وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنزلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ
وَالسَّلْوَى كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِنْ
كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ (57(
Dan Kami naungi kalian dengan awan dan Kami turunkan kepada kalian manna dan salwa. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.
Setelah Allah Swt. menyebutkan perihal murka yang Dia
hapuskan terhadap mereka, maka Allah kembali mengingatkan mereka akan limpahan
nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh-Nya kepada mereka. Untuk itu Allah
berfirman:
وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ
Dan Kami naungi kalian dengan awan. (Al-Baqarah: 57)
Al-gamam adalah bentuk jamak dari gamamah; dinamakan demikian
karena gamamah menutupi langit, artinya awan putih. Mereka dinaungi oleh awan
agar terhindar dari sengatan panas matahari padang pasir yang sangat terik itu.
Imam Nasai dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam hadis Al-Futun,
bahwa mereka dinaungi oleh awan ketika berada di padang pasir. Ibnu Abu Hatim
mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ar-Rabi' ibnu Anas, Abul Mijlaz,
Ad-Dahhak, dan As-Saddi hal yang semisal dengan apa yang telah dikatakan oleh
Ibnu Abbas.
Al-Hasan dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya, "Wazallalna 'alaikumul gamama," bahwa hal ini terjadi di
padang pasir; mereka dinaungi oleh awan tersebut hingga terhindar dari teriknya
matahari. Ibnu Jarir dan lain-lainnya mengatakan bahwa awan tersebut lebih
sejuk dan lebih baik daripada awan biasa.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami
Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syiblun, dari Ibnu Abu Nujaih,
dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya ini, bahwa yang dimaksud dengan
awan di sini bukanlah awan yang Allah datangkan dengannya kelak di hari kiamat,
melainkan awan yang khusus hanya bagi mereka. Hal yang sama diriwayatkan pula
oleh Ibnu Jarir, dari Al-Musanna ibnu Ibrahim, dari Abu Huzaifah. Hal yang sama
diriwayatkan pula oleh As-Sauri dan lain-lainnya, dari Ibnu Abu Nujaih, dari
Mujahid.
Seakan-akan dimaksudkan —hanya Allah yang mengetahui— bahwa
awan tersebut bukanlah seperti awan yang ada pada kita, melainkan jauh lebih
indah dan lebih semerbak serta lebih baik pemandangannya.
Sunaid di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Hajjaj ibnu
Muhammad, dari Ibnu Juraij, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan
dengan tafsir firman-Nya: Dan Kami naungi kalian dengan awan. (Al-Baqarah: 57)
Bahwa awan tersebut lebih sejuk dan lebih semerbak baunya daripada awan biasa.
Awan inilah yang Allah datang dengan memakainya, seperti yang dinyatakan di
dalam firman-Nya:
هَلْ
يَنْظُرُونَ إِلا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ
وَالْمَلائِكَةُ
Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan
datangnya Allah dalam naungan awan dan malaikat. (Al-Baqarah: 210)
Awan inilah yang para malaikat datang dengan membawanya dalam
Perang Badar. Ibnu Abbas mengatakan, awan tersebutlah yang menaungi mereka
(Bani Israil) ketika di padang pasir.
*********
Firman Allah Swt.:
وَأَنزلْنَا
عَلَيْكُمُ الْمَنَّ
dan Kami turunkan kepada kalian manna. (Al-Baqarah: 57)
Keterangan para ahli tafsir berbeda-beda sehubungan dengan
hakikat dari manna ini. Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
manna turun pada mereka di pohon-pohon, lalu mereka menaikinya dan memakannya
dengan sepuas-puasnya.
Mujahid mengatakan bahwa manna adalah getah. Ikrimah
mengatakan bahwa manna ialah sesuatu makanan yang diturunkan oleh Allah kepada
mereka seperti hujan gerimis.
As-Saddi mengatakan bahwa mereka berkata, "Hai Musa,
bagaimanakah kami dapat hidup di sini tanpa ada makanan?" Maka Allah
menurunkan manna kepada mereka. Manna itu turun, lalu terjatuh pada pohon
zanjabil (jahe).
