Dalam buku Ushul Fiqih Mabadi Awaliyah – karya Abdul Hamid
Hakim- terdapat dua bagian, bagian pertama mengenai pengertian Ushul Fiqih,
Hukum-Hukum dan kaidah bahasa dan sebagainya sementara bagian kedua mengenai
kaidah-kaidah fiqih.
Mengenai bagian pertama tersebut, kita uraikan sebagai berikut ini :
Daftar Isi:
- Tentang Ushul Fiqih
- Hukum-hukum
- Tentang Al Amru (Perintah)
- Tentang An-Nahyu (Larangan)
- Tentang Al-'Ammu (Lafazh Umum)
- Tentang Al-Khash dan At-Takhshish
- Tentang An-Naskh
- Tentang Al-Mujmal
- Tentang Al-Muthlak dan Al-Muqayyad
- Tentang Al-Mantuk dan Al-Mafhum
- Tentang Perbuatan Shahibusy Syari'ah
- Tentang Taqrir Nabi Saw
- Tentang Ijma
- Tentang Qiyas
- Tentang Ijtihad, Ittiba' dan Taqlid
Tentang Ushul Fiqih
Bagian Pertama
فِيْ أُصُوْلِ الْفِقْهِ
Tentang Ushul Fiqih
(اَلْأَصْلُ لُغَةً ) مَا بُنِيَ عَلَيْهِ غَيْرُهُ
AL ASHLU menurut bahasa ; Sesuatu yang dibangun di atasnya yang lainnya.
كَأَصْلِ الشَجَرَةِ أيْ أسَاسِهِ, وأصلُ الشَّجَرَةِ أيْ طَرْفُهَا الثَابِتُ فِيْ الأرْضِ, فأصُوْلُ الفِقْهِ أسَاسُهُ.
Seperti : dasarnya pohon adalah akarnya, akar pohon yaitu ujungnya menancap ke dalam dalam, maka Ushul Fiqih adalah dasarnya fiqih.
وَالْفَرْعُ : مَا بُنِيَ عَلَى غَيْرِهِ
AL FAR’U adalah sesuatu yang dibangun di atas yang lainnya.
كَفُرُوْعِ الشَّجَرَةِ لأصْلِهَا, وَفُرُوْعُ الْفِقْهِ لأُصُوْلِهِ.
Seperti cabang-cabang (ranting) pohon yang berada pada dasar pohonnya, sedangkan cabang-cabang Fiqih itu berada pada dasar-dasar fiqih (dalil-dalilnya).
وَالأَصْلُ إٍصْطِلَاحًا : يُقَالُ عَلَى الدَّلِيْلِ وَ الْقَاعِدَةِ الكُلِّيَّةِ
AL ASHLU menurut Isthilah adalah dikatakan atas dalil dan qaidah kuliyyah.
كَقَوْلِهِم: أَصْلُ وُجُوْبِ الصَّلاَةِ الْكِتَابُ أَيْ الَدَّلِيْلُ عَلَى وُجُوْبِهَا الْكِتَابُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: أَقِيْمُوْا الصَّلاَةَ
Seperti pendapat ulama, (bahwa) dasar hukumnya kewajiban shalat adalah al-Kitab (Al-Quran), maksudnya dalil yang mewajibkannya adalah Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman : (Dirikanlah Shalat).
وَقَوْلِهِمْ: إِبَاحَةُ الْمَيْتَةِ لِلْمُضْطَرِّ خِلاَفُ الْأَصْلِ، أيْ مُخَالِفٌ لِلْقَاعِدَةِ الْكُلِيَّةِ وَهِيَ : كُلُّ مَيْتَةٍ حَرَامٌ. قَالَ تَعَالَى : إِنَّمَا حَرَّم عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ. (البَقرة: 173).
Dan pendapat ulama, (bahwa) boleh memakan bangkai bagi mereka yang dalam kondisi darurat, itu menyimpang dari hukum asal yaitu menyimpang dari kaidah hukum secara global, bahwa : Semua bangkai itu hukumnya haram. Dan firman Allah Ta’ala: Sesungguhnya bangkai itu diharamkan atas kalian semua. (QS. Al-Baqarah [2] ayat 173).
أصُوْلُ الْفِقْهِ : دَلِيْلُ الفِقْهِ عَلَى سَبِيْلِ الإجْمَالِ
USHUL FIQIH adalah dalil Fiqih atas jalan Ijmal (global),
كَقَوْلِهِمْ: مُطْلَقُ الْأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ، وَمُطْلَقُ النَّهْيِ لِلْتَحْرِيْمِ وَمُطْلَقُ فِعْلِ الْنَبِيِّ صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ مُطْلَقُ الْإِجْمَاعِ وَمُطْلَقُ الْقِيَاسِ حُجَجٌ.
Seperti pendapat ulama bahwa muthlaqnya perintah itu adalah suatu kewajiban, dan muthlaqnya larangan adalah suatu yang diharamkan, serta muthlaqnya perbuatan Nabi Saw, muthlaqnya Ijma’ dan Qiyas adalah Hujjaj (alasan).
اَلْفِقْهُ لُغَةً : اَلْفَهْمُ
AL FIQHU adalah Faham
وَاصْطِلَاحًا : العِلْمُ بالأحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ التِيْ طَرِيْقُهَا الإجْتِهَادُ,
AL FIQHU menurut Isthilah adalah mengetahui hukum-hukum Syari’at yang jalannya berijtihad
كَالْعِلْمِ بِأنَّ النِّيَةَ فِيْ الوُضُوءِ وَاجِبَةٌ وَ نَحْوُ ذَلِكَ مِنَ المَسَائِلِ الإجْتِهَادِيَّةِ
Seperti mengetahui bahwa niat pada wudhu itu wajib dan contoh lainnya dari masalah-masalah Ijtihad.
قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : إنَّمَا الأعْمَالُ بِالنِّيَّةِ. روَاه البُخَارِيُّ ومُسْلِمٌ
Bersabda Nabi saw : Hanyalah Amal-amal itu tergantung niatnya. Diriwayatkan dia oleh Bukhari dan Muslim
وَالْوُضُوءُ مِنَ الْأعْمَالِ
Wudhu itu adalah di antara AMAL.
بِخِلَافِ الْعِلْمِ بِالأَحْكَامِ الشَرْعِيَّةِ التِيْ ليْسَ طَرِيْقُهَا الإجْتِهَادُ كَالعِلْمِ بِأنَّ الصَّلَوَاتِ الخَمْسَ وَاجِبَةٌ وَ نَحْوُ ذَلِكَ مِنَ المَسَائِلِ القَطْعِيَةِ فَلَا يُسَمَّى العِلمُ بِمَا ذُكِرَ فِقْهًا.
Berbeda dengan pengetahuan Syari’at yang tidak jalannya dengan berijtihad seperti mengetahui bahwa Sholat yang lima itu wajib dan contoh lainnya dari masalah-masalah qath’i yang tidak disebut pengetahuan tersebut sebagai Fiqih.
اَلْعِلْمُ : صِفَةٌ يَنْكَسِفُ بِهَا المَطْلُوْبُ إنْكِشَافًا تَامًّا
AL- ILMU adalah satu shifat yang membuka dengannya yang dituntut terbuka sempurna
وَالْجَهْلُ : عَدَمُ العِلْمِ بِالشَّيْئِ
AL-JAHLU adalah tidak mengetahui kepada perkara tersebut
وَ الظَّنُّ : اَلْإِدْرَاكُ الرَّاجِحُ لِأحَدِ الْأَمْرَيْنِ
ADZ-DZANNU adalah perolehan yang kuat bagi salah satu dari dua perkara
وَ الوَهْمُ : اَلْإِدْرَاكُ المَرْجُوْحُ لِأحَدِ الْأَمْرَيْنِ
AL-WAHMU adalah perolehan yang marjuh bagi salah satu dari dua perkara
وَ الشَّكُّ : اَلْإِدْرَاكُ الْمُسْتَوِيْ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ
ASY-SYAKKU adalah perolehan yang sama antara dua perkara.
فَالتَرَدُّدُ فِيْ قِيَامِ زَيْدٍ وَنَفْيِهِ عَلَى السَوَءِ شَكٌّ وَمَع رُجْحَانِ الثُبُوْتُ، والْإِنْتِفَاءُ ظُنٌ وَمَعَ مَرْجُوْحٍ فِيْ أَحَدِهِمَا وَهْمٌ. وَالْمُرَادُ بِالْعِلْمِ فِيْ تَعْرِيْفِ الْفِقْهِ يَشْمُلُ الْظَنَّ.
