Allah swt. mengajarkan kepada para nabi-Nya berbagai sunnah dan menyuruh kita agar meneladani mereka dalam melaksanakan sunnah-sunnah ini. Hal ini merupakan bagian dari syiar atau lambang jati diri yang bertujuan untuk membedakan suatu umat dengan umat yang lain. Ketentuan-ketentuan seperti ini disebut dengan sunnah-sunnah fitrah. Di antara sunnah-sunnah tersebut adalah:
1. Berkhitan.
Berkhitan adalah memotong kulit yang menutupi kepala zakar
(baca: kemaluan laki-laki). Tujuannya adalah agar kotoran tidak menumpuk di
dalamnya; untuk memastikan semua air kencing yang keluar; dan untuk menambah
kenikmatan pada saat bersetubuh. Inilah khitan yang diwajibkan bagi kaum
laki-laki. Sedangkan bagi perempuan, khitan dilakukan dengan memotong bagian
atas yang tampak di permukaan kemaluan[1].
Khitan merupakan satu amalan yang sudah lama dipraktikkan
sejak dulu.
(Diriwayatkan dari) Abu Hurairah ra.
berkata, Rasulullah saw. bersabda,
اختتن إبراهيم خليل الرحمن
بعدما أتت عليه ثمانون سنة، واختتن بالقدوم
"Nabi Ibrahim -Kekasih Allah Yang Maha
Penyayang-berkhitan setelah berusia delapanpuluh tahun dan beliau berkhitan
dengan menggunakan kampak[2]."
HR Bukhari[3].
Mayoritas ulama berpendapat, hukum berkhitan adalah wajib.
Sedangkan Syafi'i berpendapat bahwa khitan hendaknya dilaksanakan pada hari
ketujuh setelah kelahiran. Asy-Syaukani berkata, “Tidak ada ketentuan waktu
dalam berkhitan, dan juga tidak ada dalil yang menyatakan kewajiban
khitan."[4]
2. Mencukur bulu kemaluan.
3. Mencabut bulu ketiak.
Mencukur bulu kemaluan dan bulu ketiak merupakan amaliah
fithriyyah dan dapat dilakukan dengan cara menggunting, memotong,mencabut atau
mencukurnya.
4. Memotong kuku.
5. Memendekkan kumis atau menipiskannya.
Memotong kuku dan memendekkan kumis merupakan amalan sunnah
berdasarkan pada riwayat hadits sahih. Ibnu Umar ra. berkata, Rasulullah saw.
bersabda,
خَالِفُوْا الْمُشْرِكِيْنَ
وَفِّرُوْا اللِّحَى وأَحْفُوْا الشَّوَارِبَ
"Bedakanlah identitas kalian dengan kaum musyrikin;
panjangkan janggut dan tipiskan kumis." HR Bukhari[5]
dan Muslim
Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda,
خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ : اَلْخِتَانُ
وَالْإِسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ وَقَصُّ الْشَّارِبِ
"Lima perkara yang termasuk fitrah, yaitu berkhitan,
memotong bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan memotong
kumis."[6]
Berdasarkan pada dua hadits di atas, dapat dipahami bahwa di
sana ti-dak ada ketentuan yang jelas berkaitan dengan memotong kumis ataupun
menipiskannya. Jadi, baik memotong atau menipiskan kumis, keduanya termasuk
amaliyyah fitriyyah, karena hal yang sedemikian bertujuan agar kumis tidak
terlalu panjang sehingga menyebabkan makanan atau minuman menempel padanya.
Selain itu, juga agar kotoran tidak menumpuk di situ.
Dari Zaid bin Arqam ra., ia berkata,
Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ لَمْ يَأْخُذْ شَارِبَهُ فَلَيْسَ مِنَّا
"Barangsiapa yang tidak mencukur atau menipiskan
kumisnya, ia tidak termasuk golongan kami". HR Ahmad dan Nasai[7]
Imam Tirmidzi mengategorikannya sebagai hadits sahih.