Qatadah mengatakan bahwa manna turun di tempat mereka berada
seperti turunnya salju, bentuknya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih
manis daripada madu; manna turun kepada mereka mulai dari terbitnya fajar
hingga matahari terbit. Seseorang dari mereka mengambil sekadar apa yang cukup
bagi keperluannya di hari itu. Apabila ia mengambil lebih dari itu, maka manna
menjadi busuk dan tidak tersisa. Akan tetapi, bila hari yang keenam tiba —yakni
hari Jum’at— maka seseorang mengambil kebutuhannya dari manna untuk hari itu
dan hari besoknya, mengingat hari besoknya adalah hari Sabtu. Karena hari Sabtu
merupakan hari libur mereka, tiada seorang pun yang bekerja pada hari itu untuk
penghidupannya, hal ini semua terjadi di daratan.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa manna adalah minuman yang
diturunkan kepada mereka (kaum Bani Israil), rupanya seperti madu; mereka
mencampurnya dengan air, lalu meminumnya.
Wahb ibnu Munabbih pernah ditanya mengenai manna. Ia menjawab
bahwa manna adalah roti lembut seperti biji jagung atau seperti dedak.
Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan
kepadanya Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah
menceritakan kepada kami Israil, dari Jabir, dari Amir (yaitu Asy-Sya'bi) yang
mengatakan bahwa madu kalian ini merupakan sepertujuh puluh dari manna. Hal
yang sama dikatakan pula oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa manna
adalah madu.
Telah disebutkan di dalam syair Umayyah ibnu Abu Silt seperti
berikut
فَرَأَى اللَّهُ
أَنَّهُمْ بِمَضِيعٍ ... لَا بِذِي مَزْرَعٍ وَلَا مَثْمُورَا ...
فَسَنَاهَا
عَلَيْهِمُ غَادِيَاتٍ ... وَتَرَى مُزْنَهُمْ خَلَايَا وَخُورَا ...
عَسَلًا
نَاطِفًا وَمَاءً فُرَاتًا ... وحليبا ذا بهجة مرمورا
Allah melihat bahwa mereka berada di tempat yang tandus,
tiada tanaman dan tiada buah-buahan. Maka Dia menyirami mereka dengan hujan,
dan mereka melihat hujan yang menimpa mereka berupa tetesan madu dan air yang
jernih serta air susu yang murni lagi cemerlang.
An-natif artinya cairan, sedangkan al-halibul mazmur artinya
susu yang murni lagi jernih. Tujuan utama dari semuanya dapat disimpulkan bahwa
ungkapan para ahli tafsir mengenai hakikat manna berdekatan dan tidak terlalu
jauh. Di antara mereka ada yang menafsirkannya sebagai minuman. Akan tetapi,
kenyataannya hanya Allah yang mengetahui; dapat disimpulkan bahwa manna adalah
anugerah yang diberikan oleh Allah kepada mereka, baik berupa makanan atau
minuman atau lainnya, yang dihasilkan tanpa susah payah.
Manna yang dikenal ialah 'jika dimakan dengan sendirinya,
maka merupakan makanan dan manisan; jika dicampur dengan air, maka merupakan
minuman yang enak; jika dicampur dengan lainnya merupakan jenis yang lain'.
Akan tetapi, hal ini semata bukanlah makna yang dimaksud oleh ayat. Sebagai
dalilnya ialah sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Bukhari.
قَوْلُ
الْبُخَارِيِّ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ عبد الملك،
عن عمر بْنِ حُرَيْثٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ
الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ".
