Pemanfaatan Seputar Pemanfaatan Daging dan Kulit Qurban

Pemanfaatan Seputar Pemanfaatan Daging dan Kulit Qurban

Pemanfaatan Seputar Pemanfaatan Daging dan Kulit Qurban

Pertama, Hukum Menjual Kulit Hewan Qurban

Hewan Qurban, baik daging, tulang, kulit, dan lainnya tidak boleh dijual atau digunakan untuk upah pengurusan hewan qurban. Berdasarkan hadits :

عَنْ قَتَادَةَ بْنِ الْنُعْمَانِ أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَامَ (فِي حَجَّةِ الْوَادَعِ) فَقَالَ: إنِّي كُنْتُ أَمَرْتُكُمْ أنْ لاَ تَأْكُلُوْا الْأَضَاحِيَ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ لِتَسَعَكُمْ وَإِنِّي أُحِلُّهُ لَكُمْ فَكُلُوْا مِنْهُ مَا شِئْتُمْ وَلاَ تَبِيْعُوْا لُحُوْمَ الْهَدْيَ وَالْأَضَاحِي فُكُلُوْا وَتَصَدَّقُوْا واسْتَمْتِعُوْا لِجُلُوْدِهَا وَلاَ تَبِيْعُوْاهَا وإنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لُحُوْمِهَا فَكُلُوْا إِنْ شِئْتُمْ.

Dari Qatadah bin Nu’man, “Bahwa sesungguhnya Nabi Saw berdiri (di waktu hari wada’), lalu beliau bersabda “Kami pernah memerintahkan kamu agar tidak memakan daging qurban lebih dari tiga hari, supaya daging itu merata diterima. Dan sekarang kami membolehkannya. Maka silahkan makan sekehendak kamu, dan janganlah menjual daging hadyu atau qurban, makanlah, sedekahkanlah, dan manfaatkanlah kulitnya, dan jangan dijual, kalau kamu diberi daging qurban, maka makanlah jika kamu mau.” (HR. Ahmad).

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: أَمَرَنِي رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ أَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ تَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُوْدِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ: نَحْنُ نُعْطِيْهِ مِنْ عِنْدِنَا.

Dari Ali, ia berkata, Rasulullah Saw memerintahkanku untuk mengurus hewan qurbannya, menshadaqahkan dagingnya, kulitnya, pelananya dan untuk tidak memberi upah kepada yang menyembelihnya dari hewan qurban itu. Ali berkata : “Kami akan memberinya upah dari harta kami sendiri.” (HR. Muslim)[1]

Namun apabila sudah menjadi status hak milik (sudah dibagikan) maka bebas dari keterikatan untuk diberikan, dimakan, atau dijual.

Kedua, Bagaimana kalau kulit Qurban diberikan untuk keperluan Masjid ?

Jika kita perhatikan keterangan-keterangan baik Al-Qur’an maupun hadits bahwa daging Qurban dan lainnya diperuntukkan bagi perorangan bukan untuk lembaga.

Ketiga, Teknis pembagian kulit

Seringkali muncul permasalahan di lapangan apabila kulit dipotong-potong kecil, kemungkinan besar tidak bisa dimanfaatkan atau dimakan. Adapun pembagian itu urusan teknis, artinya diserahkan kepada kita bagaimana cara memanfaatkannya. Karena itu satu kulit boleh diberikan pada satu orang atau beberapa orang tanpa dipotong-potong.

Maka setelah menjadi milik seorang atau beberapa orang sudah berubah status dari hewan qurban menjadi hak milik, apabila sudah jadi hak milik maka tidak terikat dengan larangan menjual.

Keempat, Hak Qurbani

وَالْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَكُمْ مِّنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا صَوَاۤفَّۚ فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ كَذٰلِكَ سَخَّرْنٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Dan unta-unta itu Kami jadikan untuk-mu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makanlah orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur. (QS. Al-Hajj ayat 36).

Berdasarkan ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa qurbani boleh memakan sebagian dari qurban itu, adapun batasan sepertiga itu tidak berdasarkan dari sama sekali.

Orang kaya Menjadi Mustahik Qurban

Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa mustahiq (yang berhak) atas daging qurban ittu terbagi menjadi dua golongan :

Pertama, Qurbani (yang berqurban), yaitu diungkapkan pada Quran surat al-Hajj ayat 36 :

فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا

“Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah”. Perintah ini ditujukan kepada qurbani.