Dianjurkan mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak,
memotong kuku,mencukur atau menipiskan kumis setiap minggu untuk menjaga
kebersihan, (menjaga) penampilan sehingga selalu tampak menawan dan
(menumbuhkan) percaya diri. Sebab, rambut atau bulu tubuh (jika terlalu
panjang) akan menyebabkan keresahan dan kegelisahan. Meskipun dibolehkan
meninggalkan semua hal tersebut selama empatpuluh hari, namun setelahitu lima
hal tersebut mesti dilaksanakan. Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits
yang bersumber dari Anas ra., ia berkata :
وقت لنا النبي صلى الله عليه
وسلم في قص الشارب، وتقليم الاظافر، ونتف الابط، وحلق العانة، ألا يترك أكثر من
أربعين ليلة
bahwa Rasulullah saw. memberi jedah waktu kepada kami untuk
tidak menggunting kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu
kemaluan selama empat puluh malam dan tidak boleh membiarkannya lebih dari
tempo itu.”[8] (HR.
Ahmad dan Abu Daud)
6. Memelihara dan Membiarkan Jenggot Hingga Lebat.
Hal ini merupakan simbol kewibawaan. Jangan memotongnya
terlalu pendek sehingga seakan-akan dicukur dan jangan pula dibiarkan terlalu
lebat tanpa pemeliharaan sehingga terlihat tidak rapi[9].
Yang lebih baik dilakukan adalah dengan mengambil jalan tengah; tidak
memotongnya terlalu pendek dan juga tidak membiarkannya terlalu panjang atau
lebat. Hal ini (mengambil jalan tengah) juga baik diberlakukan dalam segala
hal. Di samping itu, jenggot yang lebat menunjukkan kejantanan dan kematangan.
Ibnu Umar ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
خالفوا المشركين: وفروا اللحى
“Bedakanlah identitas kalian dengan kaum musyrikin; panjangkan
janggut dan tipiskan kumis.” HR Bukhari Muslim[10].
Imam Bukhari menambahkan,
وكان ابن عمر إذا حج أو اعتمر
قبض على لحيته فما فضل أخذه
“Apabila Ibnu Umar menunaikan ibadah haji atau umrah, beliau
sering memegang jenggot (dengan tangannya).Jika jenggotnya melebihi dari
genggaman tanganya, beliau memotongnya."[11]
7. Merapikan Rambut yang Lebat dan Panjang, dengan Cara
Memberinya Minyak atau Menyisirnya.
Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah
ra.. Ia berkata, Rasulullah saw.bersabda,
من كان له شعر فليكرمه
"Barangsiapa yang mempunyai rambut, hendaknya ia
memuliakannya (dengan cara merapikannya.)" (HR. Abu Daud)[12]
Atha' bin Yasar ra. berkata,
أتى رجل النبي صلى الله عليه
وسلم ثائر الرأس واللحية فأشار إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم كأنه يأمره
بإصلاح شعره ولحيته، ففعل ثم رجع، فقال صلى الله عليه وسلم: (أليس هذا خيرا من أن
يأتي أحدكم ثائر الرأس كأنه شيطان)
“Ada seorang laki-laki yang berambut kumal dan berjenggot
kusut menemui Rasulullah saw.. Saat melihatnya, beliau memberi isyarat
kepadanya, dan seolah-olah menyuruhnya supaya merapikan rambut dan jenggotnya.
Laki-laki itu pun pergi untuk melaksanakan perintah Rasulullah dengan melakukan
apa yang telah diisyaratkan kepadanya. Setelah itu, ia datang lagi untuk
menemui Rasulullah.. Melihat penampilannya yang sudah rapi, Rasulullah saw.
