Penyembelihan Berdasarkan Syariat
Daftar Isi:
- Definisi Adz-Dzakkah (Penyembelihan)
- Kewajiban dalam Proses Penyembelihan
- Mengenai sembelihan Ahli Kitab
- Sembelihan kaum Majusi dan Shabi’in
- Hal-Hal Yang Makruh Dalam Penyembelihan
- Menghadap kiblat saat penyembelihan
- Penyembelihan Hewan yang Masih Terdapat Indikasi Kehidupan Padanya atau Terdapat Penyakit Padanya
- Mengangkat Tangan Sebelum Penyembelihan Sempurna
- Melukai Hewan Saat Penyembelihan Tidak Dapat Dilakukan Karena Terkendala
- Penyembelihan janin Hewan
Definisi Adz-Dzakkah (Penyembelihan)
الذكاة في الاصل معناه التطيب، ومنه: رائحة ذكية، أي طيبة، وسمي بها الذبح لان الاباحة الشرعية جعلته طيبا. وقيل: الذكاة معناها: التتميم، ومنه: فلان ذكي، أي: تام الفهم
Adz-Dzakkah (Penyembelihan) di sini berasal dari kata adz-dzakah yang berarti memakai wewangian. Seperti dikatakan; raihah dzakiyyah, artinya aroma yang wangi. Disebut penyembelihan karena legalitas syariat menjadikannya halal. Ada yang mengatakan bahwa adz-dzakah di sini artinya penyempurnaan. Seperti dikatakan; fulanun dzakiy, maksudnya dia memiliki pemahaman yang sempurna.
والمقصود بها هنا ذبح الحيوان أو نحره بقطع حلقومه أو مريئه ، فإن الحيوان الذي يحل أكله لا يجوز أكل شئ منه إلا بالتذكية ما عدا السمك والجراد
Namun yang dimaksud di sini adalah penyembelihan atau pemotongan hewan dengan memutuskan kerongkongan atau tenggorokannya. Hewan yang diperbolehkan untuk dikonsumsi tidak boleh dimakan darinya sedikit pun kecuali dengan proses penyembelihan, kecuali ikan dan belalang.
Kewajiban dalam Proses Penyembelihan
Ada beberapa hal yang diwajibkan dalam penyembelihan berdasarkan syariat:
1. Orang yang menyembelih harus sehat akalnya, baik dia itu laki-laki maupun perempuan, muslim maupun Ahli Kitab. Jika dia kehilangan akal sehatnya, misalnya dia dalam keadaan mabuk, gila, atau anak kecil yang belum mumayiz, maka sembelihannya tidak halal.
Demikian pula tidak halal sembelihan orang musyrik yang menyembah berhala, orang atheis, dan orang yang murtad dari agama Islam.
Mengenai sembelihan Ahli Kitab
Qurthubi mengatakan,
قال ابن عباس: قال الله تعالى: " ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه وإنه لفسق ". ثم استثنى فقال: " وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم وطعامكم حل لهم ". يعني ذبيحة اليهودي والنصراني. وإن كان النصراني يقول عند الذبح: باسم المسيح، واليهودي يقول: باسم عزيز، وذلك أنهم يذبحون على الملة.
”Ibnu Abbas berkata : Allah Ta’ala berfirman : “Dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah padanya (ketika disembelih). Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah benar-benar suatu kefasikan.” (Al-Anam [6]: 121) Kemudian Allah memberi pengecualian dalam firman-Nya, ”Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Alkitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka؛ (QS. Al-Maidah [5]: 5) Maksudnya, sembelihan orang Yahudi dan Nasrani, meskipun saat penyembelihan orang Nasrani mengucapkan; dengan nama al-Masih, dan orang Yahudi mengucapkan; dengan nama Uzair. Ini lantaran mereka menyembelih berdasarkan keyakinan agama.”
Atha’ berkata,
وقال عطاء: كل من ذبيحة النصراني وإن قال: باسم المسيح، لان الله عز وجل أباح ذبائحهم وقد علم ما يقولون.