Seperti dalam analisa memperkirakan Zaid berdiri atau tidak itu sama/seimbang itu disebut Syak, jika kedua indikasinya kuat maka itu disebut Tsubut, dan jika salah satu indikasinya itu kuat maka disebut Dzan, namun jika salah satu indikasinya itu lemah maka disebut Wahm. Sementara yang dimaksud dengan Al-Ilmu dalam pengertian fiqih ialah mencakup Dzan.
Hukum-hukum
اَلْأحْكَامُ
Hukum-hukum
اَلْأَحْكَامُ تِسْعَةٌ : اَلْوَاجِبُ, وَاْلمَنْدُوْبُ, وَ الْمُبَاحُ, وَ الْحَرَامُ, وَ الْمَكْرُوْهُ, وَ الصَّحِيْحُ وَ الْبَاطِلُ, وَ الرُّحْصَةُ, وَ الْعَزِيْمَةُ.
Hukum-hukum itu ada sembilan ; Al-Wajib, Al-Mandub (sunnat), Al-Mubah, Al-Haram, Al-Makruh, Ash-Shahih, Al –Bathil, Ar-Rukhshah, Al-‘Azimah.
الْوَاجِبُ : مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَ يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ كَالصَّلَوَاتِ الخَمْسِ وَ صَوْمِ رَمَضَانَ
Al-Wajib ; sesuatu yang diberi pahala atas melakukannya dan disiksa atas melakukannya, seperti shalat yang lima dan shaum Ramdhan.
اَلْمَنْدُوْبُ : مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَ لَا يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ كَتَّحِيَّةِ المَسْجِدِ
Al-Mandub ; sesuatu yang diberi pahala atas melakukannya dan tidak disiksa atas meninggalkannya, seperti Shalat Tahiyyat Al Masjid.
اَلْحَرَامُ : مَا يُثَابُ علَى تَرْكِهِ وَ يُعَاقَبُ عَلىَ فِعْلِهِ كَالرِّبَا وَ فِعْلِ الْمَفْسَدَةِ
Al-Haram ; sesuatu yang diberi pahala atas meninggalkannya dan diberi siksa atas melakukannya, seperti : Riba dan melakukan kerusakan.
اَلْمَكْرُوْهُ : مَا يُثَابُ عَلَى تَرْكِهِ وَ لَا يُعَاقبُ عَلَى فِعْلِهِ، كَتَقْدِيْمِ الْيُسْرَى عَلَى الْيُمْنَى فِيْ الْوُضُوْءِ.
Al-Makruh : sesuatu yang diberi pahala atas melakukannya dan tidak disiksa atas melakukannya, misalnya: mendahulukan mencuci yang sebelah kiri daripada yang sebelah kanan ketika berwudhu.
اَلْمُبَاحُ : مَا لَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَ لَا يَعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ كَالنَّوْمِ فِيْ النَّهَار
Al-Mubah : sesuatu yang tidak diberi pahala atas melakukannya dan tidak disiksa atas meninggalkannya, seperti ; tidur di waktu siang.
الصَّحِيْحُ : مَا يَجْتَمِعُ فِيْهِ الرُّكْنُ وَ الشَّرطُ
Ash-Shahih : sesuatu yang berkumpul padanya Ar-Ruknu dan Asy-Syarthu.
اَلْبَاطِلُ : مَا لَا يَجْتَمِعُ فِيْهِ الرُّكْنُ وَ الشَّرطُ
Al-Bathil : sesuatu yang tidak berkumpul padanya Ar-Ruknu dan Asy-Syarthu.
اَلْرُّكْنُ : مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ صِحَّةُ الشَّيْئِ وَ كَانَ جُزْاءً مِنْهُ, كَغُسْلِ الوَجْهِ لِلْوُضُوءِ وَ تَكْبِيْرَةُ الإحْرَامِ لِلصَّلَاةِ
Ar-Ruknu : Perkara yang menentukan sahnya sesuatu padahal dia itu bagian darinya. Seperti : Mencuci wajah ketika wudhu, dan Takbiratul Ihram ketika Shalat.
اَلشَّرْطُ : مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ صِحَّةُ الشَّيْئِ وَ لَيْسَ جُزْاءً مِنْهُ, كَإسْتِقْبَالِ القِبْلَةِ وَ سَتْرِ العَوْرَةِ للصَّلَاةِ
Asy-Syarthu : Perkara yang menentukan sahnya sesuatu padahal dia itu bukan bagian darinya, seperti menghadap Qiblat dan menutup Aurat pada Shalat.
اَلرُّخْصَةُ : هِيَ الحُكْمُ الذِيْ يَتَغَيَّرُ مِنْ صُعُوْبَةٍ إلَى سُهُوْلَةٍ مَعَ قِيَامِ سَبَبِ الحُكْمِ الأصْلِيِّ, كَجَوَازِ الفِطْرِ للمُسَافِرِ لَا يَجْهَدُهُ الصَّوْمُ وَأكْلِ المَيْتَةِ لِلْمُضْطَرِ.
Ar-Rukhshah : Hukum yang berubah dari yang sulit kepada yang mudah bersama tetapnya sebab hukum asal, seperti bolehnya berbuka bagi Musafir jika shaumnya menyebabkan kesulitan, dan makan bangkai bagi yang terpaksa.
اَلْعَزِيْمَةُ : هِيَ الحُكْمُ الذِيْ لَا يَتَغَيَّرُ كَوُجُوْبِ الصَّلَوَاتِ الخَمْسِ وَحُرُمَةِ أكْلِ المَيْتَةِ لِغَيْرِ المُضْطَرِ.
Al-‘Azimah : Hukum yang tidak berubah, seperti : Wajibnya shalat yang lima dan haramnya makan bangkai bagi yang tidak terpaksa.
Tentang Al-Amru (Perintah)
وَيَتَعَلَّقُ بِأصُوْلِ الفِقْهِ مَبَاحِثُ :
Yang Berkaitan Dengan Ushul Fiqih Ada Beberapa Pembahasan :
اَلْمَبْحَثُ الأَوَّلُ
Pembahasan Pertama
فِيْ الْأمْرِ
Tentang Al-Amri (Perintah)
وَهُوَ طَلَبُ الفِعْلِ مِنَ الأعْلَى إلَى الأدْنَى
Yaitu tuntutan perbuatan dari yang atas kepada yang bawah
وفِيْهِ قَوَاعِدُ :
Padanya terdapat beberapa qaidah :
١. اَلْأصْلُ فِيْ الْأمْرِ لِلْوُجُوْبِ إلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ, قَالَ تَعَالَى : وَأَقِيْمُوْا الصَّلَاةَ وآتُوْ الزَّكَاةَ [ النِسَاء : 77 ]
Ashal pada Al-Amru menunjukkan wajib kecuali ada dalil yang menunjukkan atas menentangnya, Allah Ta’ala berfirman : “Dan Dirikanlah Shalat dan tunaikanlah Zakat”. An Nisa ayat 77)
٢. اَلْأَصْلُ فِيْ الْأَمْرِ لَا يَقْتَضِيْ التِكْرَارَ إلَّا مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ, قَالَ تَعَالَى : أتِمُوْا الحَجَّ وَ العُمْرَةَ لِلهِ [البقرة : 196]
Ashal pada perintah tidak menentukan pengulangan kecuali ada dalil yang menunjukkan menentangnya, Allah Ta’ala berfirman : “Sempurnakanlah Haji dan Umrah Karena Allah”. Al Baqarah ayat 196)
٣. اَلْأَصْلُ فِيْ الأمْرِ لَا يَقْتَضِيْ الفَوْرَ, لأنَّ الغَرْضَ مِنْهُ إيْجَادُ الفِعْلِ مِنْ غَيْرِ إخْتِصَاصٍ بِالزَمَانِ دُوْنَ الزَمَانِ الثَّانِي.
Asal pada perintah itu tidak menentukan kesegeraan, karena tujuan darinya adalah mewujudkan perbuatan dengan tidak menentukan waktu pelaksanaannya pada masa awal bukan pada masa kedua.
٤. اَلْأَمْرُ بِالشَيْئِ أمْرٌ بِوَسَائِلِهِ, الأمْرُ بِالصَّلَاةِ أمْرٌ بِالطَّهَارَةِ
Perintah satu perkara adalah perintah kepada perantara-perantaranya, perintah shalat adalah perintah bersuci (Wudhu, Mandi atau Tayamum jika tidak temukan air).
٥. اَلْأمْرُ بِالشَيْئِ نَهْيٌ عَنْ ضِدِّهِ, قَالَ تَعَالَى : وَ قُوْلُوْا لِلنّاسِ حُسْنًا [ البقرة : 83 ]
Perintah kepada satu perkara adalah larangan dari kebalikannya, Allah Ta’ala berfirman : “Dan berkatalah kepada manusia dengan perkataan yang baik.” (QS. Al-Baqarah ayat 83)
٦. إِذَا فُعِلَ الْمَأمُوْرُ بِهِ عَلى وَجْهِهِ يَخْرُجُ المَأمُوْرُ عَنْ عُهْدَةِ الأمْرِ, فإذَا عَدَمُ الشَخْصِ المَاءَ فَتَيَمَّمَ فَصَلّى, خَرَجَ عَنْ عُهْدَةِ الأمْرِ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ إذَا وَجَدَ المَاءُ.
