وَلَقَدْ أَنزلْنَا إِلَيْكَ
آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَمَا يَكْفُرُ بِهَا إِلا الْفَاسِقُونَ (99) أَوَكُلَّمَا
عَاهَدُوا عَهْدًا نَبَذَهُ فَرِيقٌ مِنْهُمْ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
(100) وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ
نَبَذَ فَرِيقٌ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ وَرَاءَ
ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (101) وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو
الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ
الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ عَلَى
الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ
حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ
مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ
بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا
يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي
الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا
يَعْلَمُونَ (102) وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَمَثُوبَةٌ مِنْ عِنْدِ
اللَّهِ خَيْرٌ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (103(
Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik. Patutkah (mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya. Bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman. Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakangnya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut; sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir" Mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat; dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala); dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.
Imam Abu Ja'far mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat-yang jelas..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 99). Yakni sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu —Muhammad— alamat-alamat yang jelas yang menunjukkan akan kenabianmu. Tanda-tanda tersebut adalah terkandung di dalam Kitabullah (Al-Qur'an) menyangkut rahasia ilmu-ilmu Yahudi dan rahasia-rahasia berita mereka yang disimpan rapi oleh mereka. Juga mengandung berita kakek moyang mereka, berita tentang apa yang terkandung di dalam kitab-kitab mereka yang hanya diketahui oleh para rahib dan ulama mereka saja, dan hal-hal yang telah diubah oleh para pendahulu dan generasi penerus mereka yang berani mengubah hukum-hukum yang ada di dalam kitab Tauratnya. Maka Allah Swt. memperlihatkan hal tersebut kepada Nabi-Nya, yakni Nabi Muhammad Saw. melalui kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadanya.
Maka sesungguhnya hal tersebut seharusnya merupakan tanda-tanda yang jelas bagi orang yang menyadari keadaan dirinya dan tidak membiarkan dirinya termakan oleh rasa dengki dan kesombongan yang membinasakannya. Mengingat setiap orang yang memiliki fitrah yang sehat niscaya membenarkan semisal apa yang didatangkan oleh Nabi Muhammad Saw., yaitu berupa ayat-ayat yang jelas. Bukti-bukti tersebut mempunyai ciri khas dihasilkan oleh beliau Saw. tanpa melalui proses belajar yang dituntutnya dari seorang manusia; tidak pula mengambil sesuatu dari manusia, seperti yang disebutkan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas. (Al-Baqarah: 99)
Allah Swt. berfirman bahwa engkau
membacakannya (Al-Qur'an) kepada mereka dan memberitahukannya kepada mereka di
setiap pagi dan petang di antara keduanya, sedangkan di kalangan mereka engkau
diketahui sebagai orang yang ummi (buta huruf), tetapi engkau memberitahukan
kepada mereka semua hal yang ada di kalangan mereka sesuai dengan keadaan yang
sesungguhnya. Allah Swt. berfirman kepada mereka yang di dalamnya terkandung
pelajaran dan penjelasan, tetapi sekaligus menjadi hujah terhadap mereka,
seandainya mereka mengetahui.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah
menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu
Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Ibnu Suria Al-Qatwaini berkata
kepada Rasulullah Saw., "Hai Muhammad, engkau tidak mendatangkan kepada
kami sesuatu yang kami kenal, dan Allah tidak menurunkan kepadamu suatu ayat
pun yang jelas yang menyebabkan kami mengikutimu." Maka Allah menurunkan
firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas;
dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik.
(Al-Baqarah: 99)
Malik ibnu Saif (seorang Yahudi)
mengatakan ketika Rasulullah Saw. telah menjadi utusan Allah dan memperingatkan
kepada mereka perjanjian yang diambil oleh Allah atas diri mereka dan apa yang
dijanji-kan Allah Swt. kepada mereka sehubungan dengan perkara Nabi Muhammad
Saw., "Allah tidak menjanjikan kepada kami tentang Muhammad, dan Dia tidak
mengambil janji apa pun atas diri kami." Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Patutkah (mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan setiap kali
mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya (Al-Baqarah: 100)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Bahkan sebagian besar dari mereka tidak
beriman. (Al-Baqarah: 100) Memang benar, tiada suatu perjanjian pun di muka
bumi ini yang mereka lakukan melainkan mereka pasti melanggar dan merusaknya.
Mereka mengadakan perjanjian di hari ini, dan besoknya mereka pasti merusaknya.
Menurut As-Saddi, makna la yu-minuna
ialah 'mereka tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw.'.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya, "Nabaza fariqum minhum" bahwa perjanjian itu
dirusak oleh segolongan orang dari kalangan mereka.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal
makna an-nabaz ialah membuang dan melemparkan. Karena itu anak yang hilang
disebut manbuz, yakni diambil dari kata an-nabaz ini, dan disebut pula nabiz
bagi buah kurma serta buah anggur yang dimasukkan (dilemparkan) ke dalam air.
Sehubungan dengan pengertian ini Abul
Aswad Ad-Du-ali mengatakan dalam syairnya:
نَظَرْتُ إِلَى عُنْوَانِهِ
فَنَبَذْتُهُ ... كَنَبْذِكَ نَعْلًا أَخْلَقَتْ مِنْ نِعَالِكَا
Ketika aku melihat alamat (tempat
tinggal)nya, maka aku langsung membuang (melemparkan)nya (jauh-jauh)
sebagaimana engkau lemparkan salah satu dari terompahmu yang sudah rusak.
Kaum yang disebut dalam ayat ini
dicela oleh Allah Swt. karena mereka merusak perjanjian mereka dengan Allah
yang telah disebut sebelumnya, yaitu mereka bersedia memegangnya dan
mengamalkan-nya sesuai dengan apa yang sebenarnya. Lebih ironisnya lagi mereka
mengiringi hal tersebut dengan kedustaan terhadap Rasul Saw. yang diutus kepada
mereka, juga kepada seluruh umat manusia, padahal perihal Rasul tersebut telah
termaktub di dalam kitab mereka sifat-si-fat dan ciri-ciri khasnya serta
berita-beritanya; dan mereka diperintah-kan di dalamnya agar mengikuti Rasul
itu, mendukung, dan menolongnya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam
firman-Nya:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ
الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً عِنْدَهُمْ فِي
التَّوْراةِ وَالْإِنْجِيلِ
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi
yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang
ada di sisi mereka..., hingga akhir ayat, (Al-A'raf: 157).
Sedangkan dalam surat ini disebutkan:
Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan
kitab yang ada pada mereka..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 101).
Yakni segolongan dari kalangan mereka
melemparkan kitab yang ada di tangan mereka yang di dalamnya terkandung berita
gembira kedatangan Nabi Muhammad Saw. Di dalam ayat ini disebutkan wara-a
zuhurihim, di belakang punggung mereka, yakni mereka meninggalkannya
seakan-akan mereka tidak mengetahui apa isinya. Sebagai gantinya mereka
memusatkan perhatiannya untuk mempelajari sihir serta menjadi pengikutnya.
Karena itu, mereka bermaksud mencelakakan Rasulullah Saw. Lalu mereka
menyihirnya melalui sisir, buntelan secarik kain, dan ketandan kering pohon
kurma yang disimpan di bawah batu di pinggir sumur Arwan. Orang yang melakukan
hal ini dari kalangan mereka adalah seorang lelaki yang dikenal dengan nama
Labid ibnul A'sam, semoga laknat Allah menimpa dirinya, dan semoga Allah
memburukkannya. Maka Allah memperlihatkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw.
dan menyembuhkannya serta menyelamatkannya dari sihir tersebut, seperti yang
dinyatakan di dalam kitab Sahihain secara panjang lebar dari Siti Aisyah r.a.
Ummul Mu’minin, yang hadisnya akan diketengahkan kemudian.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan
tafsir firman-Nya: Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi
Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka. (Al-Baqarah: 101) Ketika
Nabi Muhammad Saw. datang kepada mereka, mereka menentangnya dengan kitab
Taurat dan mendebatnya, tetapi pada akhirnya kitab Taurat sepaham dengan
Al-Qur'an. Lalu mereka meninggalkan kitab Taurat dan mengambil kitab Asif serta
sihir Harut dan Marut, karena tidak setuju dengan Al-Qur'an. Karena itu, pada
akhir ayat disebutkan: seolah-olah mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 101)
Qatadah mengatakan sehubungan dengan
tafsir firman-Nya: Seolah-olah mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 101)
Sesungguhnya kaum yang bersangkutan adalah orang-orang yang mengetahui (bahwa
Al-Qur'an itu adalah kitab Allah), tetapi mereka menjauhi pengetahuan mereka
dan menyembunyikannya serta mengingkarinya.
Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya
meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka
mengikuti apa yang dibacakan oleh setan. (Al-Baqarah: 102) Tersebutlah bahwa
ketika kerajaan Nabi Sulaiman terlepas dari tangannya, maka murtadlah
segolongan jin dan manusia; mereka mengikuti hawa nafsu mereka. Setelah
mengembalikan kerajaan kepada Sulaiman, maka orang-orang pun berjalan sesuai
dengan hukum agama seperti semula. Sesungguhnya Sulaiman dapat menemukan
kitab-kitab mereka, lalu menguburnya di bawah singgasananya; tidak lama
kemudian Nabi Sulaiman a.s. meninggai dunia. Akan tetapi, manusia dan jin dapat
menemukan kitab-kitab tersebut setelah Nabi Sulaiman wafat. Lalu mereka
berkata, "Kitab inilah yang diturunkan oleh Allah kepada Sulaiman, tetapi
Sulaiman menyembunyikannya." Maka mereka mengambil kitab tersebut dan
menjadikannya sebagai agama. Lalu turunlah firman Allah Swt.: Dan setelah datang kepada mereka seorang
rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka. (Al-Baqarah:
101), hingga akhir ayat. Maka mereka mengikuti kemauan hawa nafsu mereka yang
dibacakan oleh setan-setan, yaitu alat-alat musik dan permainan serta segala
sesuatu yang melalaikan berzikir kepada Allah Swt.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah
menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu
Usamah, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
yang mengatakan bahwa Asif adalah juru tulis Nabi Sulaiman. Dia adalah orang
yang mengetahui Ismul A'zam, dan mencatat segala sesuatu atas izin Nabi
Sulaiman, lalu Nabi Sulaiman mengubur catatan tersebut di bawah singgasananya.
Ketika Nabi Sulaiman wafat, catatan tersebut dikeluarkan oleh setan-setan, lalu
mereka menyisipkan catatan mengenai sihir dan kekufuran di antara tiap dua
barisnya. Mereka mengatakan, inilah yang dahulu diamalkan oleh Sulaiman. Ibnu
Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ada keterangan dari setan, maka
orang-orang yang tidak mengerti mengafirkan Sulaiman dan mencacimakinya, tetapi
para ulama dari kalangan mereka hanya diam. Orang-orang yang bodoh dari
kalangan mereka terus-menerus mencaci maki Nabi Sulaiman, hingga Allah Swt.
menurunkan ayat berikut kepada Nabi Muhammad Saw., yaitu: Dan mereka mengikuti
apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka
mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir
(tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan
sihir). (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Abus
Sa'ib Salimah ibnu Junadah As-Sawa-i menceritakan, telah menceritakan kepada
kami Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari
Ibnu Abbas yang menceritakan riwayat berikut: Tersebutlah bahwa Nabi Sulaiman
apabila hendak memasuki kamar mandi atau menggauli salah seorang istrinya,
terlebih dahulu ia menyerahkan cincinnya kepada pembantu pribadinya, yaitu
seorang wanita. Ketika Allah hendak menguji Nabi Sulaiman a.s. dengan ujian
yang dikehendaki-Nya, maka di suatu hari Sulaiman menyerahkan cincinnya kepada
pembantunya. Lalu datanglah setan dalam rupa Sulaiman dan berkata kepada
pembantu Sulaiman, "Serahkanlah cincinku." Si pembantu menyerahkan
cincin itu kepadanya, dan ia segera memakainya. Ketika setan memakainya, maka
tunduklah semua setan, jin, dan manusia kepadanya. Ibnu Abbas melanjutkan
kisahnya, bahwa Nabi Sulaiman datang kepada pembantunya itu dan berkata
kepadanya, "Berikanlah cincinku kepadaku." Si pembantu berkata, "Engkau
dusta, engkau bukan Sulaiman." Maka sejak saat itu Nabi Sulaiman
mengetahui bahwa hal ini merupakan cobaan yang ditimpakan kepada dirinya. Ibnu
Abbas berkata bahwa di hari-hari (kekuasaannya itu) setan-setan menulis
berbagai macam kitab yang di dalamnya terkandung sihir dan kekufuran, lalu
mereka menguburnya di bawah singgasana Raja Sulaiman. (Setelah Sulaiman wafat)
mereka mengeluarkan kitab-kitab itu dan membacakannya di hadapan semua orang,
lalu mereka berkata, "Sesungguhnya dahulu Sulaiman dapat berkuasa atas
manusia melalui kitab-kitab ini." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa
setelah itu semua orang berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh Sulaiman dan
mengafirkannya. Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad Saw., maka
diturunkan-Nyalah ayat berikut, yakni firman-Nya: Padahal Sulaiman tidak kafir
(tidak melakukan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan
sihir). (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir,
dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Imran (yaitu Al-Haris) yang menceritakan:
Ketika kami berada di rumah Ibnu Abbas r.a., tiba-tiba datanglah seorang
lelaki, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadanya, "Dari manakah kamu?"
Lelaki itu menjawab, "Dari negeri Irak. Ibnu Abbas bertanya, "Dari
bagian mana?" Lelaki menjawab, "Kufah." Ibnu Abbas bertanya,
"Bagaimanakah beritanya?" Lelaki menjawab, "Ketika aku meninggalkan
mereka, mereka sedang hangat membicarakan bahwa Ali r.a. berangkat menuju ke
arah mereka (untuk memerangi mereka)." Maka Ibnu Abbas merasa kaget dan
mengatakan, "Tidak pantas kamu katakan demikian, hanya orang yang tak
berayah yang mengatakan demikian. Seandainya kami percaya (dengan apa yang
diberitakannya itu), pasti kami tidak mau menikahi wanita-wanitanya, tidak pula
membagikan harta warisannya. Ingatlah, sesungguhnya aku akan menceritakan
kepada kalian tentang jawaban yang sebenarnya. Bahwa dahulu setan-setan
mencuri-curi pendengaran di langit, lalu seseorang dari mereka datang membawa
kalimat hak yang telah didengarnya; tetapi bila hendak ia sampaikan, maka ia
mencampurinya dengan tujuh puluh (banyak) kedustaan."
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya,
bahwa kalimat-kalimat tersebut sempat memperoleh perhatian banyak orang hingga
meresap ke dalam hati mereka. Maka Allah memperlihatkan hal tersebut kepada
Nabi Sulaiman a.s., lalu Nabi Sulaiman mengubur (catatan-catatan itu) di bawah
kursi singgasananya. Tetapi setelah Nabi Sulaiman wafat, setan jalanan bangkit,
lalu berkata, "Maukah kalian aku tunjukkan kepada kalian simpanan
terlarang yang tiada simpanan seperti simpanan itu? Ia berada di bawah kursi
singgasananya." Lalu mereka mengeluarkannya, dan setan itu berkata,
"Ini ilmu sihir." Maka orang-orang menggandakan catatan-catatan
tersebut dari generasi ke generasi yang lain, hingga sisanya adalah yang
sekarang hangat dibicarakan oleh penduduk Irak. Lalu Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa
kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir),
padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan
itulah yang kafir (mengerjakan sihir)..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 102).
Imam Hakim meriwayatkan di dalam
kitab Mustadrak-nya, dari Abu Zakaria Al-Anbari, dari Muhammad ibnu Abdus
Salam, dari Ishaq ibnu Ibrahim, dari Jarir dengan lafaz yang sama.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan
tafsir firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan
pada masa kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102) Yang dimaksud dengan Mulki
Sulaiman ialah di masa kerajaan Nabi Sulaiman. Tersebutlah bahwa setan-setan
sering naik ke langit, lalu sampai pada suatu kedudukan yang darinya mereka
dapat mencuri pendengaran. Lalu mereka mencuri sebagian dari perkataan para
malaikat tentang apa yang bakal terjadi di bumi menyangkut perkara kematian,
atau hal yang gaib atau suatu kejadian. Kemudian setan-setan itu menyampaikan
hal tersebut kepada tukang-tukang tenung, lalu tukang-tukang tenung (juru
ramal) menceritakan kepada manusia hal tersebut, dan ternyata kejadiannya
mereka jumpai seperti apa yang dikatakan oleh para tukang tenung itu.
Setelah para juru ramal percaya
kepada setan-setan tersebut, maka setan-setan itu mulai berdusta kepada mereka
dan memasukkan hal-hal yang lain ke dalam berita yang dibawanya; mereka
menambah tujuh puluh kalimat pada setiap kalimatnya. Lalu orang-orang mencatat
omongan itu ke dalam buku-buku hingga tersiarlah di kalangan Bani Israil bahwa
jin mengetahui hal yang gaib.
Kemudian Nabi Sulaiman mengirimkan
utusannya kepada semua orang untuk menyita buku-buku itu. Setelah terkumpul,
semua buku dimasukkan ke dalam peti, lalu peti itu dikuburnya di bawah kursi
singgasananya. Tiada suatu setan pun yang berani mendekat ke kursi tersebut
melainkan ia pasti terbakar. Nabi Sulaiman berkata, "Tidak sekali-kali aku
mendengar seseorang mengatakan bahwa setan-setan itu mengetahui hal yang gaib
melainkan aku pasti menebas batang lehemya (sebagai hukumannya)."
Setelah Nabi Sulaiman meninggal dunia
dan semua ulama yang mengetahui perihal Nabi Sulaiman telah tiada, lalu mereka
diganti oleh generasi sesudahnya, maka datanglah setan dalam bentuk seorang
manusia. Setan itu mendatangi segolongan kaum Bani Israil dan berkata kepada
mereka, "Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu perbendaharaan yang
tidak akan habis kalian makan untuk selama-lamanya?" Mereka menjawab,
"Tentu saja kami mau." Setan berkata, "Galilah tanah di bawah
kursi singgasananya."
Setan pergi bersama mereka dan
memperlihatkan tempat tersebut kepada mereka, sedangkan dia sendiri berdiri di
salah satu tempat yang agak jauh dari tempat tersebut. Mereka berkata,
"Mendekatlah kamu ke sini." Setan menjawab, "Tidak, aku hanya di
sini saja dekat dengan kalian. Tetapi jika kalian tidak menemukannya, kalian
boleh membunuhku."