Imam Bukhari telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abdul Malik ibnu Umair
ibnu Hurayyis, dari Sa'id ibnu Zaid r.a. yang menceritakan bahwa Nabi Saw.
pernah bersabda: Jamur kam’ah berasal dari manna: airnya mengandung obat
penawar bagi mata.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, dari Sufyan ibnu
Uyaynah, dari Abdul Malik (yaitu Ibnu Umair) dengan lafaz yang sama. Jama'ah
mengetengahkan hadis ini di dalam kitabnya masing-masing —kecuali Abu Daud—
melalui berbagai jalur dari Abdul Malik alias Ibnu Umair dengan lafaz yang
sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini melalui
riwayat Al-Hakam, dari Al-Hasan Al-'Urni dari Amr ibnu Hurayyis dengan lafaz
yang sama.
قَالَ
التِّرْمِذِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ أَبِي السَّفَرِ وَمَحْمُودُ
بْنُ غَيْلان، قَالَا حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَامِرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْعَجْوَةُ مِنَ الْجَنَّةِ،
وَفِيهَا شِفَاءٌ مِنَ السُّمِّ، وَالْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ
لِلْعَيْنِ"
Imam Turmuzi meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu
Ubaidah ibnu Abus Safar dan Mahmud ibnu Gailan; keduanya mengatakan bahwa telah
menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amri, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu
Salamah, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Ajwah (buah kurma masak) berasal dari surga, di dalamnya terkandung
obat penyembuh dari keracunan; dan jamur kam’ah berasal dari manna, airnya
mengandung obat penyembuh bagi (penyakit) mata.
Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Turmuzi, kemudian dia
mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Kami tidak mengetahuinya melainkan
melalui hadis Muhammad ibnu Muhammad ibnu Amr; jika tidak demikian, berarti
dari hadis Sa'id ibnu Amr dari Muhammad ibnu Amr. Di dalam bab ini diriwayatkan
pula dari Sa'id ibnu Zaid dan Abu Sa'id serta Jabir, menurut Imam Turmuzi.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan pula di dalam
kitab tafsirnya melalui jalur lain dari Abu Hurairah. Untuk itu dia mengatakan:
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ أَحْمَدَ الْبَصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَسْلَمُ بْنُ
سَهْلٍ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا طَلْحَةُ بْنُ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ، عَنْ قَتَادَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ".
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Hasan ibnu Ahmad
Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Aslam ibnu Sahl, telah menceritakan
kepada kami Al-Qasim ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Talhah ibnu Abdur
Rahman, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah r.a. telah
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jamur kam’ah berasal dari
manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi penyakit mata.
Hadis ini berpredikat garib bila ditinjau dari sanad ini, dan
Talhah ibnu Abdur Rahman ini adalah As-Sulami Al-Wasiti, dijuluki dengan
sebutan Abu Muhammad. Menurut pendapat lain, dia adalah Abu Sulaiman
Al-Muaddib; dan Al-Hafiz Abu Ahmad ibnu Abdi mengatakan sesuatu tentang
dirinya. Dia meriwayatkan dari Qatadah banyak riwayat yang tidak dapat diikuti
(dipakai).
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا أَبِي،
عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ نَاسًا
مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا:
الْكَمْأَةُ جُدَرِيُّ الْأَرْضِ، فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ
لِلْعَيْنِ، وَالْعَجْوَةُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهِيَ شِفَاءٌ مِنَ السُّمِّ".
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah
menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abu
Qatadah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan
bahwa para sahabat Nabi Saw. mengatakan, "Kam’ah merupakan akar yang ada
di dalam tanah." Maka Nabi Saw. bersabda: Kam’ah berasal dari manna,
airnya mengandung obat penyembuh bagi (penyakit) mata. Dan ajwah berasal dari
surga, ia mengandung obat penawar untuk racun.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Muhammad ibnu
Basysyar dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Basysyar,
dari Gundar, dari Syu'bah ibnu Abu Bisyr Ja'far ibnu Iyas, dari Syahr ibnu
Hausyab, dari Abu Hurairah dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari
Muhammad ibnu Basysyar, dari Abdul A’la, dari Khalid Al-Hazza, dari Syahr ibnu
Hausyab, tetapi hanya kisah mengenai kam’ah saja.
