abbas secara marfu’, yang intinya bahwa sebelum
remaja, Isma’il belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum. Karena merasa tertarik
kepadanya, maka mereka mengawinkan dengan salah seorang wanita dari golongan
mereka. Saat itu ibu Isma’il sudah meninggal dunia.
Suatu saat Ibrahim hendak menjenguk
keluarga yang ditinggalkannya. Maka beliau datang setelah pernikahan itu.
Tatkala tiba di rumah Isma’il, beliau tidak mendapatkan Isma’il. Maka beliau
bertanya kepada istrinya, bagaimana keadaan mereka berdua. Istri Isma’il
mengeluhkan kehidupan mereka yang melarat. Maka Ibrahim menitip pesan, agar
istrinya menyampaikan kepada Isma’il untuk mengubah palang pintu rumahnya.
Setelah diberitahu, Ismail mengerti maksud pesan ayahnya. Maka Isma’il
menceraikan istrinya dan kawin lagi dengan wanita lain, yaitu putri Mudhadh bin
Amru, pemimpin dan pemuka kabilah Jurhum.[5]
Setelah perkawinan Isma’il yang kedua
ini, Ibrahim datang lagi, namun tidak bisa bertemu dengan Isma’il. Beliau
bertanya kepada istri Isma’il tentang keadaan mereka berdua. Jawaban istri
Isma’il adalah pujian kepada Allah. Lalu Ibrahim kembali lagi ke Palestina
setelah menitipkan pesan lewat istri Isma’il. Agar Isma’il memperkokoh palang
pintu rumahnya.
Pada kedatangan yang ketiga kalinya
Ibrahim bisa bertemu dengan Isma’il yang saat itu Isma’il sedang meraut anak
panahnya di bawah sebuah pohon dekat Zamzam. Tatkala melihatkehadiran ayahnya,
Isma’il berbuat sebagaimana layaknya seorang anak yang lama tidak bersua
bapaknya, dan Ibrahim juga berbuat layaknya seorang bapak yang lama tidak
bersua anaknya. Pertemuan ini terjadi setelah sekian lama. Sebagai seorang ayah
yang penuh rasa kasih sayang dan lemah lembut, sulit rasanya beliau bisa
menahan kesabaran untuk bersua anaknya. Begitu pula dengan Isma’il, sebagai
anak yang berbakti dan salih. Dengan adanya perjuangan ini mereka berdua
sepakat untuk membangun Ka’bah, meninggikan sendi-sendinya dan Ibrahim
memperkenankan manusia untuk berhaji sebagaimana yang diperintahkan Allah
kepada beliau.
Dari perkawinannya dengan putri
Mudhadh, Isma’il dikarunia anak oleh Allah sebanyak dua belas, yang semuanya
laki-laki, yaitu: Nabat atau Nabuyuth, Qaidar, Adba’il, Mibsyam, Misyma’, Duma,
Misya, Hadad, Taima, Yathur, Nafis, dan Qaiduman. Dari mereka inilah kemudian
berkembang menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap di Makkah untuk
sekian lama. Pokok pencaharian mereka adalah berdagang, membentang dari negeri
Yaman hingga ke negeri Syam dan Mesir. Selanjutnya kabilah-kabilah ini menyebar
di berbagai penjuru jazirah, dan bahkan keluar jazirah. Seiring dengan
perjalanan waktu, keadaan mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak keturunan
Nabat dan Qaidar.