Mereka menggali tempat tersebut dan
akhirnya mereka menjumpai kitab-kitab itu. Ketika mereka mengeluarkannya, setan
berkata kepada mereka.”Sesungguhnya Sulaiman dapat menguasai dan mengatur
manusia, setan-setan, dan burung-burung hanyalah melalui ilmu sihir ini."
Setelah itu setan tersebut terbang dan pergi. Maka mulai tersiarlah di kalangan
manusia bahwa Sulaiman adalah ahli sihir, dan orang-orang Bani Israil mengambil
kitab-kitab itu. Ketika Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah, mereka mendebatnya
dengan kitab-kitab tersebut, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya: Padahal
Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang
kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan,
sesungguhnya orang-orang Yahudi pernah bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. di
suatu masa mengenai hal-hal yang terkandung di dalam kitab Taurat, Tiada suatu
pertanyaan pun darinya yang mereka ajukan melainkan Allah Swt. menurunkan wahyu
kepada beliau apa yang dijadikan senjata oleh beliau untuk membantah mereka.
Setelah mereka melihat jawaban tersebut, mereka berkata, "Orang ini lebih
mengetahui daripada kami tentang apa yang diturunkan oleh Allah kepada
kami."
Sesungguhnya mereka menanyakan kepada
Nabi Saw. tentang ilmu sihir serta mendebatnya dengan ilmu tersebut. Maka Allah
Swt. menurunkan firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh
setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman
itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya
setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir
kepada manusia. (Al-Baqarah: 102)
Sesungguhnya setan-setan itu dengan
sengaja membuat suatu kitab, lalu mereka mencatat ke dalamnya tentang sihir dan
tenung serta hal-hal yang dikehendaki oleh Allah Swt. dari hal tersebut. Lalu
mereka menguburnya di bawah kursi singgasana Nabi Sulaiman, sedangkan Nabi
Sulaiman sendiri tidak mengetahui hal yang gaib.
Setelah Nabi Sulaiman wafat, lalu
mereka (atas petunjuk setan) mengeluarkan buku sihir itu dan memperdaya manusia
dengan kitab itu. Mereka mengatakan, "Kitab inilah yang dahulu
disembunyikan oleh Sulaiman, ia menggunakannya untuk melampiaskan dengkinya
terhadap manusia."
Maka Nabi Saw. menceritakan kisah
yang sesungguhnya, dan mereka (orang-orang Yahudi itu) kembali ke tempat
tinggalnya dari sisi beliau Saw. dalam keadaan tak berdaya karena hujah mereka
dipatahkan oleh wahyu Allah Swt.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada
masa kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102); Dahulu setan-setan sering
mencuri-curi pendengaran dari wahyu, maka tidak sekali-kali mereka mendengar
suatu kalimat pun dari wahyu itu melainkan mereka menambahkan kepadanya dua
ratus kali lipat hal yang semisal dari diri mereka sendiri. Kemudian Nabi
Sulaiman a.s. mengirimkan utusannya untuk mencatat hal tersebut. Setelah Nabi
Sulaiman wafat, maka setan-setan menemukan catatan itu (yaitu ilmu sihir), lalu
mereka mengajarkannya kepada manusia.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, dahulu
Nabi Sulaiman merampas semua ilmu sihir yang ada di tangan setan, kemudian ia
kubur ilmu tersebut di bawah kursi singgasananya, yakni di dalam gudangnya,
hingga setan-setan tidak dapat mencapainya.
Kemudian setan mendekati manusia dan
berkata kepada mereka, "Tahukah kalian ilmu apakah yang dipakai oleh
Sulaiman untuk menundukkan setan-setan dan angin serta lain-lainnya?"
Mereka menyetujui pendapat setan, lalu setan berkata kepada mereka, "Sesungguhnya
kitab itu ada di dalam gudang rumahnya, tepatnya di bawah kursi
singgasananya." Setan membujuk manusia untuk mengeluarkannya, lalu
mengamalkannya.
Orang-orang Hijaz mengatakan bahwa
dahulu Sulaiman mengerjakan ilmu sihir tersebut. Maka Allah Swt. menurunkan
kepada Nabi-Nya wahyu yang membersihkan nama Nabi Sulaiman a.s. dari sihir
tersebut. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Dan mereka mengikuti apa yang
dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan
bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir).
(Al-Baqarah: 102)
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar
mengatakan bahwa setelah setan-setan mengetahui kewafatan Nabi Sulaiman ibnu
Nabi Daud a.s., maka dengan sengaja mereka menulis berbagai macam ilmu sihir.
Di dalamnya dicatatkan bahwa barang siapa yang ingin mencapai anu dan anu,
hendaklah ia melakukan ini dan itu. Setelah semuanya terhimpun, lalu mereka
mencatatkannya ke dalam sebuah buku, lalu mereka cap dengan memakai cap seperti
cap Nabi Sulaiman. Mereka mencatat judulnya dengan kalimat sebagai berikut:
"Inilah semua yang dicatat oleh Asif ibnu Barkhia, teman dekat Nabi
Sulaiman ibnu Daud; di dalamnya terkandung perbendaharaan berbagai ilmu yang
langka". Kemudian mereka mengubur buku tersebut di bawah kursi singgasana
bekas Nabi Sulaiman.
Tidak lama kemudian buku tersebut
digali oleh sisa-sisa Bani Israil. Setelah menemukannya, mereka berkata,
"Demi Allah, kerajaan Sulaiman hanyalah tegak melalui ilmu ini." Lalu
mereka menyebarkan ilmu sihir di kalangan manusia, mempelajarinya, juga
mengajarkannya. Maka tiada sesuatu pun dari ilmu sihir itu dimiliki oleh
seseorang melainkan orang-orang Yahudi jauh lebih banyak darinya. Semoga laknat
Allah menimpa mereka.
Ketika Rasulullah Saw. menyebutkan di
antara wahyu yang diturunkan kepadanya dari Allah Swt. mengenai diri Nabi
Sulaiman ibnu Nabi Daud dan menyebutnya sebagai salah seorang dari kalangan
rasul-rasul Allah, maka orang-orang Yahudi yang ada di Madinah mengatakan,
"Tidakkah kalian heran dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad ini. Dia
menduga bahwa Sulaiman ibnu Daud adalah seorang nabi. Demi Allah, tiada lain
Sulaiman itu hanyalah seorang ahli sihir." Maka sehubungan dengan hal
tersebut Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang
dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan
bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir),
(Al-Baqarah: 102) hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Husain
Al-Hajjaj, dari Abu Bakar, dari Syahr ibnu Hausyab yang menceritakan bahwa
ketika kerajaan Nabi Sulaiman dirampas dari tangannya, maka selama Nabi Sulaiman
absen setan-setan mencatat ilmu sihir. Setan-setan tersebut mencatat bahwa
barang siapa yang ingin mendapatkan anu dan anu, hendaklah ia menghadap ke arah
matahari dan mengucapkan mantera ini dan itu. Barang siapa yang hendak
melakukan anu dan anu, hendaklah ia membelakangi matahari dan mengucapkan
mantera ini dan itu. Setan-setan itu mencatat semuanya dan menamakan catatannya
itu dengan suatu judul, yaitu "Inilah yang telah dicatat oleh Asif ibnu
Barkhia buat Raja Sulaiman ibnu Daud, mengandung perbendaharaan-perbendaharaan
rahasia ilmu yang terpendam".
Ketika Nabi Sulaiman mengetahui kitab
catatan itu, maka ia menguburnya di bawah kursi singgasananya. Setelah Nabi
Sulaiman meninggal dunia, iblis berdiri, lalu berkhotbah dengan mengatakan,
"Hai manusia, sesungguhnya Sulaiman itu bukanlah seorang nabi, melainkan
seorang penyihir. Maka carilah ilmu sihirnya itu di antara barang-barang
miliknya dan rumah-rumahnya." Kemudian iblis menunjukkan' kepada mereka
tempat Nabi Sulaiman mengubur kitab tersebut.
Maka mereka berkata, "Demi
Allah, sesungguhnya Sulaiman adalah seorang penyihir. Inilah sihirnya. Dengan
sihir ini kita diperbudak, dan dengan sihir ini kita dikalahkan."
Orang-orang yang beriman mengatakan, "Tidak, bahkan dia adalah seorang
nabi lagi mukmin."
Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad
Saw. dan beliau Saw. menceritakan perihal Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, maka
orang-orang Yahudi mengatakan, "Lihatlah oleh kalian Muhammad ini, dia
mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil. Dia menyebut Sulaiman
bersama para nabi, padahal sesungguhnya Sulaiman hanyalah tukang sihir yang
dapat menaiki angin." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan mereka
mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan
mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak
kafir (tidak mengerjakan sihir)..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 102).
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A’la As-San'ani, telah
menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia
pernah mendengar Imran ibnu Jarir mengatakan dari Abul Mijlaz, bahwa Nabi
Sulaiman mengikat tiap-tiap ekor kuda dengan sebuah janji. Untuk itu apabila
seorang lelaki memperolehnya (dalam perang), lalu Nabi Sulaiman memintanya,
maka ia harus menyerahkannya. Maka orang-orang menambah sajak dan sihir, lalu
mereka berkata, "Inilah yang diamalkan oleh Sulaiman ibnu Daud." Maka
Allah menurunkan firman-Nya: Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan
sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka
menga-jarkan sihir kepada manusia. (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Isam
ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada
kami Al-Mas'udi, dari Ziad maula Mus'ab, dari Al-Hasan sehubungan dengan tafsir
firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan.
(Al-Baqarah: 102) Bahwa sepertiganya berisikan syair, sepertiganya lagi
berisikan sihir, sedangkan sepertiga yang terakhir berisikan ramalan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami
Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar Al-Wasiti, telah menceritakan kepadaku
Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan sehu-bungan dengan
makna firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada
masa kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102) Artinya, orang-orang Yahudi mengikuti
apa yang dibacakan oleh setan-setan itu di masa kerajaan Nabi Sulaiman. Sebelum
itu ilmu sihir memang telah ada di muka bumi ini, tetapi baru diikuti hanya
pada masa kerajaan Nabi Sulaiman.
Demikianlah sekilas dari pendapat
para imam terdahulu sehubungan dengan makna ayat ini. Tetapi pada garis
besarnya tidak samar lagi kesemuanya dapat digabungkan menjadi suatu
kesimpulan, dan pada hakikatnya di antara pendapat-pendapat tersebut tidak ada pertentangan,
menurut pandangan orang-orang yang mempunyai pemahaman yang mendalam.
*********
Firman Allah Swt.:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو
الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ
Dan mereka mengikuti apa yang
dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102)
Yang dimaksud dengan mereka ialah
orang-orang Yahudi yang telah diberi Al-kitab (Taurat). Hal ini terjadi setelah
mereka berpaling dari ajaran Kitabullah (Taurat) yang ada di tangan mereka dan
setelah mereka menentang Rasulullah Saw. Sesudah kesemuanya itu mereka
mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan. Yang dimaksud dengan bacaan
setan ialah riwayat, berita, dan kisah yang dibacakan oleh setan-setan pada
masa kerajaan Sulaiman.
Dalam ungkapan ini fi'il tatlu
ber-muta'addi dengan huruf 'ala karena di dalamnya terkandung pengertian
membaca secara dusta.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa huruf
'ala dalam ayat ini mengandung makna sama dengan huruf fi, yakni tatlu fi mulki
Sulaiman, artinya: Yang dibacakan oleh setan-setan dalam kerajaan Sulaiman.
Ibnu Jarir menukil pendapat ini dari Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq.
Menurut kami, makna tadammun (yang
mengandung pengertian membaca dan berdusta) adalah lebih baik dan lebih utama.
Mengenai pendapat Al-Hasan Al-Basri
yang mengatakan bahwa dahulu sebelum masa Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud sihir
itu telah ada, pendapat ini memang benar dan tidak diragukan lagi. Mengingat
tukang-tukang sihir banyak didapat di masa Nabi Musa a.s., sedangkan zaman
Sulaiman ibnu Daud sesudah itu, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ
مِنْ بَنِي إِسْرائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسى
Apakah kamu tidak memperhatikan
pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah:
246).
Kemudian dalam kisah selanjutnya
disebutkan melalui firman-Nya:
وَقَتَلَ داوُدُ جالُوتَ
وَآتاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ
Dan (dalam peperangan ini) Daud
membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan
hikmah. (Al-Baqarah: 251)
Kaum Nabi Saleh —yang ada sebelum
Nabi Ibrahim a.s.— berkata kepada Nabi mereka (yaitu Nabi Saleh), seperti yang
dinyatakan oleh firman-Nya:
إِنَّمَا أَنْتَ مِنَ
الْمُسَحَّرِينَ
Sesungguhnya kamu adalah salah
seorang dari orang-orang yang terkena sihir. (Asy-Syu'ara: 153)
Menurut pendapat yang masyhur, lafaz
mas-hur artinya orang yang terkena sihir.
**********
Firman Allah Swt.:
وَمَا أُنزلَ عَلَى
الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ
حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ
مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ
dan apa yang diturunkan kepada dua
malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya
kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir." Maka mereka
mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat
menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. (Al-Baqarah: 102)
Para ulama berbeda pendapat
sehubungan dengan takwil ayat ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa huruf
ma adalah nafiyah, yakni huruf ma yang terdapat di dalam firman-Nya, "Wa
ma unzila 'alal malakaini."
Al-Qurtubi mengatakan bahwa ma adalah
nafiyah, ia di-'ataf-kan kepada firman-Nya, "Wa ma kafara Sulaimanu."
Selanjutnya dalam ayat berikut disebutkan:
{وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا
يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ} أَيِ: السِّحْرُ {عَلَى
الْمَلَكَيْنِ}
hanya setan-setan itulah yang kafir
(mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua malaikat. (Al-Baqarah: 102)
Karena dahulu orang-orang Yahudi
menduga bahwa ilmu sihir tersebut diturunkan oleh Malaikat Jibril dan Mikail.
Maka Allah Swt. membantah kedustaan mereka itu melalui firman-Nya:
هَارُوتَ وَمَارُوتَ
yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah:
102)
Kedudukan kedua lafaz ini menjadi
badal dari lafaz syayatin. Selanjutnya Al-Qurtubi mengatakan, hal seperti ini
dinilai sah, mengingat adakalanya jamak itu disebut dengan lafaz yang
menunjukkan pengertian dua, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
فَإِنْ كانَ لَهُ إِخْوَةٌ
jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa orang saudara. (An-Nisa: 11)
Atau karena keduanya mempunyai banyak
pengikut, atau keduanya diprioritaskan dalam sebutan di antara mereka karena
keduanya sangat jahat. Bentuk kalimat secara lengkap menurut Al-Qurtubi ialah
seperti berikut: "Mereka mengajarkan sihir kepada manusia di Babil, yakni
Harut dan Marut." Kemudian Al-Qurtubi mengatakan, "Takwil inilah yang
menurut pendapatku merupakan takwil yang paling utama dan paling sahih pada
ayat ini, sedangkan yang lainnya tidak perlu diperhatikan lagi."
Ibnu Jarir meriwayatkan berikut
sanadnya melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan tafsir
firman-Nya: dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil.
(Al-Baqarah: 102), hingga akhir ayat. Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah Swt.
tidak menurunkan sihir.
Menurut riwayat lain berikut sanadnya
Ibnu Jarir mengemukakan pula melalui Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan
takwil ayat ini, bahwa Allah Swt. menurunkan ilmu sihir kepada keduanya.
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan
bahwa takwil ayat ini seperti berikut: "Dan mereka mengikuti apa yang
dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman, yaitu berupa ilmu
sihir, padahal Sulaiman tidak mengerjakan sihir dan Allah pun tidak pernah
menurunkan ilmu sihir kepada dua malaikat, hanya setan-setanlah yang kafir.
Mereka mengajarkan ilmu sihir pada manusia di Babil, yakni Harut dan
Marut."
Dengan demikian, berarti lafaz
bibabila haruta wa maruta termasuk lafaz yang diakhirkan, tetapi maknanya
didahulukan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa
seandainya ada seseorang bertanya, "Apakah alasan yang membolehkan taqdim
(pendahuluan) tersebut?" Sebagai jawabannya ialah dikemukakan bahwa takwil
ayat seperti berikut: "Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh
setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman, yakni berupa ilmu sihir, padahal
Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), tidak pula Allah menurunkan
ilmu sihir kepada dua malaikat, hanya setan-setanlah yang kafir. Mereka
mengajarkan ilmu sihir kepada manusia di Babil, yaitu Harut dan Marut."
Lafaz malakaini dimaksudkan adalah Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail, karena
para ahli sihir orang-orang Yahudi menurut berita yang tersiar di kalangan
mereka menduga bahwa Allah Swt. telah menurunkan ilmu sihir melalui lisan
Jibril dan Mikail yang disampaikan kepada Sulaiman ibnu Daud. Maka Allah
mendustakan tuduhan yang mereka lancarkan itu, dan memberitahukan kepada
Nabi-Nya (Nabi Muhammad Saw.) bahwa Jibril dan Mikail sama sekali tidak pernah
menurunkan ilmu sihir. Dan Allah Swt. membersihkan diri Nabi Sulaiman a.s. dari
tuduhan mempraktikkan sihir yang mereka lancarkan itu. Sekaligus Allah
memberitahukan kepada mereka (orang-orang Yahudi) bahwa sihir itu merupakan
perbuatan setan-setan. Setan-setanlah yang mengajarkannya kepada manusia di
Babil. Orang-orang yang mengajarkan sihir kepada mereka adalah dua orang
lelaki, salah seorangnya bernama Harut, sedangkan yang lain adalah Marut.
Berdasarkan takwil ini berarti Harut
dan Marut adalah nama manusia, sekaligus sebagai bantahan terhadap apa yang
mereka tuduhkan terhadap kedua malaikat (Jibril dan Mikail). Demikianlah
nukilan dari Ibnu Jarir secara harfiah.
Sesungguhnya Ibnu Abu Hatim
mengatakan bahwa ia pernah menceritakan riwayat berikut dari Ubaidillah ibnu
Musa yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Marzuq, dari
Atiyyah sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Wa ma unzila 'alal malakaini,"
bahwa Allah sama sekali tidak menurunkan ilmu sihir kepada Malaikat Jibril dan
Malaikat Mikail.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan pula kepada kami Al-Fadl ibnu Syazan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ya’la (yakni Ibnu Asad),
telah menceritakan kepada kami Bakr (yakni Ibnu Mus'ab), telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan ibnu Abu Ja'far, bahwa Abdur Rahman ibnu Abza selalu
membaca ayat berikut dengan bacaan: Wa ma unzila 'alal malakaini Dawuda wa
Sulaimana.