Imam Nasai dan Ibnu Majah meriwayatkan pula melalui hadis
Muhammad ibnu Basysyar, dari Abu Abdus Samad ibnu Abdul Aziz ibnu Abdus Samad,
dari Matar Al-Waraq, dari Syahr kisah mengenai ajwah yang ada pada Imam Nasai,
dan kisah mengenai keduanya (kam’ah dan ajwah) pada Ibnu Majah.
Jalur periwayatan ini munqati (terputus) antara Syahr ibnu
Hausyab dan Abu Hurairah, karena sesungguhnya Syahr ibnu Hausyab belum pernah
mendengar riwayat hadis dari Abu Hurairah.
Sebagai buktinya ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam
Nasai dalam Bab "Walimah", di dalam kitab Sunannya:
عَنْ عَلِيِّ
بْنِ الْحُسَيْنِ الدِّرْهَمِيِّ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي
عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ غَنْم، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ يَذْكُرُونَ الْكَمْأَةَ، وَبَعْضُهُمْ يَقُولُ جُدَرِيُّ الْأَرْضِ، فَقَالَ:
"الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"
dari Ali ibnul Husain Ad-Dirhami, dari Abdul A’la, dari Sa'id
ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abdur Rahman ibnu
Ganam, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. keluar
(menemui mereka) yang saat itu mereka sedang membicarakan tentang kam’ah.
Sebagian dari mereka mengatakan bahwa kam’ah adalah akar yang ada di dalam
tanah. Maka Nabi Saw. bersabda: Kam’ah berasal dari manna yang airnya
mengandung obat bagi (penyakit) mata.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Syahr ibnu Hausyab, dari Abu
Sa'id dan Jabir, seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا
أَسْبَاطُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ إِيَاسٍ،
عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَأَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ، قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ وَالْعَجْوَةُ
مِنَ الْجَنَّةِ وَهِيَ شِفَاءٌ مِنَ السُّمِّ"
telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad, telah
menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Ja'far ibnu Iyas, dari Syahr ibnu
Hausyab, dari Jabir ibnu Abdullah dan Abu Sa'id Al-Khudri; keduanya mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kam’ah berasal dari manna, dan airnya
mengandung obat bagi mata. Dan 'ajwah berasal dari surga, ia mengandung obat
untuk keracunan.
Imam Nasai mengatakan pula di dalam Bab "Walimah",
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ جَعْفَرِ بْنِ إِيَاسٍ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ،
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَجَابِرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ،
وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami
Syu'bah, dari Abu Bisyr Ja'far ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu
Sa'id dan Jabir, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Kam’ah berasal dari
manna, dan airnya merupakan obat penawar bagi (penyakit) mata.
Kemudian hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah melalui
berbagai jalur dari Al-A'masy, dari Abu Bisyr, dari Syahr, dari Jabir dan Abu
Sa'id dengan lafaz yang sama.
Keduanya —yakni Ibnu Majah dan Imam Nasai— meriwayatkannya
pula; Imam Nasai meriwayatkannya dari hadis Jarir, sedangkan Ibnu Majah dari
hadis Sa'id ibnu Salamah, keduanya dari Al-A'masy, dari Ja'far ibnu Iyas, dari
Abu Nadrah, dari Abu Sa'id, menurut riwayat Nasai. Sedangkan hadis Jabir
menyebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا
شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"
Kam’ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat
penyembuh bagi mata.
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dari Ahmad ibnu Usman,
dari Abbas Ad-Dauri, dari Lahiq ibnu Sawab, dari Ammar ibnu Raziq, dari
Al-A'masy; seperti halnya ibnu Majah dan Ibnu Murdawaih juga berkata:
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ عُثْمَانَ، حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ الدُّورِيُّ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ
بْنُ الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنِ
الْمِنْهَالِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي يَدِهِ كَمَآتٌ، فَقَالَ: "الْكَمْأَةُ
مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ".