berkata kepadanya,“Bukankah ini penampilan yang terbaik dibandingkan dengan
seseorang di antara kalian yang datang kepadaku dalam keadaan rambutnya kumal,
bagaikan setan'?” (HR. Malik)[13]
Dari Abu Qatadah ra.,
أنه كان له جمة ضخمة. فسأل النبي صلى الله عليه وسلم فأمره أن
يحسن إليها، وأن يترجل كل يوم
ia mengatakan bahwa dirinya merupakan salah seorang yang
berambut lebat dan panjang, yang panjangnya sampai menjulur ke bahu. Kemudian
ia menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Lantas beliau menyuruhnya agar
merapikan dan menyisir rambutnya setiap hari” (HR. Nasai)
Imam Malik dalam kitabnya, al-Muwattha, meriwayatkan dengan
redaksi berikut:
(قلت: يا رسول الله إن لي جمة أفأرجلها؟ قال (نعم ... وأكرمها)
“Saya bertanya, Wahai Rasulullah, saya mempunyai rambut
panjang hingga sampai ke bahu. Perlukah saya menyisirnya?' Rasulullah
saw.menjawab, 'Ya! Lebih dari itu, kamu juga harus menghormatinya (dengan cara
merapikannya')!”[14]
Abu Qatadah memberi minyak pada rambutnya sebanyak dua kali
dalam sehari sebagai bentuk pelaksanaan atas perintah Rasulullah saw. yang
berbunyi, "Hendaklah kamu senantiasa menghormatinya dengan cara
merapikannya!”
Baik mencukur rambut kepala ataupun memanjangkannya, keduanya
diper-bolehkan, asal tetap dirawat (dan kelihatan rapi). Sebagai landasan atas
hal ini adalah hadits Ibnu Umar ra.. Ia berkata, Rasulullah saw. bersabda,
(احلقوا كله أو ذروا كله)
"Cukurlah semuanya atau biarkan semuanya?" (HR
Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Nasai)[15]
Mencukur sebagian rambut dan meninggalkan sebagian yang lain
hukumnya adalah makruh tanzih. Dalilnya adalah hadits yang bersumber dari Nafi'
dari Ibnu Umar ra.,ia berkata,
(نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن القزع،
فقيل لنافع: ما القزع؟ قال: أن يحلق بعض رأس الصبي ويترك بعضه)
Rasulullah saw. melarang al-Qaza'. Lalu ada seseorang yang
bertanya kepada Nafi', “Apa yang dimaksudkan dengan al-Qaza?” Nafi' menjawab,
“Yaitu mencukur sebagian rambut kepala seorang anak kecil, dan membiarkan
sebagian yang lain..”' (HR Bukhari dan Muslim)[16]
Larangan ini juga berdasarkan hadits Ibnu Umar ra.sebagaimana
yang telah disebutkan sebelumnya.
8. Membiarkan Uban dan Tidak Mencabutnya
Baik uban pada jenggot atau kepala. Dalam masalah ini, antara
perempuan dan laki-laki tidak ada perbedaan, di mana keduanya dianjurkan
membiarkan uban yang ada pada (rambut atau janggutnya) dan tidak mencabutnya.
Dalilnya adalah hadits 'Amar bin Syua'ib ra. dari bapaknya, dari kakeknya bahwa
Rasulullah saw. bersabda,
لاَ تَنْتِفُوْا الشَّيْبَ
فَإِنَهُ نُوْرُ الْمُسْلِمِ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيْبُ شَيْبَةً فِيْ الإِسْلاَمِ
إلاَّ كُتِبَ لَهُ بِهَا حَسَنَةٌ وَرُفِعَ بِهَا دَرَجَةً أوْ حُطَّ عَنْهُ بِهَا
خَطِيْئَةٌ.
"Janganlah kalian mencabut uban, karena ia merupakan cahaya
bagi seorang Muslim.Tidaklah seorang Muslim membiarkan ubannya -selama in masih
Islam-,kecuali Allah akan mencatat baginya satu kebaikan, mengangkat satu
derajat dan menghapus satu kesalahan."' (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi,
Nasai dan Ibnu Majah)[17]
Anas ra. berkata,
(كنا نكره أن ينتف الرجل الشعرة البيضاء من
رأسه ولحيته)
“Kami tidak senang dengan seorang laki-laki yang menscabut
sehelai uban dari kepala dan jenggotnya.” (HR Muslim)[18]
9. Diperbolehkannya Mengubah Warna Uban dengan Inai.
Warna merah, warna kuning dan warna-warna yanglain boleh
dipergunakan untuk menyemir rambut. Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits
dari Abu Hurairah ra.. Ia berkata, Rasulullah saw. bersabda,
(إن اليهود والنصارى لا يصبغون فخالفوهم)
"Orang Yahudi dan Nasrani tidak mau menyemir (rambutnya
yang beruban). Oleh karena itu, bedakanlah dirimu dengan cara menyemir
rambutmu.” (HR. Bukhari)[19]
Abu Dzar ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda,
إن أحسن ما غيرتم به هذا الشيب
الحناء والكتم
"Sebaik-baik bahan untuk mengubah warna uban adalah inai[20]
dan semir." HR Bukhari, Muslim, Nasai, Abu Daud dan Tirmidzi[21].