Abul Aliyah mengatakan bahwa Allah
tidak menurunkan ilmu sihir kepada keduanya (Daud dan Sulaiman). Keduanya
mengajarkan kepada iman dan memperingatkan terhadap kekufuran, sedangkan sihir
termasuk perbuatan kafir. Keduanya selalu melarang perbuatan kufur dengan
larangan yang sangat keras. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Kemudian Ibnu Jarir melanjutkan
kata-katanya sehubungan dengan bantahannya terhadap pendapat Al-Qurtubi tadi,
bahwa huruf ma dalam ayat ini bermakna al-lazi; lalu ia membahasnya dengan
pembahasan yang panjang lebar. Ia menduga bahwa Harut dan Marut adalah dua
malaikat yang diturunkan ke bumi oleh Allah Swt. Allah mengizinkan keduanya
untuk mengajarkan ilmu sihir sebagai cobaan buat hamba-hamba-Nya, sekaligus
sebagai ujian, sesudah Allah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan
rasul-rasul-Nya bahwa melakukan sihir itu merupakan perbuatan terlarang.
Ibnu Jarir menduga pula bahwa Harut
dan Marut dalam mengajarkan ilmu sihir tersebut dianggap sebagai malaikat yang
taat, mengingat keduanya dalam rangka melaksanakan perintah Allah. Pendapat
yang ditempuh oleh Ibnu Jarir ini sangat garib.
Tetapi ada pendapat yang lebih garib
lagi dari itu, yaitu pendapat orang yang mengatakan bahwa Harut dan Marut
adalah dua kabilah dari kalangan makhluk jin, seperti yang dikatakan oleh Ibnu
Hazm.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan berikut
sanadnya melalui Ad-Dahhak ibnu Muzahim, bahwa ia pernah membacakan wama unzila
'alal malakaini, lalu ia mengatakan bahwa keduanya adalah dua orang kafir dari
kalangan penduduk negeri Babil. Alasan yang dipegang oleh orang-orang yang
berpendapat demikian ialah bahwa al-inzal di sini bermakna menciptakan, bukan
menurunkan; seperti pengertian yang terkandung di dalarn firman Allah Swt.
lainnya, yaitu:
وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ
الْأَنْعامِ ثَمانِيَةَ أَزْواجٍ
Dia ciptakan bagi kalian delapan ekor
yang berpasangan dari binatang ternak. (Az-Zumar: 6)
وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ
بَأْسٌ شَدِيدٌ
Dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat. (Al-Hadid: 25)
وَيُنَزِّلُ لَكُمْ مِنَ
السَّماءِ رِزْقاً
Dan Dia menciptakan untuk kalian
rezeki dari langit. (Al-Mu’min: 13)
Di dalam sebuah hadis disebutkan
seperti berikut:
«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ
لَهُ دَوَاءً»
Tidak sekali-kali Allah menciptakan
penyakit melainkan Dia menciptakan pula obat penawarnya.
Sebagaimana dikatakan dalam suatu
pepatah, "Allah menciptakan kebaikan dan keburukan."
Al-Qurtubi meriwayatkan melalui Ibnu
Abbas, Ibnu Abza, dan Al-Hasan Al-Basri, bahwa mereka membaca ayat ini seperti
berikut: Wama unzila 'alal malikaini, dengan huruf lam yang di-kasrah-kan. Ibnu
Abza mengatakan, yang dimaksud dengan al-malikaini adalah Daud dan Sulaiman.
Imam Qurtubi mengatakan bahwa dengan bacaan ini berarti huruf ma adalah
nafiyah.
Ulama lainnya berpendapat mewaqafkan
pada firman-Nya, "Yu'allimunan nasas sihra," sedangkan huruf ma
adalah nafiyah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepadanya Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah
menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim ibnu
Muhammad ketika ditanya mengenai takwil firman-Nya oleh seorang lelaki, yaitu:
Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua
malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102) Bahwa
keduanya adalah dua orang lelaki, mereka mengajarkan kepada manusia apa yang
diturunkan kepada keduanya. Menurut yang lainnya, keduanya mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diturunkan kepada keduanya. Al-Qasim ibnu Muhammad
mengatakan, "Aku tidak pedulikan lagi mana yang dimaksud di antara
keduanya."
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula
dari Yunus, dari Anas ibnu Iyad, dari sebagian teman-temannya, bahwa Al-Qasim
ibnu Muhammad sehubungan dengan kisah ini mengatakan, "Aku tidak
mempedulikan mana yang dimaksud di antaranya, pada prinsipnya aku tetap beriman
kepadanya."
Kebanyakan ulama Salaf berpendapat
bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat dari langit, dan bahwa keduanya
diturunkan ke bumi, kemudian terjadilah apa yang dialami oleh keduanya. Kisah
keduanya itu disebutkan di dalam hadis marfu'' yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad di dalam kitab Musnadnya, seperti yang akan kami kemukakan nanti, insya
Allah.
Berdasarkan pengertian ini, berarti
dari penggabungan antara pendapat ini dengan dalil-dalil yang menyatakan bahwa
para malaikat itu terpelihara dari kesalahan dapat disimpulkan bahwa peristiwa
yang dialami oleh kedua malaikat ini sejak zaman azali telah diketahui oleh
ilmu Allah. Dengan demikian, berarti peristiwa ini merupakan kekhususan bagi
keduanya; maka tidak ada pertentangan pada kedua dalilnya, seperti juga yang
telah diketahui oleh ilmu Allah mengenai perkara iblis dalam keterangan
terdahulu. Tidak bertentangan pula dengan pendapat yang mengatakan bahwa pada
awalnya iblis merupakan segolongan dari malaikat, sebagaimana yang disebutkan
oleh firman-Nya:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ
اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ أَبَى
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman
kepada para malaikat, "Sujudlah kalian kepada Adam. Maka sujudlah mereka
kecuali iblis, ia enggan. (Al-Baqarah: 34)
dan ayat-ayat lainnya yang
menunjukkan makna tersebut. Tetapi perlu diingat bahwa apa yang dilakukan oleh
Harut dan Marut —bila ditinjau dari kisah keduanya— jauh lebih ringan daripada
apa yang dialami oleh iblis yang dilaknat Allah. Hal ini diriwayatkan oleh
Al-Qurtubi, dari Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ka'b Al-Ahbar,
As-Saddi, dan Al-Kalbi.
Hadis yang menceritakan Harut dan
Marut
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ
حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ، فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ [أَبِي]
بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ مُوسَى بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ
نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ: أَنَّهُ سَمِعَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ آدَمَ -عَلَيْهِ
السَّلَامُ-لَمَّا أَهْبَطَهُ اللَّهُ إِلَى الْأَرْضِ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ:
أَيْ رَبِّ {أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ
وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا
تَعْلَمُونَ} [الْبَقَرَةِ: 30] ، قَالُوا: رَبَّنَا، نَحْنُ أَطْوَعُ لَكَ مِنْ
بَنِي آدَمَ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْمَلَائِكَةِ: هَلُموا مَلَكَيْنِ مِنَ
الْمَلَائِكَةِ حَتَّى نُهْبِطَهُمَا إِلَى الْأَرْضِ، فَنَنْظُرَ كَيْفَ
يَعْمَلَانِ؟ قَالُوا: برَبِّنا، هاروتَ وماروتَ. فَأُهْبِطَا إِلَى الْأَرْضِ
ومثُلت لَهُمَا الزُّهَرة امْرَأَةً مِنْ أَحْسَنِ الْبَشَرِ، فَجَاءَتْهُمَا،
فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَتَكَلَّمَا بِهَذِهِ
الْكَلِمَةِ مِنَ الْإِشْرَاكِ. فَقَالَا وَاللَّهِ لَا نُشْرِكُ بِاللَّهِ
شَيْئًا أَبَدًا. فَذَهَبَتْ عَنْهُمَا ثُمَّ رَجَعَتْ بِصَبِيٍّ تَحْمِلُهُ،
فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَقْتُلَا هَذَا
الصَّبِيَّ. فَقَالَا لَا وَاللَّهِ لَا نَقْتُلُهُ أَبَدًا. ثُمَّ ذَهَبَتْ
فَرَجَعَتْ بقَدَح خَمْر تَحْمِلُهُ، فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا
وَاللَّهِ حَتَّى تَشْرَبَا هَذَا الْخَمْرَ. فَشَرِبَا فَسَكِرَا، فَوَقْعَا
عَلَيْهَا، وَقَتَلَا الصَّبِيَّ. فَلَمَّا أَفَاقَا قَالَتِ الْمَرْأَةُ:
وَاللَّهِ مَا تَرَكْتُمَا شَيْئًا أَبَيْتُمَاهُ عَلِيَّ إِلَّا قَدْ
فَعَلْتُمَاهُ حِينَ سَكِرْتُمَا. فخيرَا بَيْنَ عَذَابِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ
الْآخِرَةِ، فَاخْتَارَا عَذَابَ الدُّنْيَا".
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan di
dalam kitab Musnad-nya, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah
menceritakan kepada kami Zuhair ibnu Muhammad, dari Musa ibnu Jubair, dari
Nafi', dari Abdullah ibnu Umar r.a., bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw.
bersabda: Sesungguhnya Adam a.s. ketika diturunkan oleh Allah ke bumi, para
malaikat berkata, "Wahai Tuhan, mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kalian ketahui." Mereka bermaksud, "Wahai Tuhan kami, kami
lebih taat kepada-Mu daripada Bani Adam." Allah berfirman kepada para
malaikat, "Datangkanlah dua malaikat oleh kalian untuk Kami turunkan ke
bumi, lalu Kami lihat apa yang akan dikerjakan oleh keduanya." Mereka
berkata, "Wahai Tuhan kami, Harut dan Marut." Kemudian keduanya
diturunkan ke bumi, dan diciptakan bagi keduanya Zahrah, yaitu seorang wanita
yang paling cantik di masanya. Lalu Zahrah datang kepada keduanya, maka
keduanya meminta agar Zahrah menyerahkan diri kepadanya. Zahrah menjawab,
"Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua mengucapkan kalimat-kalimat ini
(yang mengandung makna kemusyrikan)." Kedua malaikat itu menjawab,
"Tidak, demi Allah, kami tidak mau menyekutukan Allah dengan sesuatu pun
untuk selama-lamanya." Zahrah pergi dari keduanya, lalu kembali lagi
dengan membawa seorang bayi laki-laki yang digendongnya. Kedua malaikat itu
meminta Zahrah agar menyerahkan diri kepada keduanya, maka Zahrah menjawab,
"Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua membunuh bayi kecil ini."
Keduanya menjawab, "Tidak, demi Allah, kami tidak akan membunuhnya
selama-lamanya." Zahrah pergi meninggalkan keduanya, lalu kembali lagi
dengan membawa sebuah wadah yang berisikan khamr. Ketika keduanya meminta agar
ia menyerahkan diri kepada keduanya, maka ia menjawab, "Tidak, demi Allah,
sebelum kamu berdua meminum khamr ini." Keduanya meminum khamr itu hingga
mabuk, dan akhirnya keduanya menggauli Zahrah, lalu membunuh anak kecil
itu." Ketika keduanya sadar, si wanita itu (yakni Zahrah) berkata kepada
keduanya, "Demi Allah, tiada sesuatu pun" yang pada mulanya kamu
berdua menolak kepadaku tidak mau melakukannya, melainkan sekarang .kamu telah
melakukannya di saat kamu berdua mabuk." Akhirnya kedua malaikat itu
disuruh memilih antara azab di dunia dan azab di akhirat, maka keduanya memilih
azab di dunia.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh
Abu Hatim ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui Al-Hasan, dari Sufyan,
dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Yahya ibnu Bukair. Hadis ini berpredikat
garib ditinjau dari sanad ini; semua perawinya berpredikat siqah, semuanya dari
kalangan para perawi kitab Sahihain, kecuali Musa ibnu Jubair. Dia adalah
seorang dari Ansar, dari kabilah As-Sulami; maula mereka adalah Al-Madini
Al-Hazza.
Musa ibnu Jubair ini meriwayatkan
hadisnya dari Ibnu Abbas, Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif, Nafi', dan Abdullah
ibnu Ka'b ibnu Malik. Orang-orang yang telah mengambil hadis darinya ialah anak
lelakinya sendiri (yaitu Abdus Salam), Bakr ibnu Mudar, Zuhair ibnu Muhammad,
Sa'id ibnu Salamah, Abdullah ibnu Luhai'ah, Amr ibnul Haris, dan Yahya ibnu
Ayyub. Orang-orang yang meriwayatkan hadisnya ialah Abu Daud dan Ibnu Majah.
Ibnu Abu Hatim di dalam kitab Al-Jarhu wat Ta'dil menyebutkannya, tetapi dia
tidak sedikit pun menceritakan perihal pribadinya, baik yang menyangkut hadis
ini atau pun yang lainnya. Pada kesimpulannya dia adalah perawi yang keadaannya
tidak diketahui. Sesungguhnya dia menyendiri dengan hadis ini, dari Nafi' maula
Ibnu Umar r.a., dari Nabi Saw. Tetapi menurut Ibnu Murdawaih, ada seorang
mutabi’ yang meriwayatkan hadis ini melalui Nafi' dari jalur lain, yaitu: Telah
menceritakan kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami
Hisyam ibnu Ali ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abdulah ibnu Raja',
telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Salamah, telah menceritakan kepada
kami Musa ibnu Sarjis, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah mendengar
Nabi Saw. bersabda mengatakan hadis ini. Lalu ia menyebut hadis ini secara panjang
lebar.
Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada
Al-Husain (yakni Sunaid ibnu Daud, penulis kitab tafsir), telah menceritakan
kepada kami Al-Faraj ibnu Fudalah, dari Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Nafi'. Nafi'
menceritakan bahwa ia pernah bepergian bersama Ibnu Umar. Ketika malam hari
sampai pada penghujung waktunya, Ibnu Umar berkata, "Hai Nafi', lihatlah
apakah bintang merah telah terbit?" Aku menjawab, "Belum,"
sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian aku katakan, "Ia telah terbit."
Ibnu Umar menjawab, "Tiada selamat terbit dan tiada selamat datang
baginya." Aku berkata, "Subhanallah (Mahasuci Allah), bintang itu
diciptakan dalam keadaan tunduk dan taat (kepada perintah Allah)." Ia
menjawab bahwa tidak sekali-kali ia mengatakan demikian melainkan setelah ia
mendengar Rasulullah Saw. bersabda kepadanya menceritakan kisah berikut, yaitu:
«إِنَّ الْمَلَائِكَةَ قَالَتْ يَا رَبِّ
كَيْفَ صَبْرُكَ عَلَى بَنِي آدَمَ فِي الْخَطَايَا وَالذُّنُوبِ؟ قَالَ: إِنِّي
ابْتَلَيْتُهُمْ وَعَافِيَتُكُمْ، قَالُوا: لَوْ كُنَّا مَكَانَهُمْ مَا
عَصَيْنَاكَ، قَالَ: فَاخْتَارُوا مَلَكَيْنِ مِنْكُمْ، قَالَ: فَلَمْ يَأْلُوا
جُهْدًا أَنْ يَخْتَارُوا فَاخْتَارُوا هَارُوتَ وَمَارُوتَ»
Sesungguhnya para malaikat pernah
berkata, "Wahai Tuhan, bagaimanakah Engkau sabar terhadap Bani Adam yang
gemar melakukan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa itu?" Allah berfirman,
"Sesungguhnya Aku menimpakan cobaan kepada mereka, sedangkan kalian
Kubebaskan dari cobaan." Mereka berkata, "Seandainya kami
menggantikan mereka, niscaya kami tidak akan durhaka kepada-Mu." Allah
Swt. berfirman, "Pilihlah oleh kalian dua malaikat dari kalangan kalian.”
Maka mereka mengerahkan segala kemampuannya untuk melakukan pilihan, akhirnya
mereka memilih Harut dan Marut.
Riwayat ini pun sangat garib, dan
yang lebih dekat kepada kebenaran dalam hal ini ialah yang bersumber dari
riwayat Abdullah ibnu Umar, dari Ka'b Al-Ahbar, bukan dari Nabi Saw. Seperti
yang dikatakan oleh Abdur Razzaq di dalam kitab tafsirnya, dari As-Sauri, dari
Musa ibnu Uqbah, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Ka'b Al-Ahbar yang
menceritakan riwayat berikut:
Para malaikat membicarakan tentang
amal perbuatan anak-anak Adam dan dosa-dosa yang dilakukan mereka. Maka
dikatakan kepada para malaikat, "Pilihlah dua malaikat dari kalangan
kalian.” Lalu mereka memilih Harut dan Marut, dan Allah Swt. berfirman kepada
keduanya, "Sesungguhnya Aku akan mengirimkan para rasul kepada Bani Adam,
tetapi antara Aku dan kamu berdua tidak ada rasul. Turunlah kamu berdua (ke
bumi); janganlah kamu sekutukan Aku dengan sesuatu pun, jangan berzina, dan
jangan minum khamr." Ka'b melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, tidak
sekali-kali keduanya mengalami sore hari pada hari mereka diturunkan ke bumi,
melainkan keduanya telah rampung mengerjakan semua hal yang keduanya dilarang
melakukannya."
Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir
melalui dua jalur periwayatan dari Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama.
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ahmad ibnu Isham, dari Muammal,
dari Sufyan As-Sauri dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah
menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-MA’la
(yaitu Ibnu Asad), telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnul Mukhtar,
dari Musa ibnu Uqbah, telah menceritakan kepadaku Salim, bahwa ia pernah
mendengar Abdullah menceritakan riwayat berikut dari Ka'b ibnul Ahbar, lalu ia
mengetengahkannya.
Riwayat terakhir ini lebih sahih dan
lebih kuat sanadnya (sandarannya) sampai kepada Abdullah ibnu Umar daripada
kedua sanad sebelumnya. Salim lebih kuat predikatnya bila dinisbatkan kepada
ayahnya sendiri ketimbang kepada maulanya, Nafi'. Hadis ini merujuk dan
berpangkal kepada nukilan Ka'b Al-Ahbar yang ia ambil dari kitab-kitab Bani
Israil.
Asar yang menceritakan Harut, Marut
dan Zahrah
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj,
telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Khalid Al-Hazza, dari Umair ibnu
Sa'id yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Ali r.a. menceritakan asar
berikut:
Zahrah adalah seorang wanita cantik
dari kalangan penduduk negeri Persia. Sesungguhnya ia pernah mengadukan suatu
perkara kep-da dua malaikat, yaitu Harut dan Marut. Akan tetapi, Harut dan
Marut merayunya agar mau menyerahkan diri kepada keduanya. Ia menolak ajakan
tersebut, kecuali bila keduanya mengajarkan kepadanya suatu mantera yang bila
dibacakan oleh seseorang, maka ia dapat terbang naik ke langit. Lalu keduanya
mengajarkan mantera itu kepadanya, dan ia segera merapalkannya. Maka naiklah ia
ke langit, tetapi setelah itu ia dikutuk (oleh Allah Swt.) menjadi sebuah
bintang (yaitu bintang Zahrah atau Venus).