Kedua, Non qurbani (yang tidak berqurban), yaitu diungkapkan pada surat al-Hajj ayat 28 dan al-Hajja ayat 36 :

وَأَطْعِمُوْا الْبَائِسَ اَلْفَقِيْرَ

“Dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara (sangat fakir).”

وَأَطْعِمُوْا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ

“Dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.”

Kelima, Kriteria Al-Baa’is Al Faqir

Kata Imam Al-Maraghi :

وَالْبَائِسُ : اَلَّذِي أصَابَهُ الْبُؤْسُ وَالشَّدَةُ

“Al-Baa’is ialah orang yang mendapatkan kesengsaraan dan kesusahan.” (Lihat, Tafsir al-Maraghi, XVII: 106)

Kata Imam Qurthubi, “Kriteria Al-Baa’is dapat digunakan pula bagi yang tertimpa musibah, meskipun dia bukan orang fakir.” (Lihat, Tafsir al-Qurthubi, XII: 49).

Menurut Imam Al-Maraghi, maka firman Allah Swt,

فَكُلُوْا مِنْهَا وَأَطْعِمُوْا الْبَائِسَ اَلْفَقِيْرَ

“Berilah untuk dimakan orang-orang yang sengsara (sangat fakir).”

أَيْ فَاذْكُرُوْا اسْمَ اللهِ عَلَى ضَحَايَاكُمْ وَكُلُوْا مِنْ لُحُوْمِهَا وَأَطْعِمُوْا ذَوِي الْحَاجَةِ الْفُقَرَاءِ الَّذِيْنَ مَسَّهُمُ الضَّرُّ وَالْبُؤْسُ.

Artinya, sembelihlah hewan qurban itu dengan menyebut nama Allah, dan makanlah sebagian darinya dan berilah makan orang-orang yang membutuhkan, yaitu orang-orang fakir yang mendapatkan kesengsaraan dan kesusahan.” (Lihat, Tafsir Al-Maraghi, XVII : 108).

Imam Syawkani menjelaskan fungsi penggunaan kata Al-Faqir yang menyertai kata Al-Baa’is. Kata Imam Syawkani :

اَلْبَائِسُ: ذُوْ الْبُؤْسِ وَهُوَ شِدَّةُ الْفَقْرِ فَذُكِرَ الْفَقِيْرُ بَعْدَهُ لِمَزِيْدِ الْإِيْضَاحِ.

Al-Bais ialah orang yang sengsara, yaitu sangat fakir. Maka kata Al-Faqir disebut setelah kata Al-Baa’is untuk menambah penjelasan.” (Lihat, Tafsir Fath Al-Qadir, V: 110)

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa mustahiq non-qurbani versi surat Al-Hajj ayat 28, hanya satu golongan dengan kategori Al-Baa’is Al-Faqiir, yaitu orang yang sangat fakir baik karena penyakit, bencana, maupun kehabisan bekal dalam perjalanan. (Lihat, Zahrah At-Tafasir, IX : 4975).

Kriteria Al-Qani’ wa Al-Mu’tar

Al-Raghib Al-Ashfahani menjelaskan, Al-Qani’, yaitu orang yang ridha dengan sesuatu yang dimilikinya dan tidak pernah meminta. Meskipun suatu saat iaa terpaksa harus meminta untuk memenuhi kebutuhannya, ia tidak pernah memaksa. Al-Mu’tarr, yaitu orang yang berani meminta untuk memenuhi kebutuhannya, bahkan terkadang meminta secara memaksa. (Lihat, Mufradat fi Gharib al-Qur’an, hal. 429 dan 340)

Penjelasan Ar-Raghib di atas sesuai dengan penjelasan Ibnu Abbas. Sebagai berikut :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: الْقَانِعُ الْمُتَعَفِّفُ وَالْمُعْتَرُّ السَّائِلُ.

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Al-Qani’ ialah orang-orang yang ridha dengan sesuatu yang dimilikinya dan tidak pernah meminta. Sedangkan Al-Mu’tarr ialah orang yang berani meminta.” (HR. Ibnu Abi Hatim, Tafsir Ibnu Abi Hatim, IX: 383)

Berbagai penjelasan di atas menunjukkan bahwa mustahiq Non Qurbani versi surat Al-Hajj ayat 28 dan 36 terbagi menjadi tiga golongan dengan kategori :

1.     Al-Baa’is Al-Faqir, yaitu orang yang sangat fakir, baik karena penyakit, bencana, maupun kehabisan bekal dalam perjalanan.