Meskipun ada juga hadits yang menyatakan makruh meyemir uban,
namun para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Perbedaan pendapat ini
berdasarkan pada usia, kebiasaan dan tradisi. Sebagian sahabat meriwayatkan,
bahwa membiarkan uban tanpa menyemirnya adalah lebih utama, sedangkan sebagian
yang lain menyatakan bahwa menyemir uban adalah lebih utama. Di antara mereka
ada yang menyemir ubannya dengan warna kuning; sebagian lagi dengan menggunakan
inai; ada yang menyemir dengan za'faran;dan ada juga sebagian sahabat yang
menyemir ubannya dengan warna hitam.
Dalam kitab Fath al-Bâri, al-Hafiz Ibnu Hajar menyebutkan
satu riwayat dari Ibnu Syihab az-Zukhri, ia berkata, Kami biasa menyemir rambut
dengan warna hitam ketika wajah masih segar. Namun, setelah wajah berkerut dan
gigi telah ompong, kami pun tidak menyemirnya lagi.
Jabir ra.meriwayatkan sebuah hadits.
Ia berkata, Pada waktu penaklukkan kota Makkah,Abu Quhafah-ayah Abu
Bakar-menghadap kepada Rasulullah saw., sedangkan kepalanya laksana kapas
(baca: telah beruban). Melihat itu, Rasulullah saw. bersabda,
(اذهبوا به إلى بعض نسائه فلتغيره بشئ وجنبوه
السواد)
"Bawalah ia kepada salah seorang isterinya supaya
menyemir rambutnya, tapi jangan menggunakan warna hitam.” Hadits ini
diriwayatkan oleh Bukhari Muslim Abu Daud Ibnu Majah dan Nasai[22].
Pada dasarnya, hadits ini bertentangan dengan
keterangan-keterangan yang telah dijelaskan sebelumnya, di mana rambut yang
sudah beruban dapat disemir dengan menggunakan warna apapun. Namun, pernyataan
hadits ini bersifat khusus karena berkaitan dengan peristiwa yang khusus pula.
Dengan kata lain, hukum ini hanya dikhususkan kepada Abu
Quhafah.Karenanya,hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum yang
berlaku secara umum. Di samping itu, seorang laki-laki yang seusia Abu Quhafah,
di mana seluruh rambutnya sudah memutih hingga laksana kapas, tidak sepatutnya
menyemir rambut dengan warna hitam. Perkara seperti ini memang tidak pantas
dilakukan.
10. Memakai Minyak Kasturi dan Jenis Minyak Wangi Lainnya
Minyak wangi dapat menenangkan hati, melapangkan dada,
menyegarkan jiwa, membangkitkan tenaga dan kegairahan dalam bekerja. Sebagai
landasan atas hal ini adalah hadits Anas ra., ia berkata, Rasulullah saw.
bersabda,
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيْبُ
وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِيْ الصَّلاَةِ
“Telah ditambatkan kesenangan bagiku dalam urusan dunia;
perempuan (istri), wangi-wangian, dan telah dijadikan ketenangan bagiku dalam
shalat.." (HR. Ahmad dan Nasai)[23]
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ عُرِضَ عَلَيْهِ رَيْحَانٌ فَلاَ يَرُدُّهُ فَإِنَّهُ
خَفِيْفُ الْمَحْمِلِ طَيِّبُ الْرِّيْحِ
"Barangsiapa yang ditawarkan padanya minyak wangi,
hendaknya ia tidak menolaknya.Sebab,ia mudah dibaiea dan baunya harum." (HR.
Muslim, Nasai dan Abu Daud)[24]
Dan dari Abu Said ra., ia berkata, Rasulullah saw. berkata
berkaitan dengan minyak wangi,
(هو أطيب الطيب)
“la adalah minyak wangi yang paling baik.”' Hadits ini
diriwayatkan oleh ulama hadits kecuali Imam Bukhari dan Ibnu Majah[25].