Apabila yang diperintahkan itu dilakukan sesuai bentuknya maka yang diperintahkan itu akan keluar dari ikatan perintah, maka apabila seseorang tidak temukan air lalu ia bertayamum lalu shalat, -maka- ia telah keluar dari ikatan perintah maka tidak mesti melakukan qadha shalat atasnya bila menemukan air.
Tentang An-Nahyu (Larangan)
اَلْمَبْحَثُ الثَّانِي
Pembahasan Kedua
فِيْ النَّهِيِ
Tentang An-Nahyi (Larangan)
وَهُوَ طَلَبُ التَرْكِ مِنَ الأعْلَى إِلَى الأدْنَى
Yaitu tuntutan meninggalkan dari yang atas kepada yang bawah
وَفِيْهِ قَوَاعِدُ :
Tentangnya terdapat beberapa qaidah :
١. اَلْأصْلُ فِيْ النَّهِيِ للتَحْرِيْمِ إلَّا مَا دَلَّ الدَلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ, قَالَ تَعَالَى : وَ لَا تُفْسِدُوْا فِيْ الأرْضِ بَعْدَ إصْلَاحِهَا [ الأعراف : 56 ]
Asal pada Larangan itu – menunjukkan – haram kecuali ada dalil yang menentangnya, Allah Ta’ala berfirman : “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya”. ( QS. Al A’raf ayat 56)
٢. اَلنَّهْيُ عَنِ الشَّيْئِ أمْرٌ بِضِدِّهِ, قَالَ تَعَالَى : وَلَا تَأكُلُوْا أمْوَالُكُمْ بَيْنَكُمْ بِالبَاطِلِ. [البقرة : 188 ]
Larangan dari sesuatu adalah perintah kebalikannya, Allah Ta’ala berfirman : “Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan cara batil” (QS. Al Baqarah ayat 188)
٣. الأَصْلُ فِيْ النَّهْيِ يَدُلُّ عَلىَ فَسَادِ المَنْهِيِ عَنْهُ فِي العِبَادَاتِ, كَصَلَاةِ الحَائِضِ وَ صَوْمِهَا.
Asal pada larangan menunjukkan rusaknya yang dilarang pada Ibadah, seperti Shalatnya perempuan waktu haidh, dan shaumnya.
٤. اَلنَّهْيُ يَدُلُّ عَلىَ فَسَادِ المَنْهِيِ عَنْهُ فِي المُعَامَلَاتِ إنْ رَجَعَ النَّهْيُ إلَى نَفْسِ العَقْدِ, كَمَا فِيْ بَيْعِ الحَصَاةِ, نَهَى صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْع الحَصَاةِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
larangan itu menunjukkan kepada rusaknya yang dilarang tentang Mu’amalah jika larangan itu kembali kepada dzatnya akad, seperti halnya tentang jual-beli dengan cara melempar (kerikil), -sedangkan- Rasulullah Saw telah larang dari jual-beli dengan cara melempar (kerikil). Diriwayatkan dia oleh Muslim
وَإنْ رَجَعَ إلَى أمْرٍ خَارِجٍ عَنْ العَقْدِ غَيْرَ لَازِمٍ فَلَا كَمَا فِيْ بَيْعِ وَقْتِ النِدَاءِ الجُمُعَةِ, قَالَ اللهُ تَعالَى :
Jika larangan itu merujuk pada perkara luar dari bentuk akad yang tidak lazim maka tidaklah menjadi batal. seperti halnya pada bentuk jual-beli di saat adzan Jum’at, Allah Ta’ala berfirman :
إذَا نُوْدِيَ للصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إلَى ذِكْرِ اللهِ وَ ذَرُوْا البَيْعَ. [ الجُمُعَة : 9]
“Apabila telah diseru untuk Shalat pada hari Jum’at, maka segeralah kamu menggingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli”. (QS. Al Jumu’ah ayat 9)
لِلْإخْلَالِ بِالسَّعْيِ الْوَاجِبِ إلَى الجُمُعَةِ، وَالْإِخْلَالِ يُوْجَدُ بِالْبَيْعِ وَبِغَيْرِهِ كَاْلأَكْلِ.
Karena hal itu akan merusak kepada usaha melakukan kewajiban shalat wajib Jum’at, dan kerusakan itu ada ketika terjadi proses jual-beli dan lainnya – seperti makan.
Tentang Al-'Ammu (Lafazh Umum)
اَلْمَبْحَثُ الثَّالِثُ
Pembahasan Ke-tiga
فِيْ الْعَامِ
Tentang Al-Am
وَهُوَ مَا عمَّ شَيْئَيْنِ فَصَاعِدًا مِنْ غَيْرِ حَصْرٍ.
Yaitu Perkara yang mencakup dua perkara atau lebih tanpa batas
وَالألْفَاظُ المَوْضُحَةُ لَهُ أرْبَعَةٌ :
Lafazh-lafazh yang menerangkannya ada empat :
١. الإسْمُ الْوَاحِدُ المُعَرًّفُ بِاللَّامِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى:
Isim Mufrad yang dita’rifi dengan Alif-Lam, Allah Ta’ala berfirman : “Demi Masa, Sesungguhnya semua manusia dalam keadaan rugi, kecuali orang yang beriman dan beramal shaleh”.
٢. اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ
Artinya, (2). sungguh, manusia berada dalam kerugian, (3). kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. (QS. Al-‘Ashr ayat 2-3).
٣. وإسْمُ الجَمْعِ المُعَرَّفُ بِاللّامِ, قَالَ اللهُ تَعَالَى : إنَّ اللهُ يُحِبُّ المُحْسِنِيْنَ . [البقرة : 195]
Isim Jamak yang dita’rifi dengan lam, Allah Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. ( QS. Al Baqarah ayat 195)
٤. وَ "لَا" فِيْ النَّكِرَاتِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى : لَا تَجْزِ نَفِسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا. [ البقرة : 48 ]
Dan LA dalam (kalam) nakirah. Allah Ta’ala berfirman : “seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun” (QS. Al Baqarah ayat 48)
- وَالأسْمَاءُ المُبْهَمَةُ, كَمَنْ فِيْ مَنْ يَعْقِل, قَالَ اللهُ تَعَالَى : فَمَنْ يَعْمَل مَثْقَلَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. [ الزلزلة : 7 ]
Isim-isim Mubham, seperti : MAN untuk orang yang berakal, Allah Ta’ala berfirman : “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya”. (QS. Al Zalzalah ayat 7)
- وَ"مَا" فِيْ مَا لَا يَعْقِلُ. قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَاللهُ بَصِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ. [ الحجرات : 18 ]
MA untuk yang tidak berakal, Allah Ta’ala berfirman : “Allah Maha melihat kepada perkara-perkara yang kamu kerjakan” (QS. Hujurat ayat 18).
- وَ "أيٌّ" قال اللهُ تَعَالَى : أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى [ الإسراء : 110 ]
AYUN, Allah Ta’ala berfirman : “Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)” (QS. Al Isra : 110).
- وَ"أيْنَ" فِيْ المَكَانِ قَالَ تَعَالَى : أَيْنَما تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ [ النساء : 78 ]
AENA tentang tempat. Allah Ta’ala berfirman : “Di mana saja kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian”. (QS. An Nisa ayat 78).
- وَ "مَتَى" فِيْ الزَمَانِ. مَتَى سَفَرْتَ فأنْتَ طَالِقٌ
MATA tentang zaman – seperti – kapan pun kamu pergi maka kamu tertalak.
Tentang Al-Khash dan At-Takhshish
اَلْمَبْحَثُ الرَّابِعِ
Pembahasan Ke-empat
فِيْ الخَاصِ وَ التَّخْصِيْص
Tentang Al-Khash dan At- Takhshish
وَ الْخَاصُ : مَا لَا يَتَنَاوَلُ شَيْئَيْنِ فَصَاعِدًا مِنْ غَيْرِ حَصْرٍ
Al-Khash adalah Sesuatu yang tidak mencakup dua perkara atau lebih tanpa batas
وَ التَخْصِيْصُ : إخْرَاجُ بَعْضِ مَدْلُوْلِ الْعَامِ
At- Takhshish adalah mengeluarkan sebagian Madlul ‘Am
وَهُوَ قِسْمَانِ : مُتَّصِلٌ وَ مُنْفَصِلٌ
At-Takhshish ada dua macam ; Muttashil dan Munfashil
فَالمُتَّصِلُ أنْوَاعٌ :
Takhshish Muttashil itu ada beberapa macam :
مِنَها : اَلْإِسْتِثْنَاءُ, قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَالْعَصْرِ إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ [العصر : 1 – 3]
Di antaranya : Al-Istisna ; pengecualian, Allah Ta’ala berfirman : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan –-amal saleh” (QS. Al-Ashr ayat 1 – 3).
