Ilmu Nujum (Perbintangan)

Ilmu Nujum (Perbintangan)

بَابُ مَا جَاءَ فِيْ التَّنْجِيْمِ

29. Bab Keterangan Tentang Ilmu Nujum (Perbintangan)

Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Qatadah Ra, bahwa ia berkata,

خَلَقَ اللَّهُ هَذِهِ النُّجُوْمَ لِثَلاَثٍ زِيْنَةً لِلسَّمَاءِ، وَرُجُوْمًا لِلشَيَاطِيْنِ، وَعَلاَمَاتٍ يَهْتَدِى بِهَا، فَمَنْ تَأَوَّلَ فِيْهَا غَيْرَ ذَلِكَ أَخْطَأَ، وَأَضَاعَ نَصِيْيَهُ، وَتَكَلَّفَ مَا لاَ عِلْمَ لَهُ بِهِ

"Allah menciptakan bintang-bintang ini untuk tiga perkara; sebagai hiasan langit, sebagai alat pelempar syetan, dan sebagai tanda untuk petunjuk (arah dan sebagainya). Maka barangsiapa yang berpendapat selain hal tersebut maka ia telah melakukan kesalahan, dan menyia-nyiakan nasibnya, serta membebani dirinya dengan hal yang di luar batas pengetahuannya."[1]

Keterangan :

Tanjim adalah masdhar dari najama-yanjamu-tanjiman harasa wa hadasa dari apa yang diyakini dari imu perbintangan. Tanjim adalah bersandar kepada kejadian-kejadian di angkasa kemudian mengaitkannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di bumi.

Kejadian itu bisa berupa berkumpulnya bintang dalam satu rasi yang sama, berpisahnya bintang satu dengan yang lain, atau pun terbit dan terbenamnya bintang-bintang tersebut. Perbuatan ini batil karena seolah-olah mengetahui ilmu gaib. Allah Saw berfirman,

قُلْ لَّا يَعْلَمُ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ الْغَيْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ

Katakanlah (Muhammad), “Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah. (QS. An Naml [27]: 65)

 

Adapun bersandar kepada pergerakan bintang atau benda- benda langit lainnya demi memudahkan urusan di dunia, seperti tempat dan posisi bulan untuk menetapkan waktu shalat atau untuk memperkirakan waktu turunnya hujan dan sebagainya tidaklah mengapa sebagaimana pendapat Ahmad, Ishaq dan Ibnu Rahawaih.

 

Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Qatadah Ra, bahwa ia berkata,

خَلَقَ اللَّهُ هَذِهِ النُّجُوْمَ لِثَلاَثٍ زِيْنَةً لِلسَّمَاءِ، وَرُجُوْمًا لِلشَيَاطِيْنِ، وَعَلاَمَاتٍ يَهْتَدِى بِهَا، فَمَنْ تَأَوَّلَ فِيْهَا غَيْرَ ذَلِكَ أَخْطَأَ، وَأَضَاعَ نَصِيْيَهُ، وَتَكَلَّفَ مَا لاَ عِلْمَ لَهُ بِهِ

"Allah menciptakan bintang-bintang ini untuk tiga perkara; sebagai hiasan langit, sebagai alat pelempar dan sebagai tanda untuk petunjuk (arah dan sebagainya). Maka barangsiapa yang berpendapat selain hal tersebut maka ia telah melakukan kesalahan, dan menyia- nyiakan nasibnya, serta membebani dirinya dengan hal yang di luar batas pengetahuannya”

 

Allah berfirman,

وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاۤءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيْحَ وَجَعَلْنٰهَا رُجُوْمًا لِّلشَّيٰطِيْنِ وَاَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيْرِ

Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat, dengan bintang-bintang dan Kami jadikannya (bintang-bintang itu) sebagai alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka azab neraka yang menyala-nyala. (QS. Al-Mulk [67] : 5).

