Alam
kubur (Bagian 3)
Orang
yang Berhutang Ditahan di Dalam Kubur
Hutang
adalah salah satu perkara yang dapat membahayakan orang mati di dalam kuburnya.
Sa'ad
ibn al-Athwal r.a. menceritakan :
أن أخاه مات وترك ثلاثمائة درهم، وترك
عيالاً، قال: فأردت أن أنفقها على عياله، قال: فقال لي نبي الله صلى الله عليه
وسلم: " إن أخاك محبوس بدينه، [فاذهب] فاقض عنه، [فذهبت فقضيت عنه، ثم جئت] ،
قلت: يا رسول الله، قد قضيت عنه إلا دينارين ادعتهما امرأة، وليست لها بيِّنه،
قال: أعطها فإنه محقة، (وفي رواية صادقة)
Bahwa saudaranya wafat. Saudaranya itu meninggalkan hutang sebesar tiga ratus dirham dan sebuah keluarga. Sa'ad berkata, “Aku ingin menginfakkan harta tersebut kepada keluar-ganya. Nabi saw. berkata kepadaku, 'Sesungguhnya saudaramu tertahan karena hutangnya, maka pergi dan bayarlah hutang-nya.' Lalu aku pergi dan membayar hutangnya, kemudian aku datang dan berkata, 'Wahai Rasulullah, aku telah membayar hutangnya kecuali dua dinar yang diklaim oleh seorang pe-rempuan, sebab ia tidak memiliki bukti.' Beliau menjawab, 'Beri-kanlah, sebab ia berhak.'"[1]
Rasulullah saw. menginformasikan bahwa sahabat
tersebut tertahan karena hutangnya. Hadis di atas diperjelas oleh hadis lain
dimana Rasulullah saw. bersabda,
إنه مأسور بدينه عن الجنة
“Sungguh
ia, karena hutangnya, tertawan, sehingga tidak dapat masuk surga.”
ففي الحديث الذي يرويه سمرة بن جندب
" أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى على جنازة، (وفي رواية صلى الصبح) ، فلما
انصرف قال: أههنا من آل فلان أحد؟ [فسكت القوم، وكان إذا ابتدأهم بشيء سكتوا] ،
فقال ذلك مراراً، [ثلاث لا يجيبه أحد] ، [فقال رجل: هو ذا] ، قال: فقام رجل يجر
إزاره من مؤخر الناس، [فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: ما منعك في المرتين
الأوليين أن تكون أجبتني؟] أما إني لم أنوِّه باسمك إلا لخير، إن فلاناً - لرجل
منهم - مأسور بدينه [عن الجنة، فإن شئتم فافدوه، وإن شئتم فأسلموه إلى عذاب الله]
، فلو رأيت أهله ومن يتحرَّون أمره قاموا فقضوا عنه، [حتى ما أحد يطلبه بشيء]
Dalam
hadis dari Samurah ibn Jundub diceritakan bahwa Nabi saw. menyalati sebuah
jenazah (dalam sebuah riwayat: salat subuh). Setelah salat, beliau berkata, “Apakah
di sini ada yang masih keluarga fulan?” Para sahabat diam. Biasanya jika baru
sekali ditanya, mereka diam. Beliau menanyakan hal itu sampai tiga kali. Lalu
seorang laki-laki berkata, "Ini dia." Lalu berdirilah seorang lelaki
yang membiarkan kainnya menyentuh lantai dan berada di barisan belakang. Nabi
saw. bertanya, “Apa yang mem-buatmu tidak menjawab pertanyaanku pada dua
pertanyaan pertama? Sungguh aku tidak menyebut namamu kecuali karena kebaikan.
Si fulan ditawan (tidak boleh masuk surga) karena hutangnya. Jika kalian mau,
kalian dapat menebusnya atau menyerahkannya dalam azab Allah."[2]
Orang
Mati Disiksa karena Tangisan
Orang
yang Hidup Ketika Umar r.a. ditikam, Shuhaib masuk ke rumah Umar sambil
menangis dan berseru, “Duh malangnya saudaraku, duh malangnya sahabatku!"
