An Najasah (Najis)
Najis adalah kotoran yang diwajibkan bagi setiap
Muslim untuk membersihkan dan mensucikan darinya jika mengenai sesuatu. Allah
berfirman,
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
"Dan pakaianmu bersihkanlah." (QS. Al Mudatsir [74] ayat 4).
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (QS. Al Baqarah [2] ayat 222).
Rasulullah Saw bersabda,
الطهور شطر الايمان
"Bersuci adalah sebagian dari iman."
Terkait dengan najis, ada beberapa permasalahan
yang akan diuraikan lebih detail sebagaimana berikut:
Macam-macam Najis
Daftar Isi:
1. Bangkai
الميتة: وهي ما مات حتف أنفه: أي من غير
تذكية ، ويلحق بها ما قطع من الحي
Al Maitatu merupakan binatang yang mati dengan
tanpa proses penyembelihan, sebagaimana yang telah ditentukan syari'at Islam.
Anggota tubuh binatang yang dipotong ketika masih hidup juga masuk dalam
kategori bangkai. Sebagai dasar atas hal tersebut adalah hadits Abu Waqid al
Laitsi, ia berkata, Rasulullah saw bersabda,
ما قط من البهيمة وهي حية فهو ميتة
"Apa saja anggota tubuh hewan yang dipotong
sedangkan hewan itu masih hidup, maka ia termasuk bangkai." (HR. Abu Dawud
dan Tirmidzi).
رواه أبو داود والترمذي وحسنه، قال:
والعمل على هذا عند أهل العلم
Imam Tirmidzi berkata, Para ulama mengamalkan
ketentuan isi hadits."
Namun, ada beberapa pengecualian bangkai dari
kondisi di atas :
a.
Ikan dan
Belalang
Kedua bangkai
hewan tersebut tetap suci. Hal ini berdasarkan pada hadits Ibnu Umar Ra, ia
berkata, Rasulullah Saw bersabda,
أحل لنا ميتتان ودمان: أما الميتتان فالحوت والجراد،
وأما الدمان فالكبد والطحال) رواه أحمد والشافعي وابن ماجه والبيهقي والدارقطني،
"Dihalalkan
bagi kita dua jenis bangkai dan darah. Adapun dua jenis bangkai yang di maksud
adalah bangkai ikan dan belalang. Sedangkan dua jenis darah adalah hati dan
ampela." (HR. Ahmad, Syafi'i, Ibnu Majah, Baihaqi dan Daruquthni).
والحديث ضعيف، لكن الامام أحمد صحح وقفه، كما قاله أبو
زرعة وأبو حاتم، ومثل هذا له حكم الرفع، لان قول الصحابي: أحل لنا كذا وحرم علينا
كذا
Hadits ini
dhaif akan tetapi Imam Ahmad menshahihkan kemauqufannya, sebagaimana yang
dikatakan oleh Abu Zur'ah, Abu Hatim. Hadits semacam ini memiliki hukum marfu'
karena perkataan shahabat, "Dihalalkan untuk kami hal ini dan diharamkan
hal ini untuk kami."
b.
Bangkai
binatang yang darahnya tidak mengalir, seperti semut, lebah dan lainnya.
Status bangkai binatang semacam ini suci. Apabila ia jatuh mengenai sesuatu dan
mati di dalamnya, maka ia tidak menjadikan benda yang terkena olehnya menjadi
najis.
قال ابن المنذر: لا أعلم خلافا في طهارة ما ذكر إلا ما
روي عن الشافعي والمشهور من مذهبه أنه نجس، ويعفى عنه إذا وقع في المائع ما لم
يغيره
Ibnu Mundzir
berkata : Sepengetahuan saya, tidak terdapat perbedaan pendapat di antara para
ulama mengenai kesucian air yang terkena bangkai binatang yang tidak
mengalirkan darah. Tetapi, ada satu pendapat yang diriwayatkan oleh Syafi'i dan
ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhabnya, bahwa bangkai binatang
seperti ini adalah najis. Apabila ada binatang yang jatuh ke benda cair, maka
hukumnya dimaafkan selama tidak mengalami perubahan zatnya.
c.
Tulang,
tanduk, bulu, kuku dan kulit bangkai serta benda-benda yang sejenis dengannya, juga suci.
Sebab, pada dasarnya semua benda- sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya
- suci dan tidak terdapat satu dalil pun yang menyatakan kenajisannya.
قال الزهري: في عظام الموتى نحو الفيل وغيره: أدركت ناسا من سلف العلماء يمتشطون بها ويدهنون فيها، لا يرون به
بأسا، رواه البخاري،
Az-Zuhri memberi komentar mengenai tulang-belang
bangkai, seperti gading gajah dan lainnya, ia berkata, "Saya pernah
melihat sebagian ulama salaf mengambilnya, kemudian menjadikannya sebagai sikat
dan minyak rambut. Mereka menyatakan bahwa apa yang dilakukannya merupakan
sesuatu yang lazim." (HR. Al Bukhari).
وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: تصدق على مولاة لميمونة بشاة
فماتت، فمر بها رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: (وهلا أخذتم إهابها فدبغتموه فانتفعم به؟ فقالوا: إنها ميتة، فقال: (إنما حرم أكلها) رواه الجماعة إلا أن ابن ماجه ).
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, Maula Maimunah
bersedekah kepadaku seekor kambing. Tiba-tiba ia mati. Suatu ketika, Rasulullah
Saw melintasi bangkai kambing tersebut dan bertanya, 'Apakah kamu mengambil
kulitnya lalu menyamaknya, kemudian memanfaatkannya?, Para shahabat berkata,
"Sesungguhnya (kambing itu) sudah menjadi bangkai?. Lantas Rasulullah Saw
bersabda, "Yang diharamkan hanyalah memakannya saja." (HR. al-Jama’ah[1] kecuali Ibnu Majah).
Di dalam riwayatnya disebutkan "dari
Maimunah", sementara riwayat Imam Bukhari dan Nasai juga tidak menyebutkan
masalah 'menyamak kulit'.
Dari
Ibnu Abbas ra, ia pernah membaca ayat berikut ini,
قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى
طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا
اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ
بِهٖۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ
رَّحِيْمٌ
Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam
apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang
ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang
mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih
bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan
dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha
Penyayang. (QS. al-An'am [6] ayat 145).
وَقَالَ: إِنَّمَا حُرِّمَ مَا يُؤْكَلُ مِنْهَا وَهُوَ اللَّحْمُ، فَأَمَّا
الْجِلْدُ وَاْلقِدُّ وَالسِّنُ وَالْعَظْمُ وَالشَعْرُ وَاْلصُوْفُ فَهُوَ حَلاَلٌ)
، رواه ابن المنذر وابن حاتم
Lebih
lanjut, Ibnu Abbas menjelaskan, "Yang diharamkan hanya bagian-bagian yang
dapat dimakan, yaitu daging. Sedangkan kulit, lemak, gigi, tulang, rambut dan
bulut binatang tersebut tetap halal.". (HR. Ibnu Mundzir dan Ibnu Hatim).
Demikian
juga dengan air susu bangkai, ia suci. Ketika para sahabat menaklukkan negeri
Irak, mereka memakan keju orang-orang Majusi yang terbuat dari susu, padahal
(hasil) sembelihan mereka dianggap sama seperti bangkai. Dalam sebuah riwayat
dari Salman al-Farisi ra, ia pernah ditanya tentang keju, lemak dan bulu. ia
menjawab, 'Yang dimaksud dengan halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam
kitab-Nya. Dan yang dimaksud dengan haram adalah apa yang diharamkan Allah
dalam kitab-Nya, sementara perkara-perkara yang tidak dijumpai keterangannya,
maka itu merupakan sesuatu yang dimaafkan."
Kita mengetahui bahwa pertanyaan ini berkaitan dengan keju milik orang-orang Majusi, yaitu ketika Salman menjawab sebagai Gubernur pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab di wilayah Mada'in.
[1][1]
(Bukhari (1492) dan (2221), Muslim (363), Abu Dawud (4120), Nasai (4245), Ibnu
Majah (3610).
2. Darah
Semua
jenis darah hukumnya haram, baik darah yang mengalir maupun tidak. Contoh darah
yang mengalir adalah darah dari hewan yang disembelih dan darah haid. Tetapi,
darah yang sedikit jumlahnya masih dimaafkan.
Allah berfirman,
اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا
"....atau
darah yang mengalir...." (QS. al-An'am [6] ayat 145).
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Juraij
berkata,
اَلْمَسْفُوْحُ الَّذِيْ يُهْرَاقُ. وَلاَ بَأْسَ بِمَا كَانَ
فِي الْعُرُوْقِ مِنْهَا، أَخْرَجَهُ اِبْنُ الْمُنْذِرِ
"Kata
al-Masfuh dalam ayat di atas maksudnya adalah darah yang mengalir."
Sementara
darah yang berada dalam urat dan rongga tulang daging hewan yang dapat dimakan
dagingnya masih dimaafkan.
Ibnu Mundzir meriwayatkan dari Abu Mijlaz,
فِي اْلدَمِ، يَكُوْنُ فِي مَذْبَحِ الشَّاةِ أَوْ
الدَّمِ يَكُوْنُ فِي أَعْلَى القدر؟ قَالَ: لاَ بَأْسَ، إِنَّمَا نَهَى عَنِ الدَّمِ الْمَسْفُوْحِ، أَخْرَجَهُ عَبْدُ
بْنُ حُمَيْدٍ وَأَبُوْ الشَّيْخِ.
Tentang
darah yang terdapat pada bekas sembelihan kambing atau darah yang ada pada saat
dagingnya dimasak dalam periuk. Ia menjawab, "Tidak mengapa, sebab yang
dilarang hanyalah darah yang mengalir." (HR. Abdul Hamid dan Abu
Asy-Syekh).
Dari
'Aisyah ra, ia berkata,
كُنَّا
نَأْكُلُ اللَّحْمَ وَالدَّمَ خُطُوْط عَلَى اْلقدر
"Kami
biasa memakan daging, sedangkan darahnya masih nampak jelas bagaikan lilitan
benang dalam periuk."
