Kaidah Fiqih (1)
Nabi Saw bersabda :
إنما الأعمال بالنيات وانما لكل امرء ما نوى
"Sesungguhnya semua perbuatan itu bersama dengan niatnya, dan untuk setiap perbuatan itu tergantung dari niatnya." (HR. Bukhari)
KAIDAH PERTAMA
اَلأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“Setiap perbuatan itu bersama
dengan tujuannya/niatnya“
Misalnya:
1. Berwudhu itu harus dengan niat, seperti itu pula mandi wajib, sholat dan
puasa.
2. Jika ia melakukan
perbuatan yang hukumnya Mubah,tetapi ia beri'tikad bahwa ia melakukan perbuatan
yang tidak halal, seperti ketika seseorang menggauli seorang perempuan dan
dalam hatinya menyatakan bahwa perempuan itu bukan istrinya, dan ia sedang melakukan
perbuatan zina, walaupun ternyata perempuan itu adalah istrinya, maka perbuatan
itu tetap haram.
3. Ketika seseorang berniat dalam makan dan minum itu untuk menguatkan dalam
beribadah, maka ia akan mendapatkan pahala, jika tidak diniati maka ia tidak
akan mendapatkan pahala.
4. Orang yang memeras anggur itu juga tergantung tujuan/niatnya untuk dijadikan
cuka atau khamer (minuman keras).
5. Tidak berbicara dengan
orang lain diatas 3 hari itu hukumnya haram, jika diniati, tapi kalau tanpa ada
niat untuk itu maka hukumnya tidak haram.
6. Tidak memakai wewangian
dan berhias diri diatas 3 hari karena berkabung atas kematian seseorang yang
bukan suaminya itu hukumnya haram. jika ia bertujuan untuk turut berduka cita,
jika tidak ada niat itu, maka tidak apa-apa.
7. Jika seseorang mengambil
harta orang lain yang punya hutang kepadanya dengan niat untuk bayar hutang
orang itu kepadanya dan juga dengan niat maling, maka ia tidak terkena hukuman
potong tangan untuk niat yang pertama, tetapi hanya pada niat yang kedua.
8. Tentang Kinayah (sindiran) Thalaq dan selain thalaq, ketika seorang suami
berkata pada istrinya : “Kamu adalah perempuan yang tidak punya suami”, jika ia
berniat untuk menjatuhkan thalaq maka jatuhlah thalaqnya itu kepada istrinya,
namun jika tidak, maka tidak apa-apa.
KAIDAH KEDUA
مَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ التَّعْيِيْنُ،
فَالْخَطَأُ فِيْهِ مُبْطِل
"Jika menyatakan sesuatu
itu menjadi syarat, maka jika kesalahan hukumnya batal”
Misalnya:
1. Kesalahan dalam melakukan sholat dzuhur ke 'ashar dan sebaliknya, maka
ketika ia melakukan sholat dzuhur dan berniat sholat 'ashar maka hukumnya tidak
sah.
2. Kesalahan dalam niat dari Kafarat Dzihar ke Kafarat Membunuh.
3. Kesalahan dalam niat dari Sholat Sunnah Rawatib Dzuhur ke Rawatib'Ashar
4. Kesalahan dalam niat dari Sholat 'Idul Fitri ke 'Idul Adlha dan sebaliknya.
5. Kesalahan dalam niat dari Sholat dua raka'at Sunnah Ihram ke dua raka'at
sunnah Thawaf dan sebaliknya.
6. Kesalahan dalam niat dari puasa 'Arafah ke puasa 'Asyura dan sebaliknya.
KAIDAH KETIGA
ما يُشْتَرَطُ اَلتَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَلاَ
يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْصِيْلاً، إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ ضَرَّ
"Jika syaratnya hanya
menentukan secara global, dan tidak disyaratkan ta'yinnya (menyatakannya)
secara terperinci, maka ketika seseorang menyatakannya dan ia salah, maka hal
itu akan menjadi madharat"
Misalnya:
1. Niat menjadi ma'mum pada Zaid ternyata yang jadi imam adalah Umar, maka
tidak sah berjama'ahnya karena ia telah menghilangkan niat ma'mum kepada Umar
dengan niat menjadi ma'mumnya Zaid, maka ketika ternyata ia menjadi ma'mum dari
Umar maka ia tidak berniat menjadi ma'mum. Dan dalam berjama'ah tidak
disyaratkan menyatakan siapa imamnya, tetapi hanya disyaratkan untuk niat
berjama'ah, tidak yang lain.