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Usman, telah
menceritakan kepada kami Abbas Ad-Dauri.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnur Rabi',
telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal ibnu
Amr, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Sa'id Al-Khudri yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. keluar menjumpai kami, sedangkan di tangan beliau
tergenggam kam’ah, lalu beliau bersabda: Kam’ah berasal dari manna, dan airnya
mengandung obat penawar bagi mata.
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Nasai, dari Amr ibnu
Mansur, dari Al-Hasan ibnur Rabi' dengan lafaz yang sama. Kemudian Ibnu
Murdawaih meriwayatkannya pula dari Abdullah Ibnu Ishaq, dari Al-Hasan ibnu
Salam, dari Ubaidillah ibnu Musa, dari Syaiban, dari Al-A'masy dengan lafaz
yang sama. Demikian pula Imam Nasai, ia telah meriwayatkan dari Ahmad ibnu
Usman ibnu Hakim, dari Ubaidillah ibnu Musa.
Telah diriwayatkan melalui hadis Anas ibnu Malik r.a. seperti
apa yang dikatakan oleh Ibnu Murdawaih.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا حَمْدُونُ بْنُ
أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا حَوْثَرَةُ بْنُ أَشْرَسَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ
شُعَيْبِ بْنِ الْحَبْحَابِ عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَدَارَؤُوا
فِي الشَّجَرَةِ الَّتِي اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ
قَرَارٍ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَحْسَبُهُ الْكَمْأَةَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ وَمَاؤُهَا
شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ، وَالْعَجْوَةُ من الجنة، وفيها شفاء من السم"
Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdullah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hamdun ibnu Ahmad, telah
menceritakan kepada kami Juwairah ibnu Asyras, telah menceritakan kepada kami
Hammad, dari Syu'aib ibnul Habhab, dari Anas, bahwa para sahabat Rasulullah
Saw. bersegera melihat suatu pohon yang dicabut dari tanah karena pohon itu
sudah tidak tegak lagi, maka sebagian dari mereka mengatakan, "Kami kira
kam’ah." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Kam’ah berasal dari manna, dan
airnya mengandung kesembuhan bagi (penyakit) mata. Dan 'ajwah berasal dari
surga, di dalamnya terkandung kesembuhan dari keracunan.
Pokok hadis ini terpelihara melalui riwayat Hammad ibnu
Salamah. Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkan melalui jalurnya sesuatu dari
hadis ini.
Diriwayatkan dari Syahr ibnu Hausyab, dari Ibnu Abbas hal
yang sama seperti apa yang diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam Bab
"Walimah"-nya:
عَنْ أَبِي
بَكْرٍ أَحْمَدَ بْنِ عَلِيِّ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَوْنٍ
الخَرّاز، عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ الْحَدَّادِ، عَنْ عَبْدِ الْجَلِيلِ بْنِ
عَطِيَّةَ، عَنْ شَهْرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ،
وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"
dari Abu Bakar Ahmad ibnu Ali ibnu Sa'id, dari Abdullah ibnu
Aun Al-Kharraz, dari Abu Ubaidah Al-Haddad, dari Abdul Jalil ibnu Atiyyah, dari
Abdullah ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Kam’ah berasal dari
manna, dan airnya mengandung obat bagi mata.
Seperti yang Anda ketahui sendiri, hal yang diperselisihkan
adalah terletak pada Syahr ibnu Hausyab.
Menurut kami, Syahr ibnu Hausyab menghafal dan meriwayatkan
hadis ini melalui berbagai jalur yang semuanya telah disebutkan di atas, dan
memang dia mendengarnya dari sebagian sahabat, sedangkan sebagian yang lain
diterimanya dari orang lain. Semua sanad yang disandarkan kepadanya berpredikat
jayyid, dan dia tidak bermaksud dusta dalam hal ini. Pokok hadis terpelihara
dari Rasulullah Saw., seperti yang disebutkan di atas melalui riwayat Sa'id
ibnu Zaid r.a.
Mengenai salwa, disebutkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari
Ibnu Abbas, bahwa salwa adalah sejenis burung yang mirip dengan burung samani
yang biasa mereka makan.