Sanad riwayat ini semua perawinya
berpredikat siqah, tetapi dinilai sangat garib (aneh).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah
menceritakan kepada kami Mu'awiyah, dari Abu Khalid, dari Umair ibnu Sa'id,
dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa keduanya adalah malaikat dari langit. Yang
dimaksud ialah takwil yang terkandung di dalam firman-Nya: dan apa yang
diturunkan kepada dua malaikat. (Al-Baqarah: 102)
Asar ini diriwayatkan pula oleh
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya berikut sanadnya
melalui Mugis, dari maulanya (yaitu Ja'far ibnu Muhammad), dari ayahnya, dari
kakeknya, dari Ali secara marfu'. Hal ini pun tidak dapat menguatkan sanad
hanya dari segi ini.
Kemudian Abu Bakar ibnu Murdawaih
meriwayatkannya pula melalui dua jalur yang lain, dari Jabir, dari Abut Tufail,
dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَعَنَ اللَّهُ الزُّهَرَةَ فَإِنَّهَا هِيَ
التِي فَتَنَتِ الْمَلَكَيْنِ هَارُوتَ وَمَارُوتَ»
Semoga Allah melaknat Zahrah, karena
sesungguhnya dialah yang memfitnah dua malaikat, yaitu Harut dan Marut.
Hadis ini pun tidak sahih, bahkan
berpredikat munkar sekali.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Al-Musanna ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami
Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ali ibnu
Zaid, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas, bahwa keduanya
pernah menceritakan asar berikut:
Ketika Bani Adam bertambah banyak
jumlahnya dan mereka sering melakukan maksiat, maka para malaikat, bumi, dan
gunung-gunung mendoakan kebinasaan bagi mereka, "Wahai Tuhan kami,
janganlah Engkau tangguhkan mereka." Maka Allah Swt. berfirman kepada para
malaikat, "Sesungguhnya telah Aku lenyapkan dari hati kalian nafsu berahi
dan setan, sedangkan di dalam hati mereka Aku jadikan nafsu berahi dan setan.
Seandainya kalian menduduki tempat mereka, niscaya kalian pun akan melakukan
hal yang sama." Maka dalam hati para malaikat terdetik kata-kata yang
mengatakan, "Seandainya mereka dicoba, niscaya mereka akan berteguh
hati." Maka Allah berfirman kepada mereka, "Pilihlah dua malaikat
dari kalangan malaikat yang paling utama dari kalian." Lalu mereka memilih
Harut dan Marut, kemudian keduanya diturunkan ke bumi.
Lalu Zahrah diturunkan dalam rupa
seorang wanita cantik dari kalangan penduduk negeri Persia yang dikenal oleh
mereka dengan sebutan Baizakhat. Akhirnya kedua malaikat itu terjerumus ke
dalam perbuatan yang berdosa. Pada mulanya malaikat selalu memohonkan ampunan
buat orang-orang yang beriman saja (seraya mengucapkan): Wahai Tuhan kami,
rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu..., hingga akhir ayat,
(Al-Mu’min: 7).
Akan tetapi, setelah kedua malaikat
tersebut terjerumus ke dalam perbuatan dosa, maka mereka memohonkan arnpun buat
semua orang yang berada di muka bumi (seraya mengucapkan): Ingatlah, bahwa
sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Asy-Syura:
5)
Lalu keduanya disuruh memilih antara
azab di dunia dan azab di akhirat, maka keduanya memilih azab di dunia.
Ibnu Abu Hatim menceritakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Ja'far Ar-Ruqi, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Amr), dari
Zaid ibnu Abu Anisah, dari Al-Minhal ibnu Amr dan Yunus ibnu Khabbab, dari
Mujahid yang menceritakan asar berikut:
Aku turun istirahat di rumah Abdullah
ibnu Amr dalam suatu perjalananku. Ketika datang suatu malam, ia berkata kepada
pelayannya, "Lihatlah apakah bintang Hamra terbit? Tiada selamat datang
dan tiada selamat terbit buatnya, dan semoga Allah tidak menghidupkannya lagi;
dia adalah teman wanita dari dua malaikat."
Ibnu Umar melanjutkan kisahnya bahwa
pada mulanya para malaikat berkata, "Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau
biarkan saja orang-orang durhaka dari kalangan Bani Adam itu? Mereka gemar
mengalirkan darah secara haram, mengerjakan hal-hal yang diharamkan oleh-Mu,
dan membuat kerusakan di muka bumi." Allah Swt. berfirman,
"Sesungguhnya Aku menimpakan cobaan terhadap mereka. Barangkali jika Aku
timpakan kepada kalian cobaan yang sama seperti cobaan yang Kutimpakan kepada
mereka, maka kalian pun akan mengerjakan seperti apa yang dilakukan mereka
itu." Mereka menjawab, "Tidak mungkin."
Allah Swt. berfirman, "Pilihlah
oleh kalian dua malaikat yang terkemuka dari kalian." Maka mereka memilih
Harut dan Marut. Allah Swt. berfirman kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku
akan menurunkan kamu berdua ke bumi dan mengadakan perjanjian dengan kamu,
bahwa kamu tidak boleh musyrik, tidak boleh berzina, dan tidak boleh
khianat." Kedua malaikat itu diturunkan ke bumi dan Allah memberinya nafsu
syahwat, lalu Allah pun menurunkan Zahrah bersama keduanya dalam rupa seorang
wanita yang paling cantik.
Zahrah menampilkan diri kepada
keduanya, maka keduanya merayu Zahrah agar menyerahkan diri kepada keduanya.
Tetapi Zahrah berkata, "Sesungguhnya aku adalah.pemeluk suatu agama yang
melarang seseorang mendatangiku kecuali jika orang itu seagama denganku,"
Keduanya bertanya, "Apakah agamamu?" Zahrah menjawab,
"Majusi." Keduanya berkata, "Agama musyrik. Ini adalah agama
yang sama sekali tidak kami akui." Maka Zahrah pergi meninggalkan keduanya
selama masa yang dikehendaki oleh Allah Swt.
Kemudian Zahrah menampakkan diri lagi
kepada keduanya, lalu keduanya merayunya agar menyerahkan diri kepada keduanya,
tetapi Zahrah menjawab, "Aku mau menuruti kehendakmu berdua, hanya saja
aku mempunyai suami dan aku tidak suka bila suamiku nanti mengetahui
perbuatanku yang akibatnya rahasiaku akan terbongkar. Akan tetapi, jika kamu
berdua berjanji kepadaku mau masuk agamaku dan mengajarkan kepadaku cara naik
ke langit, niscaya aku akan memenuhi kemauanmu."
Keduanya memasuki agama wanita itu
dan mendatanginya seperti apa yang dikehendaki oleh keduanya. Setelah itu
keduanya membawa Zahrah naik ke langit. Tetapi setelah mereka sampai di langit,
wanita itu diculik dari tangan keduanya, dan sayap keduanya dipotong hingga
akhirnya keduanya terjatuh ke bumi dalam keadaan takut, menyesal, dan menangisi
perbuatannya.
Pada masa itu di bumi terdapat
seorang nabi yang selalu memanjatkan doa di antara dua Jumat; apabila datang
hari Jumat berikutnya, maka doanya diperkenankan. Keduanya berkata
"Sebaiknya kita datang kepada si Fulan (nabi tersebut), lalu kita meminta kepadanya
agar sudi memohonkan tobat buat kita." Keduanya datang kepada nabi itu,
lalu si nabi berkata, "Semoga Allah mengasihani kamu berdua, mana mungkin
penduduk bumi memohonkan tobat buat penduduk langit?" Keduanya berkata,
"Sesungguhnya kami telah tertimpa cobaan." Nabi berkata, "Kalau
demikian, datanglah kamu berdua pada hari Jumat." Pada hari Jumat keduanya
datang kepada nabi itu, dan nabi berkata, "Aku masih belum dikabulkan
barang sedikit pun buat kamu berdua. Sebaiknya kamu datang lagi kepadaku pada
hari Jumat berikutnya." Maka keduanya datang kepadanya pada Jumat
berikutnya.
Nabi itu berkata, "Kamu berdua
harus memilih, karena sesungguhnya kamu disuruh memilih salah satu di antara
dua alternatif. Kamu boleh memilih selamat di dunia dan azab di akhirat. Atau
jika kamu suka, boleh memilih azab di dunia, sedangkan di akhirat urusan kamu
berdua berada di tangan kekuasaan Allah."
Salah satu dari keduanya berkata,
"Sesungguhnya masa yang dilalui oleh dunia baru sebentar." Yang lain
mengatakan, "Celakalah kamu, sesungguhnya aku pada mulanya mau menuruti
kemauanmu, sekarang kamu harus mau menuruti kemauanku. Sesungguhnya azab yang
fana (azab di dunia) tidaklah seperti azab yang kekal (azab di akhirat)."
Malaikat pertama berkata, "Sesungguhnya kita di hari kiamat nanti berada
dalam tangan kekuasaan Allah, maka aku merasa ta-kut bila Dia mengazab kita
nantinya." Malaikat yang kedua menjawab, "Tidak, sesungguhnya aku
berharap Allah pasti mengetahui bahwa kita telah memilih azab di dunia karena
takut azab akhirat, semoga saja Dia tidak menggabungkan keduanya pada
kita."
Keduanya sepakat memilih azab di
dunia, maka keduanya dijungkirkan dalam keadaan terikat oleh rantai besi ke
dalam sebuah lubang yang bagian atas dan bagian bawahnya dipenuhi dengan api.
Sanad riwayat ini berpredikat jayyid
(baik) sampai kepada Abdullah ibnu Umar. Dalam pembahasan terdahulu telah
disebutkan predikat marfu' pada riwayat Ibnu Jarir melalui hadis Mu'awiyah ibnu
Saleh, dari Nafi'. Akan tetapi, sanad riwayat ini lebih kuat dan lebih sahih.
Kemudian perlu diketahui bahwa riwayat Ibnu Umar bersumber dari Ka'b, seperti
yang diterangkan dahulu pada riwayat Salim, dari ayahnya.
Bagian hadis yang mengatakan bahwa
sesungguhnya Zahrah d-turunkan dalam rupa seorang wanita yang cantik
—demikianlah menurut riwayat dari Ali— di dalamnya terkandung hal yang sangat
aneh.
Asar paling dekat kepada kebenaran
sehubungan dengan masalah ini ialah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim,
telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami
Adam, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, telah menceritakan kepada kami
Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Qais ibnu Abbad, dari Ibnu Abbas r.a. yang
menceritakan kisah berikut:
Ketika manusia sesudah masa Nabi Adam
a.s. terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan maksiat dan kufur kepada Allah,
maka para malaikat yang ada di langit berkata, "Wahai Tuhan, makhluk yang
telah Engkau ciptakan hanya untuk beribadah dan taat kepada-Mu kini telah
terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan yang membinasakan. Mereka mengerjakan
kekufuran, membunuh jiwa, memakan harta haram, zina, mencuri, dan minum
khamr." Lalu para malaikat mengutuk perbuatan mereka dan tidak memaafkan
mereka. Ketika dikatakan kepada para malaikat bahwa mereka dalam keadaan tidak
sadar, maka para malaikat tetap pada sikapnya.
Dikatakan kepada mereka (para
malaikat), "Pilihlah oleh kalian dua malaikat yang paling utama di antara
kalian, Aku akan membebankan perintah dan larangan kepadanya." Lalu mereka
memilih Harut dan Marut, keduanya diturunkan ke bumi, dan dibekalkan kepada
keduanya berbagai macam hawa nafsu seperti Bani Adam (manusia). Allah
memerintahkan kepada keduanya agar menyembah-Nya dan jangan mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun. Allah melarangnya membunuh jiwa yang diharamkan dan memakan
harta yang haram, serta melarangnya berzina, mencuri, dan minum khamr.
Keduanya tinggal di bumi seraya
memutuskan hukum di antara manusia secara hak selama beberapa waktu. Hal ini
terjadi di masa Nabi Idris a.s.
Di zaman itu terdapat seorang wanita
yang kecantikannya di antara wanita-wanita lainnya sama dengan kecantikan
bintang Zahrah (Venus) di antara bintang-bintang lainnya. Kedua malaikat itu
sering datang kepadanya, dan akhirnya keduanya menuruti apa yang dikatakan oleh
wanita itu. Keduanya menginginkan diri wanita itu, tetapi si wanita menolak
kecuali jika keduanya menuruti apa yang dikatakannya dan memasuki agamanya.
Keduanya bertanya kepada si wanita tentang agama yang dipeluknya, lalu si
wanita mengeluarkan sebuah berhala untuk keduanya dan berkata, "Sembahlah
ini!" Kedua malaikat menjawab, "Kami tidak perlu menyembah berhala
ini." Lalu keduanya pergi dan tidak datang lagi selama masa yang
dikehendaki oleh Allah.
Keduanya datang lagi kepada wanita
itu dan menginginkan diri wanita tersebut, sedangkan si wanita melakukan hal
yang sama, lalu keduanya pergi meninggalkannya. Akan tetapi, setelah itu
keduanya datang lagi dan menginginkan diri si wanita itu.
Ketika si wanita melihat bahwa
keduanya tetap menolak —tidak mau menyembah berhala— maka berkatalah ia,
"Pilihlah olehmu salah satu di antara ketiga perkara ini, yaitu apakah
kamu berdua menyembah berhala ini, atau kamu berdua membunuh jiwa ini, atau
kamu berdua meminum khamr ini." Keduanya mengatakan, "Semuanya tidak
pantas dilakukan, tetapi yang ringan dari kesemuanya ialah meminum khamr."
Maka keduanya meminum khamr itu hingga mabuk. Akhirnya mereka berdua menggauli
wanita itu; dan karena rasa takut perbuatan keduanya akan diceritakan kepada
orang lain, maka keduanya membunuh orang tersebut.
Ketika rasa mabuk telah lenyap dari
keduanya dan keduanya menyadari perbuatan dosa yang telah dilakukannya, maka
keduanya bermaksud naik ke langit; tetapi tidak bisa, seakan-akan keduanya
dihalangi hingga tidak dapat terbang. Tersingkaplah penutup antara keduanya dan
semua malaikat penduduk langit. Maka para malaikat melihat apa yang telah
dilakukan oleh keduanya hingga mereka semua merasa sangat heran. Akhirnya
mereka mengetahui bahwa orang yang dalam keadaan tidak sadar, rasa takutnya
berkurang. Sejak itu para malaikat memohonkan ampun buat penduduk bumi.
Sehubungan dengan kisah tersebut
diturunkanlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan malaikat-malaikat bertasbih
serta memuji Tuhan-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi.
(Asy-Syura: 5)
Lalu dikatakan kepada keduanya,
"Pilihlah oleh kamu berdua azab dunia atau azab akhirat." Keduanya
berkata, "Adapun azab dunia, sesungguhnya ia ada masa akhirnya dan
berhenti, sedangkan azab akhirat tidak ada putus-putusnya." Keduanya
memilih azab di dunia, lalu keduanya diazab di negeri Babil.
Asar ini diriwayatkan pula secara
panjang lebar oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui Abu Zakaria
Al-Anbari, dari Muhammad ibnu Abdus Salam, dari Ishaq ibnu Rahawaih, dari
Hakkam ibnu Salam Ar-Razi (dia seorang yang siqah), dari Abu Ja'far Ar-Razi
dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih
sanadnya, hanya keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak
mengetengahkannya. Asar ini merupakan riwayat yang lebih dekat kepada kebenaran
dalam masalah Zahrah ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muslim, telah
menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnul Fadl Al-Hazza'i, telah menceritakan
kepada kami Yazid (yakni Al-Farisi), dari Ibnu Abbas yang menceritakan asar
berikut:
Bahwa penduduk langit dunia memandang
kepada penduduk bumi, maka penduduk langit (para malaikat) melihat mereka
sering mengerjakan kemaksiatan-kemaksiatan. Lalu para malaikat berkata,
"Wahai Tuhan kami, penduduk bumi gemar mengerjakan perbuatan-perbuatan
maksiat." Allah Swt. berfirman, "Kalian selalu bersama-Ku, sedangkan
mereka dalam keadaan tidak dapat melihat Aku." Lalu dikatakan kepada para
malaikat, "Pilihlah dari kalian tiga malaikat," maka mereka memilih
tiga malaikat dari kalangan mereka untuk turun ke bumi dengan syarat hendaknya
mereka memutuskan perkara-perkara di antara manusia penduduk bumi. Allah
menjadikan dalam diri mereka syahwat seperti yang ada pada manusia. Mereka
diperintahkan agar jangan minum khamr, jangan membunuh jiwa, jangan berzina,
dan jangan sujud kepada berhala. Akan tetapi, salah satu dari ketiga malaikat
itu mengundurkan diri, hingga akhirnya hanya tinggal dua malaikat saja yang
diturunkan ke bumi.
Keduanya kedatangan seorang wanita
yang paling cantik di masanya, namanya Manahiyah. Keduanya sama-sama jatuh
cinta kepada wanita itu. Kemudian keduanya mendatangi rumah wanita tersebut,
lalu berkumpul di dalam rumahnya, dan akhirnya keduanya menginginkan wanita
itu. Maka wanita itu berkata kepada keduanya, "Aku tidak mau melayani
kalian sebelum kalian minum khamrku, membunuh anak tetanggaku, dan sujud kepada
berhalaku."
Keduanya berkata, "Kami tidak
akan sujud." Kemudian keduanya minum khamr. Akhirnya keduanya melakukan
pembunuhan dan sujud kepada berhala itu. Maka semua penduduk langit (para
malaikat) melihat perbuatan keduanya itu.
Selanjutnya si wanita itu berkata
kepada keduanya, "Ceritakanlah kepadaku mantera-mantera yang bila kalian
baca, maka kalian dapat terbang." Keduanya menceritakan mantera-mantera
tersebut kepadanya, akhirnya ia terbang. Setelah ia terbang, maka ia dikutuk
menjadi bara api, yaitu menjadi bintang Zahrah (Venus). Sedangkan kepada kedua
malaikat tersebut diutus Nabi Sulaiman ibnu Daud, lalu Nabi Sulaiman
menceritakan kepadanya apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya; keduanya
disuruh memilih antara siksa di dunia atau siksa di akhirat Ternyata keduanya
memilih siksa di dunia, maka keduanya digantungkan di antara langit dan bumi.
Di dalam konteks riwayat ini terdapat
banyak tambahan. keanehan, dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Abdur Razzaq mengatakan, Ma'mar
pernah menceritakan bahwa Qatadah dan Az-Zuhri pernah menceritakan kisah
berikut dari Ubaidillah bin Abdullah sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan
apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut.