اَلتَّقْيِيْدُ بِالصِفَةِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كَفَارَةِ القَتْلِ : فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ [النساء : 92]
Taqyid bish-Shifat (pengkhususan dengan sifat), Allah Ta’ala berfirman tentang Kifarat pembunuhan : “maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman” (QS. An-Nisa ayat 92).
اَلتَّخْصِيْصُ بِالغَايَةِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ [ البقرة : 223]
Takhshish bil Ghayah (pengkhususan dengan batas akhir), Allah Ta’ala berfirman : “dan janganlah kalian mendekati mereka, sehingga mereka suci.(QS. Al-Baqarah ayat 223).
اَلتَّخْصِيْصُ بِالبَدَلِ. قَالَ اللهُ تَعالَى : وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [آل عمران : 97]
Takhshish bil Badal ; Pengkhususan dengan ganti. Allah Ta’ala berfirman :“Dan terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran ayat 97).
وَ المُنْفَصِلُ أنْوَاعٌ :
Al- Munfashil ada beberapa macam :
١. تَخْصِيْصُ الكِتَابِ بِالكِتَابِ, قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ [البقرة : 221] خُصِصَ بِقْوْلِهِ تَعَالَى :
Takhshish Al Qur’an oleh Al Qur’an : pengkhususan Al-Qur’an oleh Al- Qur’an, Allah Ta’ala berfirman : “Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik” (QS. Al-Baqarah ayat 221), ditakhsis oleh Firman Allah Ta’ala :
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ [المائدة : 5] أيْ حِلٌّ لَكُمْ
“Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian” (QS. Al-Maidah ayat 5) maksudnya halal bagimu.
٢. وَ تَخْصِيْصُ الكِتَابِ بِالسُنَّةِ, قَالَ اللهُ تَعَالَى : يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ [النساء : 11] الشَامِلُ لِلوَلَدِ الكَافِرِ خُصِصَ بِحَدِيثِ الصَّحِيْحَيْنِ :
Takhshish Al-Qur’an oleh As- Sunnah, Allah Ta’ala berfirman: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan” (QS. An-Nisa ayat 11), - ayat tersebut- mencakup semua anak, termasuk anak orang kafir, maka dikhususkanlah oleh hadits Shahih Bukhari dan Muslim :
"لَا يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَلَا الكَافِرُ المُسْلِمَ".
“Tidak boleh Muslim mewariskan kepada Kafir atau tidak boleh kafir mewariskan kepada Muslim”.
٣. وَ تَخْصِيْصُ السُنَّةِ بِالكِتَابِ, كَتَخْصِيْصِ حَدِيثِ الصَّحِيْحَيْنِ : لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةُ احَدِكُمْ إذَا احْدَثَ حَتَّى يَتَوَضأ" بِقَوْلِهِ تَعَالَى :
Takhshish Sunnah oleh Al Qur’an, seperti takhshish hadits Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) : “Allah tidak terima shalat salah seorang di antara kalian apabila hadats sehingga berwudhu”. Dikhususkan oleh firman Allah Ta’ala :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً [ النساء :43]
“Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir atau seseorang di antara kalian datang dari tempat buang air atau kalian telah menyentuh perempuan, kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci).” (QS. An-Nisa ayat 43).
٤. تَخْصِيْصُ السُنَّةِ بِالسُنَّةِ، كَتَخْصِيْصِ حَدِيثِ الصَّحِيْحَيْنِ : "فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ العُرْشُ" بِحَدِيْثِهِمَا : "لَيْسَ فِيمَا دُوْنَ خَمسَةٍ أوْ سُوقٍ صَدَقَةٌ".
Takhshish Sunnah oleh Sunnah, seperti takhshish hadits Shahihaen : “Tentang apa yang disirami oleh langit (maka) zakatnya sepersepuluh” – dikhususkan oleh haditsnya : “Tidak ada kewajiban zakat pada apa yang kurang dari lima wasaq.”
٥. تَخْصِيْصُ الكِتَابِ بِالقِيَاسِ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى : الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ [النُوْر : 2] خُصَّ مِنْهَا الأمَّةَ فَعَليَهَا النِّصْفُ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى :
Takhshish Kitab oleh Qiyas, seperti firman Allah Ta’ala : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”. (QS. An-Nur ayat 2) dikhusukan darinya seorang AMAT (hamba sahaya/budak), maka hukuman baginya separuh dari orang merdeka, berdasarkan firman Allah Ta’ala :
... فَإِنْ أَتَيْنَ بِفاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَناتِ مِنَ الْعَذابِ... [النساء : 25]
“kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.” (QS. An-Nisa ayat 25).
٦. تَخْصِيْصُ السُنَّةِ بِالْقِيَاسِ، كَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِيْ الْوَاجِدِ يَحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ. رَوَاهُ اَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهٍ.
Takhshish As-Sunnah bil Qiyas, seperti sabda Nabi Saw; “Orang kaya (yang menunda-nunda membayar hutang), maka dihalalkan mendapatkan sindiran/hinaan dan siksaan.”
وَهَذَا فِيْ غَيْرِ الْوَالِدِ مَعَ وَلَدِهِ، أمَّا هُوَ فَإِنَهُ لَا يَحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتُهُ قِيَاسًا عَلَى عَدَمِ قَوْلِ أُفٍّ الثَابِت بِقَوْلِه تَعَالَى : فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا. (الْإِسْرَاء : 23)، بِالْأَوْلَى.
Hadits ini diperuntukkan bukan untuk antara orang tua dan anaknya, karena tidak akan menjadikannya mendapat sindiran/hinaan atau siksaan, dengan qiyas bahwa anak tidak boleh berkata kasar kepada orang tuanya, berdasarkan firman Allah Ta’ala : “....Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” Sebagai bab aula (utama/terlebih lagi).
Tentang An-Naskh
اَلْمَبْحَثُ الخَامِسُ
Pembahasan Ke-lima
فِيْ النَّسْخِ
Tentang An-Naskh
وَهُوَ لُغَةً : الإزَلَةُ
An-Naskh menurut bahasa (ialah) : Menghapus/menghilangkan.
يُقَالُ : نَسَخْتُ الشَمْسَ الظِلَّ إذَا أزَلَتْهُ وَ رَفَعَتْهُ بِإنْبِسَاطِهَا,
Dikatakan : Matahari menghapus bayangan apabila –matahari- menghilangkannya dengan membentang luas,
وقِيْلَ : مَعنَاهُ النَّقْلُ مِنْ قَوْلِهِم : نَسَخْتُ مَا فِيْ هَذَا الكِتَابِ إذَا انْقَلْتُ مَا فِيْهِ إلَى الآخَرِ.
Ada pula yang berpendapat : maknanya adalah “menyalin” –seperti- dari perkataan mereka : Saya menasakh apa yang terdapat pada kitab ini ketika saya menyalin apa yang terdapat dalam kitab itu ke (tempat) yang lain.
وَشَرْعًا : رَفْعُ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ مُتَأخِّرٍ.
Sedangkan menurut Syara’ adalah : Menghapus hukum Syara’ dengan dalil Syara’ yang lebih akhir datangnya.
وَيَنْقَسِمُ النَّسْحُ عِنْدَ بَعْضِهِمْ إلى أقْسَامٍ :
Dan terbagi Nasakh menurut sebagian kepada beberapa bagian :
١. نَسْحُ الرَّسْمِ وَبَقَاءُ الحُكْمِ, نَحْوُ الشَيْخُ وَالشَيْخَةُ إذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهَا البَتَةَ
Menasakh tulisannya dan menetapkan hukumnya, seperti orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina maka rajamlah mereka dengan pasti”.
قَالَ عُمَرُ رضِيَ اللهُ عَنْهُ فإنّا قَدْ قَرَأنَاهَا. رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ, وَغَيْرُهُ, وَ قَدْ رَجَمَ صلى الله عليه وسلم المُحْصَنَيْنِ. مُتَّفقٌ عَلَيْهِ, وهَمَا المُرَادُ بِالشَيْخِ وَ الشَيْخَةِ.