2. Niat mensholati mayyitnya Bakar, ternyata yang disholatinya adalah mayyit
Khalid, atau niat sholat untuk mayyit laki-laki tapi ternyata mayyitnya
perempuan, atau sebaliknya, maka semua itu tidak sah. Karena dalam sholat
Janazah itu tidak wajib ta'yin (menyatakan) siapa mayyit yang disholatinya,
hanya cukup berniat sholat terhadap mayyit saja.
3. Barang siapa melaksanakan sholat untuk mayyit yang jumlahnya banyak, maka
dalam sholat ini tidak diwajibkan melakukan ta'yin (menyatakan) jumlah dari
mayyit-mayyit itu, maka ketika beri'tiqad bahwa jumlah mayyitnya 10 orang tapi
ternyata lebih banyak, maka sholatnya mesti diulangi (i'adah).
4. Tidak disyaratkan ta'yin (menyatakan) bilangan raka'at, maka ketika
seseorang niat sholat dzuhur lima raka'at atau tiga raka'at, maka sholatnya
tidak sah.
5. Jika seseorang telah menyatakan mengeluarkan zakat untuk hartanya yang ghaib
(tidak ada disampingnya) dan ternyata harta yang ghaib itu telah rusak/hilang,
maka zakat untuk harta yang ghaib itu tidak bisa dijadikan sebagai zakat harta
yang masih ada.
KAIDAH KEEMPAT
ما لاَ يُشْتَرَطُ اَلتَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً
وَلاَ تَفْصِيْلاً، إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ لَمْ يَضُرَّ
"Jika tidak disyaratkan
menentukan secara global, dan tidak secara terperinci, maka ketika seseorang
menyatakannya dan ia salah, maka hal itu tidak akan menjadikannya madharat”
Misalnya:
1. Kesalahan menyatakan tempat sholat, maka ketika seseorang niat sholat dzuhur
di Mesir dan ternyata ia berada di Mekkah, maka tidaklah batal sholatnya,
karena niat sholatnya sudah ada, dan ta'yin (menyatakan) tempat itu bukanlah
sambungan dari niat sholat baik secara global maupun terperinci.
2. Kesalahan dalam menyatakan masa sholat, maka ketika seseorang niat
melaksanakan sholat 'Ashar pada hari Kamis tapi ternyata hari Jum'at, maka
sholatnya itu tidak batal.
3. Kesalahan ta'yin (pernyataan) Imam tentang ma'mum yang ada dibelakangnya,
maka jika seseorang berniat menjadi imamnya Zaid tapi ternyata yang jadi ma'mum
adalah umar, maka sholat imam itu tidak menjadinya madharat (tidak batal) hal
itu karena tidak adanya syarat bagi imam untuk menentukan siapa ma'mumnya, dan
tidak juga niat untuk menjadi imam.
KAIDAH KELIMA
مَقَاصِدُ اللَّفْظِ عَلَى نِيَةِ اللاَّفِظِ
"Maksud lafadz (ucapan) itu tergantung orang yang melafadzkannya (mengucapkannya)”
Misalnya:
1. Jika seseorang mempunyai istri bernama “Thaliq” (yang dicerai), atau
mempunyai budak perempuan bernama “Hurroh” (yang merdeka) maka ketika ia
memanggil istrinya “Ya Thaliqu” (Hai perempuan yang dicerai), atau memanggil
budak perempuannya “Ya Hurrotu” (Hai budak yang merdeka), jika ketika ia
memanggil bertujuan untuk menthalaq istrinya atau memerdekakan budaknya, maka
terjadilah keduanya itu, tetapi jika hanya untuk memanggil saja maka tidaklah
menjadi apa-apa.
2. Jika seseorang mengulang-ulang lafadz thalaq sebanyak tiga kali untuk
menthalaq istrinya dengan tidak ada huruf athafnya, maka jika ia bertujuan
mengulangi lafadz itu dengan memulai dari awal, maka jatuhlah thalaqnya tiga,
tetapi jika hanya mentaukidkannya (memperkuat) saja maka thalaq nya hanya jatuh
satu.
3. Jika seseorang membaca dalam sholat dengan bacaan Al-Qur'an dan tidak
berniat selain membacanya, maka itu hukumnya jelas, tetapi jika ia bertujuan
untuk memberikan faham kepada orang lain saja, maka batal sholatnya, tetapi
jika ia berniat dua-duanya maka sholatnya tidak batal, dan ketika seseorang
memutlakannya maka Qaul yang lebih Shahih berpendapat bahwa sholatnya itu batal
seperti firman Allah Swt dalam surat al-Hijr: 46,
ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِين
"Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman"
Dan firman Allah dalam surat Maryam : 12,
يَا يَحْيَىٰ خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ ۖ
"Hai Yahya, ambillah Al
Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh."