(Al-Baqarah: 102)
Keduanya adalah dari kalangan para
malaikat, mereka diturunkan ke bumi untuk memutuskan hukum di antara manusia.
Demikian itu karena pada mulanya para malaikat memperolok-olokkan para hakim
dari kalangan Bani Adam. (Setelah keduanya menjadi hakim di antara manusia),
maka datanglah seorang wanita kepada keduanya untuk meminta peradilan, tetapi
keduanya berbuat zalim terhadapnya. Setelah itu keduanya pergi naik ke langit,
tetapi ternyata keduanya tidak dapat terbang lagi, seakan-akan ada
penghalangnya. Kemudian keduanya disuruh memilih antara azab di dunia atau azab
di akhirat. Maka keduanya memilih azab di dunia.
Ma'mar mengatakan bahwa Qatadah
berkata, "Kedua malaikat tersebut mengajarkan ilmu sihir kepada manusia,
maka disyaratkan bagi keduanya tidak boleh mengajarkan ilmu sihir kepada
seseorang sebelum keduanya mengatakan kepada orang tersebut, 'Sesungguhnya kami
hanyalah cobaan, maka janganlah kamu berbuat kekufuran'."
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi yang
mengatakan bahwa pada awalnya perkara yang dialami oleh Harut dan Marut adalah,
keduanya mencela penduduk bumi karena keputusan-keputusan hukum yang mereka
laksanakan. Dikatakan kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku memberikan
sepuluh macam syahwat kepada Bani Adam. Karena syahwat itulah mereka berbuat
durhaka kepada-Ku." Harut dan Marut berkata, "Wahai Tuhan kami,
seandainya Engkau memberikan kepada kami nafsu-nafsu syahwat tersebut, lalu
kami turun ke bumi, niscaya kami akan menghukumi mereka dengan cara yang
adil." Maka Allah berfirman kepada keduanya, "Sekarang turunlah kamu
berdua ke bumi, sesungguhnya Aku telah memberimu kesepuluh nafsu syahwat
tersebut, dan putuskanlah hukum di antara manusia!"
Keduanya turun di negeri Babil, yaitu
di Dainawan. Lalu keduanya menjalankan hukum peradilan, dan apabila sore hari
keduanya kembali naik ke langit. Apabila pagi hari, keduanya turun untuk
melaksanakan tugasnya. Keduanya terus dalam keadaan demikian selama beberapa
masa, hingga datanglah kepada keduanya seorang wanita yang mengadukan masalah
suaminya. Keduanya tertarik oleh kecantikan wanita itu, nama wanita tersebut
menurut bahasa Arab adalah Zahrah, menurut bahasa Nabat Baidakhat, sedangkan
menurut bahasa Persia disebut Anahid.
Salah seorang dari kedua malaikat
berkata kepada yang lainnya, "Sesungguhnya wanita ini benar-benar memikat
hatiku." Malaikat yang lain berkata, "Sesungguhnya aku pun bermaksud
mengatakan hal yang sama kepadamu, tetapi aku merasa malu." Maka malaikat
pertama berkata, "Bagaimanakah pendapatmu jika aku kemukakan kepadanya
kemauan kita terhadap dirinya?" Malaikat yang kedua menjawab,
"Setuju." Malaikat pertama bertanya, "Akan tetapi, bagaimana
dengan azab Allah?" Malaikat yang kedua menjawab, "Sesungguhnya kita
berharap akan rahmat (ampunan) Allah."
Ketika wanita itu datang kepada
keduanya mengadukan perkara suaminya, maka dikemukakan kepada si wanita
tersebut maksud dan keinginan keduanya terhadap diri si wanita itu. Tetapi
wanita itu menjawab, "Tidak, sebelum kamu berdua memutuskan perkara suamiku
untuk kemenangan diriku." Lalu keduanya memutuskan perkara untuk
kemenangan si wanita atas suaminya, kemudian wanita itu menjanjikan kepada
kedua malaikat tersebut bahwa dirinya akan datang menemui keduanya di suatu
tempat yang sepi di antara tempat-tempat yang tak berpenghuni.
Lalu keduanya datang ke tempat
tersebut memenuhi janji wanita itu. Tetapi ketika keduanya hendak melampiaskan
keinginannya, si wanita berkata, "Aku tidak akan memenuhi keinginanmu
sebelum kamu berdua menceritakan kepadaku mantera yang menyebabkan kamu berdua
dapat terbang naik ke langit, juga mantera yang menyebabkan kamu dapat turun
darinya." Lalu keduanya menceritakan mantera tersebut kepada si wanita.
Wanita itu membacanya, lalu ia dapat terbang ke langit. Akan tetapi, Allah
membuatnya lupa kepada mantera yang menyebabkan dia dapat turun. Maka ia tetap
berada di tempatnya, dan Allah mengutuknya menjadi bintang.
Tersebutlah bahwa apabila Abdullah
ibnu Umar melihat bintang tersebut, dia melaknatnya dan mengatakan,
"Bintang inilah yang telah memfitnah Harut dan Marut."
Sedangkan yang dialami oleh kedua
malaikat tersebut adalah: Ketika sore hari keduanya hendak naik ke langit,
tetapi ternyata keduanya tidak mampu melakukannya, hingga keduanya merasakan
bahwa dirinya pasti binasa. Maka keduanya disuruh memilih antara azab di dunia
atau azab di akhirat. Keduanya memilih azab di dunia, lalu keduanya digantung
di negeri Babil; dan sejak itu keduanya menceritakan kepada orang-orang tentang
perkataan yang telah diucapkan oleh si wanita tersebut, yakni ilmu sihir.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari
Mujahid, bahwa perihal yang dialami oleh Harut dan Marut pada mulanya ialah
karena para malaikat merasa heran dengan perbuatan zalim yang dilakukan oleh
Bani Adam, padahal rasul-rasul dan kitab-kitab serta keterangan-keterangan
(mukjizat-mukjizat) telah didatangkan kepada mereka. Maka Allah berfirman
kepada mereka, "Pilihlah dari kalian dua malaikat, Aku akan menurunkan
keduanya guna memutuskan peradilan di muka bumi." Lalu mereka mengadakan
pilihan di antara sesama mereka, ternyata Harut dan Marut tidak menolak.
Ketika menurunkan keduanya ke bumi,
Allah berfirman kepada keduanya, "Kalian berdua merasa heran terhadap Bani
Adam atas kezaliman dan kedurhakaan mereka, padahal mereka telah didatangi oleh
para rasul dan kitab-kitab dari suatu masa ke masa yang lain. Sesungguhnya kini
antara Aku dan kamu berdua tidak ada seorang rasul pun. Maka lakukanlah
demikian dan demikian, dan serukanlah demikian dan demikian." Allah
memberikan kepadanya beberapa perintah dan beberapa larangan, dan keduanya
turun dengan membawa misi tersebut.
Tiada seorang pun yang lebih taat
kepada Allah daripada keduanya, keduanya memutuskan hukum (di antara manusia)
dengan keputusan yang adil. Keduanya melakukan tugas peradilannya di siang hari
di antara Bani Adam; dan apabila petang hari, "keduanya naik ke Langit dan
bergabung bersama malaikat lainnya. Keduanya turun kembali ke bumi pada pagi
harinya, lalu memutuskan peradilan dengan cara yang adil.
Hal tersebut berlangsung pada
keduanya hingga diturunkan kepada keduanya Zahrah dalam rupa seorang wanita
yang paling cantik. Ia datang mengadukan perkara suaminya, lalu keduanya
memutuskan peradilan untuk kekalahan pihak si wanita tersebut. Ketika wanita
itu bangkit hendak pergi, maka masing-masing dari kedua malaikat tersebut
merasakan sesuatu pada dirinya terhadap diri si wanita itu. Maka salah seorang
berkata kepada temannya, "Apakah engkau merasakan hal yang sama seperti
yang aku rasakan sekarang?" Temannya menjawab, "Ya." Maka
keduanya mengirimkan utusan kepada si wanita untuk menyampaikan pesan keduanya,
bahwa hendaknya si wanita tersebut datang lagi dan keduanya akan memutuskan
peradilan untuk kemenangannya.
Ketika wanita itu kembali kepada
keduanya, mereka mengutarakan hasratnya kepada wanita itu dan memutuskan
peradilan untuk kemenangan si wanita. Maka keduanya mendatanginya dan membuka
aurat keduanya. Sesungguhnya aurat keduanya ada pada napas keduanya, dan
syahwat keduanya serta kelezatannya terhadap wanita tidak sama dengan yang ada
pada Bani Adam. Setelah keduanya sampai pada tahap tersebut dan menghalalkan
perbuatan yang haram serta terjerat ke dalam fitnah wanita tersebut, maka
wanita itu —yakni Zahrah— terbang dan kembali ke tempatnya semula.
Pada sore harinya ketika keduanya
hendak naik, tiba-tiba keduanya dilarang untuk naik, dan kedua sayapnya tidak
mau lagi membawanya terbang. Lalu keduanya meminta tolong kepada seorang lelaki
dari kalangan Bani Adam. Keduanya datang kepadanya dan mengatakan,
"Berdoalah kepada Tuhanmu buat kami." Si lelaki (nabi) menjawab,
"Mana mungkin penduduk bumi memohon syafaat buat penduduk langit?'"
Keduanya berkata, "Kami pernah mendengar beritamu yang disebutkan oleh
Tuhanmu dengan sebutan yang baik di langit."
Kemudian si lelaki itu menjanjikan
kepadanya suatu janji di suatu hari yang pada hari itu dia mendoakan buat
keduanya. Si lelaki itu berdoa untuk keduanya dan diperkenankan baginya, maka
keduanya disuruh memilih antara azab di dunia atau azab di akhirat.
Masing-masing memandang kepada temannya dan berkata, "Tahukah kamu bahwa
gelombang-gelombang azab Allah di akhirat demikian dan demikian dalam keadaan
kekal dan abadi, sedangkan azab di dunia yang seperti itu hanya sembilan
kali." Keduanya diperintahkan agar tinggal di Babil, lalu di tempat itulah
keduanya diazab. Diduga bahwa keduanya digantung dengan rantai besi dalam
keadaan terbalik, sedangkan kedua sayapnya digerak-gerakkannya.
Sehubungan dengan kisah Harut dan
Marut ini sejumlah tabi'in telah mengetengahkan riwayatnya, misalnya Mujahid,
As-Saddi, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, -Abul Aliyah, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu
Anas, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. Ulama ahli tafsir dari kalangan
Mufassirin terdahulu dan yang kemudian mengetengahkannya pula, tetapi pada
kesimpulannya semuanya itu merujuk kepada kisah-kisah dari Bani Israil dalam
semua rinciannya, mengingat tiada suatu hadis yang marfu' lagi sahih
mengenainya yang muttasil (berhubungan) kepada Nabi Saw. yang tidak pernah
berbicara dari dirinya sendiri melainkan dari wahyu yang diturunkan kepadanya.
Sedangkan pengertian lahiriah dari
konteks yang disajikan oleh Al-Qur'an adalah garis besar dari kisah tersebut
tanpa rincian dan tanpa pembahasan panjang lebar. Maka kewajiban kita hanya
beriman dengan semua yang disebut oleh Al-Qur'an menurut apa yang dikehendaki
oleh Allah Swt., karena hanya Dialah Yang Maha Mengetahui hal yang sebenarnya.
Akan tetapi, sehubungan dengan kisah
ini terdapat sebuah asar yang garib dengan rangkaian kisah yang aneh, sengaja
kami mengetengahkannya dalam pembahasan ini untuk dijadikan sebagai peringatan.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah menceritakan, telah menceritakan kepada
kami Ar-Rabi' ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abuz Zanad, telah menceritakan kepadaku Hisyam
ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. (istri Nabi Saw.) yang menceritakan
asar berikut:
Pernah ada seorang wanita dari
Daumatul Jandal datang kepadaku ingin bersua dengan Rasulullah Saw. Hal itu
terjadi dalam waktu yang tidak begitu lama setelah Rasulullah Saw. wafat. Dia
bermaksud bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang beberapa hal yang telah
memasuki dirinya, berupa ilmu sihir; tetapi dia tidak mengamalkannya. Maka Siti
Aisyah berkata kepada Urwah, "Hai keponakanku." Kulihat wanita itu
menangis ketika dia mengetahui bahwa Rasulullah Saw. telah wafat, yang mana
keberadaan Rasulullah Saw. merupakan harapan bagi kesembuhannya. Dia terus
menangis hingga aku benar-benar merasa kasihan kepadanya. Wanita itu berkata,
"Sesungguhnya aku merasa khawatir bila aku menjadi orang yang binasa. Pada
mulanya aku mempunyai suami, lalu suamiku pergi meninggalkanku. Kemudian
datanglah seorang nenek-nenek memasuki rumahku, maka aku mengadukan
penderitaanku kepadanya. Nenek itu berkata, 'Jika kamu mau melakukan apa yang
kuperintahkan kepadamu, maka aku dapat membuat suamimu datang kepadamu.'
Ketika hari telah malam, nenek
tersebut datang kepadaku membawa dua ekor anjing hitam yang besar. Dia menaiki
salah satunya, sedangkan aku menaiki yang lainnya. Herannya dalam waktu yang
sebentar kami telah berada di negeri Babil, dan tiba-tiba kami bersua dengan
dua orang lelaki yang kedua kakinya dalam keadaan tergantung ke atas. Lalu
keduanya berkata, 'Apakah gerangan yang mendorongmu datang kemari?' Aku
menjawab, 'Kami datang untuk belajar ilmu sihir.' Keduanya berkata,
'Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu. Sebab itu, janganlah kamu kafir, maka
kembalilah kamu.' Aku menolak dan berkata, 'Tidak.' Keduanya berkata, 'Kalau
demikian, pergilah kamu ke tempat pemanggangan roti itu, lalu kencingilah.'
Aku berangkat (menuju ke tempat
pemanggangan roti itu), tetapi aku merasa takut dan tidak jadi melakukannya,
lalu aku kembali kepada keduanya. Keduanya berkata, 'Apakah engkau telah
melakukannya?' Aku menjawab (dengan pura-pura), 'Ya.' Keduanya bertanya,
'Apakah engkau melihat sesuatu?' Aku menjawab, 'Aku tidak melihat sesuatu
pun." Keduanya berkata, 'Kamu masih belum melakukannya, sekarang
kembalilah ke negerimu dan janganlah kamu kufur.'
Aku merasa ragu dan bimbang. Akhirnya
aku menolak, tidak mau kembali. Maka keduanya berkata, 'Pergilah kamu ke
pemanggangan roti itu dan kencingilah.' Aku pergi ke pemanggangan roti itu,
tetapi bulu kudukku berdiri dan aku merasa takut. Maka aku kembali lagi kepada
keduanya, dan aku katakan bahwa aku telah melakukannya. Keduanya bertanya,
'Apakah yang kamu lihat?' Aku menjawab, 'Aku tidak melihat sesuatu pun.'
Keduanya menjawab, 'Kamu dusta, kamu masih belum melakukannya. Sekarang
kembalilah ke negerimu dan janganlah kamu berbuat kufur, karena sesungguhnya
kamu sedang berada di puncak urusanmu.'
Aku merasa bimbang, dan akhirnya aku
menolak, tidak mau kembali. Lalu keduanya berkata, 'Pergilah kamu ke
pemanggangan roti itu dan kencingilah.' Maka aku pergi ke tempat pemanggangan
roti tersebut, lalu aku kencing di situ. Aku melihat seekor kuda yang memakai
tutup kepala dari besi keluar dari diriku, dan kuda itu terbang ke langit
hingga tak tampak lagi olehku.
Kemudian aku datang kepada keduanya,
dan kukatakan bahwa aku telah melakukan perintahnya. Maka keduanya bertanya,
'Apakah yang kamu lihat?' Aku menjawab, 'Aku melihat seekor kuda yang kepalanya
ditutupi keluar dari diriku, lalu terbang ke langit hingga aku tidak melihatnya
lagi.' Keduanya menjawab, 'Kamu benar, kuda tersebut ibarat imanmu yang keluar
dari dirimu. Sekarang pergilah kamu.'
Lalu aku berkata kepada nenek-nenek
yang menemaniku itu, 'Demi Allah, aku tidak mengetahui sesuatu pun dan keduanya
tidak mengajarkan sesuatu pun kepadaku.' Nenek itu berkata, 'Tidak. Bahkan apa
yang kamu inginkan niscaya akan terjadi. Sekarang ambillah bibit gandum ini,
lalu semaikanlah!' Lalu aku menanam bibit gandum itu dan kukatakan,
'Tumbuhlah!' Maka tumbuhlah ia menjadi pohon gandum yang sudah masak. Aku
berkata lagi, 'Panenlah kamu!' Maka tanaman gandum itu panen dengan sendirinya.
Kemudian kukatakan, 'Pisahkanlah biji-bijianmu!' Maka biji-bijinya memisah
dengan sendirinya. Kemudian kukatakan kepadanya, 'Keringlah kamu!' Maka
keringlah ia dengan sendirinya. Kukatakan kepadanya, 'Jadilah kamu tepung!'
Maka ia menjadi tepung dengan sendirinya. Lalu kukatakan pula, 'Jadi rotilah
kamu!' Maka ia menjadi roti. Ketika aku melihat bahwa tidak sekali-kali diriku
menginginkan sesuatu melainkan pasti terjadi, maka aku merasa menyesal dan
kecewa."
Wanita itu berkata, "Demi Allah,
wahai Ummul Mu’minin, aku belum melakukan sesuatu pun dan aku tidak akan
mengerjakannya selama-lamanya."
Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu
Abu Hatim, dari Ar-Rabi' ibnu Salman dengan lafaz yang sama secara panjang
lebar seperti asar yang baru diuraikan tadi. Tetapi di dalam riwayatnya kali
ini sesudah ucapan wanita itu, "Aku tidak akan mengerjakannya untuk
selama-lamanya," ditambahkan hal seperti berikut:
Maka aku (Siti Aisyah) bertanya
kepada para sahabat Rasulullah Saw. yang saat itu mereka baru ditinggalkan oleh
Rasulullah Saw., dan jumlah mereka cukup banyak. Tetapi ternyata mereka tidak
mengetahui apa yang harus mereka katakan terhadap wanita tersebut, semuanya
merasa takut dan khawatir menyampaikan fatwa kepadanya dengan fatwa yang belum
diketahui mereka. Hanya saja Ibnu Abbas atau salah seorang sahabat yang ada di
tempat tersebut mengatakan, "Seandainya kedua ibu bapakmu masih hidup atau
salah seorang darinya masih hidup."
