Gambaran Masyarakat Arab Jahiliyah

Gambaran Masyarakat Arab Jahiliyah


GAMBARAN MASYARAKAT ARAB JAHILIYAH

SETELAH membahas kondisi politik dan agama di Jazirah Arab, kini kita akan membahas  secara ringkas kondisi sosialekonomi, dan akhlak.

Kondisi Sosial

Di kalangan bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat, yang kondisinya berbeda satu sama lain. Hubungan seseorang dengan keluarga di kalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati, dan dijaga, sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Jika seseorang ingin dipuji dan terpandang di mata bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya, maka dia harus banyak dibicarakan kaum wanita. Jika seseorang wanita menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan jika mau dia bisa menyalakan api peperangan dan pertempuran di antara mereka. Sekalipun begitu, seorang laki-laki tetap dianggap sebagai pemimpin di tengah keluarga, yang tidak boleh dibantah dan setiap perkataannya harus dituruti. Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita. Seseorang wanita tidak bisa menentukan pilihannya sendiri.

Begitulah gambaran secara ringkas kelas masyarakat bangsawan. Sedangkan kelas masyarakat lainnya beraneka ragam dan mempunyai kebebasan hubungan antara laki-laki dan wanita. Kami tidak bisa menggambarkannya secara detil kecuali dengan ungkapan-ungkapan yang keji, buruk, dan menjijikan. Abu Dawud meriwayatkan dari Aisyah, bahwa pernikahan pada masa Jahiliyah ada empat macam:

1. Pernikahan secara spontan. Seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah

menyerahkan mas kawin seketika itu pula.

2. Seorang laki-laki bisa berkata kepada istrinya yang baru suci dari haid, “Temuilah Fulan dan berkumpulah bersamanya!” Suaminya tidak mengumpulinya dan sama sekali tidak menyentuhnya, hingga ada kejelasan bahwa istrinya hamil dari orangyang disuruh mengumpulinya. Jika sudah jelas kehamilannya, maka suami bisa mengambil kembali istrinya jika memang dia menghendaki hal itu. Yang demikian ini dilakukan, karena dia menghendaki kelahiran seorang anak yang baik dan pintar. Pernikahan semacam ini disebut nikah istibdha

3. Pernikahan poliandri, yaitu pernikahan beberapa orang laki-laki yang jumlahnya tidak mencapai sepuluh orang, yang semuanya mengumpuli seorang wanita. Setelah wanita itu hamil dan melahirkan bayinya, maka selang beberapa hari kemudian dia mengundang semua laki-laki yang berkumpul dengannya, dan mereka tidak bisa menolaknya hingga berkumpul di hadapannya. Lalu dia berkata, “Kalian sudah mengetahui apa yang sudah terjadi dan kini aku telah melahirkan. Bayi ini adalah anakmu hai Fulan.” Dia menunjuk siapa pun yang dia sukai di antara mereka seraya menyebutkan namanya, lalu laki-laki itu bisa mengambil bayi tersebut.

4.         Sekian banyak laki-laki bisamendatangi wanita yang dikehendakinya yang juga disebut wanita pelacur. Biasanya mereka memasang bendera khusus di depan pintunya, sebagai tanda bagi laki-laki yang ingin mengumpulinya. Jika wanita pelacur ini hamil dan melahirkan anak, dia bisa mengundang semua laki-laki yang pernah mengumpulinya. Setelah semua berkumpul, diselenggarakan undian. Siapa yang namanya keluar dalam undian, maka dia yang berhak mengambil anak itu dan mengaku sebagai anaknya. Dia tidak bisa menolak hal itu.

Setelah Allah mengutus Muhammad Ù , semua bentuk pernikahan ini dihapus dan diganti dengan pernikahan ala Islam.[1]

Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan peperangan, yang disulut tajamnya mata pedang dan anak panah. Pihak yang menang dalam peperangan antara kabilah bisa menawan para wanita pihak yang kalah, lalu menghalalkannya menurut kemauannya. Namun anak-anak mereka akan mendapatkan kehinaan selama hayatnya.