وَعَلٰمٰتٍۗ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُوْنَ

Dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl [16] : 16).

 

Maka barangsiapa yang berpendapat selain hal tersebut maka ia telah melakukan kesalahan. Maksudnya adalah barangsiapa menyangka bahwa peredaran bintang-bintang itu sebagai pertanda ini dan itu yang berkaitan dengan ilmu gaib, maka yang seperti ini keliru. Orang yang melakukannya telah merugi karena telah menyia- nyiakan nasibnya dan juga telalu memaksakan sesuatu tanpa dasar ilmu.

"Dan, sebagai tanda untuk petunjuk (arah dan sebagainya).” Ini berguna memudahkan pekerjaan.

Sementara tentang mempelajari tata letak peredaran bulan, Qatadah mengatakan makruh, sedang Ibnu Uyainah tidak membolehkan, seperti yang diungkapkan oleh Harb dari mereka berdua. Tetapi Imam Ahmad memperbolehkan hal tersebut.[2]

Pendapat ini marjuh (tidak tepat). Imam Ahmad dan Ishaq memberikan rukhsah dan inilah pendapat yang benar.

Abu Musa ra menuturkan, Rasulullah Saw bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ، مُدْمِنُ الْخَمْرِ، وَقَاطِعُ الرَّحِمِ، وَمُصَدِّقٌ بِالسَّحْرِ

"Tiga orang pang tidak akan masuk surga; pecandu khamar (minuman keras), orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan, dan orang yang mempercayai sihir."[3] (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)

 Keterangan :

Mudminul Khamr (pecandu khamar), ini berkaitan dengan ancaman karena minum khamar ini merupakan dosa besar dan pelakunya berada di bawah kehendak Allah jika pelakunya tidak bertaubat. Orang seperti ini tidak dihalakan darahnya karena bukan orang kafir.

Memutus hubungan kekeluargaan, juga termasuk dosa besar

Dan orang yang mempercayai sihir, yaitu mempercayai bahwa sihirnya betul, penyihirnya juga betul dan mengetahui perkara gaib, maka orangnya terjerumus dalam kekafiran.

Adapun jika membenarkan bahwa sihir itu ada tapi tidak memberikan pengaruh apa-apa dan mengetahui bahwa sihir itu haram dan kemungkaran, maka tidaklah mengapa. Allah Saw berfirman,

وَلَوْ اَنَّهُمْ اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَمَثُوْبَةٌ مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ خَيْرٌ ۗ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ ࣖ

Dan jika mereka beriman dan bertakwa, pahala dari Allah pasti lebih baik, sekiranya mereka tahu. (QS. Al-Baqarah [2] : 103)

ReferensiSyarh Kitab Tauhid karya Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (hal. 154)


[1] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya secara mu'allaq di kitab Bad-ulKhalqi, bab ‘Fin-Nujum' Abu Asy-Asyaikh AI-Ashbahani dalam kitab Al-Azhamah.

[2] Maksudnya, mempelajari letak matahari, bulan dan bintang, untuk mengetahui arah kiblat, waktu shalat dan semisalnya, maka hal itu diperbolehkan.

[3] (Mempercayai sihir yang di antara macamnya adalah ilmu nujum (astrologi), sebagaimana yang telah dinyatakan dalam suatu hadits: ‘Barangsiapa yang mempelajari sebagian dari ilmu nujum, maka sesungguhnya dia telah mempelajarisebagian dari ilmu sihir.lihat bab 25.

Diriwayatkan oleh Ahmad (19587), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (5346), Hakim dalam Al Mustadrak (7234). Syaikh Syuaib Al Arnauth berkata dalam ta'lig-nya atas Musnad Ahmad, Tiga kelompok orang yang tidak akan masuk surga, minum khamar, memutus silaturahim dan membenarkan tukang sihir."(Hasan llghairih). Hadits ini dhaif pada sanadnya karena adanya perawi yang bernama Abu Hariz.


Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

Contact Us