Hisyam mengatakan, "Seandainya
wanita itu datang kepada kami, niscaya kami akan memberikan fatwa kepadanya
dengan jaminan." Ibnu Abuz Zanad mengatakan bahwa Hisyam berkata,
"Sesungguhnya mereka (para sahabat) adalah orang-orang ahli wara' dan
takut kepada Allah." Kemudian Hisyam mengatakan, "Seandainya datang
kepada kami wanita yang semisal dengannya hari ini, niscaya dia akan menjumpai
kebodohanku yang mengategorikan diriku ke dalam orang-orang yang bodoh lagi
memaksakan diri tanpa ilmu." Sanad asar ini berpredikat jayyid sampai
kepada Siti Aisyah r.a.
Asar ini dijadikan dalil oleh orang
yang berpendapat bahwa ilmu sihir itu mempunyai kemampuan untuk membalikkan
benda-benda dari keadaan yang sebenarnya, karena wanita tersebut menyemaikan
benih, lalu tanamannya menjadi masak dengan seketika. Sedangkan menurut yang
lainnya, ilmu sihir tidak mempunyai kemampuan untuk itu selain hanya sekadar
membalikkan kenyataan melalui imajinasi, sebagaimana yang disebutkan di dalam
firman-Nya:
سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ
وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجاؤُ بِسِحْرٍ عَظِيمٍ
Mereka menyulap mata orang dan
menjadikan orang banyak itu takut, serta mendatangkan sihir yang besar
(menakjubkan). (Al-A'raf: 116)
يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ
سِحْرِهِمْ أَنَّها تَسْعى
Terbayang di mata Musa karena
pengaruh sihir mereka seakan-akan tali-tali dan tongkat-tongkat itu merayap
cepat. (Thaha: 66)
Asar ini menurut As-Saddi dan
lain-lainnya merupakan dalil yang menunjukkan bahwa Babil yang disebut di dalam
Al-Qur'an adalah Babil yang ada di negeri Irak, bukan yang ada di Dainawan.
Asar lain yang memperkuat pendapat
bahwa yang dimaksud adalah Babil negeri Irak ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu
Hatim. Disebut bahwa telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh, telah menceritakan kepadaku Ibnu
Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah dan Yahya ibnu Azar, dari Ammar
ibnu Sa'd Al-Muradi, dari Abu Saleh Al-Gifari, bahwa Ali r.a. pernah lewat di
negeri Babil dalam suatu perjalanannya. Kemudian datang kepadanya juru azan
yang akan mengumandangkan azan salat Asar, tetapi Ali diam saja. Tatkala ia
keluar dari Babil, maka ia memerintahkan kepada juru azan tadi untuk
mengumandangkan azannya, lalu didirikanlah salat Asar. Setelah selesai dari
salatnya, ia berkata:
إِنَّ حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِأَرْضِ الْمَقْبَرَةِ وَنَهَانِي
أَنْ أُصَلِّيَ بِبَابِلَ فَإِنَّهَا ملعونة
Sesungguhnya kekasihku (Nabi Muhammad
Saw.) telah melarangku melakukan salat di kuburan dan melarangku pula melakukan
salat di Babil, karena sesungguhnya kota Babil itu adalah kota yang terkutuk.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ
لَهِيعة وَيَحْيَى بْنُ أَزْهَرَ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ سَعْدٍ الْمُرَادِيِّ، عَنْ
أَبِي صَالِحٍ الْغِفَارِيِّ: أَنَّ عَلِيًّا مَرَّ بِبَابِلَ، وَهُوَ يَسِيرُ،
فَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُهُ بِصَلَاةِ الْعَصْرِ، فَلَمَّا بَرَزَ مِنْهَا
أَمَرَ الْمُؤَذِّنَ فَأَقَامَ الصَّلَاةَ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ: إِنَّ حَبِيبِي
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ فِي الْمَقْبَرَةِ،
وَنَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِأَرْضِ بَابِلَ، فَإِنَّهَا مَلْعُونَةٌ.
Imam Abu Daud mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami
Ibnu Wahb dan Yahya ibnu Azar, dari Ammar ibnu Sa'd Al-Muradi, dari Abu Saleh
Al-Gifari, bahwa Khalifah Ali r.a. pernah melewati kota Babil dalam suatu
perjalanannya. Maka datanglah kepadanya juru azan yang memberitahukan bahwa
waktu asar telah masuk. Ketika ia telah keluar dari kota Babil, maka ia
memerintahkan kepada juru azan untuk mengiqamahkan salat. Setelah selesai dari
salatnya ia mengatakan: Sesungguhnya kekasihku (Rasulullah Saw.) telah
melarangku melakukan salat di kuburan, dan beliau telah melarangku pula
melakukan salat di Babil, karena sesungguhnya kota Babil itu adalah kota yang
terkutuk.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
صَالِحٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ أَزْهَرَ وَابْنُ
لَهِيعَةَ، عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ شَدَّادٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ الْغِفَارِيِّ،
عَنْ عَلِيٍّ، بِمَعْنَى حَدِيثِ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ، قَالَ: فَلَمَّا "خَرَجَ"
مَكَانَ "بَرَزَ"
Abu Daud mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Wahb, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Azar dan Ibnu Luhai'ah, dari
Hajjaj ibnu Syaddad, dari Abu Saleh Al-Gifari, dari sahabat Ali. Hadis yang
diketengahkannya kali ini semakna dengan hadis Sulaiman ibnu Daud. Disebutkan
di dalamnya, "Tatkala ia keluar dari Babil, maka ia menampakkan dirinya
(menyerukan kepada kaum)."
Hadis ini berpredikat hasan menurut
Imam Abu Daud, karena ia meriwayatkannya dan tidak memberinya penilaian;
berarti ia setuju.
Di dalam asar ini terkandung hukum
fiqih yang menyimpulkan bahwa makruh melakukan salat di negeri Babil,
sebagaimana makruh pula melakukannya di negeri kaum Samud; karena ada larangan
dari Rasulullah Saw. yang memerintahkan tidak boleh memasuki negeri kaum Samud
kecuali bila mereka sambil menangis (ketika memasukinya).
Menurut ahli ilmu geografi, Babil
adalah salah satu daerah bawahan negeri Irak. Jarak antara Babil sampai kepada
laut yang ada di sebelah baratnya —yang dikenal dengan nama Auqiyanius—
diperkirakan tujuh puluh derajat garis lintangnya, sedangkan garis bujurnya
diperkirakan tiga puluh dua derajat.
*********
Firman Allah Swt.:
وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ
حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ
sedangkan keduanya tidak mengajarkan
(sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya
cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari
Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Qais ibnu Abbad, dari Ibnu Abbas yang menceritakan
bahwa apabila ada seseorang yang datang kepada keduanya (Harut dan Marut)
dengan maksud mau belajar ilmu sihir, maka keduanya melarangnya dengan larangan
yang keras dan mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya kami hanya cobaan
bagimu. Karena itu, janganlah kamu kafir." Demikian itu karena keduanya
mengetahui kebaikan, keburukan, kekufur-an, dan iman. Keduanya mengetahui bahwa
ilmu sihir merupakan suatu kekufuran.
Apabila orang yang datang itu
membandel, tidak mau mengikuti nasihat keduanya, maka keduanya memerintahkan
kepadanya agar mendatangi tempat anu dan tempat anu. Apabila orang tersebut
mendatangi tempat yang ditunjukkan oleh keduanya, maka ia akan bersua dengan
setan, lalu setan akan mengajarinya ilmu sihir; apabila ia telah
mempelajarinya, maka keluarlah nur (iman) dari dirinya, lalu ia memandang ke
arah nur yang terang di langit itu dan mengatakan, "Aduhai, aku sangat
menyesal. Celakalah diriku ini, apa yang harus kuperbuat."
Dari Al-Hasan Al-Basri, disebutkan
bahwa ia mengatakan dalam tafsir ayat ini, "Memang benar, kedua malaikat
itu menurunkan ilmu sihir untuk mengajarkannya kepada orang-orang yang
dikehendaki oleh Allah mendapat cobaan ini. Maka Allah mengambil janji dari
keduanya, bahwa janganlah keduanya mengajarkannya kepada seorang pun sebelum
keduanya mengatakan, 'Sesungguhnya kami adalah cobaan bagimu. Karena itu,
janganlah kamu kafir'." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Qatadah mengatakan bahwa Allah Swt.
telah mengambil janji dari keduanya, bahwa keduanya tidak boleh mengajarkan
kepada seorang pun sebelum keduanya mengatakan kepada orang tersebut,
"Sesungguhnya kami hanyalah cobaan," yakni sedang mengalami cobaan,
"Karena itu, janganlah kamu kafir."
As-Saddi mengatakan, apabila ada
seorang manusia datang kepada keduanya dengan maksud belajar ilmu sihir,
terlebih dahulu keduanya menasihatinya dan mengatakan kepadanya,
"Janganlah kamu kafir, sesungguhnya kami adalah cobaan bagimu."
Apabila orang tersebut membandel, maka keduanya mengatakan kepadanya,
"Datanglah kamu ke tempat abu anu, lalu kencinglah padanya." Apabila
orang tersebut kencing padanya, maka keluarlah nur dari dirinya, lalu terbang
ke langit hingga tak tampak lagi. Nur tersebut merupakan iman, dan datanglah
sesuatu merupakan asap, lalu asap itu memasuki telinganya dan semua lubang yang
ada pada tubuhnya; hal tersebut merupakan murka Allah. Apabila orang tersebut
menceritakan apa yang telah dialaminya kepada keduanya, barulah keduanya mengajarkan
ilmu sihir. Hal yang demikian itulah yang disebutkan di dalam firman-Nya:
sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum
mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Karena itu,
janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102), hingga akhir ayat.
Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari
Ibnu Juraij, sehubungan dengan takwil ayat ini, "Tiada seorang pun yang
berani mengerjakan sihir melainkan hanya orang kafir." Arti Fitnah ialah
ujian dan cobaan, seperti yang dikatakan oleh seorang penyair:
وَقَدْ فُتِنَ النَّاسُ فِي
دِينِهِمْ ... وَخَلَّى ابْنُ عَفَّانَ شَرًّا طَوِيلَا
Dan sesungguhnya manusia itu
mengalami cobaan dalam agama mereka, dan Ibnu Affan telah mengakibatkan
keburukan yang panjang (akibatnya).
Demikian pula pengertian yang
terkandung di dalam firman Allah Swt. ketika menceritakan kisah Nabi Musa a.s.
Allah berfirman:
إِنْ هِيَ إِلَّا فِتْنَتُكَ
Itu hanyalah cobaan dari Engkau. (Al-A'raf: 155)
Maksudnya, ujian dan cobaan dari
Engkau. Dalam firman selanjutnya disebutkan:
تُضِلُّ بِها مَنْ تَشاءُ
وَتَهْدِي مَنْ تَشاءُ
Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. (Al-A'raf: 155)
Sebagian ulama menyimpulkan dalil
ayat ini (yakni Al-Baqarah: 102), bahwa kafirlah orang yang belajar ilmu sihir.
Ia memperkuat dalilnya ini dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hafiz
Abu Bakar Al-Bazzar:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ،
عن هُمَامٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ سَاحِرًا
فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Hammam, dari Abdullah yang mengatakan: Barang siapa yang mendatangi tukang tenung (dukun) atau tukang sihir, lalu ia percaya kepada apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Saw.
Sanad riwayat ini sahih dan mempunyai syawahid lain yang memperkuatnya.
********
Firman Allah Swt:
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا
يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seseorang (suami) dengan istrinya. (Al-Baqarah: 102)
Yakni orang-orang belajar sejenis
ilmu sihir dari Harut dan Marut, yang kegunaannya dapat menimbulkan berbagai
macam perbuatan tereela; hingga sesungguhnya ilmu sihir ini benar-benar dapat
memisahkan sepasang suami istri, sekalipun pada awalnya keduanya sangat
harmonis dan rukun. Hal seperti ini merupakan perbuatan setan, seperti yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya:
مِنْ حَدِيثِ الْأَعْمَشِ، عَنْ
أَبِي سُفْيَانَ طَلْحَةَ بْنِ نَافِعٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:
"إِنِ الشَّيْطَانَ لَيَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ، ثُمَّ يَبْعَثُ
سَرَايَاهُ فِي النَّاسِ، فَأَقْرَبُهُمْ عِنْدَهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ
عِنْدَهُ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا زِلْتُ بِفُلَانٍ حَتَّى
تَرَكْتُهُ وَهُوَ يَقُولُ كَذَا وَكَذَا. فَيَقُولُ إِبْلِيسُ: لَا وَاللَّهِ مَا
صَنَعْتَ شَيْئًا. وَيَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى
فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَهْلِهِ قَالَ: فَيُقَرِّبُهُ وَيُدْنِيهِ
وَيَلْتَزِمُهُ، وَيَقُولُ: نِعْم أَنْتَ
melalui hadis Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Talhah ibnu Nafi’, dari Jabir ibnu Abdullah r.a., dari Nabi Saw. Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya iblis itu meletakkan singgasananya di atas air, lalu mengirimkan bala tentaranya kepada umat manusia; maka setan yang paling besar fitnahnya terhadap umat manusia akan memperoleh kedudukan yang terdekat di sisi iblis. Salah satu dari mereka datang, lalu mengatakan, "Aku terus-menerus menggoda si Fulan, hingga ketika aku tinggalkan dia telah mengerjakan anu dan anu." Iblis menjawab, "Tidak, demi Allah, kamu masih belum melakukan sesuatu (yakni belum berhasil)." Lalu datang lagi yang lainnya dan mengatakan, "Aku tidak beranjak darinya sebelum aku dapat memisahkan antara dia dan istrinya." Maka iblis memberinya kedudukan yang tinggi dan dekat dengannya serta selalu bersamanya seraya berkata, "Kamu benar."
Penyebab yang memisahkan sepasang suami istri ialah imajinasi yang disusupkan oleh setan kepada salah seorang dari suami atau istri hingga ia memandang teman hidupnya itu seakan-akan buruk penampilan atau buruk pekertinya atau lain sebagainya, atau seakan-akan ruwet, atau marah bila memandangnya, atau lain sebagainya yang menyebabkan terjadinya perpisahan.
Lafaz al-mar-u dalam ayat ini berarti
suami, sedangkan bentuk ta-nis-nya adalah imra-atun (istri). Kedua lafaz ini
dapat diungkapkan dalam bentuk tasniyah, tetapi tidak dapat diungkapkan dalam
bentuk jamak.
********
Firman Allah Swt:
وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ
مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ
Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. (Al-Baqarah: 102)
Menurut Sufyan As-Sauri, makna bi-iznillah ialah dengan keputusan Allah. Sedangkan menurut Muhammad ibnu Ishaq artinya "kecuali bila Allah membiarkan antara si tukang sihir dengan apa yang dikehendakinya."
Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan takwil ayat ini mengatakan, "Memang benar. Siapa yang dikehendaki oleh Allah dapat dipengaruhi oleh sihir itu, niscaya ilmu sihir dapat mencelakakannya. Barang siapa yang tidak dikehendaki oleh Allah, maka ilmu sihir tidak akan dapat mencelakakannya." Para ahli sihir tidak dapat menimpakan mudarat (kecelakaan) kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah, seperti yang telah dijelaskan di dalam ayat ini. Akan tetapi, menurut suatu riwayat yang juga dari Al-Hasan Al-Basri, sihir tidak dapat meniupkan mudarat kecuali terhadap orang yang mengerjakan ilmu sihir.
***********
Firman Allah Swt.:
وَيَتَعَلَّمُونَ مَا
يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ
Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. (Al-Baqarah: 102)
Yakni memberikan mudarat pada agama
mereka dan tidak memberi manfaat yang sebanding dengan mudaratnya.
وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ
اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ
Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat. (Al-Baqarah: 102)
Yaitu sesungguhnya orang-orang Yahudi yang berpaling dari mengikuti Rasul Saw. dan menggantikannya dengan mengikuti ilmu sihir, mereka telah mengetahui bahwa di akhirat kelak dia tidak memperoleh keuntungan. Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, dan As-Saddi, makna khalaq ialah bagian.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa takwil ayat ini ialah: "Tiadalah baginya di akhirat nanti suatu perhatian pun dari Allah Swt." Menurut Al-Hasan, kata Abdur Razzaq artinya tiadalah baginya agama.
Sa'd meriwayatkan dari Qatadah
sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa sesungguhnya ahli kitab itu telah
mengetahui (meyakini) janji Allah yang telah ditetapkan atas diri mereka, bahwa
seorang penyihir itu tiadalah baginya keuntungan di akhirat.
*******
Firman Allah Swt.:
وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ
أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ* وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا
لَمَثُوبَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ خَيْرٌ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala); dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 102-103)
Allah Swt. berfirman bahwa
seburuk-buruk pertukaran adalah sihir yang mereka beli sebagai ganti dari iman
dan mengikuti Rasul Saw., kalau saja mereka mempunyai ilmu dari apa yang
diperingatkan kepada mereka. Seandainya mereka beriman dan bertakwa kepada Allah,
niscaya pahala di sisi Allah lebih baik bagi mereka. Dengan kata lain,
sesungguhnya kalau mereka beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya serta
menjauhi hal-hal yang diharamkan, niscaya pahala Allah atas hal tersebut lebih
baik bagi mereka daripada apa yang mereka pi-ihkan buat diri mereka dan apa
yang mereka sukai itu. Makna ayat ini sama dengan apa yang dinyatakan di dalam
firman-Nya:
وَقالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صالِحاً وَلا يُلَقَّاها إِلَّا الصَّابِرُونَ
Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, "Kecelakaan yang besarlah bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar." (Al-Qashash: 80)
*******
Adapun firman Allah Swt.:
وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا
وَاتَّقَوْا
Sesungguhnya kalau
mereka beriman dan
bertakwa. (Al-Baqarah: 103)
dijadikan dalil oleh orang-orang yang berpendapat bahwa mengerjakan sihir hukumnya kafir, seperti yang disebutkan di dalam riwayat Imam Ahmad ibnu Hambal dan segolongan ulama Salaf.
Sedangkan menurut pendapat yang lain tidak kafir, tetapi ia hanya dikenai hukuman had, yaitu dengan dipancung lehernya. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan (yaitu Ibnu Uyaynah), dari Amr ibnu Dinar, bahwa ia pernah mendengar Bujalah ibnu Abdah menceritakan asar berikut, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. pernah menulis surat yang di dalamnya disebutkan, "Bunuhlah oleh kalian setiap tukang sihir laki-laki dan perempuan." Bujalah melanjutkan kisahnya, "Maka kami pernah membunuh tiga orang wanita penyihir."
Asar ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya. Di dalam asar yang sahih disebut pula bahwa Siti Hafsah Ummul Mu’minin pernah disihir oleh seorang budak perempuannya, maka Siti Hafsah memerintahkan agar budak tersebut dihukum mati; lalu si budak perempuan itu pun dihukum mati.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, di dalam asar sahih dari ketiga orang sahabat Nabi Saw. disebutkan bahwa penyihir dihukum mati.