Nafi' berkata,
كان ابن عمر يستجمر بالالوة غير
مطراة، وبكافور يطرحه مع الالوة ويقول: هكذا كان يستجمر رسول الله صلى الله عليه
وسلم
Ibnu Umar membakar kayu cendana tanpa dicampuri dengan
wangi-wangian yang lain dan ia juga pernah mencampur kayu cendana dengan
kapurbarus. Lantas ia berkata, “Beginilah cara Rasulullah saw. memakai minyak
wangi.” (HR Muslim dan Nasai)[26].
Referensi
:
Fiqih as-Sunnah karya Syekh Sayyid Sabiq (hal. 28 - 31).
[1]
Semua hadits yang memerintahkan khitan bagi kaum perempuan adalah dha'if, tidak
satu pun dari hadits tersebut yang dikategorikan ĥadits shahih. Al-Albani
berkata,“Ada satu hadits shahih yang diriwayatkan dari Rasulullah saw.
berkaitan perintah khitan kepada kaum perempuan. Beliau bersabda, “Potonglah
sebagian klitoris yang muncul di permukaan bibir vagina,namun jangan sampai
dipotong secara keseluruhan. Sebab, ia memberi pengaruh pada kecantikan dan
memberi kenikmatan bagi suami (ketika bersetubuh).”Al-Albani berkata, “Hadits
ini, diriwayatkan dalam beberapa riwayat dari para sahabat.Beberapa hadits yang
serupa turut memperkuat maksudnya. Dua di antara sanadnya telah saya takhrij
dalam ash-Shahihah,jilid II,hal. 353-358."Lihat Tamâm al-Minnah:[67].
[2]
al-Qadùm. kampak, atau nama salah satu daerah di negeri Syam.
[3]
HR Bukhari kitab “Bad"'al-Khalq,” bab“Wa at-Takhaza Allahu Ibrahim
Khalilan".(An-Nisa' [4]:125), jilid IV,hal. 170. Imam Ahmad dalam Musnad
Ahmad, jilid II,hal. 322.
[4]
Namun ada sebagian nash yang mewajibkan berkhitan. Lihat dalam kitab Ya Qalfa'
Ikhtatini”karya Ustadz Syekh Mushtafa Ibnu Salàmah. Lihat Tamám al-Minnah:
[67].
[5]
HR Bukhari kitab “al-Libâs,” bab “Taglim al-Azhafir,” jilid VII, hal. 206.
Muslim kitab "ath-Thahárah,"bab"Khishal al-Fitrah,"jilid
1,hal. 222.
[6]
HR Bukhari kitab “al-Libâs,” bab “Qassh asy-Syârib"[1257],jilid VII, hal.
206-jilid I1, kitab “ath-Thahârah,” bab “as-Siwak min al-Fitrah"
[53-54].Nasai kitab“az-Zinah,"bab "al-Fitrah,"jilid XIII, hal.
128-129. Tirmidzi kitab “al-Istizan wa al-Adab,"jilid V,hal.91. Ibnu Majah
kitab “ath-Thahârah,”bab “Al-Fitrah”[292].
[7]
HR Nasai kitab “ath-Thahárah, bab Qassh asy-Syàrib" jilid I, hal. 15.
Tirmidzi kitab "al-Istidzân wa al-Âdáb,” bab “Má Jáa fi Qassh
asy-Syârib" [2761], jilid V, hal. 93 dan beliau hal.368.Diklasifikasikan
sebagai hadits shahih oleh al-Albani dalam Shahih an-Nasai,jilid I,hal.5.Shahih
at-Tirmidzi: [2922]. Misykâh al-Mashábih:[4438].Shahih al-Jámi'[6533].
[8]
HR Muslim kitab “ath-Thahârah," bab “Khishål al-Fitrah"[51],jilid
I,hal.222.Nasai kitab “al-Âdâb," bab “fi at-Tauqit fi Taqlim al-Adhafir wa
Akhdzi asy-Syârib" [2759], jilid V,hal. 92.Ibnu Majah kitab
“ath-Thahârah," bab “al-Fitrah” [295], jilid Í,hal.108.Imam Ahmad dalam
Musnad Ahmad,jilid 11I,hal.122.