‘Umar berkata : “Sesungguhnya kami pernah membacanya.” Diriwayatkan dia oleh Asy-Syafi’iy dan yang lainnya. Dan sungguh Rasulullah saw telah merajam para pezina Mukhshan (yang telah berkawin).” Muttafaq ‘Alaihi. Dan yang dimaksud pezina Al-Mukhshan adalah orang tua laki-laki dan perempuan (yang telah telah menikah).
٢. نَسْحُ الحُكْمِ وَبَقَاءُ الرَّسْمِ, قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ [البقرة : 240] نُسِخُ بآيَةٍ : يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا [البقرة : 234]
Menasakh hukum dan menetapkan tulisannya, Allah Ta’ala berfirman : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga satu tahun lamanya.” (QS. Al Baqarah ayat 240) di-nasakh oleh ayat : “(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah ayat 234)
٣. نَسْحُ الأْمْرَيْنِ مَعًا, كحَدِيْثِ مُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةِ
Menasakh hukum dan tulisan sekaligus, seperti hadits yang diriwayatkan Muslim dari ‘Aisyah tentang berapa kali seseorang menjadi anak susuan seorang ibu :
كَانَ فِيْمَا أنَزَلَ عَشَرَةُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِّمْنَ فَنُسِحنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِّمْنَ, وَ يَجُوْزُ نَسْخُ الكِتَابِ بِالكِتَابِ كَمَا تَقَدَّمَ فِيْ آيَة العدة.
“Hukum yang berlaku adalah sepulih kali menyusu yang diketahui maka menjadi haram baginya. Kemudian di-nasakh menjadi lima kali menyusu yang diketahui yang menjadi haram baginya.” Dan boleh nasakh Al-Quran oleh Al-Qur’an seperti yang telah lalu pada ayat I’dah.
٤. وَنَسْحُ السُّنَّةِ بِالكِتِابِ, كَإسْتِقْبَالِ بَيْتِ المُقَدَّسِ الثَّابت بِالسُّنَّةِ الفِعْلِيَّةِ فِيْ حَدِيْثِ الصَّحِيْحَيْنِ فإنَّهُ صلى الله عليه وسلم إستقبله في الصَّلَاِة سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، نُسخ بِقَوْلِه تَعَالَى :
Menasakh Sunnah oleh Al-Qur’an, Seperti –shalat- menghadap Baitul Maqdis yang terdapat pada Sunnah Fi’liyah pada hadits Shahihaen bahwa beliau Saw menghadap ke arahnya dalam shalat selama 16 atau 17 bulan,
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ [البقرة : 144]
Dinasakh oleh Firman Allah Ta’ala : “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.”(QS. Al-Baqarah ayat 144)
٥. وَنَسْحُ السُّنَّةِ بِالسُّنَّةِ كَحَدِيْثِ مُسْلِمٍ : كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القَبْرِ فَزُوْرُهَا.
Penghapusan Sunnah oleh Sunnah, seperti hadits Muslim : - beliau bersabda- ; “Saya pernah melarang kamu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.
وَقَالَ بَعْضُهُمْ : يَجُوْزُ نَسْخُ الكِتَابِ بِالسُّنَّةِ, كَقَوْلِهِ تَعَالَى : كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ [البقرة : 140] نُسِخَ بِقَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم :
Berkata Sebagian mereka : Boleh menasakh Al-Qur’an oleh As-Sunnah, seperti firman Allah Ta’ala : “Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf...” (QS. Al-Baqarah ayat 140)
لَا وصِيَةَ لِوَرِثٍ. رَوَاهُ التِرْمِذِي وابْنُ مَاجَهٍ.
Dinasakh oleh Sabda Nabi Saw : “Tidak ada wasiat kepada ahli warits.” Diriwayatkan dia oleh At-Tirmdz dan Ibnu Majah.
Tentang Al-Mujmal
اَلْمَبْحَثُ السَّادِسُ
Pembahasan Ke-enam
فِيْ الْمُجْمَلِ
Tentang Al-Mujmal
اَلْمُجْمَلُ : مَا يَفْتَقِرُ إلَى البَيَانِ, كَلَفْظِ قُرُءٍ مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى : وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ [البقرة : 228]
Al-Mujmal adalah perkara yang memerlukan penjelasan, seperti lafadz QURU dari firman Allah Ta’ala : “Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.” (QS. Al-Baqarah ayat 228).
فَإِنَّهُ يَحْتَمِلُ الْحَيْضَ وَالْأَطْهَارَ لِإِشْتِرَاكِ الْقُرُءِ بَيْنَ الْحَيْضِ وَالْطُهْرِ.
Maka sesungguhnya yang disebut (قُرُءٍ) itu masih ihtimal (kemungkinan diartikan) haidh dan suci karena kemusyatarakannya antara arti haidh dan suci.
وَ البَيَانُ : إخْرَاجُ الشَيْئِ مِنْ حَيْزِ الإشْكَالِ مِنْ حَيْزِ التَّجلِيْ وَهُوَ أنْوَاعٌ :
Al-Bayan adalah mengeluarkan sesuatu dari perkara yang sulit difahami kepada perkara yang lebih jelas. – Bayan ini – ada beberapa macam :
الأوَّلُ : بَيَانٌ بِالقَوْلِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى فِيْ صَوْمِ التَّمَتُعِ : فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أيَّامٍ فِيْ الحَجِّ وَسَبْعَةٍ إذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ. [البقرة : 196]
Pertama : Penjelasan dengan perkataan, seperti firman Allah Ta’ala tentang Shaum Tamatu’ : “- Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu) - maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.” (QS. Al-Baqarah ayat 196)
وَالثَّانِي : بَيَانٌ بِالفِعْلِ, كَفِعْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم كَيْفِيَةَ الصَّلَاةِ وَ غَيْرِهَا.
Kedua : Penjelasan dengan perbuatan, seperti praktek Nabi Saw mengenai tatacara shalat dan lainnya.
وَ الثَّالِثُ : بَيَانٌ بِالكِتَابِ, كَبَيَانِ مَقَادِيْرِ الزَكَاةِ وَ دِيَاتِ الأعْضَاءِ, فإنَّهُ صلى الله عليه وسلم بَيَنَّهُمَا بِكُتُبِهِ المَشْهُوْرَةِ.
Ketiga : penjelasan dengan tulisan, seperti penjelasan ukuran-ukuran Zakat dan diyat (denda) anggota tubuh karena beliau menjelaskannya dengan kitab-kitab yang terkenal.
وَالرَّابِعُ : بَيَانٌ بِالإشَارَةِ, كقَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم : الشَّهْرُ هّكَذَا وَهَكَذَا وَ هكَذَا, يَعْنِيْ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ أعَادَ الإشَارَةَ بِأصَابِعِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَحَبَسَ إبْهَامِهِ فِيْ الثَّالِثَةٍ إشَارَةٌ إلَى انَّ الشَّهْرَ قّدْ يَكُوْنُ تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ.
Ke-empat : Penjelasan dengan Isyarat, seperti sabda beliau Saw; “Satu bulan itu begini, begini, begini, yakni ; 30 hari kemudian beliau mengulang berisyarat dengan jari-jemarinya tiga kali, dan menggenggam ibu jarinya pada kali ke-tiganya sebagai isyarat bahwa satu bulan itu terkadang 29 hari.
Tentang Al-Muthlak dan Al-Muqayyad
اَلْمَبْحَثُ السَّابِعُ
Pembahasan Ke-tujuh
فِي الْمُطْلَقِ وَاْلمُقَيَّدِ
Tentang Al-Muthlaq Dan Al-Muqayyad
اَلْمُطْلَقُ : مَا دَلَّ عَلَى المَاهِيَةِ بِلَا قَيْدٍ مِنْ قُيُوْدِهَا
Al-Muthlaq adalah perkara yang menunjukkan hakikat tanpa batasan di antara batasan-batasannya.
وَالْمُقَيَّدُ : مَا دَلَّ عَلَى المَاهِيَةِ بِقِيْدٍ مِنْ قُيُوْدِهَا
Al-Muqayyad adalah perkara yang menunjukkan hakikat dengan batasan di antara batasan-batasannya.
وَاعْلَمْ انَّ الخِطَابَ إذَا وَردَ مُطْلَقًا يَبْقَى عَلَى إطْلَاقِهِ, وإنْ وَرَدَ مُقَيَّدًا يَبْقَى عَلَى تَقْيِيْدِه.
Ketahuilah bahwa khithab jika datang dengan Muthlak maka tetap dia atas kemuthlakannya, tapi jika datang dengan Muqayyad maka tetap dia atas kemuqayyadannya.