As-Saddi mengatakan dalam kisahnya yang ia ketengahkan dari
Abu Malik dan Abu Saleh, dari Ibnu Abbas r.a.; juga dari Murrah, dari Ibnu
Mas'ud, dari sejumlah sahabat Nabi Saw., bahwa salwa adalah burung yang mirip
dengan burung samani.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami
Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad
ibnu Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Qurrah ibnu Khalid, dari
Jahdam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa salwa adalah burung samani.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Asy-Sya'bi,
Ad-Dahhak, Al-Hasan, Ikrimah, dan Ar-Rabbi' ibnu Anas.
Diriwayatkan dari Ikrimah, salwa adalah sejenis burung
seperti burung yang kelak ada di surga, bentuknya lebih besar daripada burung
pipit atau sama dengannya.
Qatadah mengatakan bahwa salwa adalah sejenis burung yang
berbulu merah yang datang digiring oleh angin selatan. Seorang lelaki dari
kalangan mereka menyembelih sebagian darinya dalam kadar yang cukup untuk
keperluan hari itu; dan apabila ia melampaui batas dalam pengambilannya, maka
daging burung itu membusuk dan tak tersisa. Tetapi jika ia berada di hari yang
keenam (yakni hari Jumat), maka ia mengambil bagian untuk keperluan hari itu
dan hari esoknya, yakni hari keenam dan hari ketujuhnya. Karena hari yang
ketujuh atau hari Sabtu merupakan hari libur mereka, tiada seorang pun yang
bekerja di hari itu dan tiada seorang pun yang mencari sesuatu padanya.
Wahb ibnu Munabbih mengatakan bahwa salwa adalah burung yang
gemuk seperti burung merpati, burung-burung tersebut datang kepada mereka
dengan berbondong-bondong dari Sabtu ke Sabtu yang lainnya, kemudian mereka
mengambil sebagian darinya.
Di dalam riwayat yang lain dari Wahb disebutkan bahwa kaum
Bani Israil meminta kepada Musa a.s. agar diberi daging, lalu Allah berfirman,
"Aku benar-benar akan memberi mereka makan berupa daging yang paling
sedikit didapat di muka bumi." Kemudian Allah mengirimkan angin kepada
mereka, lalu berjatuhanlah salwa di ternpat tinggal mereka; salwa tersebut
adalah samani yang berbondong-bondong terbang setinggi tombak. Mereka menyimpan
daging burung samani itu untuk keesokan harinya, tetapi daging itu membusuk dan
roti pun menjadi basi.
As-Saddi mengatakan bahwa tatkala Bani Israil memasuki padang
Sahara, mereka berkata kepada Musa a.s., "Bagaimana kami dapat tahan di
tempat seperti ini? Di manakah makanannya?" Maka Allah menurunkan manna
kepada mereka. Manna turun kepada mereka berjatuhan di atas pohon jahe.
Sedangkan salwa adalah sejenis burung yang bentuknya mirip dengan burung
samani, tetapi lebih besar sedikit.
Seseorang dari mereka bila menangkap burung salwa itu
terlebih dahulu mereka melihatnya. Jika burung yang ditangkapnya itu gemuk,
maka mereka menyembelihnya; tetapi jika kurus, mereka melepa-kannya; jika telah
gemuk, maka burung itu baru ditangkap. Mereka berkata (kepada Musa a.s.),
"Ini makanannya, manakah minuman-nya?" Maka Allah memerintahkan
kepada Musa a.s. untuk memukulkan tongkatnya pada sebuah batu besar. Setelah
batu itu dipukul dengan tongkatnya, memancarlah dua belas mata air yang mengalir,
hingga tiap-tiap puak dari Bani Israil mempunyai mata airnya sendiri-sendiri.
Mereka berkata lagi, "Ini minuman, maka manakah naungannya?" Mereka
dinaungi oleh awan, dan mereka berkata lagi, "Ini naungan, manakah
pakaiannya?" Tersebutlah bahwa pakaian mereka tahan lama dan tidak
robek-robek. Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya: Dan Kami naungi
kalian dengan awan dan Kami turunkan kepada kalian manna dan salwa.