4. Ketika seseorang mengiringi niatnya dengan ucapan “Insya Allah" maka
ketika ia berniat untuk menggantungkannya maka batallah niatnya itu, tetapi
jika untuk mengharap berkah maka tidaklah menjadi batal, atau hanya
memuthlakkannya saja (tidak menggantungkan tidak juga mengharap berkah), maka
Qaul yang lebih shahih menentukan bahwa hukumnya batal.
Rasulullah Saw bersabda :
اذا شكّ احدكم في صلاته فلم يدر أ صلّى ثلاثا أم اربعا فلْيطْرَحِ الشكّ ولْيَبن على ما استيقَنَ
"Jika salah satu diantara kamu ragu dalam sholatnya dan tidak mengetahuinya apakah ia telah sholat raka'at atau 4 raka'at, maka sebaiknya ia meninggalkan keraguan itu dan sebaiknya berpegang pada apa yang diyakininya.”(HR. Muslim)
KAIDAH KEENAM
الْيَقِيْنُ لا يُزَالُ بالشَكِّ
"Keyakinan itu tidak
akan hilang oleh keraguan”
Misalnya:
1. Barang siapa ragu-ragu dalam hitungan sholatnya apakah 3 atau 4 maka
peganglah 3 karena itulah yang lebih meyakinkan.
2. Barang siapa yakin dalam
keadan suci dan ragu-ragu mempunyai hadats maka ia adalah suci.
3. Barang siapa yakin
mempunyai hadats dan ragu-ragu dalam keadan suci,maka ia adalah orang yang
mempunyai hadats.
Dan kaidah yang lain menyebutٍkan:
إن ما ثبت بِيَقِيْنٍ لا يرتفع الا بِيَقِيْنٍ
"Sesungguhnya sesuatu yang tetap dengan keyakinan itu tidak akan hilang
kecuali dengan keyakinan pula”
KAIDAH KETUJUH
اَلْأَصْلُ بقاءُ ما كان على ما كان
“Asalnya itu tetapnya sesuatu
atas sesuatu”
Misalnya:
1. Barang siapa yang makan sahur diakhir malam dan ragu-ragu telah muncul
fajar, maka sah puasanya, karena sesungguhnya asalnya adalah masih tetapnya
malam.
2. Barang siapa yang berbuka puasa diakhir siang dengan tanpa ijtihad, dan ia
ragu-ragu pada terbenamnya matahari, maka batal puasanya, karena sesungguhnya
asalnya adalah masih tetapnya siang.
3. Kedua suami istri hidup susah dalam waktu yang cukup lama, kemudian istrinya
menggugat suaminya tidak pernah memberikannya pakaian, dan nafkah, maka ucapan
yang dipegang adalah ucapan si istri itu, karena pakaian dan nafkah itu berada
pada tanggungan suaminya dan suami tidak dapat memenuhi keduanya (pakaian dan
nafkah)
4. Suami istri yang berselisih/berseteru tentang masalah tamkin (perlakuan
istri melayani suami), maka ucapan yang dipegang adalah ucapan suami, karena
asalnya itu tidak adanya tamkin, maka tidak wajib bagi suami untuk memberikan
nafkah, karena nafkah itu wajib jika adanya tamkin.
5. Seseorang yang telah membeli air kemudian menggugat bahwa air itu najis, dan
hendak mengembalikannya, maka ucapan yang mesti dipegang adalah ucapan si
penjual, karena sesungguhnya asalnya air itu adalah suci.
6. Seseorang yang meragukan
air suci yang berubah, apakah perubahan itu sedikit atau banyak, maka air itu
masih tetap suci.
KAIDAH KEDELAPAN
اَلْأَصْلُ براءَةُ الذِّمَّة
“Asalnya itu lepasnya
tanggungan/tanggung jawab"
Misalnya:
1. Seseorang yang diminta untuk melakukan sumpah, kemudian ia tidak mau
melakukannya, maka ia tidaklah dihukum karena ketidak mauannya itu, karena
asalnya adalah tidak adanya tanggungan/tanggung jawab, kemudian sumpah itu
dihadapkan kepada orang yang meda'wanya/menggugatnya.
2. Jika seseorang berkata : “saya berikan kitab padamu agar kamu memberikan
pengganti kitab yang lain, maka ketika orang yang diberi itu memungkirinya
bahwa tidak ada lafadz “memberikan penggantinya” maka ucapan yang didengar
adalah ucapan orang yang diberi kitab, karena asalnya adalah lepasnya/bebasnya
tanggungan.
