Kaidah Fiqih (2)

 

Kaidah Fiqih (2)


Kaidah Fiqih (2)

KAIDAH KESEBELAS

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

"Kesulitan itu akan menghasilkan kemudahan ”

Misalnya:

1. Ketika seseorang tidak bisa berdiri dalam sholat fardhu maka baginya diperbolehkan sholat sambil duduk, begitu pula jika ia tidak bisa untuk duduk maka diperbolehkan sholat sambil berbaring miring.

2. Jika seseorang tidak boleh menggunakan air maka ia boleh bertayammum.

3. Ketika dirasakan sukar bagi seseorang untuk menghindari/menghilangkan najis pada dirinya, maka najis itu diampuni oleh Allah Swt, seperti najis darah akibat luka, bisul, kotoran jalan, dan bekas najis yang susah untuk dihilangkan.

4. Imam Syafi'i ra. berkata : “Ketika seorang perempuan tidak mempunyai wali dalam perjalanannya, maka ia boleh menyerahkan sepenuhnya kepercayaan kepada orang lain yang dipercayanya.”

5. Ucapan Imam Syafi'i yang lain tentang tempat-tempat yang dibuat dari tanah dan dipanaskan dengan kotoran itu boleh dipergunakan untuk berwudhu.

Dan dengan pengertian kaidah ini, Imam Syafi'i berkata :

الأمر اذا ضاق اتّسع

"Perkara itu ketika dalam kondisi sempit, maka hukum akan menjadi longgar"

Dan ucapan sebagian ulama :
الأشياء اذا ضاقت إتّسعتْ

"Setiap sesuatu itu jika dalam kondisi sempit maka ia akan menjadi longgar"

FAIDAH

Keringanan dalam hukum syara' itu terbagi menjadi tujuh macam :

1. Keringanan menghilangkan/menggugurkan, seperti gugurnya kewajiban Jum'at, haji dan Umroh dengan sebab 'udzur/halangan.

2. Keringan mengurangi, seperti meng-qashar (meringkas jumlah raka'at) sholat.

3. Keringanan menggantikan, seperti menggantikan wudhu dan mandi dengan tayammum, dan menggantikan berdiri dalam sholat dengan duduk, berbaring miring dan isyarah, dan menggantikan puasa dengan memberi makan fakir miskin (bagi yang udzur).

4. Keringanan mendahulukan, seperti sholat jama' taqdim dan mendahulukan zakat sebelum waktunya tiba, dan mendahulukan zakat fitrah dibulan Ramadhan, dan mendahulukan membayar kafarat bagiyang melanggar sumpah.

5. Keringanan Mengakhirkan, seperti sholat jama' ta'khir, dan mengakhirkan puasa Ramadhan bagi orang yang sakit dan musafir, dan mengakhirkan sholat bagi orang yang menyelamatkan orang yang tenggelam.

6. Keringanan Rukhshoh, seperti sholatnya orang yang beristinja' dengan batu karena masih ada bekas sisa kotorannya, dan minum arak bagi orang yang haus, serta makan najis untuk kebutuhan obat.

7. Keringanan merubah, seperti merubahnya peraturan/praktik sholat pada sholat khauf.

KAIDAH KEDUA BELAS

الأشياء اذا إتّسعتْ ضاقتْ

“Setiap sesuatu itu jika dalam kondisi longgar maka ia akan menjadi sempit"

Misalnya:

1. Sedikitnya bergerak dalam sholat itu diampuni, dan jika banyak bergeraknya dengan tidak adanya hajat (kebutuhan) maka itu tidak diampuni.

2. Ketika air berubah misalnya oleh ganggang maka air itu tetap suci mensucikan, tetapi ketika ganggang itu diremas-remas/dihancurkan oleh seseorang dan menceburkannya ke air kemudian air itu berubah, maka air itu menjadi tidak suci mensucikan.

3. Jika didalam air terdapat bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir, maka air itu tetap suci mensucikan, Imam Ghazali rahimahullah mengumpulkan antara dua kaidah dengan ucapannya:

كُلُّ ما تجَوّز حدَّهُ إنكسَ الى ضدِّه

"Setiap sesuatu yang melewati batas, maka ia akan kembali pada kebalikannya”

Nabi Saw bersabda:

لاَ ضَرَارَ ولاَ ضِرَار

“Tidak memberikan madharat pada diri sendiri, dan tidak memberikan madharat pada orang lain” (HR. Imam Malik dan Ibnu Majah)


KAIDAH KETIGA BELAS

الَضَّرَارُ يُزَالُ

“Kemadharatan itu dihilangkan"

Misalnya:

1. Si pembeli itu boleh khiyar (memilih mengembalikan atau tidak) dengan adanya cacat benda yang telah dibelinya.

2. Bagi suami istri itu boleh fasakh (bubar) nikah dengan adanya beberapa cacat.

3. Diperbolehkan bagi istri meminta fasakh nikah karena susahnya/miskinnya suami.

4. Menjaga kelestarian umat, menetapkan hukum, mencegah kedzaliman,Qishash dan memberikan hukum harus mengganti bagi para perusak.