وَإنْ وَرَدَ مُطْلَقًا فِيْ مَوْضِعٍ وَ مُقَيَّدً فِي مَوْضِعٍ آخَرَ يَحْمِلُ المُطْلَقُ عَلىَ المُقَيَّدُ كَالرّقَبَةِ قُيِّدَتْ بِالإِيْمَانِ فِيْ بَعضِ المَوَاضِعِ كَمَا فِيْ كَفَارَةِ القَتْلِ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى : فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ [النساء : 92]
Dan Jika – khithab- itu datang secara muthlak pada satu tempat dan muqayyad di tempat lainnnya, maka muthlaknya itu mengandung arti muqayyad seperti : kalimat “Raqabatin” ditaqyid oleh kalimat “Iman” pada sebagian tempat, sebagaimana tentang Kifarat membunuh pada firman Allah Ta’ala : “Maka merdekakanlah hamba sahaya yang mukmin” (QS. An-Nisa ayat 92).
وأُطْلِقَتْ فِيْ البَعْضِ كَمَا فِيْ كَفَارَةِ الظِهَارِ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالى : فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ. [ المجادلة : 3]
sementara kalimat Raqabat dimuthlakkan pada sebagian tempat, sebagaimana pada Kifarat Dzihar pada firman Allah Ta’ala : “Maka merdekakanlah hamba sahaya.” (QS. Al-Mujadalah ayat 3).
Tentang Al-Mantuk dan Al-Mafhum
اَلْمَبْحَثُ الثَّامِنُ
Pembahasan ke-delapan
فِيْ المَنْطُوْقِ وَالمَفْهُوْمِ
Tentang Al-Manthuq dan Al-Mafhum
اَلْمَنْطُوْقُ : مَا دَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ فِيْ مَحَلِ النُطْقِ
Al-Manthuq adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazh yang diucapkan.
وَالْمَفْهُوْمُ : مَا دَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ لَا فِيْ مَحَلِ النُطْقِ
Al-Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazh yang tidak diucapkan.
وَالْمَنْطُوْقُ يَنْقَسِمُ إلَى قِسْمَيْنِ :
Al-Manthuq terbagi kepada dua macam :
اَلْأوَّلُ : مَا لَا يَحْتَمِلُ التَأوِيْلِ وَ يُسَمَّى النَّصُ, كَقَوْلِهِ تَعَالَى :
Pertama : - Manthuq- yang tidak memerlukan ta’wil (penjelasan), dan disebut An-Nash, seperti firman Allah Ta’ala :
فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أيَامٍ. [البقرة : 196]
“Maka shaum tiga hari.” (QS. Al-Baqarah ayat 196).
وَالثَّانِي : مَا يَحْتَمِلُ التَّأوِيْلِ, ويُسَمَّى الظَاهِرُ, كَقَوْلِهِ تَعَالَى : وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأيْدٍ [ الذاريَات : 47] ظاهرُهُ جَمْعُ يَدٍ وَذَاكَ مَحَالٌ فِيْ حَقَ اللهِ تَعَالَى فَصَرَفَ إلَى مَعْنَى القُوَةِ.
Ke-dua : -Manthuq- yang memerlukan ta’wil (penjelasan), dan di disebut Adz-Dzahir, seperti firman Allah Ta’ala : “Dan Langit kami bangun dia dengan tangan.” (QS. Adz-Dzariyat ayat 47) Dzahirnya –kalimat AEDIN – adalah Jamak dari YADIN, (bermakna tangan) dan hal itu mustahil bagi Allah, maka dita’wil menjadi makna Kekuatan (Kekuasaan).
وَالمَفْهُوْمُ أيْضًا يَنْقَسِمُ إلَى قِسْمَيْنِ :
Al-Mafhum juga terbagi kepada dua bagian :
مَفْهُوْمُ المُوَافَقَةِ : وَهُوَ مَا كَانَ المَسْكُوْتُ عَنْهُ مُوَافِقًا لِمَنطُوْقِ بِهِ
Mafhum Muwafaqah yaitu sesuatu yang tidak disebutkannya sesuai dengan manthuqnya.
كَمَنْعِ ضَرْبِ الأبَوَيْنِ المَفْهُوْمُ مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى : فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ [الإسراء : 23]
Seperti larangan memukul kedua orang tua merupakan mafhum dari firman Allah Ta’ala : “janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah'” (QS. Al-Isra ayat 23)
وَ كَمَنْعِ إخْرَاقِ مَالِ اليَتَامَى مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى : إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً إِنَّما يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا [النساء : 10]
Dan seperti larangan membakar harta anak yatim dari firman Allah Ta’ala : “Sesurgguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.” (QS. An-Nisa ayat 10).
مَفْهُوْمُ المُخَالَفَةِ : وَهُوَ مَا كَاَنَ المسْكُوْتُ عَنْهُ مُخَالِفًا لِلْمَنْطُوْقِ بِهِ
Mafhum Mukhalafah yaitu sesuatu yang tidak disebutkannya berlawanan dengan manthuqnya.
كَعَدَمِ وُجُوْبِ الزَكَاةِ عَلَى المألُوْفَةِ المفْهُوْمُ مِنْ قَولِهِ صلى الله عليه وسلم : فِيْ سَائِمَةِ الغَنَمِ زَكَاةٌ. رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ
Seperti tidak wajibnya zakat atas hewan ternak yang dipelihara merupakan mafhum dari Sabda Nabi Saw : “Untuk kambing yang dilepas bebas itu (wajib) zakat.” Dirirwayatkan dia oleh Asy-Syafi’iy.
وَعَدَمِ الحَجِّ فِيْ غَيْرِ أشهُرٍ مَعْلُوْمَاتٍ,قَالَ اللهُ تَعَالَى : الحَجُّ أشْهُرٌ مَعْلُوْمَاتٌ. [البقرة : 197]
Dan tidak ada haji pada bulan-bulan yang tidak dimaklumi, Allah Ta’ala berfirman : “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah ayat 197).
وَجَوَازِ البَيْعِ يَوْمَ الجُمُعَةِ إذَا لَمْ يُؤَذِنْ مُؤَذِنٌ, قَالَ اللهُ تَعَالَى : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ [الجُمُعَة :9]
Dan bolehnya jual-beli pada hari Jum’at selama belum adzan jum’at berkumandang, Allah Ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
Tentang Perbuatan Shahibusy Syari'ah
اَلْمَبْحَثُ التَّاسِعُ
Pembahasan Ke-Sembilan
فِيْ فِعْلِ صَاحِبِ الشَّريْعَةِ صلى الله عليه وسلم
Tentang perbuatan Shahib Asy-Syari’ah (Nabi) Saw
فِعْلُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم لا يَخْلُو إمَّا اَنْ يَكُوْنَ عَلَى وَجهِ القُرْبَةِ وَ الطَاعَةِ أوْ لَا يَكُوْنُ, فإنْ كَانَ عَلَى وَجْهِ القُرْبَةِ وَالطَّاعَةِ فَإنْ دلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى الإخْتِصَاصِ بِهِ حُمِلَ عَلَى الإخْتِصَاصِ كَزِيَادَةِ فِيْ النِكَاحِ عَلَى أرْبَعِ نِسْوَةٍ. قَالَ تَعَالَى :
Perbuatan Nabi Saw tidak lepas adakalanya bentuknya Qurbah (perbuatan yang mesti ) atau Tha’ah (perbuatan yang mesti dita’ati) adakalanya juga tidak, maka jika atas bentuk Qurbah atau Tha’ah maka jika ada dalil yang menunjukkan kekhususan terhadap Nabi Saw, itu berarti hanya khusus untuk Nabi Saw bukan untuk umatnya, seperti (dalam hal) lebihnya jumlah istri Nabi dari 4 orang, Allah Ta’ala berfirman :
فَانْكِحُوا مَا طابَ لَكُمْ مِنَ النِّساءِ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ [النساء : 3]
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi; dua, tiga, atau empat.” (QS. An-Nisa ayat 3)
عَنْ ابْنُ عُمَرَ قَالَ : أسْلَمَ غَيْلَانُ وَتَحْتَهُ عَشْرَةُ نِسْوَةٍ فِيْ الجَاهِلِيَةِ فأسْلَمْنَ مَعَهُ فَأمَرَهُ صلى الله عليه وسلم أنْ يَخْتَارَ مِنْهُنَّ أرْبَعًا. رَوَاهُ احمَدُ وابْنُ مَاجَهٍ والتِرْمِذِيُّ
Dari Ibnu ‘Umar berkata : Ketika ghailan masuk Islam dan ia mempunyai 10 istri ketika Jahiliyyah, semuanya masuk Islam bersamanya, maka beliau Saw memerintahkan kepadanya untuk memilih empat saja dari mereka.” Diriwayatkan dia oleh Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi.