Umar berkata, "Hai Shuhaib, apa kau menangis karena aku, padahal
Rasulullah saw. bersabda,
إن الميت يُعَذَّب ببعض بكاء أهله عليه
'Sungguh
orang mati diazab karena tangisan keluarganya.'”[3]
Aisyah
r.a. mengingkari bahwa Rasulullah saw. mengatakan hal itu. Dalam Shahih
al-Bukhari disebutkan bahwa Ibn Abbas menuturkan kepada Aisyah apa yang
dikatakan Umar, setelah Umar wafat. Aisyah menyahut,
رحم الله عمر، والله ما حدَّث رسول الله
صلى الله عليه وسلم أن الله ليعذب المؤمن ببكاء أهله عليه، ولكن رسول الله صلى
الله عليه وسلم قال: إن الله ليزيد الكافر عذاباً ببكاء أهله عليه، حسبكم القرآن
(وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى) [فاطر: ١٨]
“Semoga
Allah memberi rahmat kepada Umar! Demi Allah, Rasulullah saw. tidak
memberitakan bahwa Allah akan menyiksa seorang mukmin hanya karena keluar-ganya
menangisinya, tetapi Rasulullah saw. bersabda, 'Sungguh Allah akan menambah
azab kepada orang kafir karena keluar-ganya menangisinya.' Cukuplah bagi kalian
Alquran, 'Dan orang yang berdosa tidakakan memikul dosa orang lain.""
(QS. Fathir :18)[4]
Aisyah
memberikan lebih dari satu penakwilan terhadap hadis Umar tersebut. Hal
ini terdapat dalam kitab-kitab Shahih dan Sunan.[5]
Di
sini ada dua permasalahan. Pertama, apakah Nabi saw. benar mengucapkan hadis
tersebut?
قال القرطبي: " إنكار عائشة ذلك،
وحكمها على الراوي بالتخطئة أو النسيان أو على أنه سمع بعضاً، ولم يسمع بعضاً
بعيد، لأن الرواة لهذا المعنى من الصحابة كثيرون، وهم جازمون فلا وجه للنفي مع
إمكان حمله على محمل صحيح
"
Al-Qurthubi
mengatakan, “Pengingkaran Aisyah dan anggapan bahwa perawi itu salah, lupa atau
mendengar dari sebagian saja dan tidak mendengar sebagian lainnya, sungguh
jauh. Sebab, para sahabat yang meriwayatkan makna hadis ini banyak. Karena itu,
tak ada alasan untuk menolaknya bila ada kemungkinan menafsirkannya de-ngan
benar."[6]
Kedua,
bagaimana ia diazab karena keluarga menangisinya padahal itu
bukan perbuatannya. Allah berfirman,
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan
orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (QS. Fathir: 18)
Para
ulama memberikan beberapa jawaban mengenai hal ini. Yang terbaik di antaranya
adalah jawaban Bukhari. Beliau berkata, “Maksud ucapan Nabi saw. bahwa orang
mati diazab karena ia ditangisi ialah jika tangisan itu termasuk kebiasaannya,
sehingga keluarganya mengikuti. Allah Swt. berfirman,
(قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا) [التحريم: ٦]
"Pelihara
lah diri dan keluargamu dari api neraka." (QS. Tahrim ayat 6)
Nabi
bersabda,
كلكم راع ومسؤول عن رعيته
'Setiap
kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang di-pimpinnya.' Jika
bukan kebiasaannya, maka seperti kata Aisyah,
(وَلَا
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى) [فاطر: ١٨]
"Dan
orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.'"(QS. Fathir: 18)[7]
Di
antara ulama yang berpendapat seperti Bukhari adalah Imam Tirmidzi. Beliau
meriwayatkan hadis dari Umar dengan redaksi:
الميت
يعذب ببكاء أهله عليه
“Orang
mati diazab karena keluarganya menangisinya.”
Beliau
mengatakan,
حديث عمر حديث حسن صحيح، وقد كره قوم من
أهل العلم البكاء على الميت، قالوا: الميت يعذب ببكاء أهله عليه، وذهبوا إلى هذا
الحديث، وقال ابن المبارك: أرجو إن كان ينهاهم في حياته، أن لا يكون عليه من ذلك
شيء
“Hadis
Umar berderajat hasan sahih. Segolongan ulama menilai makruh menangisi orang
mati. Mereka berkata, 'Orang mati diazab karena keluarganya menangisi-nya.'