”Makanlah dari sembelihan orang Nasrani, meskipun dia mengucapkan; dengan nama al-Masih, karena Allah swt. membolehkan sembelihan mereka dan sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka ucapkan.”
Qasim bin Mukhaimarah berkata,
وقال القاسم بن مخيمرة: كل من ذبيحته وإن قال: باسم سرجس (اسم كنيسة لهم)
”Makanlah dari sembelihannya, meskipun dia mengucapkan; dengan nama Sarjis (nama sebuah gereja mereka).”
Ini juga merupakan pendapat Zuhri, Rabiah, Sy abi, dan Makhul serta diriwayatkan dari dua orang sahabat; Abu Darda’ dan Ubadah bin Shamit.
Kalangan yang lain mengatakan, ”Jika kamu mendengar Ahli Kitab menyebut selain nama Allah swt. maka kamu jangan memakan sembelihannya.” Di antara sahabat yang mengatakan ini adalah Ali, Aisyah, dan Ibnu Umar. Ini juga merupakan pendapat Thawus dan Hasan. Kalangan ini berpedoman pada firman Allah swt.,
وَلَا تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّٰهِ عَلَيْهِ وَاِنَّهٗ لَفِسْقٌۗ وَاِنَّ الشَّيٰطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ اِلٰٓى اَوْلِيَاۤىِٕهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْ ۚوَاِنْ اَطَعْتُمُوْهُمْ اِنَّكُمْ لَمُشْرِكُوْنَ ࣖ
Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allah, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah menjadi orang musyrik. (QS. Al-An’am [6] : 121)
Malik berkata,
أكره ذلك. ولم يحرمه
”Menurutku hukumnya makruh.” Namun dia tidak mengharamkannya.
Sembelihan kaum Majusi dan Shabi’in
Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai sembelihan kaum Majusi dan Shabi’in. Perbedaan pendapat mereka ini didasarkan pada perbedaan pendapat mereka mengenai pokok agama kaum Majusi dan Shabi’in. Di antara ulama fikih ada yang berpendapat bahwa mereka adalah kaum yang diberi kitab namun kemudian ditiadakan, sebagaimana diriwayatkan dari Ali ra.. Sementara kalangan yang lain berpendapat bahwa mereka adalah kaum Musyrikin.
Menurut kalangan ulama fikih yang berpendapat bahwa mereka adalah kaum yang diberi kitab, sembelihan mereka halal dan bahwasanya mereka termasuk dalam cakupan firman Allah swt.,
وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ
Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. (QS. Al-Maidah [5] : 5)
سَنُّوْا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ
"Perlakukanlah (secara hukum) sebagaimana perlakuan terhadap Ahli Kitab."[1] (Talkhish Al-Habir jilid III, hal. 156, dan Nail Al-Authar jilid IV, hal. 597)
Mengenai kaum Majusi, Ibnu Hazm berkata, "Mereka adalah kaum yang diberi kitab, maka perlakuan secara hukum terhadap mereka seperti perlakuan terhadap Ahli Kitab dalam kaitannya dengan itu semua.” Abu Tsaur dan Madzhab Zhahiri pun berpendapat demikian. Adapun mayoritas ulama fikih, mereka mengharamkan sembelihan kaum Majusi, karena menurut pandangan kalangan ulama fikih ini mereka adalah kaum Musyrikin. Sementara mengenai kaum Shabi’in,[2] ada yang berpendapat bahwa sembelihan mereka tidak boleh dimakan, dan ada yang berpendapat bahwa sembelihan mereka boleh dimakan.
2. Alat yang digunakan untuk menyembelihnya harus tajam yang memungkinkan dapat menumpahkan darah dan memotong tenggorokan, seperti pisau, batu, kayu, pedang, kaca, batang yang tajam hingga memungkinkan dapat digunakan untuk memotong seperti pisau dan tulang, kecuali gigi dan kuku.
a. Malik meriwayatkan bahwa seorang perempuan menggembalakan sejumlah kambing. Dari kambing-kambing itu ada seekor kambing yang mengalami kecelakaan. Perempuan itu segera menangkapnya dan menyembelihnya dengan menggunakan batu. Begitu Rasulullah saw. ditanya mengenai kejadian ini, beliau bersabda, ”Tidak apa-apa dengannya.”[3]
b. Diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau ditanya; apakah boleh kami menyembelih dengan menggunakan batu dan sisi tongkat? Beliau bersabda,
أَعْجِلْ وَأَرِنْ، وَمَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذَكَرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلْ، لَيْسَ السِّنُّ وَالظُّفْرُ.