Al-Hasan berkata,
مَا
زَالَ الْمُسْلِمُوْنَ يُصَلُّوْنَ فِي جَرَاحَاتِهِمْ، ذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ،
"Kaum
Muslimin tetap mengerjakan shalat, meskipun sebagian anggota tubuh mereka
terdapat luka yang mengalir darah." (HR. Bukhari).
وَقَدْ
صَحَّ أَنَّ عُمَرَ رضي الله عنه صَلَّى وَجَرْحُهُ يَشْعَبُ دَمًا، قَالَهُ
الْحَافِظُ فِي الْفَتْحِ: وَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه لاَ يَرَى بَأْسًا بِالقَطْرَةِ
وَالْقَطْرَتَيْنِ فِي الصَّلاَةِ.
Dalam
riwayat yang shahih dari Umar ra, disebutkan bahwa beliau pernah shalat
sedangkan lukanya masih mengalirkan (yatsabu') darah, sebagaimana yang dikatakan
oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Bari : Abu Hurairah ra,
berpendapat, bahwa seseorang tetap dibolehkan mengerjakan shalat, jika didapati
se-tetes datau dua tetes darah.
وَأَمَّا
دَمُ الْبَرَاغِيْثِ وَمَا يَتَشَرَّحُ مِنَ الدَمَامَلِ فَإِنَّهُ يُعْفَى عَنْهُ
لِهَذِهِ الْاَثَارِ وَسُئِلَ أَبُوْ مِجْلَزٍ عَنِ الْقَيْحِ يُصِيْبُ الْبَدَنِ
وَالثَّوْبِ؟ فَقَالَ: لَيْسَ بِشيئٍ، وَإِنَّمَا ذَكَر اللَّهُ الدَّمَ وَلَمْ
يَذْكُرْ الَقْيْح.
Darah
nyamuk dan darah yang menetes dari bisul juga dimaafkan berdasarkan berbagai
atsar yang telah disebutkan sebelumnya. Abu Mijlaz pernah ditanya mengenai
nanah yang bercampur darah yang mengenai tubuh atau pakaian. Ia menjawab,
"Hal itu tidak mengapa, sebab Allah hanya menyebutkan darah, bukan
nanah."
وَقَالَ ابْنُ تَيْمِيَّة: وَيَجِبُ غَسْلُ الثَّوْبِ
مِنَ المدة وَالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، قَالَ: وَلَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى
نَجَاسَتِهِ، انتهى
Ibnu Taimiyah mempunyai pendapat lain. ia
berkata, "Wajib mencuci pakaian yang terkena nanah beku dan nanah yang
bercampur darah. Hal ini disebabkan tidak ada dalil yang menjelaskan tentang
hukum kenajisannya".
وَالْاَوْلَى أَنْ يَتَّقِيْهِ الِانْسَانُ بِقَدْرِ الْاِمْكَانِ.
Meskipun demikian, kita harus selalu berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari benda-benda tersebut.
3. Daging Babi
Allah
Swt berfirman,
قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى
طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا
اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ
بِهٖۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ
رَّحِيْمٌ
Katakanlah,
“Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan
memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati
(bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau
hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa
bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh,
Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. al-An'am [6] ayat
145).
Dengan
kata lain, semua yang disebutkan dalam ayat ini merupakan sesuatu yang
menjijikkan dan tidak disenangi oleh kebanyakan orang. Kata ganti 'Hu (dia)'
dalam ayat di atas kembali pada ketiga jenis benda yang telah disebutkan
sebelumnya, yaitu bangkai, darah yang mengalir dan daging babi.
Syekh Sayyid Sabiq mengatakan,
وَيَجُوْزُ
الْحَرَزُ بِشَعْرِ الْخِنْزِيْرِ فِي أَظْهر قَوْلِي الْعُلَمَاءِ.
Menurut pendapat ulama yang kuat, bulu babi boleh dijadikan benang jahit.
4. Muntah, 5. Air Kencing, 6. Kotoran Manusia
Para
ulama sepakat bahwa semua benda di atas (muntah, air kencing dan kotoran
manusia pada umumnya) adalah najis. Tapi untuk muntah yang sedikit, ia masih
dimaafkan. Begitu juga halnya dengan kencing bayi laki-laki yang hanya meminum
air susu ibu (ASI), cara membersihkannya cukup dengan memercikkan air.
Adapun
dalilnya adalah Ummu Qais ta,
أَنَّهَا أَتَتْ الَنَّبِيَّ
صلى الله عليه وسلم بِابْنٍ لَهَا لَمْ يَبْلُغ أَنْ يَأْكُلَ الطَّعَامَ، وَأَنَّ
اِبْنَهَا ذَاكَ بَالَ فِي حِجْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَدَعَا رَسُوْلُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ عَلَى ثَوْبِهِ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
غَسْلاً. متفق عليه
"Dia
pernah mendatangi Rasulullah Saw dengan membawa bayi laki-lakinya yang belum
memakan makanan apapun. Saat itu, sang bayi kencing di pangkuan beliau. Lalu
Rasulullah Saw meminta air dam memercikkannya (an-Nadhu) pada pakaian yang
terkena kencing bayi."