Mereka berpendapat sesuai dengan hadis di atas. Ibn al-Mubarak berkata,
'Kuharap, jika memang beliau (Umar) melarang semasa hidupnya, hal itu tidak
menjadi beban atasnya.'" (Sunan at-Tirmidzi,III, h. 326)
Interpretasi ini juga menjadi pendapat Imam
Qurthubi. Be-liau berkata: Sebagian atau mayoritas ulama berpendapat bahwa
orang mati diazab karena tangisan keluarganya jika tangisan itu berasal dari
kebiasaan dan pilihannya. Seorang penyair berkata: Jika aku mati, tangisilah
aku bersama keluargaku dan pukullah dadamu karena aku, wahai putri kuil. Begitu
juga bila ia mewasiatkan hal itu.[8]
Ratapan,
menampar pipi, dan memukul dada adalah ke-biasaan jahiliah. “Mereka biasanya
mewasiatkan keluarganya untuk menangisi dan meratapi mereka, serta mengumumkan
kematian. Hal itu merupakan kebiasaan mereka yang terkenal dan terdapat dalam
bait-bait puisi mereka. Karenanya, si orang mati itu pantas mendapat siksa,
disebabkan permintaannya kepada keluarganya semasa hidupnya," demikian
kata Ibn al-Atsir.[9]
Kata-kata
Bukhari sebaiknya diperhatikan, "Orang mati di-azab karena sebagian
tangisan keluarganya.” Jadi, ia tidak diazab oleh setiap tangisan. Tangisan
yang air matanya mengalir, tanpa merobek baju dan menampar pipi, tidak
mengakibatkan si mati disiksa. Ada banyak nas yang mendukung pernyataan ini.
Ibn Taimiyah disodorkan masalah ini. Beliau menganggap lemah pendapat Bukhari,
Qurthubi, Ibn Abdul Barr, dan lain-lain dalam menginterpretasikan hadis-hadis
yang menyatakan bahwa orang mati diazab karena tangisan keluarganya yang masih
hidup. Beliau mengatakan setelah menuturkan nas-nas menge-nai hal itu:
وقد أنكر ذلك طوائف من السلف والخلف،
واعتقدوا أن ذلك من باب تعذيب الإنسان بذنب غيره، فهو مخالف لقوله تعالى: (وَلَا
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى) [فاطر: ١٨] ، ثم تنوعت طرقهم في تلك الأحاديث
الصحيحة.
Beberapa
golongan dari ulama salaf dan khalaf mengingkari hal itu dan meyakini bahwa itu
termasuk mengazab manusia karena dosa orang lain. Itu bertentangan dengan ayat,
"Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (QS.
Fathir: 18) Pendapat mereka tentang hadis-hadis sahih itu bermacam-macam.
فمنهم من غلَّط الرواة لها، كعمر بن
الخطاب وغيره، وهذه طريقة عائشة والشافعي، وغيرهما. ومنهم من حمل ذلك على ما إذا
أوصى به فيعذب على إيصائه، وهو قول طائفة كالمزني، وغيره.
Ada
yang menyalahkan perawi hadis seperti Umar ibn al-Khatthab dan lainnya. Ini
pendapat Aisyah, Syafii, dan lain-lain. Ada lagi yang menakwil dengan
pengertian jika si mati berwasiat mengenai hal itu. Jadi, ia diazab karena
telah mewasiatkannya. Ini pendapat Muzani dan lain-lain.
ومنهم من حمل ذلك على ما إذا كان
عادتهم، فيعذب على ترك النهي عن المنكر، وهو اختيار طائفة منهم جدى أبو البركات،
وكل هذه الأقوال ضعيفة جداً
"
Sebagian yang lain menafsirkannya dengan
pengertian jika menjadi adat kebiasaan mereka. Jadi, ia diazab karena
meninggalkan nahi munkar. Ini pendapat Abu al-Barakat. Semua pendapat ini lemah
sekali.[10]
Ibn
Taimiyah menolak pendapat-pendapat yang menakwil-kan hadis itu: Hadis-hadis
sahih yang jelas dan diriwayatkan oleh perawi seperti Umar ibn al-Khatthab,
Abdullah ibn Umar, Abu Musa al-Asy'ari dan lain-lain itu tidak dapat ditolak
dengan cara seperti ini. Aisyah memiliki pandangan yang menolak hadis di atas
de-ngan sedikit takwil dan ijtihad karena menilai makna hadis ter-sebut keliru.