وَإنْ لَمْ يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى الإخْتِصَاصِ بِهِ لَا يَخْتَصُّ بِهِ بَلْ تُشَارِكُهُ فِيْهِ أمَّتُهُ. قَالَ تَعَالَى :
Jika tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan untuk Nabi Saw –maka- tidaklah dikhususkan bahkan berlaku tentangnya kepada umatnya. Allah berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا [الأحزاب : 21]
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahjab ayat 21)
ولِذَلِكَ قَالُوْا : الأصْلُ فِيْ افْعَالِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الإقْتِدَاء إلَّا مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى الإخْتِصَاصِ بِهِ.
Oleh karena itu mereka berkata : asal pada setiap perbuatan Nabi Saw itu mesti diikuti, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan kekhususan hanya untuk diri Nabi Saw.
Tentang Taqrir Nabi Saw
اَلْمَبْحَثُ العَاشِرُ
Pembahasan Ke-sepuluh
فِيْ إقْرَارِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
Tentang Persetujuan Nabi Saw
إقْرَارُ النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَوْلٍ مِنْ احَدٍ كَقَوْلِهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Persetujuan Nabi Saw terhadap satu perkataan seseorang itu seperti perkataan beliau.
إقْرَارُهُ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الفِعلِ مِنْ أحَدٍ كَفِعْلِهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, لأنَّهُ مَعْصُوْمٌ مِنْ أنْ يَقِرَّ احَدًا عَلَى مُنْكَرٍ
Persetujuan beliau Saw terhadap satu perbuatan seseorang itu sama dengan perbuatan beliau, karena Nabi Saw ma’shum (terpelihara dari perbuatan maksiat) dari menyetujui seseorang yang berbuat kemungkaran.
مَثَالُ ذَلِكَ إِقْرَارُهُ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أبَا بَكْرٍ عَلَى قَوْلِهِ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ بِإِعْطَاءِ الْقَتِيْلِ لِقاتِلِهِ, وَإِقْرَارُهُ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَالِدَ بنَ الوَليْدِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى أكْلِ الضَّبِّ. روَاه الشيْخَان
Contohnya adalah persetujuan beliau saw kepada Abu Bakar r.a terhadap perkataannya untuk memberikan barang yang melekat di tubuh yang terbunuh dari kafir dari musuh kepada yang membunuhnya, dan persetujuan beliau saw kepada Khalid bin Al-Walid r.a terhadap memakan daging biawak. Diriwayatkan dia oleh Bukhari dan Muslim
وَمَا فُعِلَ أوْ مَا قِيْلَ فِيْ غَيْرِ مَجْلِسِهِ وَعَلِمَ بِهِ وَلَمْ يَنْكِرْهُ فَحُكْمُهُ حُكْمُ مَا فُعِلَ أوْ مَا قِيْلَ فِيْ مَجْلِسِهِ, كَعِلْمِهِ صلى الله عليه وسلم حَلفَ ابِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّهُ لَا يأكُلَ الطَعَامَ فِيْ وَقْتِ غَيْظِهِ ثُمَّ أكْلُ لِمَا رَأى الأكل خَيْرًا. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Semua yang diperbuat dan semua yang diucapkan di bukan majlisnya dan beliau mengetahui hal itu dan tidak mengingkarinya maka hukumnya itu sama seperti hukum perbuatan dan ucapan pada majlis beliau saw, seperti Nabi saw mengetahui sumpah Abu Bakar r.a bahwa ia tidak akan makan pada waktu marahnya kemudian ia makan karena memandang bahwa memakan makan itu lebih baik. Diriwayatkan dia oleh Muslim.
فيُسْتَفَادُ مِنْهُ جَوَازُ الحِنْثِ بَلِ نَدبه بَعد الحَلفِ إذَا كَانَ خَيْرًا.
Maka dapat diambil faidah dari kejadian itu, bolehnya melanggar sumpah bahkan disunnahkan jika melanggar sumpah itu akan membawa kebaikan.
Tentang Ijma
اَلْمَبْحَثُ الحَادِي عَشَرَ
Pembahasan Ke-Sebelas
فِيْ الإجْمَاعِ
Tentang Al-Ijma’
اَلْإِجْمَاعُ لُغَةً : إِتِّفاقٌ
Al-Ijma’ menurut bahasa adalah kesepakatan
وَاصْطِلَاحًا : إتِفَاقُ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم بَعْدَ وَفَاتِهِ فِيْ عَصْرٍ مِنَ الأعْصَارِ عَلَى أمْرٍ مِنَ الأمُوْرِ
Al-Ijma’ menurut Ishtilah adalah kesepakatan umat Nabi Muhammad Saw setelah wafatnya beliau pada satu masa dalam menentukan suatu masalah.
وَالْإِجْمَاعُ حُجَّةٌ عَنْدَ الجُمْهُوْرِ, لِمَا أخْرَجَهُ التِرْمِذِيُّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أنَّهُ قَالَ : لَا تَجْتَمِعُ أمَّتِيْ عَلَى الضَّلَالَةِ وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الجَمَاعَةِ.
Al-Ijma’ adalah Hujjah bagi para ulama, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At- Tirmidzi dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda : “Umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan dan pertolongan Allah itu bersama Al-Jama’ah.”
وَالْإِجْمَاعُ يَصِحُّ مِنْ قَوْلِهِم وبِفِعْلِهِمْ وَيَصِحُّ أيْضًا بِقْوْلِ البَعْضِ وَبِفِعْلِ البَعْضِ وانْتِشَارُ ذَلِكَ القَوْلُ أْوِ الفِعْلُ وسُكُوْتُ البَاقِيْنَ عَلَيْهِ, ويُسَمَّى ذَلِكَ بالإجْمَاعِ السُّكُوْتِي
Al-Ijma’ dianggap sah secara hukum dengan ucapan dan perbuatan para ulama, dan dianggap sah juga dengan sebagian perkataan ulama, atau perbuatan sebagian perbuatan sebagian ulama. Dan perkataan dan perbuatan itu tersebar dan juga atas persetujuan (diamnya) para ulama yang masih ada, Ijma’ yang demikian itu disebut Ijma’ sukuti.
وَاجْتَمِعُوْا عَلَى نَقْضِ الْوُضُوءِ بِالخَارِجِ المُعْتَادِ مِنَ السَّابِيليْنِ وَهُوَ البَوْلُ وَ الغَائِطُ
Para ulama berijma’ tentang batalnya wudhu karena disebabkan keluarnya sesuatu yang biasa keluar dari dua lubang yaitu baul (air kencing) dan ghaith (tai).
واعْلَمْ أنَّ الشَّافِعِيَّ قَدِ اسْتَدَلَّ عَلَى إثْبَاتِ القِيَاسِ وَخَبَرِ الوَاحِدِ بِأنَّ بَعْضَ الصَّاحَبَةِ عَمَلَ بِهِ وَلَمْ يَظْهَر مِنَ البَاقِيْنَ إنْكَارٌ, فكَانَ ذَلِكَ إجْمَاعًا سُكُوْتِيًّا
Ketahuilah bahwa imam Asy-Syafi’i beristidlal terhadap adanya qiyas dan Khabar Wahid karena sebagian sahabat mengamalkannya serta para ulama yang ada ketika itu tidak mengingkarinya, maka itulah disebut Ijma’ Sukuti.
Tentang Qiyas
اَلْمَبْحَثُ الثّانِي عَشَرَ
Pembahasan Ke-duabelas
فِيْ القِيَاسِ
Tentang Al-Qiyas
اَلْقِيَاسُ حُجَّةٌ
Al-Qiyas adalah Hujjah
قَالَ اللهُ تَعَالَى : فَاعْتَبِرُوْا يَآ أُوْلِي الأبْصَارِ. [الحشر : 2]
Allah Ta’ala berfirman : “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-Hasyr ayat 2).
اَلقِيَاسُ لُغَةً : تَقْدِيْرُ الشَّيْئِ بِآخَرَ لِيُعْلَمَ المسَاوَاةُ بَيْنَهُمَا
Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan yang lain untuk diketahui kesamaan keduanya.
قِسْتُ الثَّوْبَ بِالذِراعِ أيْ قُدْرَتِهِ بِهِ
Saya mengqiyaskan baju dengan hasta yaitu mengukurnya dengan hasta.
وَاصْطِلَاحًا : رَدُّ الْفَرْعِ إلَى الأصْلِ بِعِلَّةٍ تَجْمَعُهُمَا فِيْ الحُكْمِ كَقِيَاسِ الأَرُزِّ عَلَى البُرِّ فِيْ الرِّبَا بِجَامِعِ الطَّعَامِ.
Al-Qiyas menurut Ishthilah adalah mengembalikan hukum cabang kepada hukum asal dengan ilat yang terdapat pada keduanya dalam menentukan hukum, seperti ; Qiyas padi terhadap gandung dalam masalah riba karena sesama jenis makanan pokok.