Ali
ra, berkata, Rasulullah Saw bersabda,
بَوْلُ
الْغُلاَمِ يُنْضَحُ عَلَيْهِ، وَبَوْلُ الْجَارِيَةِ يُغْسَلُ) قَالَ قَتَادَةُ: وَهَذَا
مَا لَمْ يَطْعَمَا فَإِنْ طَعَمَا غَسَلَ بَوْلَهُمَاَ، ورواه أحمد - وهذا لفظه -
وأصحاب السنن إلا النسائي
"Kencing
bayi laki-laki cukup dipercikkan air padanya, sedangkan kencing bayi perempuan
hendaklah dicuci." Qatadah berkata, "Kondisi yang
sedemikian itu, selama bayi belum diberi makan. Tetapi, jika
sudah diberi makan sebagaimana layaknya orang dewasa, maka
(tempat yang terkena kencingnya) wajib dicuci'(HR Ahmad). Redaksi
hadits di atas sesuai dengan riwayat Imam Ahmad dan Ashhab as-Sunan kecuali
Nasai, al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Fath Al-Bari. Sanad hadits
ini shahih.
Jadi,
cara menyucikan kencing laki-laki yang belum memakan makanan apa pun selain air
susu ibunya cukup dengan memercikkan air pada tempat yang terkena air
kencingnya. Tapi, apabila bayi yan gsudah diberi makan, para ulama sepakat,
bahwa air kencingnya harus dicuci (sebagaimana layaknya air kencing orang
dewasa). Mungkin salah satu alasan, mengapa air kencing bayi laki-laki cukup
hanya dengan memercikkan air padanya adalah, karena banyak orang yang ingin
mengendongnya. Sedangkan bayi laki-laki sering kali kencing, sehingga apabila
diwajibkan mencuci pakaian yang terkena kencingnya, tentu hal ini akan memberi
kesusahan dan kesulitan. Karenanya, jika bayi laki-laki kencing, cara untuk
menyucikannya cukup dengan memercikkan air.
7. Wadi
قَالَتْ عَائِشَةُ: وَأَمَّا الوَدِيُّ فَإِنَّهُ يَكُوْنُ بَعْدَ الْبَوْلِ فَيَغْسِلُ
ذَكَرَهُ وَأُنْثَيَيْهِ وَيَتَوَضَّأُ وَلاَ يَغْتَسِلُ، رواه ابن المنذر
Aisyah
ra, berkata, "Wadi keluar setelah kencing. Karena itu hendaklah seseorang
mencuci kemaluannya, lalu berwudhu dan tidak perlu mandi." (HR. Ibnu
Mundzir).
Mengenai
Sperma, wadi dan madzi, Ibnu Abbas ra, mengatakan,
أَمَا
اْلمَنِّيُّ ففِيْهِ الْغُسْلُ، وَأَمَّا الْمَذِيُّ وَالْوَدِيُّ فِيْهِمَا
إِسْبَاغُ الطُهُوْرِ. رواه الاثرم والبيهقي
"Keluarnya
(mani) Sperma mewajibkan mandi (besar). Sementara keluarnya madzi dan wadi
tidak mewajibkan mandi dan orang yang bersangkutan tetap dalam keadaan suci
(dari hadats besar)." (HR. Atsram dan Baihaqi).
Sedangkan redaksi Baihaqi adalah,
وَأَمَّا الْوَدِيُّ وَاْلمَذِيُّ فَقَالَ: اِغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ
مَذَاكِيْرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ فِي الصَّلاَةِ.
"Jika
kamu keluar wadi dan madzi, maka cucilah kemaluanmu dan berwudhulah sebagaimana
kamu berwudhu untuk mengerjakan shalat."
8. Madzi
Madzi
adalah air berwarna putih berldendir yang keluar akibat mengkhayal bersetubuh
atau efek dari cumbu rayu. Terkadang, seseorang tidak merasakan apa-apa pada
saat keluarnya madzi. Madzi dapat keluar dari kaum laki-laki dan kaum
perempuan, tapi biasanya kaum perempuan lebih banyak mengeluarkan madzi. Para
ulama sepakat bahwa madzi hukumnya najis. Dan jika mengenai anggota badan, maka
wajib dicuci. Jika terkena pakaian, cara menyucikannya cukup dengan memercikkan
air padanya, sebab madzi termasuk bentuk najis yang sulit dihindari. Di samping
itu, madzi juga sering dialami para remaja. Karenanya, madzi lebih layak
mendapatkan keringanan dibandingkan air kencing bayi laki-laki sekali pun.
Dari
Ali ra, ia berkata,
كُنْتُ
رَجُلاً مَذَّاءً فَأَمَرْتُ رَجُلاً أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه
وسلم، لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَسَأَلَ، فَقَالَ: تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ. رواه البخاري وغيره.