Peradaban anak keturunan Nabat
bersinar di Hijaz Utara. Mereka mampu mendirikan pemerintahan yang kuat dan
menguasai daerah-daerah di sekitarnya, dan menjadikan ALBathra' sebagai
ibukotanya. Tak seorang pun berani memusuhi mereka hingga datang pasukan Romawi
yang menindas mereka. Setelah melakukan penyelidikan yang mendalam dan
penelitian yang akurat, As- Sayyid Sulaiman An-Nadwi menegaskan bahwa raja-raja
keturunan Ghassan, termasuk Aus dan Khazraj, bukan berasal dari keturunan
Qahthan, tetapi dari keturunan Nabat, anak Isma’il.[6]
Sedangkan anak keturunan Qaidar bin
Isma’il tetap menetap di Makkah, beranak pinak di sana hingga menurunkan Adnan
dan anaknya, Ma’ad. Dari dialah keturunan Arab Adnaniyah masih bisa
dipertahankan keberadaannya. Adnan adalah kakek kedua puluh dua dalam silsilah
keturunan Nabi Saw. Diriwayatkan bahwa jika beliau menyebutkan nasabnya dan
sampai kepada Adnan, maka beliau berhenti dan bersabda, “Para ahli silsilah
nasab banyak yang berdusta.” Lalu beliau tidak melanjutkannya. Segolongan ulama
memperbolehkan mengangkat nasab dari Adnan ke atas, dengan berlandaskan kepada
hadits yang memang mengisyaratkan hal itu. Menurut mereka, antara Adnan sampai
Ibrahim I ada empat puluh keturunan, yang didasarkan kepada penelitian yang
cukup mendetil.[7]
Keturunan Ma’ad dari anaknya, Nizar,
telah berpencar kemana-mana. Menurut suatu pendapat, Nizar adalah satu-satunya
anak Ma’ad. Sedangkan Nizar sendiri mempunyai empat anak, yang kemudian
berkembang menjadi empat kabilah yang besar, yaitu Iyad, Anmar, Rabi’ah, dan
Mudhar. Dua kabilah terakhir inilah yang paling banyak marga dan sukunya. Dari
Rabi’ah ada Asad bin Rabi’ah, Anzah, Abdul Qais, dua anak Wa’il, Bakr dan
Taghlib, Hanifah, dan lain-lainnya.
Sedangkan kabilah Mudhar berkembang
menjadi dua suku yang besar, yaitu Qais Ailan bin Mudhar dan marga-marga Ilyas
bin Mudhar. Dari Qais Ailan ada Bani Sulaim, Bani Hawazin, Bani Ghathafan. Dari
Ilyas bin Mudhar ada Tamim bin Murrah, Hudzail bin Mudrikah, Bani Asad bin
Khuzaimah, dan marga-marga Kinanah bin Khuzimah. Dari Kinanah ada Quraisy,
yaitu anak keturunan Fihr bin Malik bin An- Nadhar bin Kinanah.
Quraisy terbagi menjadi beberapa
kabilah, yang terkenal adalah Jumuh, Sahm, Adi, Makhzum, Taim, Zuhrah, dan
suku-suku Quraisy bin Kilab, yaitu Abdud-Dar bin Qushay, Asad bin Abdul Uzza
bin Qushay dan Abdi Manaf bin Qushay.
Abdi Manaf mempunyai empat anak: Abdi
Syams, Naufal, Al-Muththalib dan Hasyim. Hasyim adalah keluarga yang dipilih
Allah bagi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim. Rasulullah ٠ pernah bersabda,
إنَّ اللهَ اصْطَفَى مِنْ
وَلَدِ ابْرَاهِيْمَ اِسْمَاعِيْلَ واصْطَفَى مِنْ وَلَدِ إسْمَاعِيلَ بَنِي
كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ بَنِي كِنَانَةَ قُرَيْشًا وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ
بَنِي هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ. رَواهُ مُسْلِمٌ
وَالتِرْمِذِيُّ.
“Sesungguhnya Allah telah memilih Isma’il dari anak Ibrahim,
memilih Kinanah dari anak Isma’il, memilih Quraisy dari Bani Kinanah, memilih Bani
Hasyim dari Quraisy dan memilihku dari Bani Hasyim. (HR. Muslim dan At-Tirmidzi)
Dari Al-Abbas bin Abdul Muththalib,
dia berkata,،Rasulullah Saw, bersabda,
إنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ
فَجَعَلَنِي مِنْ خَيْرِهِمْ مِنْ خَيْرِ فِرَقِهِمْ وَخَيْرِ الْفَرِيْقَيْنِ
ثُمَّ تَخَيَّرَ الْقَبَائِلَ فَجَعَلَنِي مِنْ خَيْرِ قَبِيْلَةٍ ثُمَّ تَخَيَّرَ
الْبُيُوْتَ فَجَعَلَنِي مِنْ خَيْرِ بُيُوْتِهِمْ فَأَنَا خَيْرُهُمْ نَفْسًا
وَخَيْرُهُمْ بَيْتًا.