Di antara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa Jahiliyah ialah poligami, tanpa ada batasan maksimal, berapa pun banyaknya istri yang dikehendaki. Bahkan merekabisa menikahi dua wanita yang bersaudara. Mereka juga bisa menikahijanda bapaknya, entah karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada di tangan kaum laki-laki tanpa ada batasannya. Hal ini disebutkan di dalam Al-Quran, dalam surat An-Nisa' : 22-23.[2]

Perzinaan mewarnai setiap lapisan masyarakat, tidak hanya terjadi di lapisan tertentu atau golongan tertentu, kecuali hanya sebagian kecil dari kaum laki-laki dan wanita yang memang masih memiliki keagungan jiwa. Mereka tidak mau terjerumus dalam kehinaan ini. Namun kondisi orang-orang yang merdeka dalam kaitannya dengan masalah ini relatif lebih baik daripada orang awam dan hamba sahaya. Menurut persepsi umum semasa Jahiliyah, perzinahan ini tidak dianggap aib yang mengotori keturunan. Abu Dawud meriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata, “Ada seorang laki-laki berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fulan adalah anakku, karena aku pernah bersetubuh dengan seorang budak perempuan pada masa Jahiliyah.’”

Lalu beliau bersabda, “Tidak ada seruan seperti itu dalam Islam. Urusan Jahiliyah sudah punah.”

Kisah pertengkaran Sa’d bin Abu Waqqash dan Abd bin Zum’ah yang memperebutkan anak hamba perempuan Zum’ah, yaitu Abdurrahman bin Zum’ah, sudah sangat terkenal.

Ada beberapa corak hubungan antara seorang laki-laki dan anak-anaknya, di antaranya seperti di katakan dalam sebuah syair,

“Keberadaan anak-anak di tengah kami

laksana buah hati yang berjalan di bumi.”

Ada pula di antara mereka yang mengubur hidup-hidup anak putrinya, karena takut aib dan karena kemunafikan, atau membunuh anak laki-laki karena takut miskin dan lapar. Masalah ini telah disebutkan di dalam Al-Qur an.

“Dan, janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepada kalian dan kepada mereka.” (A!-An’am: 151)

Juga disebutkan di tempat lain dalam Al-Qur' an, dalam surat An-Nahl: 58-59, Al-Isra': 31,danAt-Takwir: 8.

Tetapi hal ini tidak dianggap sebagai kebiasaan yang memasyarakat. Sebab bagaimana pun juga mereka masih membutuhkan anak laki-laki untuk membentengi diri dari serangan musuh.

Sedangkan pergaulan seorang laki-laki dengan saudaranya, anak saudaranya, dan kerabatnya sangat rapat dan dekat. Mereka hidup untuk fanatisme kabilah dan mati pun rela karenanya. Dorongan spiritual untuk mengadakan pertemuan

tentang sebab turunnya firman Allah,”Talak itu dua kali.” dalam satu kabilah sangat kuat, sehingga semakin menambah fanatisme tersebut. Landasan aturan sosial adalah fanatisme rasial dan marga. Mereka menjalani kehidupan menurut pepatah yang berbunyi, “Tolonglah saudaramu, yang berbuat zhalim maupun yang dizhalimi”, dengan pengertian apa adanya, tanpa menyelaraskan dengan ajaran yang dibawa Islam, bahwa makna menolong orang yang berbuat zhalim ialah menghentikan kezhalimannya. Hanya saja persaingan dalam masalah kehormatan dan perebutan pengaruh kekuasaan lebih sering menyulut peperangan antarkabilah yang sebenarnya berasal dari satu ayah dan ibu, seperti yang kita lihat antara Aus dan Khazraj, Abs dan Dzubyan, Bakr dan Taghlib, serta lain-lainnya.

Sedangkan hubungan antara beberapa kabilah yang berbeda, terputus secara total. Kekuatan mereka berbeda-beda dalam peperangan. Hanya saja ketakutan dan keengganan melanggar sebagian tradisi dan kebisaan yang mempertemukan agama dan khurafat, kadang-kadang mengecilkan api peperangan dan perselisihan di antara mereka. Dan, dalam kondisi tertentu ada loyalitas, perjanjian persahabatan dan subordinasi yang mengharuskan beberapa kabilah yang berbeda untuk bersatu. Bulan-bulan suci benar-benar merupakan rahmat bagi mereka, dan bisa membantu masukan bagi mereka.