:Aku
adalah seorang laki-laki yang sering keluar madzi. Kemudian aku menyuruh
seseorang agar menanyakan hal ini kepada Rasulullah Saw. Karena aku malu
bertanya secara langsung, mengingat posisi puterinya (sebagai isteriku). Ia
lantas menanyakan kepada Rasulullah Saw dan beliau menjawab, "Berwudhulah
dan cucilah kemaluanmu." (HR. Bukhari dan yang lainnya).
Dari
Sahl bin Hanif ra, ia berkata,
كُنْتُ أَلْقَى مِنَ الْمَذِّيْ شِدَّةً وَعنَاءً، وَكُنْتُ أَكْثَرَ
مِنْهُ الْاِغْتِسَالَ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُوْلِ الله صلى الله عليه
وسلم فَقَالَ: (إِنَّمَا يُجْزِيْكَ مِنْ ذَلِكَ الوُضُوْءُ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ
اللهِ، كَيْفَ بِمَا يُصِيْب ُثوَبْيِ مِنْهُ؟ قَالَ (يَكْفِيْكَ أَنْ تَأْخُذَ كَفًا
مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحُ بِهِ ثَوْبَكَ حَيْثُ أَنَّهُ قَدْ أَصَابَ مِنْهُ. رواه
أبو داود وابن ماجه والترمذي وقال حديث حسن صحيح
"Aku
sering menghadapi kesulitan dengan sering keluar madzi, sehingga aku sering
mandi. Akhirnya, aku ceritakan keadaan ini kepada Rasulullah Saw, lalu beliau
bersabda, "Kamu cukup dengan berwudhu." Aku bertanya lagi, wahai
Rasulullah, bagaimana cara membersihkannya jika mengenai pakaianku? Beliau
menjawab, "Cukup dengan mengambil air, lalu memercikkannya ke pakaianmu
yang terkena madzi." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi, ia berkata,
hadits ini hasan shahih).
Dalam
hadits ini terdapat Muhammad bin Ishaq. beliau dianggap sebagai perawi yang
dhaif, jika meriwayatkan hadits dengan menggunakan redaksi 'an-ana (dari perawi
si fulan). Sebab, hadits di atas terdapat perawi yang mudallas, namun pada
konteks ini, ia meriwayatkan hadits dengan redasi haddatsana (telah
menceritakan kepada kami), karenanya, ia tidak dianggap sebagai dha'if.
Al-Atsram ra juga meriwayatkan hadits ini
dengan redaksi,
أَلْقَى مِنَ الْمَذِيِّ
عناء فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ.
فَقَاَل: يَجْزِئُكَ
أَنْ تَأْخُذَ حَفْنَةً مِنْ مَاءٍ فَتَرُشُّ عَلَيْهِ.
"Aku
banyak menemukan kesusahan karena madzi sering keluar. Lalu aku menemui
Rasulullah Saw dan menceritakan masalah yang aku alami. Beliau lantas bersabda,
'Kamu cukup mengambil air, lalu memercikkan padanya."
9. Mani (Sperma)
Sebagian
ulama berpendapat bahwa sperma adalah najis. Sebagian yang lain, dan ini yang
paling kuat, berpendapat bahwa sperma adalah suci. Meskipun demikian, tetap
dianjurkan untuk mencuci jika masih basah, dan jika sudah mengering, hendanya
dikorek.
كُنْتُ أَفْرَكَ الْمَنِيَّ مِنْ
ثَوْبِ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ يَابِسًا وَأَغْسِلُهُ إِذَا
كَانَ رَطْبًا) رواه الدارقطني وأبو عوانة والبزار
Aisyah
ra, berkata, "Aku sering mengorek sperma dari pakaian Rasulullah Saw, jika
sudah kering, dan aku mencucinya jika masih basah." (HR. Daruqutni, Abu
'Awanah dan Bazzar).
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata,
سُئِلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْمَنِيِّ
يُصِيْبُ الثَّوْبَ؟ فَقَالَ: إِنَمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمَخَاطِ وَالبُصَاقِ، وَإِنَّمَا يَكْفِيْكَ
أَنْ تَمْسَحَهُ بَخِرْقَةٍ أَوْ بِإِذْخَرَةٍ) رواه الدارقطني
والبيهقي والطحاوي،
Rasulullah
Saw ditanya mengenai Sperma yang mengenai pakaian. Beliau menjawab, "Sesungguhnya posisinya tak ubahnya ingus
dan dahak. Jadi, kamu cukup mengoreknya dengan sehelai kain atau
dedaunan." (HR. Daruquthni, Baihaqi dan Thahawi).
Hadits ini masih diperdebatkan oleh para ulama, apakah ia termasuk hadits marfu' atau hadits mauquf.
10. Kencing dan Kotoran Binatang yang Tidak Dimakan Dagingnya
Kencing
dan kotoran binatang yang dagingnya tidak boleh dimakan hukumnya adalah najis.