"Segerakanlah dan sembelihlah hingga tewas. Sembelihan yang menumpahkan darah dan disebutkan nama Allah padanya, makanlah, bukan (disembelih) dengan gigi dan kuku.”[4] (HR. Muslim)
c. Rasulullah saw. melarang syarat setan,
وهي التي تذبح فتقطع الجلد ولا تفري الاوداج
”Yaitu yang disembelih dengan dipotong kulitnya namun tidak memutuskan urat leher.[5]”[6] (HR. Abu Daud dari Ibnu Abbas. Pada sanad hadits ini terdapat nama Amru bin Abdullah ash-Shanany, dia periwayat dha’if.
3. Memotong tenggorokan dan kerongkongan namun tidak disyaratkan keduanya harus dipenggal hingga terpisah tidak pula pemotongan dua urat leher, karena keduanya merupakan tempat aliran makanan dan minuman yang tidak ada kehidupan padanya yang merupakan tujuan penyembelihan hingga mati. Namun seandainya penyembelihan dilakukan hingga kepala terpenggal, ini tidak membuat hewan yang disembelih menjadi haram. Demikian pula jika hewan disembelih dari arah belakang lehernya selama alat yang digunakan mengenai tempat penyembelihan.
4. Mengucapkan basmalah.
Malik berkata,
كل ما ذبح ولم يذكر عليه اسم الله فهو حرام، سواء ترك ذلك الذكر عمدا أو نسيانا
”Setiap yang disembelih tanpa disebutkan nama Allah padanya, maka ia haram, baik tidak adanya penyebutan nama Allah itu disengaja maupun karena lupa.” Ini juga merupakan pendapat Ibnu Sirin dan sejumlah ahli kalam.
Abu Hanifah berkata,
إن ترك الذكر عمدا حرم، وإن ترك نسيانا حل.
”Jika tidak adanya penyebutan nama Allah itu karena disengaja, maka ia haram, dan jika tidak disebutkan karena lupa, maka ia halal.”
Syafi’i berkata,
يحل متروك التسمية سواء كان عمدا أم خطأ إذا كان الذابح أهلا للذبح.
”Yang tidak disebutkan nama Allah tetap halal, baik itu disengaja maupun tidak disengaja, dengan ketentuan orang yang menyembelih adalah orang yang layak untuk menyembelih.
Dari Aisyah bahwasanya sejumlah orang bertanya,
يارسول الله، إن قوما يأتوننا باللحم لا ندري أذكر اسم الله عليه أم لا؟ قال: سموا عليه أنتم وكلوا، قالت: " وكانوا حديثي عهد بالكفر " أخرجه البخاري وغيره
”Wahai Rasulullah, beberapa orang datang kepada kami dengan membawa daging yang tidak kami ketahui apakah disebutkan nama Allah padanya atau tidak?” Beliau bersabda,
سَمُّوْ عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوْا.
"Hendaknya kalian mengucapkan basmalah padanya dan makanlah." Aisyah berkata, "Mereka berkata, “Mereka masih belum lama meninggalkan kekafiran."1 HR Bukhari dan lainnya.
Hal-Hal Yang Makruh Dalam Penyembelihan
Dalam penyembelihan, ada beberapa hal yang dipandang makruh, yaitu sebagai berikut:
1. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan alat yang tumpul. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Syaddad bin Aus bahwa Rasulullah saw. bersabda,
" إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْاِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الْقَتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذَّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدَكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ ".
“Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan pada segala sesuatu. Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik, dan jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan cara baik, dan hendaknya setiap orang di antara kalian menajamkan alat penyembelihannya serta menyegerakan kematian sembelihannya.”2
2. Dari Ibnu Umar,
أن الرسول، صلى الله عليه وسلم، أمر أن تحد الشفار وأن توارى عن البهائم.
Bahwa Rasulullah saw. menyuruh agar alat penyembelihan dipertajam dan hewan yang disembelih ditutupi.”3 HR Ahmad.
3. Meremukkan leher hewan atau mengulitinya sebelum nyawanya benar-benar telah hilang. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Daraquthni dari Abu Hurairah :
أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، قال: " لاَ تُعَجِّلُوْا الْاَنْفُسَ قَبْلَ أَنْ تَزْهَقَ.
“Bahwa Rasulullah saw. bersabda, Janganlah kalian tergesa-gesa menangai jiwa sebelum nyawanya sirna.”4
Menghadap kiblat saat penyembelihan
Penyembelihan Hewan yang Masih Terdapat Indikasi Kehidupan Padanya atau Terdapat Penyakit Padanya
Jika hewan disembelih dalam keadaan masih ada kehidupan padanya saat disembelih, maka hewan ini halal untuk dimakan, meskipun kehidupan ini tidak dapat bertahan lama bagi hewan seperti yang disembelih tersebut. Demikian pula dengan hewan yang sakit dan tidak dapat diharapkan lagi kehidupannya, jika disembelih dalam keadaan masih ada kehidupan padanya. Kehidupan ini dapat diketahui melalui gerakan kaki depannya atau kaki belakangnya, ekornya, hembusan nafasnya, atau tanda lain yang semacam itu. Hewan sudah dalam kondisi sekarat dan tidak ada yang bergerak baik kaki depan tidak pula kaki belakang, maka dalam kondisi ini ia dianggap telah mati sebagai bangkai dan tidak ada gunanya disembelih. Ini berdasarkan firman Allah swt.,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih.” (QS. Al-Maidah 151: 3)
Maksudnya, hewan yang mati karena tercekik, terpukul, terjatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas ini diharamkan bagi kalian kecuali yang dapat kalian tangkap dalam keadaan masih hidup lantas kalian sembelih, maka penyembelihannya menjadikannya halal. Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai serigala yang menyerang domba hingga merobek perutnya dan usus-ususnya terburai, lalu domba itu disembelih (saat masih hidup)? Ibnu Abbas berkata, ”Makanlah, namun usus-ususnya yang terburai jangan kamu makan.”
Mengangkat Tangan Sebelum Penyembelihan Sempurna
Melukai Hewan Saat Penyembelihan Tidak Dapat Dilakukan Karena Terkendala
Hewan yang halal dimakan melalui penyembelihan jika dapat disembelih maka ia disembelih tepat pada bagian penyembelihan pada hewan (leher). Jika penyembelihan yang selayaknya ini tidak dapat dilakukan, maka penyembelihannya dapat dilakukan dengan melukai bagian darinya di mana pun letaknya pada badannya dengan syarat luka tersebut harus mengeluarkan darah yang memungkinkan dapat menyebabkan kematian padanya.
Rafi’ bin Khudaij berkata,
كنا مع رسول الله، صلى الله عليه وسلم، في سفر فند بعير من إبل القوم ولم يكن معهم خيل، فرماه رجل بسهم فحبسه، فقال رسول الله، صلى الله عليه وسلم،:
”Kami bersama Rasulullah saw. dalam suatu perjalanan. Kemudian di antara onta-onta mereka ada satu onta yang membelot, sementara tidak ada kuda di antara mereka (untuk mengejarnya). Akhirnya seorang dari mereka memanahnya lantas menangkapnya. Rasulullah saw. bersabda,
" إِنَّ لِهَذِهِ الْبَهَائِمِ أَوَابِدُ كَأَوَابِدِ الْوَحْشِ، فَمَا فَعَلَ مِنْهَا هَذَا فَافْعَلُوْا بِهِ هَكَذَا "
“Hewan-hewan ternak ini memiliki sifat-sifat liar seperti hewan-hewan liar lainnya. begitu ada di antaranya yang melakukan ini, maka lakukanlah padanya seperti ini.”[7] (HR Bukhari dan Muslim)
Ahmad dan para penulis as-Sunan meriwayatkan dari Abu Asyra’ dari bapaknya bahwa dia bertanya,
يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، أَمَا تَكُوْنُ الذَكَاةُ إِلاَّ فِي الْحَلْقِ وَاللَبَةِ؟ قَالَ: " لَوْ طَعَنْتَ فِي فَخْذِهَا أَجْزَأَ عَنْكَ "
”Wahai Rasulullah, apakah penyembelihan hanya boleh pada tenggorokan dan leher? Beliau bersabda, "Seandainya kantu nielukai pada pahanya, maka sudah sah bagimu.”[8]
Abu Daud berkata,
وهذا لا يصح إلا في المتردية والمتوحش
”Ini tidak layak kecuali pada hewan yang terjatuh dan yang liar.”