[9][9]
Tidak ada satu hadits pun yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw.pernah
memotong jenggotnya, baik panjang maupun lebarnya. Memang ada satu riwayat yang
menyatakan bahwa beliau pernah memotong jenggotnya, akan tetapi hadits dhaif.
Lihat ad-Dhaifah. Malahan beliau gemar membiarkan jenggotnya hingga tebal dan
lebat, bahkan para sahabat sering memperhatikan goyang dan gerak jenggot Nabi
saw. semasa membaca al-Quran.
[10]
Ahli fikih menganggap perintah ini sebagai perintah wajib. Oleh karena itu
mereka mengharamkan mencukur jenggot berdasarkan kepada perintah ini. Lihat
takhrij hadits sebelumnya.
[11]
Ini adalah perbuatan Ibnu Umar bukannya perbuatan Nabi Muhammad saw.
[12]
HR Abu Daud kitab “at-Tarajjul," bab“fi Ishlâh asy-Syar," jilid II,
hal. 395 dan diklasifikasikan sebagai shahih oleh al-Albani dalam Shahih
al-Jâmi': [6493]. ash-Shahihah: [500].
[13]
HR Malik dalam al-Muwattha'kitab “asy-Sya'r," bab “Isláh asy-Syar"
[7],jilid II,hal.949. Hadits ini merupakan hadits mursal dan dhaïf. Sebab,
'Atha' bin Yasar tergolong tabi'in. 292.Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, jilid
III, hal. 357 dari Jabir dengan lafal yang serupa, namun tidak menyebut
'jenggot. Demikian juga perkataan: Kaannahu Syaithan. Hadits ini,
diklasifikasikan sebagai ĥadits shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah:
[493].Namun,pada hadits sebelumnya, Rasulullah saw. memerintahkan supaya
memotong jenggot, akan tetapi dalam hadits ini beliau menyuruh supaya dirapikan
saja!
[14]
HR
Malik dalam al-Muwattha' kitab“ Asy-Sya'r," bab “Islâh asy-Sya'r"
[6], jilid 11, hal. 949. Hadits dikategorikan sebagai dha if. Lihat uraiannya
dalam Tamâm al-Minnah[70-73].
[15]
HR
Abu Daud dalam Sunan Abu Daud (4195). Pentahqiq berkata: “Al-Mundziri
mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanad persis sama
dengan sanad Abu Daud,namun Imam Muslim tidak menyebut dengan redaksinya."
Abu Mas'ud ad-Dimisyqi ketika memberi komentar hadits ini menegaskan bahwa Imam
Muslim meriwayatkannya Zinah,"bab “ar-Ŕukhshah fi Halq ar-Ra's,"
jilid XIII, hal. 130.Dengan redaksi yang sama. Abdurrazzaq meriwayatkannya
dalam al-Mushannif|19564] dan disebut oleh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bâri, jilid
X, hal. 365. Hadits ini diklasifikasikan sebagai hadits shahih oleh al-Albani
dalam ash-Shahihah [1123]. Shahih al-Jâmi' [212].
[16]
HR
Bukhari kitab “al-Libâs,” bab“Al-Qaz"," jilid VII, hal. 210. Muslim
kitab “al-Libâs wa az-Zinah,"bab“Karâhiyah al-Qaz”[113],jilid III, hal.
1675.
[17]
HR Abu Daud kitab “at-Tarajjul," bab “Fi Natfasy-Syaib” [4202], jilid
IV,hal. 414 dengan “Mâ Jâa fi an-Nahyi 'an Natfasy-Syaib" [2821], jilid V,
hal. 125 dengan lafaz:"Rasulullah Tirmidzi berkata: "Hadits ini
hasan." HR Ibnu Majah kitab “Al-Ädâb," bab “Natfasy-Syaib"
[3721], hal.2,hal.1226.Imam Nasai dengan redaksi “Rasulullah saw. melarang
mencabut uban,"kitab“az-Zinah"|5068], jilid XIII, hal. 36. Misykâh
al-Mashábih [4458],jilid II,hal. 497 dengan menggunakan redaksi seperti yang
dijelaskan oleh Sayyid as-Sabiq. Al-Albani berkata, “Hadits ini hasan dan
shahih." Lihat ash-Shahihah (12431.