Hal
ini berdasarkan pada hadits Ibnu Mas'ud ra, ia berkata,
أَتَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْغَائِطَ، فَأَمَرَنِي أَنْ
آتِيْهِ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ، فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ، وَالْتَمَسْتُ الثَالِثَ فَلَمْ
أَجِدْهُ، فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا، فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى
الرَّوْثَةَ وَقَاَل: هَذَا رِجْسٌ . رواه البخاري وابن ماجه وابن خزيمة
"Ketika
Rasulullah Saw hendak ke kamar kecil, beliau menyuruhku menyediakan tiga biji
batu. Namun, aku hanya menemukan dua buji. Lalu aku mencari satu batu lagi, dan
tidak menemukannya. Akhirnya, aku pun mengambil kotoran hewan (yang sudah
kering) dan menyerahkannya kepada beliau. beliau hanya mengambil kedua batu,
dan membuang kotoran hewan seraya berkata, "Ini adalah benda najis."
(HR. Bukhari, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah).
Dalam
riwayat lain disebutkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda,
إِنَّهَا
رِكْسُ إِنَّهَا رَوْثَةُ حِمَارٍ.
"Sesungguhnya
benda ini adalah najis, dan ia adalah kotoran keledai."
Adapun
hukum kotoran hewan, jika ia sedikit, maka hukumnya dimaafkan, sebab untuk
menghindar darinya sulit dilakukan.
قاَلَ
الْوَلِيْدُ بْنُ مُسْلِمٍ: قَلَتْ لِلْاَوْزَاعِيُّ: فَأَبْوَالُ الدَّوَابِ مِمَا لاَ يُؤْكَلُ
لَحْمُهُ كَاْلبَغَلِ، وَالْحِمَارِ وَالْفَرَسِ؟ فَقَالَ: قَدْ كَانُوْا يَبْتَلُوْنَ
بِذَلِكَ فيِ مَغَازِيْهِمْ فَلاَ يَغْسِلُوْنَهُ مِنْ جَسَدٍ أَوْ ثَوْبٍ.
Al-Walid
bin Muslim berkata: Saya pernah bertanya kepada al-Auza'i, "Apa hukumnya
benda yang terkena kencing binatang yang tidak dapat dimakan dagingnya seperti,
keledai dan kuda?, Al-Auza'i menjawab, "Umat Islam kerap menghadapi
permasalahan ini khususnya pada saat berada dalam peperangan. Mereka tidak
mencuci kotoran tersebut apabila terkena pakaian atau tubuh mereka disebabkan
kesulitan yang didapati."
Di
sisi lain, Imam Malik, Ahmad dan segolongan ulama madzhab Syafi'i berpendapat,
bahwa kencing dan kotoran hewan yang dapat dimakan dagingnya adalah suci.
قَالَ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: لَمْ يَذْهَبْ أَحَدٌ مِنَ
الصَّحَابَةِ إِلَى الْقَوْلِ بِنَجَاسَتِهِ، بَلْ اَلقَوْلُ بِنَجَاسَتِهِ قَوْلُ
مُحْدَثٌ لاَ سَلَفَ لَهُ مِنَ الصَّحَابَةِ.
Ibnu
Taimiyah berkata, "Tidak seorang pun di antara shahabat yang mengatakan
bahwa kencing dan kotoran hewan yang dapat dimakan dagingnya adalah najis.
Sementara pendapat yang menyatakan najis merupakan ucapan yang mengada-ngada
dan tidak berdasarkan pada pendapat para sahabat.
Anas
ra, berkata,
قَدِمَ
أُنَاسُ مِنْ عُكَلٍ أَوْ عُرْيَتِهِ فَاجْتَوُوْا الْمَدِيْنَةَ فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ
صلى الله عليه وسلم بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوْا ِمْن أَبْوَاِلهَا وَأَلْبَانِهَا)
رواه أحمد والشيخان
"Masyarakat
'Ukal dan 'Urainah datang ke Madinah, karena menderita wabah penyakit diare
yang berkepanjangan. Kemudian Rasulullah Saw memerintahkan mereka agar mencari
unta perahan kemudian meminum air kencing dan susunya." (HR. Ahmad,
Bukhari dan Muslim).
Hadits
ini menjadi dalil atas sucinya air kencing unta. Sementara binatang-binatang
lain yang dapat dimakan dagingnya dianalogikan pada hadits di atas.
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: وَمَنْ زَعَمَ أَنَ هَذَا
خَاصٌ بِأُوْلَئِكَ الْاَقْوَام لَمْ يَصِبْ، إِذِ الْخَصَائِصُ لاَ تَثْبُتُ
إِلَا بِدَلِيْلٍ قَالَ: وَفِي تَرْكِ أَهْلِ الْعِلْمِ بَيْعَ بعار الْغَنَمِ فِي أَسْوَاقِهِمْ،
وَاسْتِعْمَال أَبْوَالِ الِابِلِ فِي أَدويتِهِمْ قَدِيْمًا وَحَدِيْثًا مِنْ غَيْرِ
نَكِيْرٍ، دَلِيْلٌ عَلَى طَهَارَتِهَا.
Ibnu Mundzir berkata, "Bagi yang menyatakan
bahwa hadits tersebut hanya dikhususkan kepada kabilah 'Ukal dan 'Urainah, maka
pernyataan yang dikemukakan salah. Sebab, pengkhususan seperti ini tidak dapat
diterima, kecuali jika disertai dengan dalil yang lebih kuat. Ibnu Mundzir
menambahkan, "Tindakan ulama yang membiarkan masyarakat umum menjual
kotoran kambing di pasar dan menggunakan kencing unta untuk tujuan pengobatan
sejak dulu hingga sekarang tanpa adanya bantahan dan teguran dari mereka,
merupakan salah satu bukti atas kesuciannya."