3. Jika dua orang berselisih tentang harga barang yang dipinjam kemudian rusak,
agar orang yang merusakkannya mengganti sesuai dengan harganya, maka ucapan
yang didengar adalah ucapan orang yang meminjamkannya, karena asalnya ialah
lepasnya tanggungan dari apapun yang melebihi tuntutan (harga barang.
KAIDAH KESEMBILAN
اَلْأَصْلُ الْعَدَمُ
"Asalnya itu tidak
ada"
1. Ucapan pelaku Qiradh (pemberi modal untuk berdagang dengan memperoleh bagian
keuntungan) itu dibenarkan ketika ia berkata, "Tidak ada untungnya".
Karena asalnya adalah tidak ada keuntungan.
2. Dan ucapannya juga yang mengatakan : "tidak ada keuntungan kecuali
segini”karena asalnya tidak adanya kelebihan/keuntungan.
3. Serta ucapannya yang mengatakan : “kenapa kamu tidak mencegah saya untuk
membeli barang itu” karena asalnya itu tidak ada yang mencegah.
4. Seseorang yang memakan makanan orang lain kemudian ia berkata bahwa dia
telah membolehkannya untuk saya, sementara yang memiliki makanan itu
memungkirinya, maka ucapan yang didengar adalah ucapan si pemilik makanan,
karena asalnya adalah tidak adanya kemubahan.
5. Jika seseorang ditetapkan mempunyai hutang dengan sebab pengakuan atau jual
beli, kemudian ia mengaku/menda'wa tentang hutang itu sudah dibayar atau
dibebaskan, maka ucapan yang dipegang adalah ucapan orang yang dida'wa
mempunyai hutang, karena asalnya adalah tidak adanya semua itu (hutang).
6. Jika seseorang ragu-ragu dalam meninggalkan perbuatan yang diperintah dalam
sholatnya, seperti tidak melaksanakan tahiyyat awal, maka ia menggantinya
dengan sujud sahwi, tetapi jika melakukan perbuatan yang dilarang dalam sholat,
seperti menambah jumlah sujud dengan ragu-ragu, maka tidaklah harus sujud
sahwi, karena sesungguhnya asalnya itu tidak adanya pekerjaan menambah sujud.
KAIDAH KESEPULUH
اَلْأَصْلُ في كُلِّ حَاديثٍ تَقْدِيْرُ
بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
"Asalnya pada setiap
yang terjadi, perkiraan hukumnya adalah menghitung pada yang lebih dekat waktu
kejadiannya”
Misalnya:
1. Seseorang yang telah memukul perut orang hamil sampai kemudian melahirkan
seorang anak yang hidup dan dan tidak dalam kondisi sakit, tetapi kemudian ia
meninggal dunia, maka orang itu tidaklah dijatuhi hukuman sebagai pembunuh,
karena secara dzahir anak itu meninggal dengan sebab yang lain, dan sebab yang
lain itu sangat dekat dengan kematian anak tadi.
2. Seseorang yang menjual
hamba sahaya, kemudian hamba itu ternyata sakit, dan meninggal dunia, maka
tidaklah boleh dikembalikan lagi kepadanya, karena sakitnya itulah yang terus
bertambah dan menghasilkan hamba itu meninggal dunia, dan juga karena sakit itu
lebih dekat waktunya dengan kematian sihamba sahaya, serta tidak ada kenyataan
menyalahkan kematian hamba itu kepada pemiliknya yang dahulu.
3. Seseorang yang melihat mani (sperma) pada pakaiannya, tetapi ia tidak
mengingat mimpinya (lupa), maka orang itu wajib mandi wajib, dan wajib
mengi'adah (mengulangi) sholatnya sejak akhir tidurnya (sejak ia terbangun),
karena sesungguhnya akhir tidurnya itu yang lebih dekat masanya pada orang itu.
4. Orang yang berwudhu di sumur setiap hari untuk melakukan sholat, kemudian ia
menemukan bangkai tikus disumur itu, maka ia tidak wajib mengulangi (mengqodho)
sholatnya kecuali jika ia yakin bahwa ia sholat dalam keadaan najis.
5. Orang yang membuka pintu sangkar burung kemudian burung
itu langsung terbang, maka ia wajib menggantinya, tetapi jika burung itu diam
terlebih dulu baru kemudian terbang, maka ia tidak wajib menggantinya. Karena
itu hanya memberikan pilihan kepada si burung. Namun menurut pendapat ulama
(Qaul yang lemah) bahwa orang itu tetap wajib menggantinya, karena membuka
pintu sangkar itulah yang menjadikan burung itu terbang.
Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah : 185,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
"....Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu....."
Referensi
‘Abd al-Hamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyyah (Jakarta: Maktabah
Sa’adiyyah Putra, ttt.)
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.