[18] HR Muslim kitab“al-Fadhâ'il," bab “Syaibuhu
saw:" [104], jilid IV, hal. 1821.
[19]
HR Bukhari kitab “al-Libâs,” bab “al-Khidhâb,” jilid VII, hal. 207. Muslim
kitab“al-Libâs,”Tarajjul,” bab “ ji al-Khidhâb," jilid II, hal. 403. Nasai
kitab “az-Zinah,”bab“Al-ldzn Ibnu al-Khidháb,"jilid XIII,hal. 137. Ibnu
Majah kitab "al-Libâs,"bab "al-Khidhab bi al-Hina”' [3621],jilid
II,hal.1196.
[20]
Sejenis tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan pewarna hitam kemerah-merahan atau
pirang.
[21]
HR Tirmidzi kitab""Al-Libâs," bab “Má Jaa fi al-Khidhab'"
[1753}, jilid IV, hal. 232,beliau berkata: “Hadits ini hasan lagi shahih.”
Nasai kitab "“az-Zinah,” bab “Al-Khidhâb bi al-Hina' wa
al-Katm"[5079], jilid XIII, hal. 139. Abu Daud kitab ““at-Tarajjul,"
bab "fi al-Khidhâb" [4205], jilid IV, hal. 416. Ibnu Majah kitab
“al-Libâs,"bab “al-Khidhâb bi al-Hinâ” [3622], sebagai shahih oleh
al-Albani dalam ash-Shahihah [1509]. Lihat Tamâm al-Minnah [74-83). Di situ
terdapat uraian terperinci mengenai permasalahan ini.
[22] HR
Muslim kitab “al-Libâs wa az-Zinah" bab “Istihbáb Khidhâb asy-Syaib bi
Shufrahau Humrah" [79], jilid III, hal. 1663. Abu Daud kitab
“at-Tarajjul,” bab “ fi al-Khidhab,"jilid II,hal. 403.Nasai kitab
“az-Zinah,” bab “an-Nahyi 'an al-Khidhâb," jilid XIII,hal. 138. Ibnu Majah
kitab “al-Libás,” bab“Al-Khidhâb bias-Sawad" [3624],jilid
II,hal.1197.Lihat Tamâm al-Minnah[85].
[23]
Musnad Ahmad, jilid III, hal. 285. Nasai kitab “Usyrah an-Nisa',”bab “Hubb
an-Nisa' jilid VII, hal. 12, diklasifikasikan sebagai hadits shahih oleh
al-Albani dalam Shahih al-Jâmi' [3124]. Al-Misykah [5261].
[24]
HR Muslim kitab “al-Alfâsdz min al-Âdáb," bab “Isti'mal al-Misk"
(20), jilid IV, hal. 1766 dengan lafaz: “Barangsiapa yang ditawarkan minyak
wangi...".Abu Daud kitab “at-Tarajjul" bab"fi Radd
ath-Thib," jilid 11, hal. 397. Nasai kitab “az-Zinah," bab
"ath-Thib," jilid XIII, hal.189.Shahih al-Jámi' [6393].
[25]
HR Muslim kitab “al-Alâadz min al-Âdàb," bab "Isti'mal al-Misk” (bab
Memakai Wangi Misik) [19], jilid IV, hal. 1766. Abu Daud
kitab“al-Jana'iz"(kitab Jenazah), bab “fi al-Misk li al-Mayyiť"
[3158]. Nasai kitab “az-Zinah,” bab “Athyab ath-Thib,"jilid XIII,hal. 151.
Tirmidzi kitab “al-Janâ'iz," bab “Má Jáa fîal-Misk li al-Mayyit”
[991],jilid III,hal.308 dan beliau berkata: “Hadits ini hasan lagi
shahih.". Musnad Ahmad, jilid III, hal. 31.
[26] HR Muslim kitab “al-Alfâdz min al-Âdâb. Isti'mâl al-Misk” [21], jilid IV,hal.1766.Nasai kitab “az-Zinah," bab “al-Bukhûr," jilid XIII, hal. 156.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.