وَقَالَ الشَّوْكَاِنُّي: اَلظَاهِرُ طَهَارَةُ الْاَبْوَالِ وَالْاَزْبَالِ مِنْ كُلِّ حَيَوَانٍ
يُؤْكَلُ لَحْمُهُ، تَمَسَّكًا بِاْلاَصْلِ، وَاسْتِصْحَابًا لِلْبَرَاَءَةِ الْاَصْلِيَّةِ، وَالنَّجَاسَةُ حُكْمٌ شَرْعِيٌ
نَاقِلٌ عَنِ الْحُكْمِ الَذِيْ يَقْتَضِيْهِ
اْلاَصْلُ وَالْبَرَاءَةُ، فَلاَ يُقْبَلُ قَوْلُ مَدَعِيْهَا
إِلَّا بِدَلِيْلٍ يَصْلُحُ لِلْنَقْلِ عَنْهُمَا، وَلَمْ نَجِدْ لِلْقَائِلِيْنَ
بِالْنجَاَسَةِ دَلِيْلًا ِلذَلِكَ.
Asy-Syaukani
berkata, "Pendapat yang kuat mengenai kencing dan kotoran hewan yang dapat
dimakan daginngya adalah suci. Hal ini berdasarkan pada hukum asal dan
mengamalkan al-bara'ah al asliyyah, yang berarti hukum sesuatu pada asalnya
adalah suci. Sedangkan menganggap suatu benda itu najis, merupakan ketentuan
hukum syara' yang mengeluarkannya dari hukum asal dan al-bara'ah al asliyyah.
Oleh karena itu, pemindahan hukum asal tanpa disertai dalil syara', tidak dapat
diterima. Sebab ulama yang berpendapat bahwa air kencing dan kotoran binatang
yang dapat dimakan dagingnnya tetap suci, berdasarkan pada dalil. Sementara
ulama yang mengatakan najis, tidak bersandarkan pada alasan dan dalil yang
kuat.
11. Binatang Jalalah
Terdapat
beberapa hadits yang melarang menunggangi, memakan daging dan meminum susu
binatang semacam ini.
نَهَى
رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم عَنْ شُرب لَبَنِ الْجَلَالَةِ) رواه الخمسة إلا ابن
ماجه، وصححه الترمذي
Dari
Ibnu Abbas ra, ia berkata, Rasulullah Saw melarang meminum air susu binatang
jallalah." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasai dan Tirmdzi). Tirmidzi
berkata, Hadits ini shahih.
وَفِي رِوَايَةٍ: مَنْهِيٌ عَنْ رُكُوْبِ الْجَلاَلَةِ رواه أبو داود
Dalam
riwayat lain disebutkan, "Rasulullah Saw melarang menunggangi binatang
jallalah." (HR. Abu Dawud).
نَهَى
رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ لُحُوْمِ اْلحُمُرِ الْاَهْلِيَّةِ، وَعَنِ
الْجَلاَلَةِ: عَنْ رُكُوْبِهَا وَأَكْلِ لُحُوْمِهَا، رواه أحمد والنسائي
وأبو داود
Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari datuknya,
ia berkata, "Rasulullah Saw melarang memakan daging keledai peliharaan dan
binatang jallalah, begitu juga melarang menunggangi maupun memakan
daginnya." (HR. Ahmad, Nasai dan Abu Dawud).
وَالْجَلاَلَةُ: هِيَ الَّتِي تَأْكُلُ العَذَرَةَ، مِنَ الِابِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ
وَالدَجَّاجِ وَاْلاوز وَغَيْرِهَا، حَتَّى يَتَغَيَّرَ رِيْحُهَا.
فَإِنْ حُبِسَتْ بَعِيْدَةً عَنِ الْعَذرَةِ زَمَنًا، عَفَلَتْ طَاهِرًا فَطَابَ
لَحْمُهَا وَذَهَبَ اِسْمُ الْجَلاَلَةِ عَنْهَا حَلَتْ، لِاَنَّ عِلَةَ النَّهْيِ
وَالتَّغْيِيْرِ، وَقَدْ زَالَتْ
Adapun
yang dimaskud dengan jallalah adalah binatang seperti unta, sapi, kambing, ayam
dan itik yang suka memakan kotoran sehingga bau hewan tersebut berubah. Tetapi,
jika hewan-hewan itu dikurung sehingga tidak memakan kotoran dalam jangka waktu
yang lama, kemudian kembali memakan makanan yang suci sehingga dagingnya tidak
berbau dan nama jallalah tidak lagi menjadi sebutan bagi hewan tersebut, maka
dagingnya halal dimakan. Sebab, illat atau alasan atas pelarangannya telah
berubah dan hilang. Sedangkan, ketika masih memakan kotoran, maka illatnya
masih nampak dan tidak ada perubahan. Oleh karena itu, dagingnya tidak boleh
dimakan.
