Ada beberapa definisi ‘Amr, di antaranya ialah :
لَفْظٌ يُرَادُ بِهِ أَنْ يَفْعَلَ الْمَأْمُوْرُ مَا يَقْصُدُ مِنَ الْأَمْرِ
Lafazh yang dikehendaki dengannya suapa orang mengerjakan apa yang dimaksudkan.
Atau :
هُوَ لَفْظٌ يُطْلَبُ بِهِ الأَعْلَى مِمَنْ هُوَ الْأَدْنَى مِنْهُ فِعْلاً غَيْرَ كَفٍّ
Suatu lafazh yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya untuk meminta bawahannya mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak.
Atau :
هُوَ طَلَبُ الْفِعْلِ مِنَ الْأعْلَى إلَى الْأدَنَى
Yaitu tuntutan pekerjaan dari atasan kepada bawahan.
Jika Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk mengerjakan sesuatu perbuatan, artinya menunjukkan kepada kewajiban mematuhi perintah-Nya. Kalau ia sudah mukallaf mendapat pahala jika ia mengerjakan dan mendapat siksa jika ia meninggalkan. Jumhur ulama berkata :
الْأَصْلُ فِيْ الْأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ وَلا تَدُلُّ عَلَى غَيْرِهِ إلاَّ بَقَرِيْنَةٍ.
Pada dasarnya ‘amr itu menunjukkan kepada wajib, dan tidak menunjukkan kepada yang selain wajib kecuali dengan qarinah.
Seperti :
أَقِيْمُوْا الصّلاةَ وَآتُوْا الزَّكَوةَ......
Dirikanlah shalat dan keluarkanlah zakat...
Kalimat ini menunjukkan kepada wajib mengerjakan shalat dan mengeluarkan zakat. Tidak ada qarinah yang menunjukkan kepada ketidakwajiban shalat dan zakat. Jika definisi amr dikaitkan dengan kedudukan yang menyuruh, para ulama ushul berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut :
1. Ulama Mu’tazilah mensyaratkan kedudukan pihak yang menyuruh harus lebih tinggi dari pihak yang disuruh. Jika kedudukan yang menyuruh lebih rendah dari yang disuruh, maka tidak disebut amr, tetapi doa seperti :
رَبِّ اغْفِرْلِي وَلِوَالِدَيَّ
Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku. (QS. Nuh [71] ayat 28).
Kata amr itu muncul dari orang yang kedudukannya sama dengan orang yang dikenai kata amr, juga tidak disebut amr, tetapi iltimas, seperti ucapan yang muncul dari dua orang sahabat. Sehingga amr dapat didefinisikan dengan :
هُوَ طَلَبُ الْفِعْلِ مِنَ الْأعْلَى إلَى الْأدَنَى
Amr adalah perintah mengerjakan yang datang dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah.
2. Qadhi Abu Husain, tidak mensyaratkan kedudukan yang menyuruh, akan tetapi mensyaratkan sikap ketika menyuruh dalam aksen ucapan yang meninggi, atau al-Isti’la (الْإِسْتِعْلاَءِ)
Pendapat ini diikuti oleh al-Amidi. Sehingga amr didefinisikan sebagai berikut :
اَلْأَمْرُ هُوَ طَلَبُ الْفِعْلِ عَلَى جِهَةِ الْإِسْتِعْلاَءِ
Perintah mengerjakan suatu pekerjaan dengan meninggikan aksen suara.
Dalam definisi di atas digunakan kata (طَلَبُ الْفِعْلِ) untuk menghindarkan pengertian bentuk nahyi (larangan) dan lainnya dari macam-macam kalam (ucapan). Sedangakn penggunaan kata (عَلَى جِهَةِ الْإِسْتِعْلاَءِ) untuk menjelaskan bahwa dua’ dan iltimas tidak termasuk dalam ‘amr meskipun menggunakan kata amr.
3. Qadhi Abu Bakr dan Imam Haramain mendefinikan amr sebagai berikut :
هُوَ الْقَوْلُ الْمُقْتَضِي طَاعَةَ الْمَأْمُوْرُ بِفَعْلِ الْمَأْمُوْرِ بِهِ
Suatu ucapan yang menuntut kepatuhan dari yang memerintahkan untuk mengerjakan suatu perbuatan yang diperintahkan.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.