Penyebab Kekufuran dan Meninggalkan Agama Adalah Berlebih-lebihan Dalam Mengagungkan Orang-orang Shalih

Penyebab Kekufuran dan Meninggalkan Agama Adalah Berlebih-lebihan Dalam Mengagungkan Orang-orang Shalih


19. Penyebab Kekufuran dan Meninggalkan Agama Adalah Berlebih-lebihan Dalam Mengagungkan Orang-orang Shalih

Firman Allah Swt,

یَأَهۡلَ ٱلۡكِتَابِ لَا تَغۡلُوا۟ فِی دِینِكُمۡ وَلَا تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡحَقَّۚ

"Wahai orang-orang Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar."(QS. An Nisa:171)

Dalam Shahih Al Bukhari ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menjelaskan tentang firman Allah Swt,

{ وَقَالُوا۟ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمۡ وَلَا تَذَرُنَّ وَدࣰّا وَلَا سُوَاعࣰا وَلَا یَغُوثَ وَیَعُوقَ وَنَسۡرࣰا }

"Dan mereka (kaum nabi Nuh) berkata, 'Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu, dan janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr.'" (QS. Nuh [71] : 23)

Beliau (Ibnu Abbas) mengatakan,

هذه أسماء رجال صالحين من قوم نوح فلما اوحي الشيطان الى قومهم ان انصبوا الى مجالسهم التي كانوا يجلسون فيها انصابا وسموها بأسمائهم ففعلوا، ولم تعبد حتى اذا هلك أولئك ونسي العلم عبدت.

“Ini adalah nama orang-orang shalih dari kaum nabi Nuh. Ketika mereka meninggal dunia, syetan membisikkan kepada kaum mereka agar membuat patung-patung mereka di tempat-tempat yang biasa mereka gunakan untuk melakukan pertemuan-pertemuan. Mereka disuruh memberikan nama-nama patung tersebut dengan nama-nama mereka. Orang-orang tersebut menerima bisikan syetan. Pada awalnya patung-patung yang mereka buat belum dijadikan sesembahan. Setelah para pembuat patung itu meninggal dan ilmu agama telah dilupakan, mulailah patung-patung tersebut disembah." (HR. Al Bukhari (2920), Abdurrazaq dalam tafsirnya (3343), Fath al Bari (8/667 - 668).

Keterangan :

Penulis menerangkan bahwa sebab kekafiran sebagian orang adalah sikap ghuluw mereka terhadap orang-orang shalih. Ada juga sebab yang lain, yaitu hasad dan keji. Akan tetapi, umumnya rasa cinta kepada Nabi dan orang-orang shalih yang berlebihan dapat menjerumuskan kepada kekafiran.

Firman Allah Swt,

(Artinya) "Wahai orang-orang ahli kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar." (QS. An Nisa : 171)

Ayat ini ditujukan kepada orang-orang Nasrani dan Yahudi, tetapi orang Nasrani lebih banyak yang terjerumus ke dalam sikap ghuluw.

Bab ini menerangkan bahwa kita harus menjauhi sikap ghuluw dalam mencintai orang-orang shalih dan para nabi. Mencintai mereka adalah bagian dari syariat agama.

Allah berfirman, ".. dalam agama kalian". Cinta dan benci karena Allah adalah bagian dari agama sebagaimana sabda Nabi Saw,

لايؤمن أحدكم حتى اكون أحب اليه مما سواهما.

"Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada yang lainnya." (HR. Bukhari dan Muslim)[1]

Cinta ini bukan dengan bersikap berlebih-lebihan. Namun, kecintaan ini dibuktikan dengan mengikuti ajarannya, tidak bermaksiat kepadanya, menaatinya, dan tidak beribadah kepada selain Allah. Demikian pula dengan para ulama dan orang-orang shalih. Mencintai mereka bisa diwujudkan dengan ridha kepada mereka dan berjalan di atas manhaj mereka. Kecintaan ini harus berdasarkan syariat.

***

Dalam Shahih Al Bukhari, ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menjelaskan tentang firman Allah ,

{ وَقَالُوا۟ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمۡ وَلَا تَذَرُنَّ وَدࣰّا وَلَا سُوَاعࣰا وَلَا یَغُوثَ وَیَعُوقَ وَنَسۡرࣰا }

"Dan mereka (kaum nabi Nuh) berkata, 'Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu,dan janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr.'"(QS. Nuh : 23)

Keterangan :

Penjelasan ini berkaitan dengan kaum nabi Nuh yang diliputi was-was dari syetan. Mereka dipengaruhi supaya membuat gambar (patung) orang-orang shalih mereka. Tatkala mereka meninggal, datanglah syetan dan membisikkan kalimat-kalimat, “Sesungguhnya bapak-bapak kamu beribadah kepada mereka dan meminta tolong kepada mereka." Lalu mereka pun menyembah orang-orang shalih tersebut. Inilah sebab ghuluwyangmenyesatkan dan menghancurkan manusia di dunia dan akhirat.