Tirmidzi berkata,
وهذا في حال الضرورة كالحيوان الذي تمرد أو شرد فلم نقدر عليه أو وقع في بحر وخفنا غرقه فنضربه بسكين أو بسهم فيسيل دمه فيموت فهو حلال
”Ini dalam keadaan darurat, seperti hewan yang terjatuh atau membelot dan kita tidak mampu menangkapnya, atau tercebur ke dalam laut dan kita khawatir ia akan tenggelam, lalu kita menikamnya dengan pisau atau dengan anak panah hingga darahnya mengucur hingga mati, maka ia halal.”
Bukhari meriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah,
ما أعجزك من البهائم مما في يدك فهو كالصيد، وما تردى في بئر فذكاته حيث قدرت عليه
”Hewan ternak milikmu yang tidak mampu kamu kuasai maka ia seperti hewan buruan dan hewan yang terjatuh ke dalam sumur. Dengan demikian, penyembelihannya dilakukan saat hewan itu dapat kamu tangkap.”[9]
Penyembelihan janin Hewan
Jika janin hewann keluar dari perut induknya dan terdapat kehidupan
padanya, maka harus dilakukan penyembelihan padanya. Jika induknya disembelih
sementara janin masih berada di dalam perutnya, maka penyembelihannya adalah
penyembelihan induknya jika ia keluar dalam keadaan mati atau masih ada
nafas-nafas terakhir padanya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. mengenai
janin hewan,
ذَكَاتُهُ
ذَكَاةُ أُمِّهِ.
“Penyembelihannya adalah penyembelihan induknya.”[10] (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, Tirmidzi, Daraquthni, dan Ibnu Hibban dari Abu Said, menurut Ibnu Hibban hadits ini shahih)
Ibnu Mundzir berkata,
وممن قال: " ذكاته ذكاة
أمه ولم يذكر أشعر أو لم يشعر ": علي بن أبي طالب، وسعيد بن المسيب، وأحمد،
وإسحاق، والشافعي وقال: إنه لم يرد عن أحد من الصحابة ولامن العلماء أن الجنين لا
يؤكل إلا باستئناف الذكاة فيه، إلاما روي عن أبي حنيفة رحمه الله
”Di antara kalangan yang berpendapat bahwa penyembelihannya
adalah penyembelihan induknya, tanpa apakah sudah berambut maupun belum
berambut, adalah Ali bin Abi Thalib, Said bin Musayyab, Ahmad, Ishak, dan
Syafi’i.” Dia berkata, ”Tidak ada riwayat dari seorang sahabat pun tidak pula
para ulama yang menyatakan bahwa janin hewan tidak boleh dimakan kecuali dengan
adanya penyembelihan baru padanya, selain yang diriwayatkan dari Abu Hanifah
rahimahullah.