2.     Al -Qani’, baik miskin maupun tidak. Meskipun galibnya orang miskin.

3.     Al-Mu’tarr, baik miskin maupun tidak.

Kategori ini sesuai dengan praktek pembagian daging qurban yang dilakukan oleh Nabi, juga petunjuk beliau kepada orang yang diberi amanat mengurusnya, sebagaimana diterangkan dalam riwayat sebagai berikut :

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: لَمَّا نَحَرَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بُدْنَهُ نَحَرَ بِيَدِهِ ثَلاَثِيْنَ وَأَمَرَنِي فَنَحَرْتُ سَائِرَهَا وَقَالَ اقْسِمْ لُحُوْمَهَا بَيْنَ النَّاسِ وَجُلُوْدَهَا وَجِلاَلَهَا وَلاَ تُعْطِيَنَّ جَازِرًا مِنْهَا شَيْئًا.

Dari Abdurrahman bin Abu Laila, ia berkata, “Saya mendengar Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya Nabi Saw menyuruhnya untuk mengurusi penyembelihan unta beliau, (sebagai hewan qurban) dan menyuruhnya agar dia membagi-bagikan seluruh bagiannya (qurbannya) baik berupa daging, kulit maupun pelananya kepada orang-orang miskin. Dan dagingnya tidak boleh diberikan kepada tukang potong sedikitpun sebagai upah.”

Dalam riwayat lain diterangkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُرْطٍ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِنَّ أعْظَمَ الْأَيّامِ عِنْدَ اللهِ تَبَارَكَ وَتعَالَى يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ قَالَ عِيْسَى قَالَ ثَوْرٌ : وَهُوَ الْيَوْمُ الثَّانِي وَقَالَ: وَقُرِّبَ لِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَدَنَاتٌ خَمْسٌ أوْ سِتٌّ فَطِقْنَ يَزْدَلِفْنَ إلَيْهِ بِأَيَّتِهِنَّ يَبْدَأُ فَلَمَّا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا قَالَ: فَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ خِفِيَّةٍ لَمْ أَفْهَمْهَا فَقُلْتُ : مَا قَالَ، قَالَ: مَنْ شَاءَ أقْتِطَعَ.

Dari Abdullah bin Qurth, dari Nabi Saw, beliau bersabda, “Sesungguhnya hari yang teragung di sisi Allah tabarak awa ta’ala adalah hari Nahr (hariraya Qurban), kemudian hari setelah hari Nahr”. Isa berkata, Tsaur berkata, “Yaitu hari kedua”. Ia berkata, “Dan telah didekatkan kepada Rasulullah Saw lima atau enam ekor unta. Unta-unta tersebut mendekat kepadanya, beliau memulai dengan unta yang manapun. Kemudian tatkala telah terjatuh beliau mengucapkan sebuah kalimat yang samar, saya tidak memahaminya. Lalu saya katakan, “Apakah yang beliau katakan?” Ia mengatakan, “Barangsiapa yang menginginkan maka boleh ia memotongnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Baihaqi, Hakim, Ibnu Khuzaimah dan Thabrani)[2]

Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi Saw tidak membatasi mustahiq Qurban non Qurbani itu hanya fakir-miskin, bahkan dengan kalimat :

مَنْ شَاءَ أقْتِطَعَ

“Barangsiapa yang menginginkan maka boleh ia memotongnya.” Menunjukkan bahwa siapa pun pada dasarnya berhak memperoleh daging qurban.

Kesimpulan :

Orang kaya boleh memakan daging qurban namun fakir miskin lebih diutamakan.

Referensi : Masalah seputar Idul Adha dan Qurban, hal. 78 - 89.


[1] Shahih Muslim, kitab adhahi, bab ash-shadaqah bi luhumil hadyi wa juludiha no. 3241

[2] HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV:350, No. 19098, Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, II: 148, No. 1765, Baihaqi dalam Sunan Kubra, V: 237, No. 9994, Hakim dalam Mustadrak, IV: 246, No. 7522, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 294, No. 2917, Thabrani dalam Mu’jam Ausath, III: 44, No. 2421. 

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

Contact Us