Secara garis besarnya, kondisi sosial mereka bisa dikatakan lemah dan buta, kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya benda mati. Hubungan di tengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat diperlukan untuk menghadang serangan musuh.

Kondisi Ekonomi

Kondisi ekonomi mengikuti kondisi sosial, yang bisa dilihat dari jalan kehidupan bangsa Arab. Perdagangan merupakan sarana yang paling dominan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jalur-jalur perdagangan tidak bisa dikuasai begitu saja kecuali jika sanggup memegang kendali keamanan dan perdamaian. Sementara itu kondisi yang aman seperti ini tidak terwujud di Jazirah Arab kecuali pada bulan-bulan suci. Pada saat itulah dibuka pasar-pasar Arab yang sangat terkenal, seperti Ukazh, Dzil-Majaz, Majinnah, dan lain-lainnya.

Tentang perindustrian atau kerajinan, mereka adalah bangsa yang paling mengenalnya. Kebanyakan hasil kerajinan yang ada di Arab seperti jahit- menjahit, menyamak kulit dan lain-lainnya berasal dari rakyat Yaman, Hirah, dan pinggiran Syam. Sekalipun begitu di tengah jazirah ada pertanian dan penggembalaan hewan ternak. Sedangkan wanita-wanita cukup menangani pemintalan. Tetapi kekayaan-kekayaan yang dimiliki bisa mengundang pecahnya peperangan. Kemiskinan, kelaparan, dan orang-orang yang telanjang merupakan pemandangan yang biasa di tengah masyarakat.

Akhlak

Memang kita tidak memungkiri bahwa di tengah kehidupan orang-orang Jahiliyah banyak terdapat hal-hal yang hina, amoralitas, dan masalah-masalah yang tidak bisa diterima akal sehat dan tidak disukai manusia. Meskipun begitu mereka masih memiliki akhlak-akhlakyang terpuji, mengundang decak kagum manusia dan simpati. Di antara akhlak-akhlak itu ialah:

1. Kedermawanan

Mereka saling berlomba-lomba dan membanggakan diri dalam masalah kedermawanan dan kemurahan hati. Bahkan separuh syair-syair mereka bisa dipenuhi dengan pujian dan sanjungan terhadap kedermawanan ini. Adakalanya seseorang didatangi tamu yang kelaparan pada saat hawa dingin menggigit tulang. Sementara saat itu dia tidak memiliki kekayaan apa pun selain seekor onta yang menjadi penopang hidupnya. Namun rasa kedermawanan bisa menggetarkan dirinya, lalu dia pun bangkit menghampiri onta satu- satunya dan menyembelihnya, agar dia bisa menjamu tamunya. Pengaruh dari kedermawanan ini, mereka bisa menanggung pembayaran denda yang jumlahnya sangat tinggi dan membuat mata terbelalak. Sehingga tidak jarang hal inijustru menumpahkan darah dan mengakibatkan kematian seseorang. Yang pasti, mereka biasa membuat pujian dan membanggakan diri di hadapan orang lain dalam masalah ini, terutama dari kalangan para penguasa dan pemimpin.

Di antara pengaruh kedermawanan ini, mereka biasa merasa bangga karena minum khamr. Bukan kebanggaan karena minumannya itu, tetapi karena hal itu dianggap sebagai salah satu cara menunjukkan kedermawanan dan merupakan cara paling mudah untuk menunjukkan pemborosan. Maka tidak heran jika mereka menyebut pohon anggur dengan nama al-karam (kedermawanan), sedangkan khamr yang dibuat dari buah anggur disebut bintul-karam (putri kedermawanan). Jika engkau sempat meneliti berbagai arsip syair-syair semasa Jahiliyah, tentu engkau akan mendapatkan satu bab khusus yang berisi pujian dan sanjungan ini.