Ibnu Qayyim berkata,
وردت السنة الصحيحة الصريحة
المحكمة بأن ذكاة الجنين ذكاة أمه، خلاف الاصول، وهو تحريم الميتة
”Terdapat Sunnah yang shahih dan secara tegas menjelaskan
bahwa penyembelihan janin hewan adalah penyembelihan induknya, berbeda dengan
hukum pokoknya, yaitu pengharaman bangkai.”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kalangan yang
mengatakan pengharaman bangkai memberi pengecualian pada ikan dan belalang dari
kategori bangkai. Bagaimana mungkin janin dapat dikategorikan bangkai padahal
ia bukan bangkai, karena ia merupakan salah satu bagian dari induk, dan
penyembelihan telah dialami oleh seluruh bagian organ induk, maka tidak perlu
lagi memisahkan setiap bagian darinya dengan penyembelihan tersendiri.
Janin mengikuti induknya, ia bagian darinya. Ini adalah
konsekwensi pokok- pokok hukum yang shahih meskipun tidak terdapat riwayat
Sunnah yang membolehkan. Lantas bagaimana bila ternyata terdapat riwayat Sunnah
yang membolehkan dan sesuai dengan qiyas serta hukum pokok. Ini benar-benar
selaras dengan teks syariat, hukum pokok, dan qiyas. Segala puji bagi Allah.”
Referensi : Kitab Fiqih As-Sunnah Karya Syekh Sayyid Sabiq (hal. 994 – 997)
[1]
Sunan A/-Baihaqy (9/189, 190) dan Muwaththa’ Malik (1/278), hadits shahih dan
telah disebutkan dalam bahasan terdahulu.
[2]
Agama mereka antara Majusi dan Nasrani. Mereka meyakini adanya pengaruh
bintang-bintang.
[3]
Bukhari (7/119), kitab ”adz-Dzabaih wa ash shaid,” [72], bab ”Dzabihah al-Marah
wa Al-Amah,” [19], (2/489), kitab “adz-Dzabaih,” [24], bab “Ma Yajuz min adz-Dzakah
fi Hal adh-Dharurah.” [2].
[4]
HR Muslim [1558], kitab ”al-Adhahiy,” [35], bab "Jawaz adz Dzabh bi kulli
ma Anhara ad-Dam illa as-Sinn wa azh-Zhufr wa Sair al-‘Izham, “ [4].
[5] Kemudian
bergerak-gerak hingga mati.
[6]
HR Abu Daud (3/251, 252), kitab ”al-Adhahiy,” [10], bab ”fi al-Mubalaghah fi
adz-Dzabh; [17], dan Baihaki (9/278).
[7]
HR Bukhari (7/121), kitab "adz-Dzabdih wa
ash-Shaid,” [72], bab ”Ma Nadda min al-Bahdim fa Huwa bi Manzilah al-Wahsy,”
[23]. Muslim [1558], kitab ”al-Adhahiy,” [35], bab ”Jawdz adz-Dzabh bi kuhi ma
Anlrara ad-Dam ittd as-Sinn wa azVi-Zhufr wa Sair al-‘Izham.” [4].
[8]
HR Abu Daud kitab ”al-Adhahiy.” [10], bab ”Ma Jaa fi Dzabihah al-Mutaraddiyah.”
[16/2825]. Tirmidzi kitab
"al-Ath’imah” [ 18], bab ”Ma Jaafi al-Halq wa al-Labbah, [5]. Tirmidzi
berkata, ”Hadits gharib. Nasai (7/ s), kitab adh-Dhahaya,” [43], bab ”Dzikr
al-Munfalitah allati la Yuqdar ’ala Akhdziha,” [4].
[9]
HR Bukhari kitab ”adz-Dzabaih,” bab ”Ma Nadda min alBahaim fa Huwa bi Manzilah
al- Wahsy,” (7/120).
[10]
HR Abu Daud (3/253), kitab ”al-Adhahiy,” [10], bab "Ma Jaa fi Dzakah
al-Janin,” [18]. Tirmidzi (4/72), kitab “al-Ath’imah
[18], bab ”Ma Jaafi Dzakah al janin,” [2]. Tirmidzi berkata, ”Hadits
hasan shahih.” Ibnu Maiah (2/1067), kitab ”adz-Dzabdihf [27], bab ”Dzakah
al-Janin Dzakah Ummihi,” [15]. Musnad (3/13). Daruquthni (4/274). Mawarid
azh-Zhaman hadits [1077].
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.