Dan dalam hadits Ibnu Abbas yang lalu terdapat ungkapan,

ونسي العلم

"Dan ilmu agama telah dilupakan." Ilmu sudah hilang sebagaimana disebutkan dalam satu riwayat, dan dalam riwayat ini ada yang terhapus. Hilanglah ilmu dan datanglah orang-orang yang tidak tahu, lalu terjatuhlah mereka ke dalam kesyirikan. Inilah bukti pentingnya ilmu pengetahuan untuk memerangi kebodohan. Jika ilmu hilang, tinggallah manusia dalam kebatilan dan kebodohan.

***

Ibnul Qayyim berkata",

قال غير واحد من السلف : لما ماتوا عكفوا على قبورهم ثم صوروا تماثيلهم، ثم طال عليهم الأمد فعبدوهم.

“Banyak ulama salaf mengatakan, 'Setelah mereka itu meninggal, banyak orang berbondong-bondong mendatangi kuburan mereka, lalu mereka membuat patung-patung mereka, dan setelah waktu berjalan beberapa lama, patung-patung tersebut dijadikan sesembahan.'"

Keterangan :

Kemungkinan yang menggambar (membuat patung) orang-orang shalih ini adalah orang-orang yang beribadah kepada mereka. Kemudian waktu berlalu, keadaan berubah, dan setelah mereka meninggal, generasi mereka juga menyembah orang-orang shalih ini. Pengaruh bid'ah besar sekali baik bagi pelakunya maupun orang-orang setelahnya.

***

Diriwayatkan dari Umar bahwa Rasulullah  bersabda,

لاتطروني كما أطرت النصارى ابن مريم، انما انا عبد، فقولوا: عبد الله ورسوله.

"Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, 'Abdullah(hamba Allah) dan Rasulullah (utusan Allah)." (HR. Al Bukhari (3445) dari Umar.

Keterangan :

Nabi  memberi peringatan tentang bahaya Al Ithra' yaitu,

وهو مجاوزة الحد في المدح

sikap berlebihan dalam memuji.

dan ini tidak boleh. Misalnya, ucapan bahwa Nabi mengetahui perkara gaib atau Nabi  ikut mengatur alam ini. Boleh saja memuji Nabi Saw tetapi dalam batas yang wajar dan pantas. Misalnya, mengatakan bahwa beliau  adalah nabi yang paling mulia, rasul yang paling baik, dan penutup para nabi.

Contoh sikap ghuluw adalah ucapan Bushairi dalam syairnya. Ia memuji segala sesuatu, hanya saja ia tidak mengatakan anak Allah. Ini adalah kebodohan dan kesesatan. Kita tidak boleh memuji Nabi pada perkara-perkara khusus bagi Allah. Salah satu contoh yang menunjukkan bahwa Nabi tidak mengetahui yang gaib adalah ketika kalung Aisyah hilang dan ternyata ada di bawah unta, Nabi tidak tahu dan tidak bisa menemukannya.

***

Rasulullah bersabda,

إياكم والغلو، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو.

"Jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan. Sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah membinasakan orangorang sebelum kalian." (HR. Ahmad, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas )[2]

Keterangan :

الغلو : الزيادة ويقال على القدر

Ghuluw : tambahan. Artinya melebihi kadar yang semestinya.

وهي الزيادة في الدين بما لم يأذن به الله بل الواجب على النص بدون زيادة ولا نقصان فاذا زادوا وقعوا في الشرك او البدع

Maknanya secara syar'i adalah tambahan dalam urusan agama, padahal Allah tidak mengizinkannya. Yang harus kita jalani adalah bertindak sesuai dengan nash yang ada tanpa menambah dan mengurangi. Jika kita menambah, akan terjatuh ke dalam kesyirikan dan bid'ah.

Dalam Shahih Muslim, Ibnu Mas'ud ra mengatakan bahwa Rasulullah bersabda,

هلك المتنطعون

"Binasalah orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan." (diulangi tiga kali). Diriwayatkan oleh Muslim (2670) dari Abdullah bin Mas'ud.

Keterangan :

المتنطع : هو الغالي المتشدد المتكلف الذي يزيد في الأمور ولا يكفي بالحد المحدود.

Al Mutanaththi’ artinya orang yang ghuluw, yang berlebih-lebihan dalam membebani dirinya, yang suka menambah sesuatu (melebihi kadar semestinya). Dan tidak merasa cukup dengan aturan yang ditentukan.

Referensi : Syarah kitab tauhid karya Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz (hal. 100).


[1] Diriwayatkan oleh Bukhari (16) dan Muslim (43).

[2] Diriwayatkan oleh An Nasa'i (3057), Ibnu Majah (3029), Ahmad (1851), dan Ibnu Hibban (3871). Hadits

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

Contact Us