وَ أرْكَانُهُ أرْبَعَةٌ :
Rukun Qiyas itu ada empat :
الأَصْلُ, وَالْفَرْعُ, وحُكْمُ الأصْلِ, وَعِلَّةِ حُكْمِ الأصْلِ
1. Pokok, 2. Cabang, 3. Hukum Asal, 4. Ilat Hukum Asal.
وَهُوَ ثَلَاثَةُ أقْسَامٍ :
Qiyas itu ada tiga bagian :
قِيَاسُ العِلَّةِ : وَهُو َمَا كَانَتِ العِلَّةُ فِيْهِ مُوْجِبَةٌ لِلحُكْمِ كَقِيَاسِ الضَرْبِ عَلَى التَّأفِيْفِ لِلْوَالِدَيْنِ فِيْ التَّحْرِيْمِ بِعِلَّةِ الإيْذَاءِ.
Qiyas Al-Illat yaitu Qiyas yang illat padanya menentukan hukum, seperti qiyas memukul kepada mengucapkan Ah kepada dua orang-tua dalam keharamannya karena Illat “Menyakiti”.
قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَلَا تَقُلْ لُهُمَا أُفٍّ [الإسرا : 23]
Allah Ta’ala berfirman : “Janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah'.” (QS. Al-Isra ayat 23)
وَقِيَاسُ الدِّلَالَةِ : وَهُوَ مَا كَانَتِ العِلَّةُ فِيْهِ دَلَالَةً عَلَى الحُكْمِ وَلَا تَكُوْنُ مُوْجِبَةً لِلْحُكْمِ,
Qiyas Ad-Dilalah yaitu Qiyas yang Illat padanya sebagai petunjuk atas hukum tapi tidak menentukan kepada hukum,
كَقِيَاسِ مَالِ الصَّبِيِّ عَلَى مَالِ البَالِغِ فِيْ وُجُوْبِ الزَّكَاةِ فِيْهِ بِجَامِعِ أنَّهُ مَالٌ تَامٌ
Seperti Qiyas harta anak kecil kepada harta orang dewasa dalam wajib zakatnya karena –kedunya- merupakan harta yang sempurna.
وَيَجُوْزُ أنْ يَقُوْلَ : لَا يَجِبُ فِيْ مَالِ الصَّبِيِّ كَمَا قَالَ بِهِ ابُوْ حَنِيْفَةَ فِيْهِ قِيَاسًا عَلَى الحَجِّ فإنَّهُ يَجِبُ عَلَى البَالِغِ وَلَا يَجِبُ عَلَى الصَّبِيِّ.
Boleh mengatakan ; tidak wajib –zakat- pada harta anak kecil, seperti yang dinyatakan oleh Abu Hanifah tentangnya sebagai qiyas kepada haji karena haji hanya wajib terhadap orang yang baligh tidak wajib terhadap anak kecil.
وَقِيَاسُ الشِّبْهِ : وَهُوَ إلِحَاقُ الفَرْعِ المرَدَّدِ بَيْنَ الأصْلَيْنِ بإكْثَرِهِمَا شِبْهًا,
Qiyas Asy-Syibhi yaitu menemukan hukum cabang yang meragukan antara dua hukum asal dengan mengambil yang lebih banyak persamaannya.
كَمَـا فِيْ العَبْدِ إذَا أتلَفَ فإنَّهُ مُرَدَّدٌ فِيْ الضَمَانِ بَيْنَ الإنْسَانِ الحَرِّ مِنْ أنَّهُ آدَمِيٌّ فَيَجِبُ عَلَى مَنْ أتلفه القِصَاصُ وبَيْنَ البَهِيْمَةِ مِنْ أنَّهُ مَالٌ فَيَجِبُ عَلَيْهِ قِيْمَتَهُ وَهُوَ بِالمَالِ أكثَر شِبْهًا مِنَ الحَرِّ, بِدَلِيْلٍ انَّهُ يُبَاعُ وَيُوْرَثُ ويُوْقَفُ وَيضمن وَأجزَاؤُهُ بِمَا نَقْصِ مِنْ قِيْمَتِهِ.
Sebagaimana tentang ‘Abd (hamba sahaya) apabila dilukai maka terdapat keraguan dalam menentukan hukuman tanggungan bagi yang melukainya, jika ‘Abd diqiyaskan sama dengan manusia yang merdeka karena ia juga seorang manusia, maka orang yang melukainya harus diqishah, tapi jika ia diqiyaskan dengan hewan karena ia adalah milik seseorang, maka wajib baginya yang melukainya untuk membayar sesuai harga ‘abd tersebut. Namun dalam hal ini mengqiyaskan ‘Abd dengan harta yang dimiliki seseorang lebih banyak serupanya dibanding ‘Abd dengan orang merdeka. Karena sesungguhnya ‘Abd itu dapat dijual, diwariskan dan diwaqafkan dan bagian anggota tubuh ditanggung dengan mengurangnya harga ‘Abd.
Tentang Ijtihad, Ittiba' dan Talid
المَبْحَثُ الثَّالِثُ عَشَرَ
Pembahasan Ke-tigabelas
فِيْ
الإجْتِهَادِ وَالإِتِّبَاعِ وَالتَّقْلِيْدِ
Tentang Al-Ijtihad, Al-Ittiba’ dan At-Taqlid
اَلْإجْتِهَادُ
: بَذْلُ الوُسْعِ فِيْ نَيْلِ حُكْمٍ شَّرْعِيِّ بِطَرِيْقٍ
الإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الكِتَابِ والسُنَّةِ, وَ إسم الفاعل منه الْمُجْتَهِدُ
Al-Ijtihad yaitu Mencurahkan segenap kemampuan dalam menentukan hukum syara’
dengan jalan istinbath (mencari dalil) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, orang
yang berijtihad disebut Al-Mujtahid.
وَاْلإِتِّبَاعُ
: هُوَ قَبُوْلُ قَوْلِ القَائِلِ وَانْتَ تَدْرِي مِنْ أَيْنَ مَأخُذُهُ, وإسْمُ
الفَاعِلِ مِنْهُ مُتَّبِعٌ
Al-Itiba’ yaitu menerima perkataan seseorang dan kamu mengetahui dari mana
rujukannya, pelakunya disebut Muttabi’.
وَ
اْلتَقْلِيْدُ : قَبُوْلُ قَوْلِ القَائِلِ وَانْتَ لَا تَدْرِي مِنْ أَيْنَ
مَأخُذُهُ, وإسْمُ الفَاعِلِ مِنْهُ مُقَلِّدٌ
At-Taqlid yaitu meneriman perkataan seseorang padahal kamu tidak mengetahui
rujukannya, pelakunya disebut Muqallid.
وَالْإِجْتِهَادُ
فِيْ الدِيْنِ مَطْلُوْبٌ وَكَذَلك الإِتِّبَاعُ, والتَّقْلِيْدُ فِيْ الدِيْنِ
مَذْمُوْمٌ
Berijtihad di dalam agama itu dituntut demikian pula Ittiba’ sedangkan
Taqlid di dalam agama itu tercela.
قَال
تَعَالَى : وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا [العنكَبوت
: 69]
Allah Ta’ala berfirman : “Dan orang-orang yang berjihaduntuk(mencarikeridaan)
Kami benar-benarakan Kami tunjukkankepadamerekajalan-jalan Kami.” (QS. Al-Ankabut ayat 69).
مِنْ حَدِيْث عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قال النّبِيُّ صلى الله
عليه وسلم " إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ
أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ". رواه
البُخَاريُّ وَ مُسْلِمٌ وأبُوْ دَاوُدَ والتِرْمِذِيُّ
Dari hadits Amr bin Al-‘Ash : Nabi Saw bersabda : "Jika
seorang hakim mengadili dan berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia
mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim berijtihad, lantas ijtihadnya salah
(meleset), baginya dua pahala."Diriwayatkan dia oleh Bukhari, Muslim,
Abu Daud dan At-Tirmidzi.
قَالَ تَعالَى : اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ
رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
[الأعرف : 3]
Allah Ta’ala berfirman : “Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian
dari Tuhan kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya.
Amat sedikitlah kalian mengambil pelajaran (darinya).” (QS. Al-A’raf ayat 3).
وَقَالَ تَعَالَى : وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا
أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا
أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ [المائدة :
104]
Dan berfirman : “Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah
mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul, "mereka menjawab,
"Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami
mengerjakannya.” Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka,
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula)
mendapat petunjuk?.” (QS. Al-Maidah ayat 104).
وَقَالَ تَعَالَى : بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى
أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ [الزخرف : 22]
Dan berfirman : “Bahkan mereka berkata,
"Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan
sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (QS. Az-Zukhruf ayat 22).
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.