KAIDAH KEEMPAT BELAS

الَضَّرَارُ لاَ يُزَالُ الاّ بِالضَّرَار

"Kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemadharatan yang lain"

Misalnya:

1. Orang yang madharat tidak boleh memakan makanan orang lain yang sama madharatnya dan tidak boleh membunuh anaknya atau hamba sahayanya.

2. Jika seseorang terjatuh diatas orang yang sedang terlka, dan tetap berada diatasnya sampai orang yang luka itu meninggal, maka orang itu hukumnya telah membunuh, tetapi jika langsung pindah maka yang membunuh bukanlah orang yang terjatuh itu.

3. Jika uang dinar yang terjatuh ditempat tinta dan tidak bisa dikeluarkan kecuali dengan cara menghancurkannya, maka apabila dihancurkan berarti orang itu harus mengganti tempat tinta itu pada pemiliknya, tetapi jika yang menghancurkannya itu pemilik tempat tinta, maka orang itu tidaklah mesti menggantinya.

KAIDAH KELIMA BELAS

الَضَّرُورَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْراتِ

"Kemadharatan itu dapat membolehkan semua yang dicegah/larang”

Misalnya:

1. Diperbolehkan memakan bangkai dan daging babi bagi mereka yang sangat lapar dan bagi yang amat kehausan boleh meminum arak.

2. Boleh melafazkan kalimat yang mengakibatkan kekufuran karena dipaksa

3. Diperbolehkan mengambil harta orang yang tidak mau membayar hutang kepadanya dengan tanpa izin orang itu.

4. Apabila keharaman itu sudah menyebar disuatu daerah sampai dirasakan sulit menemukan sesuatu yang halal kecuali sedikit (jarang) maka diperbolehkan untuk memakai yang haram itu sesuai dengan kebutuhan.

5. Menggali mayyit yang sudah dikubur karena dharurat seperti tidak dimandikan atau tidak menghadap kiblat.

Dan pengertian kaidah ini sama dengan kaidah yang lain yaitu :

لاَ حرَمَ مع الضَرُورَةِ ولا كرهَ مع الْحاجَةِ

"Tidak ada hukum haram bagi yang dharurat dan tidak ada hukum makruh bagi yang hajat (butuh)”

KAIDAH KEENAM BELAS

ما أُبِيْحَ بِالضَرُورَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا

“Yang dibolehkan dalam hal kemadharatan itu hanya ukuran perkiraan madharatnya”

Misalnya:

1. Orang yang madharat itu tidak boleh makan makanan yang haram kecuali makan untuk menyambung hidupnya.

2. Jika seseorang bertujuan (mengobati/menyuntik) seorang perempuan maka wajib baginya menutupi semua lengan perempuan itu dan tidak boleh membukanya kecuali pada bagian yang menjadi tujuannya itu.

3. Tidak diperbolehkan mengawinkan orang gila dengan perempuan yang lebih dari satu, karena itu telah menolak kebutuhan baginya.

4. Boleh menambah tempat sholat Jum'at karena tidak muat pada satu tempat, dengan perkiraan dapat menghilangkan alasan tidak muat itu, dan jika dengan dua tempat sholat Jum'at sudah terpenuhi maka tidaklah boleh membuat tempat yang ketiga.

 

KAIDAH KETUJUH BELAS

اَلْحَاجَةُ قَدْ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَرُورَةِ

"Hajat itu terkadang berada diposisi dharurat”

Misalnya:

1. Diperbolehkan melihat perempuan karena alasan mu'amalah dan khitbah (melamar)

2. Qaul (pendapat) sebagian ulama yang membolehkan akad Muzara'ah (bibitnya dari yang menggarap sawah) dan Mukhabarah (bibitnya dari yang punya sawah) karena butuh pada keduanya dalam kehidupan ini.

3. Menurut sebagian ulama : diperbolehkan menjual (sayuran dll) yang masih berada didalam tanah, seperti : lobak dan bawang karena kemashlahatan umum bagi manusia, karena jika disyaratkan pada penjualnya untuk mengeluarkannya dari dalam tanah sekaligus, maka itu menjadikannya susah dan rusaknya (sayuran dll) yang tidak dibeli, dan jika ia menjualnya dengan cara sedikit-sedikit, maka itu juga akan menjadikannya kesusahan dan hilangnya kemashlahatan baginya.