(Al-Baqarah: 57)
وَإِذِ
اسْتَسْقَى مُوسَى لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ
فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ
مَشْرَبَهُمْ
Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu
Kami berfirman, "Pukullah batu itu dengan tongkatmu.” Lalu memancarlah
darinya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat
minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan
janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.
(Al-Baqarah: 60)
Telah diriwayatkan dari Wahb ibnu Munabbih dan Abdur Rahman
ibnu Zaid ibnu Aslam hal yang semisal dengan apa yang telah diriwayatkan oleh
As-Saddi.
Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij yang
menceritakan, "Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan bahwa Allah menciptakan
bagi mereka di padang pasir pakaian yang anti robek dan anti kotor."
Ibnu Juraij mengatakan, "Seorang lelaki (dari kalangan
mereka) apabila mengambil manna dan salwa dalam jumlah lebih dari keperluan
seharinya, maka manna dan salwa itu membusuk. Hanya saja pada hari Jumat mereka
mengambil makanan dalam jumlah lebih karena untuk hari Sabtunya, dan pada pagi
hari Sabtu makanan tersebut tidak rusak."
Ibnu Atiyyah mengatakan bahwa salwa adalah sejenis burung,
menurut kesepakatan ulama Mufassirin. Kelirulah Al-Huzali yang mengatakan dalam
bait syairnya bahwa salwa itu adalah madu. Hal ini terbukti melalui
perkataannya dalam salah satu bait syairnya, yaitu:
وَقَاسَمَهَا
بِاللَّهِ جَهْدًا لَأَنْتُمُ ... أَلَذُّ مِنَ السَّلْوَى إِذَا مَا أَشُورُهَا ...
Dan dia bersumpah secara sungguh-sungguh dengan menyebut asma
Allah, bahwa kalian benar-benar lebih lezat daripada salwa (madu) apabila
dipetik dari sarangnya.
Al-Huzali menduga bahwa salwa itu adalah madu.
Al-Qurtubi mengatakan, pengakuan yang mendakwakan adanya
kesepakatan (bahwa salwa adalah sejenis burung) tidak sah, karena Muwarrij
—seorang ulama bahasa dan tafsir— mengatakan bahwa salwa adalah madu. Kemudian
ia mengemukakan dalilnya dengan berpegang kepada perkataan Al-Huzali tadi. Ia
menjelaskan, memang demikianlah sebutannya di dalam dialek Kinanah, mengingat
madu merupakan minuman yang lezat; termasuk ke dalam pengertian ini ialah
'ainun silwan (mata air yang menyegarkan).
Al-Jauhari mengatakan bahwa salwa adalah madu. Ia mengatakan
demikian berdalilkan ucapan Al-Huzali tadi. Sulwanah artinya kharzah (sebuah
wadah). Mereka mengatakan, apabila dituangkan air hujan, lalu diminum oleh
seseorang yang sedang dimabuk asmara, maka ia akan lupa kepada segala-galanya.
Sehubungan dengan hal ini seorang penyair mengatakan:
شَرِبْتُ عَلَى
سُلْوَانَةٍ مَاءَ مُزْنَةٍ ... فَلَا وَجَدِيدِ الْعَيْشِ يَا مَيُّ مَا أَسْلُو ...
Aku telah meminum air hujan dari wadah sulwanah, demi
kehidupan yang baru, hai Mai, aku tidak dapat berlupa diri.
Nama air yang diminum dengan memakai wadah tersebut adalah
sul-wan. Sebagian orang mengatakan bahwa sulwan merupakan obat penawar yang
dapat menyembuhkan karena lupa kepada kesedihan. Para tabib menamakannya dengan
sebutan mufarrij.