Antarah bin Syaddad Al-Absi berkata,

“Telah kuminum regukan-regukan arak

setelah terlewati siang hari yang terik

di dalam gelas kaca berwarna kuning kemilau

bertabur bunga-bunga indah yang memukau

kehormatanku juga tidak kuhirau

kurelakan harta kan musnah jika minum arak

kehormatanku yang tinggi tiada kusimak

jika tak mabuk tiada kusia-siakan undangan

karena kutahu sifatku yang dermawan.”

Pengaruh lain dari kedermawanan ini, mereka biasa main judi. Mereka menganggap main judi merupakan salah satu cara mengekspresikan kedermawanan, karena dari laba judi itulah mereka bisa memberi makan orang-orang miskin, atau mereka bisa menyisihkan sebagian uang dari andil orang-orang yang mendapat laba. Oleh karena itu Al-Qur' an tidak mengingkari manfaat khamr dan main judi, namun dengan membuat redaksi sebagai berikut.

“Tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 219)

2. Memenuhi janji

Di mata mereka, janji sama dengan hutang yang harus dibayar. Bahkan mereka suka membunuh anaknya sendiri dan membakar rumahnya daripada meremehkanjanji. Kisah tentang Hani’ bin Mas’ud Asy-Syaibani, As-Samau’al bin Adiya dan Hajib bin Zararah sudah cukup membuktikan hal ini.

3. Kemuliaan jiwa dan keengganan menerima kehinaan dan kelaliman

Akibatnya, mereka bersikap berlebih-lebihan dalam masalah keberanian, sangat pencemburu, dan cepat naik darah. Mereka tidak mau mendengar kata- kata yang menggambarkan kehinaan dan kemerosotan, melainkan mereka bangkit menghunus pedang, lalu pecah peperangan yang berkepanjangan. Mereka tidak lagi mempedulikan kematian bisa menimpa diri sendiri karena hal itu.

4. Pantang mundur

Jika mereka sudah menginginkan sesuatu yang disitu ada keluhuran dan kemuliaan, maka tak ada sesuatu pun yang bisa menghadang atau mengalihkannya.

5. Kelemahlembutan dan suka menolong orang lain

Mereka biasa membuat sanjungan tentang sifat ini. Hanya saja sifat ini kurang tampak karena mereka berlebih-lebihan dalam masalah keberanian dan mudah terseret kepada peperangan.

6. Kesederhanaan pola kehidupan badui

Mereka tidak mau dilumuri warna-warni peradaban dan gemerlapnya. Hasilnya adalah kejujuran, dapat dipercaya, meninggalkan dusta, dan pengkhianatan.

Kita melihat akhlak-akhlak yang sangat berharga ini, di samping letak geografis Jazirah Arab, merupakan sebab mengapa mereka dipilih untuk mengemban beban risalah yang menyeluruh, menjadi pemimpin umat dan masyarakat manusia. Sebab akhlak-akhlak ini, sekalipun sebagian di antaranya ada yang menjurus kepada kejahatan dan menyeret kepada kejadian-kejadian yang mengenaskan, toh pada dasarnya itu merupakan akhlak yang berharga, yang bisa mendatangkan manfaat secara menyeluruh bagi masyarakat manusia jika mendapat sentuhan perbaikan. Maka inilah tugas Islam.

Barangkali akhlakyang paling menonjol dan paling banyak mendatangkan manfaat setelah pemenuhanjanji adalah kemuliaanjiwa dan semangat pantang mundur. Sebab kejahatan dan kerusakan tidak bisa disinggkirkan, keadilan dan kebaikan tidak bisa ditegakkan kecuali dengan kekuatan dan ambisi seperti ini. Sebenarnya mereka masih mempunyai sifat-sifat utama selain yang kita sebutkan ini. Namun bukan di sini tempat membicarakannya.

 

Sumber : Sirah Nabawiyah/kitab Ar-Rahiqul Makhtum karya Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakafuri (hal. 33-39)



[1] Abu Dawud, Kitabun-Nikah, Wujuhun-nikah al-lati kana yatnakahu biha ahlul-jahiliyah.

[2] Ibid, bab naskhul-muraja’ah ba’dat-tathbiqat ats-tsalats. Ini yang disebutkan para mufassir.

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

Contact Us