Imam Turmuzi meriwayatkan melalui
hadis Ismail ibnu Muslim, dari Al-Hasan, dari Jundub Al-Azdi yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبُهُ بِالسَّيْفِ»
Hukuman had bagi penyihir ialah dipukul dengan pedang (dihukum mati).
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa kami tidak mengenal hadis ini secara marfu’ kecuali hanya dari segi ini. Ismail ibnu Muslim orangnya da'if dalam periwayatan hadis. Adapun yang sahih ialah yang dari Al-Hasan ibnu Jundub secara mauquf.
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Tabrani melalui segi lain, dari Al-Hasan, dari Jundub secara marfu’
Telah diriwayatkan melalui berbagai jalur bahwa Al-Walid ibnu Uqbah pernah mempunyai seorang tukang sihir untuk memainkan ilmu sihir di hadapannya. Permainan sihir yang ditampilkannya itu ialah dia menebas batang leher seseorang, kemudian si penyihir itu membawa kepalanya seraya berteriak-teriak, setelah itu ia mengembalikan lagi kepada si lelaki yang dipancungnya itu. Maka orang-orang berkata, "Mahasuci Allah Yang Menghidupkan kembali orang-orang yang mati!"
Kejadian tersebut dilihat oleh
seorang lelaki saleh dari kalangan kaum Muhajirin. Pada keesokan harinya ia
datang dengan menyandang pedangnya, sedangkan si penyihir itu seperti biasa
memainkan permainannya. Lalu lelaki Muhajirin itu mencabut pedangnya dan
langsung dipukulkan ke leher si penyihir tersebut, kemudian berkata,
"Sekiranya dia benar, niscaya dia dapat menghidupkan dirinya
sendiri." Lalu ia membacakan firman-Nya:
أَفَتَأْتُونَ السِّحْرَ
وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ
maka apakah kalian menerima sihir itu, padahal kalian menyaksikannya? (Al-Anbiya: 3)
Maka Al-Walid murka karena lelaki Muhajirin tersebut tidak meminta izin lebih dahulu kepadanya dalam tindakannya itu. Lalu Al-Walid memenjarakannya, kemudian melepaskannya.
Imam Abu Bakar Al-Khalal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq, dari Harisah yang menceritakan asar berikut: Pernah di hadapan seorang Amir ada seseorang yang memainkan ilmu sihirnya, lalu datanglah Jundub seraya membawa pedangnya, maka Jundub membunuh lelaki penyihir itu, lalu ia berkata, "Menurutku dia adalah tukang sihir."
Imam Syafii rahimahullah menginterpretasikan kisah sihir yang terjadi di masa Khalifah Umar dan yang dialami oleh Siti Hafsah sebagai perbuatan musyrik.
Fasal
Abu Abdullah Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan apa yang dikatakan oleh golongan Mu'tazilah, bahwa mereka mengingkari keberadaan sihir. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, "Barangkali mereka mengafirkan orang yang meyakini keberadaan sihir itu."
Selanjutnya Ar-Razi mengatakan, "Adapun menurut ahli sunnah, sesungguhnya mereka berpendapat bahwa bisa saja seorang ahli sihir dapat terbang di udara, atau mengubah rupa manusia menjadi keledai dan rupa keledai menjadi manusia. Hanya saja mereka berpendapat bahwa sesungguhnya Allah menciptakan hal-hal tersebut di saat seorang penyihir membacakan mantera-mantera dan jampi-jampi tertentu. Adapun bila dikatakan bahwa hal yang mempengaruhi kejadian-kejadian tersebut karena pengaruh falak dan bintang-bintang, maka hal tersebut tidak mungkin; berbeda halnya dengan pendapat ahli filsafat dan ahli peramal serta para pemeluk agama Sabi'ah."
Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengemukakan dalil yang menyatakan bahwa terjadinya sihir itu adalah karena ciptaan Allah Swt, yaitu firman Allah Swt. yang mengatakan: Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. (Al-Baqarah: 102)
Sedangkan dalil dari hadis antara lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah disihir, dan bahwa sihir sempat mempengaruhinya. Juga kisah Siti Aisyah r.a. bersama seorang wanita yang datang kepadanya mengakui bahwa dirinya pernah belajar sihir. Banyak lagi kisah lainnya yang ia kemukakan dalam bab ini. Setelah itu Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan hal berikut:
Ilmu sihir bukan merupakan hal yang
buruk, bukan pula hal yang dilarang. Ulama ahli tahqiq sepakat menyatakan hal
tersebut, mengingat ilmu itu ditinjau dari eksistensinya merupakan hal yang
mulia, juga karena pengertian umum yang terkandung di dalam firman-Nya:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ
يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Az-Zumar: 9)
Karena ilmu sihir itu kalau tidak diketahui, niscaya tidak mungkin dapat dibedakan antara sihir dan mukjizat. Sedangkan ilmu yang me-untun untuk mengetahui sesuatu sebagai mukjizat adalah wajib, dan sesuatu yang menjadi sandaran bagi hal yang wajib hukumnya wajib pula. Maka dari hal ini tersimpul bahwa mengetahui ilmu sihir hukumnya wajib, sedangkan sesuatu yang wajib itu tidak mungkin dapat dikatakan sebagai hal yang haram atau buruk. Demikianlah konteks dari pendapat Abu Abdullah Ar-Razi dalam masalah ini.
Pendapat ini masih perlu
dipertimbangkan dari berbagai segi, antara lain ia mengatakan bahwa mengetahui
ilmu sihir bukan merupakan hal yang buruk. Jikalau yang dimaksud dengan kalimat
ini ialah tidak buruk menurut rasio, maka orang-orang yang menentang pendapat
ini dari kalangan golongan Mu'tazilah sudah pasti sangat tidak setuju dengan
pendapat ini. Jika yang dimaksud ialah tidak buruk menurut penilaian syara'
(agama), berarti di dalam ayat ini terkandung pengertian yang mempropagandakan
belajar ilmu sihir. Sedangkan di dalam kitab sahih disebutkan oleh salah satu
hadisnya:
«مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ
كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ»
Barang siapa yang datang kepada tukang ramal atau tukang tenung, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) kepada kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Muhammad.
Di dalam kitab-kitab Sunan disebutkan
sebuah hadis yang mengatakan:
«مَنْ عَقَدَ عُقْدَةً وَنَفَثَ فِيهَا
فَقَدْ سَحَرَ»
Barang siapa membuat suatu buhul, lalu ia meniupkan napasnya pada buhul itu, maka sesungguhnya dia telah mengerjakan sihir.
Dalam menanggapi perkataan Abu Abdullah Ar-Razi yang menyatakan, "Tiada larangan, para ulama ahli tahqiq sepakat atas hal ini," timbul suatu pertanyaan 'mengapa ilmu sihir itu tidak dilarang, padahal ayat dan hadis yang telah kita kemukakan mengecamnya?'. Kesepakatan ulama ahli tahqiq —seperti yang dikatakannya— menuntut adanya bukti berupa nas dalam masalah ini dari beberapa orang ulama atau dari kebanyakan mereka, lalu manakah nas-nas mereka yang menunjukkan adanya kesepakatan tersebut?
Mengenai pendapat Abu Abdullah Ar-Razi yang memasukkan ilmu sihir ke dalam pengertian umum firman Allah Swt. yang mengatakan: Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui" (Az-Zumar: 9)
Hal ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, mengingat ayat ini hanyalah menunjukkan makna memuji orang-orang yang alim dalam ilmu syariat Lalu mengapa dia sampai berani mengatakan bahwa ilmu sihir adalah bagian dari syariat, dan bahkan ia mengangkat ilmu sihir kepada kategori ilmu yang wajib dipelajari, dengan alasan untuk mengetahui mukjizat tidak dapat dilakukan melainkan dengan mengetahui ilmu sihir. Alasan ini sangat lemah, bahkan dapat dikatakan batil. Dikatakan demikian karena mukjizat yang paling agung dari Rasul kita ialah Al-Qur'anul 'Azim yang tidak datang kepadanya kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji.
Kemudian perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya untuk mengetahui sesuatu sebagai mukjizat, pada prinsipnya tidak bergantung kepada pengetahuan ilmu sihir. Sebagai bukti yang akurat ialah para sahabat, para tabi'in, dan para imam kaum muslim serta kalangan awam; mereka mengetahui hal yang mukjizat, mereka pun dapat membedakan antara mukjizat dan sihir, sekalipun mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu sihir. Dengan kata lain, mereka tidak pernah mempelajarinya, tidak pula mengerjakannya.
Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi menyebutkan bahwa ilmu sihir itu ada delapan macam:
Sihir orang-orang pendusta dan kaum Kasydani (yaitu mereka yang menyembah tujuh bintang yang beredar). Mereka mempunyai keyakinan bahwa bintang-bintang tersebutlah yang mengatur alam ini, dan bintang-bintang itulah yang mendatangkan kebaikan dan kejahatan. Mereka adalah kaum yang diutus kepada mereka Nabi Ibrahim a.s. Khalilullah (kekasih Allah) a.s. untuk membatalkan pendapat mereka dan mematahkan hujah mereka. Sehubungan dengan masalah ini telah diadakan suatu penelitian yang membuahkan karya tulis —seperti kitab Sirrul Maktum fi Mukhatabatisy Syamsi wan Nujum— yang dinisbatkan kepada apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim a.s. pada permulaan perkaranya, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Khalkan dan lain-lainnya. Menurut suatu pendapat, Ibnu Khalkan telah bertobat atas karya tulisnya itu. Menurut pendapat yang lainnya lagi, sesungguhnya Ibnu Khalkan menulis hal tersebut dengan maksud menonjolkan keutamaannya, bukan bermaksud meyakininya. Memang tanggapan inilah yang disangkakan kepadanya, hanya dia menyebutkan dalam kitabnya itu cara mereka berdialog dengan masing-masing dari ketujuh bintang tersebut; disebutkan pula cara-cara yang mereka lakukan serta upacara ritual yang diada-adakan mereka terhadap bintang-bintang tersebut.
Sihir yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilusi dan jiwa yang kuat. Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengetengahkan alasan yang membuktikan ilusi mempunyai pengaruh, bahwa seorang manusia dapat saja berjalan di atas jembatan yang diletakkan di atas permukaan tanah, sedangkan ia tidak dapat berjalan di atasnya bila jembatan diletakkan memanjang di atas sungai atau lainnya. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, para tabib sepakat melarang orang yang mimisan memandang kepada sesuatu yang berwarna merah, dan orang yang berpenyakit ayan dilarang memandang kepada sesuatu yang sangat menyilaukan atau sesuatu yang berputar. Hal tersebut tiada lain karena jiwa manusia diciptakan tunduk kepada ilusi-ilusinya. Ia melanjutkan perkataannya, bahwa para cendekiawan sepakat bahwa penyakit 'ain merupakan perkara yang hak (nyata). Sebagai dalilnya dapat diketengahkan sebuah hadis sahih yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Penyakit 'ain itu hal yang hak. Sekiranya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, niscaya penyakit 'ain dapat mendahuluinya. (Shahih: Muslim 2188) Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, "Apabila Anda mengetahui hal ini, maka kami katakan bahwa jiwa yang dapat melakukan perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya kuat sekali. Untuk itu dalam merealisasikan perbuatan-perbuatan itu ia tidak memerlukan bantuan sarana atau alat bantu lainnya. Adakalanya jiwa itu lemah, maka untuk merealisasikannya ia memerlukan sarana-sarana tersebut." Hakikat hal tersebut ialah bahwa jiwa manusia apabila lebih tinggi daripada tubuh kasarnya, maka ia sangat cenderung kepada alarn samawi; hingga jadilah ia seakan-akan roh samawi, dan ia mempunyai kekuatan yang menakjubkan untuk mempengaruhi semua unsur dari alam kasar ini. Tetapi apabila jiwa seseorang lemah dan cenderung bergantung kepada tubuh kasamya, maka saat itu ia tidak mempunyai pengaruh sama sekali kecuali hanya dalam tubuh kasar-nya saja. Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi memberikan petunjuk untuk mengobati penyakit 'ain ini dengan cara mengurangi makan, menjauh dari manusia, dan membebaskan diri dari riya (pamer). Menurut kami, apa yang diisyaratkan oleh Abu Abdullah ini termasuk ke dalam pengertian indera yang keenam atau lasarruf bil hal. Hal ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu adakalanya termasuk dari jenis yang benar lagi diakui oleh syariat. Pemiliknya menggunakannya untuk hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Indera jenis ini merupakan anugerah dari Allah Swt. dan merupakan karamah bagi orang-orang saleh dari kalangan umat ini. Jenis ini sama sekali bukan dinamakan sihir menurut penilaian syara'. Adakalanya keadaan yang dialami oleh pemiliknya batil serta pemiliknya tidak mengerjakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya, dan ia tidak menggunakan bakatnya itu untuk keperluan tersebut. Jenis inilah yang dialami oleh orang-orang celaka, yaitu mereka yang menyimpang dari syariat, serta keadaan yang dialaminya itu tidak menunjukkan bahwa mereka menerimanya sebagai anugerah dari Allah dan tidak menunjukkan pula bahwa Allah mencintai mereka. Perihalnya sama dengan apa yang dimiliki oleh Dajjal; dia mempunyai banyak hal yang bertentangan dengan hukum alam, seperti yang dijelaskan oleh banyak hadis. Akan tetapi, sekalipun demikian hal tersebut tercela menurut penilaian syara'; semoga laknat Allah tetap atas dirinya. Demikian pula keadaan orang-orang yang menyerupai Dajjal dari kalangan mereka yang dianugerahi bakat ini, tetapi bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Pembahasan mengenai masalah ini memerlukan keterangan yang panjang, dan kitab ini bukan tempat untuk membahasnya.
Termasuk ke dalam kategori sihir
ialah meminta bantuan kepada arwah yang ada di bumi, yakni makhluk jin. Berbeda
dengan pendapat para ahli filsafat dan golongan Mu'tazilah; mereka berpendapat
bahwa jin itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu jin yang mukmin dan jin kafir
(yakni setan). Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, menghubungi arwah jenis ini
lebih mudah ketimbang menghubungi arwah samawi, mengingat adanya kesamaan dan
hubungan yang berdekatan di antara keduanya. Kemudian orang-orang yang ahli
dalam bidang ini dan banyak melakukan percobaan telah menyaksikan bahwa
berhubungan dengan arwah ardiyyah dapat dilakukan hanya dengan melakukan
perbuatan-perbuatan yang mudah lagi tidak banyak, seperti membaca mantera,
dupa, dan jampi-jampi. Jenis ini dinamakan 'azaim atau menundukkan makhluk jin.
Termasuk ke dalam ilmu sihir ialah tipuan melalui ilusi, membalikkan pandangan mata, serta sulap. Dasar jenis ini ialah bahwa mata itu adakalanya keliru dan sibuk dengan sesuatu yang tertentu sehingga melupakan yang lainnya. Tidakkah Anda melihat bahwa seorang pesulap yang cerdik kelihatan oleh kita sedang melakukan sesuatu yang menakjubkan penglihatan orang-orang yang menontonnya hingga semua pandangan mata mereka tertuju kepadanya. Tetapi bila semua perhatian mereka tertuju kepada sesuatu yang dilakukannya itu, maka si pesulap melakukan hal yang lain secepat kilat, hingga yang tampak di mata mereka adalah sesuatu yang berbeda dengan apa yang mereka tunggu-tunggu, dan akhirnya mereka merasa takjub sekali dengan perbuatan si pesulap itu. Sekiranya si pesulap itu diam dan tidak mengatakan hal-hal yang memalingkan perhatian para penontonnya kepada lawan dari perbuatan yang hendak dilakukannya itu, serta jiwa dan ilusi para penontonnya tidak memperhatikan apa yang hendak diperbuatnya, niscaya penonton akan mengerti semua perbuatan yang dilakukannya. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, setiap kali keadaan mendukung pengurangan pandangan mata secara baik, maka hasil sulap makin bertambah baik. Misalnya si pesulap duduk di tempat yang terang sekali atau di tempat yang gelap, maka pandangan mata penonton kurang prima terhadap dirinya bila keadaannya demikian. Menurut kami, sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa sesungguhnya sihir yang dilakukan di hadapan Raja Fir'aun tiada lain termasuk ke dalam Bab "Sulap". Karena itu, Allah Swt. berfirman di dalam Kitab-Nya: Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan banyak orang itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Al-A'raf: 116) Dan firman Allah Swt.: terbayang di mata Musa karena pengaruh dari sihir mereka se-akan-akan tali dan tongkat itu merayap cepat. (Thaha: 66) Sebagian kalangan ahli tafsir mengatakan bahwa tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut pada hakikatnya tidak merayap.