Mereka mengatakan bahwa salwa adalah bentuk jamak, bentuk
tunggalnya pun sama; sama halnya dengan samani yang bentuk tunggal dan jamaknya
sama. Tetapi dapat pula dikatakan salwa adalah bentuk jamak, sedangkan bentuk
tunggalnya adalah waili.
Imam Khalil mengatakan bahwa salwa bentuk tunggalnya adalah
silwatun, lalu Imam Khalil mengetengahkan sebuah syair:
وَإِنِّي
لَتَعْرُونِي لِذِكْرَاكِ هِزَّةٌ ... كَمَا انْتَفَضَ السَّلْوَاةُ مِنْ بلل
القطر
...
Sesungguhnya aku benar-benar tergetar bila mengingatmu,
seperti seekor burung salwa yang mengibaskan air hujan dari tubuhnya.
Imam Kisai mengatakan bahwa salwa adalah bentuk tunggal,
sedangkan bentuk jamaknya adalah salawa. Semua pendapat di atas telah dinukil
oleh Al-Qurtubi.
*******
Firman Allah Swt.:
كُلُوا مِنْ
طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan
kepada kalian. (Al-Baqarah: 57)
Perintah dalam ayat ini mengandung makna ibahah (boleh),
pengarahan, dan sebagai anugerah.
Sedangkan mengenai firman-Nya:
وَمَا
ظَلَمُونَا وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, tetapi merekalah yang
menganiaya diri mereka sendiri. (Al-Baqarah: 57)
Makna yang dimaksud dengan ayat sebelumnya yaitu 'Kami
perintahkan mereka untuk memakan rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka,
dan hendaklah mereka beribadah (kepada-Nya)', seperti pengertian yang terdapat
pada ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
كُلُوا مِنْ
رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ
Makanlah oleh kalian dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhan
kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Nya. (Saba': 15)
Akan tetapi, mereka (Bani Israil) menentang dan kafir,
sehingga jadilah mereka orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri, padahal
mereka telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri semua tanda kebesaran
Allah yang jelas, mukjizat-mukjizat yang pasti, dan hal-hal yang bertentangan
dengan hukum alam.
Dari keterangan ini tampak jelas keutamaan para sahabat Nabi
Muhammad Saw. yang berada di atas semua sahabat nabi-nabi lainnya dalam hal
kesabaran, keteguhan, dan ketegaran mereka yang tidak pernah surut. Padahal
mereka selalu bersamanya dalam semua perjalanan dan peperangan, antara lain
ialah dalam Perang Tabuk yang situasinya sangat panas dan melelahkan. Sekalipun
demikian, mereka tidak pernah meminta kepada Nabi Saw. mengadakan hal-hal yang
bertentangan dengan hukum alam dan hal-hal yang aneh, padahal hal tersebut
amatlah mudah bagi Nabi Saw. Hanya ketika rasa lapar sangat melemahkan tubuh
mereka, mereka meminta kepada Nabi Saw. agar makanan yang mereka bawa
diperbanyak. Untuk itu mereka mengumpulkan semua makanan yang ada pada mereka,
lalu terkumpullah makanan yang jumlah keseluruhannya sama dengan tinggi seekor
kambing yang sedang duduk istirahat. Kemudian Nabi Saw. berdoa agar makanan
tersebut diberkahi, ternyata akhirnya mereka dapat memenuhi semua wadah makanan
yang mereka bawa.
Demikian pula ketika mereka memerlukan air, Nabi memohon
kepada Allah Swt., lalu datanglah awan yang langsung menghujani mereka.
Akhirnya mereka minum dan memberi minum ternak mereka hingga dapat memenuhi
wadah air minum yang mereka bawa. Kemudian mereka melihat keadaan hujan
tersebut, ternyata hujan tidak melampaui batas pasukan kaum muslim bermarkas.
Hal ini jelas lebih utama dan lebih sempurna, yang menunjukkan keikhlasan mereka dalam mengikuti Nabi Saw., padahal Allah berkuasa untuk memenuhi apa yang diminta oleh Rasulullah Saw. buat pasukan kaum muslim yang mengikutinya saat itu.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.