Mayoritas
para ulama berpendapat bahwa minuman keras atau arak hukumnya adalah najis. Hal
ini berdasarkan firman Allah Swt
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya
minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan
anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
(perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. (QS.
Al-Maidah [5] ayat 90).
Sedangkan,
sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa khamr adalah suci, sebab, kata
"rijsun" yang bermakna najis, sebagaimana yang tercantum dalam ayat
tersebut ditafsirkan sebagai najis maknawi. Di samping itu, kata
"rijsun" berkedudukan sebagai predikat dari kata khamr, termasuk juga
beberapa kata yang disebut setelahnya. Berdasarkan pada pemahaman ini, dapat
disimpulkan bahwa khamr tidaak dapat dikatakan sebagai najis. Allah Swt
berfirman,
ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ حُرُمٰتِ
اللّٰهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ عِنْدَ رَبِّهٖۗ وَاُحِلَّتْ لَكُمُ الْاَنْعَامُ
اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْاَوْثَانِ
وَاجْتَنِبُوْا قَوْلَ الزُّوْرِ ۙ
Demikianlah
(perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi
Allah (hurumat) maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan
bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharamannya),
maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah
perkataan dusta. (QS. Al-Hajj [22] ayat 30).
Dalam
ayat tersebut, berhala diartikan najis, tapi najis yang bersifat maknawi,
sehingga orang yang menyentuhnya tidak najis. Ayat tersebut dapat ditafsirkan,
bahwa khamr merupakan perbuatan setan yang dapat menimbulkan permusuhan, saling
membenci, menjadi penghalang untuk berdzikir kepada Allah dan melakukan shalat.
Dalam kitab Subulus Salam disebutkan, Pendapat yang benar, hukum asal semua
benda adalah suci. Diharamkannya suatu benda bukan berarti ia najis. Contohnya,
obat-obatan yang memabukkan. Secara hukum, benda ini haram, tetapi tetap suci.
Beda halnya dengan benda najis, karena benda najis pasti diharamkan.
Kesimpulannya
adalah bahwa setiap benda najis adalah haram, dan benda yang haram belum tentu
najis. Maksudnya, menetapkan sesuatu sebagai najis, berarti mengharamkan
menyentuhnya dengan cara apa pun. Dan menetapkan suatu benda sebagai sesuatu
yang najis, berarti menetapkan keharamannya. Berbeda halnya dengan menetapkan
hukum haramnya, seperti diharamkan memakai sutra dan emas bagi setiap laki-laki
muslim. Padahal keduanya merupakan benda suci berdasarkan keterangan syara' dan
ijma'. Namun, kedua benda tersebut tidak najis.
Jika kita sudah memahami masalah ini dengan baik, maka dapat disimpulkan bahwa khamr dengan berbagai jenisnya seperti yang telah dijelaskan oleh nash, bukanlah termasuk benda najis. Dan jika ada yang tetap memahani bahwa khamr adalah benda najis, maka ia harus mengemukakan dalil yang menyatakan akan hal itu. Jika tidak, khamr tetap dianggap sebagai benda suci berdasarkan hukum asal yang telah disepakati oleh para ulama.
12. Anjing
Anjing
hukumnya najis dan jika ada benda yang dijilatnya, maka benda tersebut harus
dicuci sebanyak tujuh kali, dan yang pertama kalinya harus disertai dengan
debu. Sebagai dalilnya adalah hadits yang berasal dari Abu Hurairah Ra, di mana
ia berkata, Rasulullah Saw bersabda,
طُهُوْرُ
إِنَاِء أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَاتٍ
أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ. رواه مسلم وأحمد وأبو داود والبيهقي: وَلَوْ وَلَغَ فِي
إِنَاءٍ فِيْهِ طَعَامٌ جَامِدٌ أَلْقَي مَا أَصَابَهُ وَمَا حَوْلَهُ، وَانْتَفَعَ
بِالْبَاقِي عَلَى طَهَارَتِهِ السَّابِقَةِ
"Sucinya
bejana salah seorang dari kalian, apabila dijilat anjing adalah dengan
mencucinya sebanyak tujuh kali; yang pertama kalinya harus (dicampur) dengan
debu." (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi) :
Jika
ada anjing yang menjilat ke dalam bagian bejana yang berisikan makanan kering,
maka makanan yang terkena jilatan dan sekitarnya harus dibuang. Sedangkan
sisanya tetap dalam keadaan suci dan boleh dimakan.
Syekh
Sayyid Sabiq mengatakan,
أَمَّا
شَعْرُ الْكَلْبِ فَالْاَظْهَرُ أَنَّهُ طَاهِرٌ، وَلَمْ تَثْبُتْ نَجَاسَتُهُ
Sedangkan
bulu anjing, berdasarkan pendapat yang kuat adalah suci, karena tidak ada dalil
yang menyatakan atas kenajisannya.
Yang
dimaksud dengan menggunakan tanah adalah mencampur air dengan tanah sehingga
air tersebut menjadi keruh.
Referensi
:
Fiqih
As-Sunnah Karya Syekh Sayyid Sabiq (hal. 18)
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.