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu menjadikanku dari
sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih
beberapa kabilah, lalu menjadikanku dari sebaik-baik kabilah, kemudian memilih
beberapa keluarga lalu menjadikanku dari sebaik- baik keluarga mereka, maka aku
adalah sebaik-baik diri dan sebaik-baik keluarga di antara mereka.” (HR.
Tirmidzi)
Setelah anak-anak Adnan menjadi
banyak, mereka berpencar di berbagai tempat di penjuru Jazirah Arab,
masing-masing mencari tempat yang strategis dan daerah yang subur.
Abdul Qais dan anak-anak Bakr bin
Wa’il serta anak-anak Tamim pindah ke Bahrain dan menetap di sana. Sedangkan
Bani Hanifah bin Sha’b bin Ali bin Bakr pindah ke Yamamah dan menetap di Hijr,
ibukota Yamamah. Semua keluarga Bakr bin Wa’il menetap di berbagai penjuru
Yamamah, membentang hingga ke Bahrain.
Taghlib menetap di jazirah Eufrat dan
sebagian anak keturunannya bergabung dengan Bakr. Bani Tamim menetap di
Bashrah. Bani Sulaim menetap di dekat Madinah, dari lembah-lembah di pinggiran
Madinah hingga ke Khaibar, di bagian timur Madinah dan penghujung Hurrah.
Tsaqif menetap di Tha’if, Hawazin di timur Makkah, antara Makkah dan Bashrah.
Bani Asad menetap di timur Taima' dan barat Kufah. Di antara mereka dan Taima'
ada perkampungan Buhtur dari Thayyi'. Sedangkan jarak dari tempat mereka ke
Kufah bisa ditempuh selama perjalanan lima hari. Dzubyan menetap di dekat
Taima' hingga Hawazin. Di Tihamah ada beberapa suku Kinanah, sedangkan di
Makkah ada suku-suku Quraisy. Mereka berpencar-pencar dan tidak ada sesuatu
yang bisa menghimpun mereka, hingga muncul Qushay bin Kilab. Dialah yang telah
menyatukan mereka dan membentuk satu kesatuan yang bisa mengangkat kedudukan
mereka.[8]
■
Sumber : Sirah Nabawiyah/kitab Ar-Rahiqul Makhtum karya Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakafuri (hal.
1-9)
[1]
Lihat rincian tentang kabilah-kabilah ini dan hijrahnya dalam Muhadharat Tarikhil-UmamAl-
Islamiyyah, Al-Khadhri, 1/11-13: QalbuJaziratil-Arab, hal.231-235.Ada
perbebedaan yang cukup mencolok dalam berbagai refrensi sejarah dalam
menetapkan waktu hijrah dan sebab-sebabnya. Tetapi setelah mengamati secara
cermat ke berbagai sudut pandang, maka kami dapat mengambil kesimpulan seperti
yang tertulis di sini, yang tentu saja dengan beberapa bukti penguat.
[2]
Menurut kisah yang sudah banyak dikenal, Hajar adalah seorang budak wanita.
Tetapi seorang penulis kenamaan, Al-AllamahAl-Qadhi Muhammad Sulaiman
Al-Manshurfuri telah melakukan penyelidikan yang seksama bahwa Hajar adalah
seorang wanita merdeka, dan dia adalah putri Fir’aun sendiri. Lihat, Rahmah
Lil-Alamin, 2/36-37.
[3] Lihat
Shahihul-Bukhari, Kitabul-Anbiya1/474-475.
[4] Ibid,
1/475.
[5] Qalbu
Jaziratil-Arab, hal 230.
[6] Lihat
buku Tarikhul ardhi-Qur’an, 2/78-86.
[7] RahmatunLil-Alamin, 2/7,8,14-17.
[8] Muhadharatu Tarikhil UmamAl-Islamiyah, Al-Hashri, 1/15-16.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.