KAIDAH KEDELAPAN BELAS

اذا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَان رُوْعِيَ أَعْظَمُهُما ضرارا بِإِرْتِكَابِ اخَفِّهِمَا

"Ketika terdapat dua kemafsadatan maka hindari yang lebih besar madharatnya dengan melakukan yang lebih ringan mafsadatnya"

Misalnya :

1. Boleh membelah perut orang mati jika didalamnya terdapat seorang anak yang diperkirakan hidup.

2. Tidak boleh meminum Khamr dan berjudi karena madharat keduanya itu lebih besar dari manfa'atnya.

3. Diberlakukannya dalam agama Islam hukum Qishah, hudud, membunuh perampok.

4. Boleh bagi orang yang madharat mengambil makanan orang lain dengan paksa.

5. Boleh memotong dahan/ranting pohon milik orang lain jika berada di area tanah miliknya.

6. Apabila orang yang madharat menemukan bangkai dan makanan milik orang lain, maka pendapat yang lebih shahih menyatakan lebih baik memakan bangkai, karena memakan bangkai itu hukumnya mubah dengan dasar Nash, sedangkan memakan makanan orang lain itu hanya dengan dasar ijtihad.

KAIDAH KESEMBILAN BELAS

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ على جلب المصالِحِ

"Mendahulukan untuk menolak kemafsadatan dari pada mengambil kemashlahatan”

Misalnya :

1. Mubalaghah dalam berkumur-kumur dan istinsyaq itu hukumnya disunnahkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga puasanya dari jalan yang menjadikannya batal.

2. Menyela-nyela rambut hukumnya sunnah dalam bersuci, tetapi dimakruhkan bagi orang yang sedang ihram karena menjaga dari rontoknya rambut.

3. Diampuni dalam meninggalkan sebagian kewajiban dengan yang lebih rendah tingkat kesukarannya seperti berdiri dalam melaksanakan sholat (boleh duduk jika udzur), dan berbuka (bagi yang udzur berpuasa) serta dalam hal bersuci (boleh diganti dengan tayammum), dan tidak diampuni dalam hal melakukan perbuatan yang dilarang (seperti memilih yang lebih rendah dosanya) terlebih lagi dalam masalah dosa-dosa besar.

Allah Swt berfirman dalam surat al-Mu'minun : 5-7,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ

5. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,

إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

6. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki;Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada tercela.
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

7. Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.

KAIDAH KEDUA PULUH

اَلْأَصْلُ فِي الْأبْضَاعِ التًّحْرِيْمُ

“Asalnya berjima' itu hukumnya haram”

Misalnya :

1. Ketika seorang perempuan muhrim (yang haram dinikahi) yang tidak diketahui keberadaannya, ada bersama dengan perempuan-perempuan yang jumlahnya dapat dihitung (jumlah sedikit) dan berada pada satu kampung, maka dilarang bagi orang itu untuk berijtihad (memilih salah satunyauntuk dijadikan istri) karena syarat ijtihad dalam menentukan sesuatu itu asal hukumnya harus mubah (boleh), tetapi diperbolehkan memilih salah satu dari perempuan-perempuan itu, jika jumlahnya amat banyak, karena rukhshoh (keringanan) agar tidak tertutupnya pintu nikah dan terbukanya pintu zina.

2. Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain dalam membeli jariyah (budak perempuan) dan memberikan keterangan tentang sifat-sifatnya, dan ketika siwakil membeli jariyah itu dengan sifat-sifat yang sama tetapi ia meninggal sebelum menyerahkannya pada orang yang mewakilkannya, maka hukumnya si jariyah tadi tidak boleh di jima' oleh orang yang mewakilkannya itu,karena dikhawatirkan siwakil membeli jariyah itu untuk dirinya sendiri, walaupun siwakil membeli jariyah itu dengan sifat yang telah disebutkan tadi itu jelas dalam kehalalannya, karena asalnya jima' itu haram sampai diyakini sebab-sebab yang menghalalkannya.

3. Tidak dihalalkan menjima' perempuan yang menjadi boyongan (tawanan) perang kecuali sudah menjadi bagian dari ghanimah yang dibagi oleh imam yang membaginya dengan baik dengan tidak ada rasa ragu dan takut.

Allah Swt berfirman dalam surat al-A'raf : 199,

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

"Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh."


Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

Contact Us