Termasuk perbuatan sihir ialah reaksi-reaksi ajaib yang timbul dari penyusunan berbagai alat yang disusun menurut bentuk handasah, misalnya berbentuk seperti seorang yang menunggang kuda, sedangkan tangannya memegang sebuah genderang; apabila lewat suatu saat dari siang hari (satu jam), maka genderang itu dipukulnya tanpa ada seorang pun yang menyentuhnya. Termasuk ke dalam kategori jenis ini ialah patung-patung yang dibuat oleh bangsa Romawi dan bangsa India hingga orang yang melihatnya tidak dapat membedakan antara patung dan manusia yang sungguhannya, hingga mereka mampu membuatnya dalam rupa sedang tertawa dan sedang menangis. Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan bahwa segi-segi ini termasuk kelembutan dari hal-hal yang bersandar kepada ilusi. Ia mengatakan pula bahwa sihir yang dilakukan oleh tukang sihir Raja Fir'aun termasuk ke dalam kategori jenis ini. Dari pendapat yang dikatakan oleh sebagian ahli tafsir sehubungan dengan sihir yang disajikan oleh tukang-tukang sihir Raja Fir'aun, kami simpulkan bahwa sesungguhnya mereka terlebih dahulu mempersiapkan tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut, sebelumnya mereka isi terlebih dahulu dengan air raksa. Karena itu, setelah semuanya dilepaskan, maka benda-benda itu meliuk-liuk bergerak karena pengaruh dari air raksa tersebut. Maka terbayang di mata para penontonnya seakan-akan tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut berjalan cepat dengan sendirinya. Ar-Razi mengatakan, termasuk ke dalam bab ini ialah bangunan jam pasir (tabling kaca untuk mengukur waktu, berdasarkan aliran suatu bahan berupa pasir dan sebagainya pada zaman dahulu. red.), demikian pula ilmu menarik barang yang berat dengan alat yang ringan. Menurut kami, pada hakikatnya jenis ini tidak pantas dikategorikan sebagai sihir, mengingat kejadiannya dapat diketahui melalui penyebab-penyebab yang telah dimaklumi dan pasti. Untuk itu barang siapa yang memahaminya, niscaya ia dapat melakukannya. Menurut kami, termasuk ke dalam bab ini (yang penyebabnya jelas) ialah tipu muslihat yang dilakukan oleh orang-orang khusus Nasrani terhadap kalangan awam mereka, melalui cahaya api yang diper-lihatkan kepada kalangan awam, seperti kasus yang terjadi di suatu gereja milik mereka di kota Baitul Maqdis. Mereka melakukan tipu muslihat melalui hal tersebut dengan cara memasukkan api secara sembunyi-sembunyi ke dalam gereja, lalu lentera besar gereja tersebut dinyalakan melalui cara yang lembut (samar) hingga memperdaya kalangan orang-orang awam mereka. Adapun bagi kalangan khusus mereka, hal tersebut sudah diketahuinya, tetapi mereka mencari-cari alasan untuk menyembunyikan rahasia itu, bahwa hal tersebut dapat dijadikan sarana untuk mempersatukan teman-teman seagama mereka, maka mereka memandang perbuatan tersebut sebagai hal yang diperbolehkan. Perihalnya sama dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang tolol lagi bodoh dari kalangan aliran Karamiyah, yaitu mereka yang memperbolehkan membuat hadis dalam masalah targib dan tarhib. Mereka itu termasuk ke dalam golongan orang-orang yang diancam oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya: Barang siapa yang berdusta dengan sengaja mengatasnamakan diriku, maka hendaklah ia bersiap-siap mengambil tempat du-duknya di neraka. Sabda Rasulullah Saw. lainnya yang mengatakan: Ceritakanlah hadis dariku, tetapi janganlah kalian berdusta terhadap diriku, karena sesungguhnya orang yang berdusta terhadapku pasti masuk neraka. Kemudian dalam bab ini ia menyebut sebuah kisah dari salah seorang rahib (pendeta). Bahwa pada suatu hari ia mendengar suara seekor burung yang mengeluarkan suara sedang sedih, dan lemah gerakannya. Apabila suara itu terdengar oleh burung lainnya, burung-burung lain merasa kasihan kepadanya. Kemudian mereka pergi dan datang lagi dengan membawa buah zaitun, lalu mereka lemparkan zaitun itu ke sarang burung yang sedang sedih tersebut agar dimakannya. Lalu rahib ini sengaja membuat sebuah boneka yang bentuknya mirip dengan burung yang sedang menderita itu, kemudian ia menjadikan boneka burungnya itu berlubang pada bagian dalamnya; apabila ada angin yang memasuki rongga tersebut, akan keluarlah darinya suara seperti suara burung yang sedang menderita itu. Kemudian ia tinggal di dalam gereja yang dibangunnya yang ia duga berada di atas kuburan salah seorang yang saleh dari kalangan mereka. Lalu ia menggantungkan boneka burungnya itu di salah satu tempat dari gerejanya. Apabila musim buah zaitun tiba, ia membuka sebuah jendela yang berhadapan dengan arah burung buatannya itu, hingga masuklah angin dan meniup boneka burungnya dan keluarlah suara darinya. Suaranya itu terdengar oleh burung-burung lain yang rupanya sejenis dengan boneka burung itu, lalu mereka berdatangan dengan membawa buah zaitun yang banyak jumlahnya. Orang-orang Nasrani tidak melihat hal yang lain kecuali adanya buah zaitun tersebut di dalam gerejanya, tanpa mereka ketahui sebab-musababnya; hingga mereka teperdaya, dan mereka menduga bahwa hal tersebut termasuk keramat dari pemilik kuburan yang ada di dalam gereja itu. Semoga laknat Allah menimpa mereka berturut-turut hingga hari kiamat nanti.
Termasuk ke dalam perbuatan sihir ialah menggunakan sarana bantuan berupa obat-obatan, yakni dalam berbagai macam makanan dan minyak-minyakan. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, perlu diketahui bahwa sesungguhnya tiada jalan untuk mengingkari bahan-bahan yang khusus, mengingat pengaruh magnetis memang dapat disak-sikan. Menurut kami, termasuk ke dalam kategori ini apa yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang menamakan dirinya fakir. Dia menipu kalangan awam dari manusia dengan memakai sarana bahan-bahan khusus ini, lalu mengaku bahwa hal ini terjadi karena akibat pengaruh dari seringnya dia bergaul dengan api dan memegang ular beracun serta lain-lainnya yang termasuk ke dalam bagian ini.
Termasuk ke dalam sihir ialah mempengaruhi hati orang lain. Misalnya seorang penyihir mengakui bahwa dirinya mengetahui Ismul A'zam. Bahwa jin taat serta tunduk kepadanya dalam berbagai hal; apabila propagandanya itu secara kebetulan didengar oleh orang yang lemah akalnya dan tidak dewasa, niscaya ia menduga bahwa si penyihir itu benar, lalu hatinya bergantung kepadanya, dan terjadilah di dalam hatinya suatu perasaan takut dan khawatir terhadap si penyihir itu. Apabila telah terjadi rasa takut dalam hatinya, lemahlah kekuatan inderanya, maka pada saat itu si penyihir dapat menguasainya dan dapat melakukan apa yang dikehendakinya. Menurut kami, jenis ini dikatakan tanbulah (hipnotis). Sesungguhnya jenis ini hanya dapat mengenai kalangan orang-orang yang lemah akalnya. Di dalam ilmu firasah terdapat pengetahuan yang menuntun untuk mengetahui orang yang berakal kuat dan orang yang berakal lemah. Apabila orang yang bersangkutan berakal cerdas dan menguasai ilmu firasah, maka dia akan mengetahui siapa di antara mereka yang taat kepadanya dan siapa yang tidak mau taat.
Termasuk ke dalam kategori sihir ialah melakukan namunah dan adu domba dengan menggunakan cara yang mudah lagi lembut, tidak kelihatan. Jenis ini telah terkenal di kalangan orang banyak. Menurut kami, namunah itu terbagi menjadi dua bagian; adakalanya untuk tujuan mengadu domba di antara orang-orang lain dan memecah belah hati kaum mukmin. Jenis ini jelas haram menurut kesepakatan semuanya. Jika namunah yang dilakukan untuk tujuan mendamaikan masalah di antara orang-orang lain dan untuk menyatukan serta merukunkan suara kaum muslim, seperti yang disebutkan oleh hadis berikut: Bukanlah pendusta orang yang melakukan namunah untuk kebaikan. Atau dengan tujuan untuk menghina dan memecah-belah di antara persatuan orang-orang kafir, maka hal ini merupakan perkara yang dianjurkan, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis berikut: Perang itu tipu muslihat. Juga seperti apa yang dilakukan oleh Nu'aim ibnu Mas'ud ketika ia memecah-belah persatuan golongan-golongan yang bersekutu dengan Bani Quraizah. Nu'aim datang kepada salah satu pihak dari kedua golongan itu, lalu ia menceritakan kepada mereka apa yang dikatakan oleh golongan lainnya tentang diri mereka. Kemudian ia menyampaikan kepada golongan lainnya kata-kata yang lain dari golongan yang pertama, lalu ia adu dombakan di antara kedua golongan tersebut hingga mereka saling mencurigai dan pecahlah persatuan mereka. Sesungguhnya orang yang dapat melakukan hal seperti ini hanyalah orang-orang yang mempunyai kecerdasan dan pandangan yang tajam. Akhirnya hanya kepada Allah-lah kami memohon pertolongan.
Selanjutnya Ar-Razi berkata, demikianlah pembagian sihir dan penjelasan serta tingkatannya secara global.
Menurut kami, sesungguhnya telah
dimasukkan ke dalam kategori sihir banyak hal yang telah disebut di atas, tiada
lain karena hal-hal tersebut sulit untuk diketahui penyebabnya dan sangat
halus. Mengingat definisi sihir menurut istilah bahasa artinya sesuatu yang
lembut dan samar penyebabnya. Untuk itu, di dalam sebuah hadis di sebutkan:
«إِنَّ
مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا»
Sesungguhnya di antara ilmu bayan (paramasastra) itu benar-benar mengandung (pengaruh seperti pengaruh) sihir.
Dinamakan sahur karena dilakukan pada
penghujung malam hari di saat cuaca masih gelap tak kelihatan. Sahar berarti
ri-ah (paru-paru) yang merupakan pusat pernapasan. Dinamakan demikian karena
tempatnya tersembunyi dan jaringannya lembut menyebar ke seluruh bagian tubuh
dan semua syaraf. Seperti yang dikatakan oleh Abu Jahal kepada Utbah pada hari
Perang Badar, "Intafakha saharuhu,'"' yakni paru-parunya mengembang
karena dicekam oleh rasa takut yang sangat. Siti Aisyah r.a. pernah mengatakan:
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سحري ونحري
Rasulullah Saw. wafat di antara dada
(sebelah kanan)ku dan pangkal tenggorokanku.
Allah Swt. berfirman:
سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ
Mereka menyulap mata orang-orang. (Al-A'raf: 116) Artinya, mereka menyembunyikan apa yang mereka lakukan dari mata orang-orang banyak.
Abu Abdullah Al-Qurtubi mengatakan, "Menurut kalangan kami, sihir itu merupakan perkara yang nyata." Ia mempunyai kenyataan karena Allah menciptakan untuknya apa yang dikehendaki oleh si penyihir (sebagai istidraj, pent.).
Lain halnya dengan pendapat golongan Mu'tazilah dan Abu Ishaq Al-Isfirayini, dari kalangan mazhab Syafi’i. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya sihir itu adalah pengelabuan dan ilusi semata. Al-Qurtubi mengatakan, termasuk ke dalam kategori sihir ialah sesuatu yang dilakukan dengan tangan yang cepat seperti permainan sulap. Ibnu Faris mengatakan bahwa pendapat ini bukan diutarakan oleh penduduk pedalaman (orang kampung).
Al-Qurtubi mengatakan, termasuk ke dalam sihir ialah bacaan yang dihafal dan melakukan ruqyah dengan menyebut asma Allah Swt. Adakalanya sihir itu merupakan perjanjian dengan setan-setan, maka kejadiannya akan menimbulkan berbagai macam penyakit dan kerusakan serta lain-lainnya yang berbahaya.
Al-Qurtubi mengatakan bahwa sabda
Rasul Saw. yang mengatakan: Sesungguhnya di antara ilmu bayan (paramasastra)
itu benar-benar mengandung (pengaruh seperti pengaruh) sihir. Kalimat ini dapat
diinterpretasikan sebagai pujian, menurut apa yang dikatakan oleh segolongan
ulama. Dapat pula diinterpretasikan sebagai celaan terhadap ilmu balagah.
Selanjutnya Al-Qurtubi memberikan komentarnya bahwa pendapat yang terakhir
inilah yang lebih sahih, mengingat dapat saja balagah dijadikan sebagai sarana
untuk membenarkan hal yang batil, sehingga pendengarnya terpesona oleh
kata-katanya dan menduganya berada di pihak yang benar, seperti yang disebutkan
oleh sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ
بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي له»
Barangkali sebagian dari kalian lebih pandai dalam mengutarakan alasannya daripada sebagian yang lain. Karena itu, lalu aku memutuskan peradilan untuk kemenangannya. Hingga akhir hadis.
Fasal
Al-Wazir Abul Muzaffar (yaitu Yahya ibnu Muhammad ibnu Hubairah) dalam kitabnya yang berjudul Al-Isyraf 'Ala Maza Hibil Asyraf mengetengahkan sebuah bab yang membahas masalah sihir. Ia mengatakan bahwa mereka telah sepakat bahwa sihir itu mempunyai kenyataan, kecuali Imam Abu Hanifah. Abu Hanifah berpendapat bahwa sihir tidak ada kenyataannya.
Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang belajar sihir dan menggunakannya. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad mengatakan bahwa pelakunya menjadi kafir.
Dari kalangan murid-murid Imam Abu Hanifah ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya kalau seseorang belajar ilmu sihir hanya untuk pertahanan diri atau untuk menghindarinya, hukumnya tidak kafir. Barang siapa yang mempelajarinya dengan keyakinan bahwa sihir diperbolehkan atau sihir bermanfaat bagi dirinya, maka ia kafir. Demikian pula orang yang meyakini bahwa setan dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya, maka dia kafir.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan, "Apabila seseorang belajar ilmu sihir (dan telah menguasainya), maka kami akan katakan kepadanya terlebih dahulu, 'Peragakanlah sihirmu itu kepada kami.' Jika ia memperagakan jenis sihir yang memastikannya kafir, misalnya dia berkeyakinan seperti apa yang diyakini oleh penduduk Babil —yakni mendekatkan diri kepada/tujuh bintang, dan bahwa ketujuh bintang tersebut dapat memberikan apa yang dimintakan kepadanya— maka dia kafir. Apabila sihir yang diperagakannya itu tidak menyebabkan dia kafir (maka ia tidak kafir); tetapi jika dia meyakini bahwa belajar sihir itu boleh, maka hukumnya kafir."
Ibnu Hubairah mempertanyakan, "Apakah seorang penyihir dibunuh hanya semata-mata karena ia memperlihatkan sihirnya dan menggunakannya?"
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad dibunuh, dan menurut Imam Syafii serta Imam Abu Hanifah tidak. Tetapi jika sihirnya itu telah membunuh seseorang manusia, maka ia dibunuh menurut Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad.
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa si penyihir tidak dibunuh kecuali jika ia melakukan perbuatannya itu (membunuh orang lain dengan ilmu sihirnya) secara berulang-ulang, atau dia mengakui sendiri telah melakukannya terhadap seseorang tertentu. Apabila ilmu sihir seseorang digunakan untuk membunuh, maka ia dihukum mati sebagai hukuman had-nya menurut pendapat mereka, kecuali Imam Syafii. Imam Syafii berpendapat bahwa bila keadaannya memang demikian, maka ia dihukum mati sebagai qisas.
Ibnu Hubairah mempertanyakan, "Apakah dapat diterima tobat tukang sihir bila ia bertobat darinya?" Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta Imam Ahmad menurut pendapat yang terkenal di kalangan mereka mengatakan bahwa tobatnya tidak diterima. Akan tetapi, Imam Syafii dan Imam Ahmad menurut riwayat yang lain mengatakan dapat diterima tobatnya.
Tukang sihir dari kalangan ahli kitab menurut Imam Abu Hanifah dihukum mati, sebagaimana tukang sihir muslim pun dihukum mati.
Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafii mengatakan tidak dihukum mati; karena menimbang kisah Labid ibnul A'sam. Mereka berselisih pendapat mengenai wanita muslimah tukang sihir; menurut Imam Abu Hanifah, ia tidak dibunuh melainkan hanya dihukum penjara. Sedangkan menurut ketiga imam lainnya, hukumnya sama dengan hukum seorang laki-laki penyihir.
Abu Bakar Al-Khalal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al-Marwazi, bahwa Umar ibnu Harun pernah memba-ca (belajar) dari Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad ibnu Hambal) bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Az-Zuhri yang mengatakan, "Penyihir dari kalangan kaum muslim dihukum mati, sedangkan penyihir dari kalangan kaum musyrik tidak dihukum mati; karena Rasulullah Saw. pernah disihir oleh seorang wanita Yahudi, ternyata beliau tidak membunuhnya."
Imam Qurtubi menukil dari Imam Malik rahimahullah yang mengatakan bahwa tukang sihir dari kalangan kafir zimmi dihukum mati jika sihirnya itu ia gunakan untuk membunuh.
Ibnu Khuwaiz Mandad meriwayatkan dua buah riwayat dari Imam Malik sehubungan dengan kafir zimmi bila mempraktikkan sihir. Salah satunya mengatakan bahwa ia diminta bertobat terlebih dahulu. Jika ia masuk Islam, tidak dihukum; tetapi jika tidak mau masuk Islam, maka ia dihukum mati. Pendapat kedua mengatakan bahwa dia tetap dihukum mati, sekalipun masuk Islam.
Seorang penyihir itu apabila ilmu sihirnya mengandung kekufuran, maka ia dihukumi kafir menurut keempat orang imam dan imam-imam lainnya, karena berdasarkan kepada firman-Nya: sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102)
Tetapi Imam Malik mengatakan, "Jika kekufuran tampak pada dirinya, maka tobatnya tidak diterima, karena kedudukannya sama dengan kafir zindiq. Jika dia bertobat sebelum menampakkan kekufurannya, lalu ia datang kepada kami seraya bertobat, maka kami menerimanya. Jika sihirnya itu ia gunakan untuk membunuh orang, maka ia dibunuh (dihukum mati)."
Imam Syafii mengatakan, "Kalau si penyihir mengatakan, 'Aku tidak sengaja membunuh,' maka ia dihukumi sebagai orang yang keliru dan diharuskan membayar diat."
Masalah
Ada suatu pertanyaan, "Apakah penyihir boleh diminta untuk melepaskan (mengobati) sihirnya?" Sa'id ibnul Musayyab r.a. memperbolehkannya menurut apa yang dinukil oleh Imam Bukhari. Amir Asy-Sya'bi mengatakan, tidak mengapa menggunakan nusyrah (pengobatan dengan memakai jampi). Akan tetapi, Al-Hasan Al-Basri memakruhkannya.
Di dalam hadis sahih dari Siti Aisyah
r.a. disebutkan bahwa ia pernah berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau
tidak berobat dengan cara nusyrah? Maka beliau Saw. menjawab:
«أَمَّا اللَّهُ فَقَدْ شَفَانِي وَخَشِيتُ
أَنْ أَفْتَحَ عَلَى النَّاسِ شَرًّا»
Adapun Allah, sesungguhnya Dia telah menyembuhkan diriku, dan aku merasa khawatir (bila memakai nusyrah) nanti aku membuka pintu kejahatan kepada manusia.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Wahb yang mengatakan, "Hendaknya diambil tujuh helai daun sidr, terus ditumbuk di antara dua buah batu, lalu diperas dengan memakai air seraya dibacakan ayat Al-Kursi padanya. Kemudian airnya diminumkan kepada orang yang terkena sihir sebanyak tiga tegukan, sedangkan sisanya dimandikan untuknya. Sesungguhnya cara ini dapat melenyapkan sihir yang mengenainya, dan cara ini amat baik buat lelaki yang mengobati istrinya."
Menurut kami, pengobatan yang paling bermanfaat untuk melenyapkan pengaruh sihir ialah membacakan apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya untuk menghilangkan hal tersebut, yaitu membaca surat Mu'awwizatain.
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
«لَمْ يَتَعَوَّذِ المتعوذ بِمِثْلِهِمَا»
Tiada suatu ta'awwuz pun yang digunakan oleh seseorang sebanding dengan keduanya.
Demikian pula membaca ayat Kursi,
karena sesungguhnya ayat Kursi itu dapat digunakan untuk mengusir setan.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.