Sebenarnya tidak demikian. Barangsiapa merenung-kan hal ini, ia akan menemukan
bahwa hadis sahih yang jelas dan diriwayatkan para perawi terpercaya ini tidak
dapat ditolak oleh siapa pun kecuali bila ia keliru.[11]
Ibn
Taimiyah menjelaskan bahwa Aisyah terjebak dalam sesuatu yang semestinya harus
dijauhinya. Ia berkata, "Aisyah meriwayatkan dari Nabi saw. dua redaksi
hadis. Yang pertama,
إن الله ليزيد الكافر عذاباً ببكاء أهله
عليه
'Sesungguhnya
Allah akan menambahkan azab terhadap orang kafir karena keluarganya
menangisinya.' Ini sesuai dengan hadis Umar. Jika boleh menambah azab-nya
karena tangisan keluarga-nya, maka boleh juga mengazab-nya-dari yang tadinya
tidak diazab-karena tangisan keluarganya. Karena itu, Imam Syafii dalam
Mukhtalafal-Hadits menolak hadis ini karena kerancuan maknanya. Menurutnya,
yang lebih dapat diterima adalah riwayat Aisyah lainnya,
إنهم يبكون عليه، وإنه ليعذب في قبره
'Sungguh mereka menangisinya, dan sungguh ia
diazab di dalam kuburnya.'"[12]
Ibn
Taimiyah juga membantah pendapat yang menduga bahwa hadis di atas mengandung pengertian bahwa manusia diazab oleh dosa orang lain. Beliau berkata:
ظن بعضهم أن هذا من باب عقوبة الإنسان
بذنب غيره، وأن الله يفعل ما يشاء، ويحكم ما يريد، واعتقد هؤلاء أن الإنسان يعاقب
بذنب غيره، فجوزوا أن يدخل أولاد الكفار النار بذنوب آبائهم
Sebagian
orang memahami hadis ini dengan mengira bahwa ini termasuk menyiksa manusia karena dosa orang lain, dan sesungguhnya Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya dan memutuskan apa yang
diinginkan-Nya. Mereka meyakini bahwa manusia dapat disiksa karena dosa orang lain, sehingga mereka berpendapat bahwa anak-anak orang kafir dapat masuk neraka karena dosa bapak-bapak mereka.[13]
Ia
menjelaskan panjang lebar masalah ini, yaitu masalah anak-anak orang kafir
masuk neraka karena dosa orang tua me-reka. Menurut beliau, ini tidak benar.
Yang benar adalah bahwa Allah tidak mengazab kecuali orang yang mendurhakai-Nya
dan bahwa orang-orang yang tidak mengalami bencana akan diuji di padang-padang
kiamat. Setelah itu,ia mengatakan: Mengenai penyiksaan orang mati, Nabi saw. tidak mengata-kan bahwa orang mati disiksa (dengan kata 'iqab) karena keluarganya menangisinya, tetapi beliau mengatakan diazab (dengan kata 'adzab). Kata 'adzab lebih umum daripada 'iqab. Azab itu ada-lah sakit, dan tidak semua orang yag sakit karena suatu sebab berarti mendapat siksa ('iqab). Nabi saw. bersabda, “Bepergian itu sebagian dari azab, sebab kalian terhalang dari makanan dan minuman.” Jadi, bepergian (safar) dinamakan 'adzab, bukan iqab.
Manusia
diazab (merasa sakit) karena hal-hal yang dibenci yang ia rasakan, seperti suara-suara yang menakutkan, roh-roh jahat, dan bentuk-bentuk atau gambar-gambar yang jelek. Ia merasa sakit karena mendengar ini, mencium anu, melihat itu, padahal itu bukan pekerjaannya yang menyebabkannya pantas disiksa ('iqab). Lalu, apa alasan untuk menolak bahwa mayit merasa sakit (diazab) karena ratapan, meskipun ratapan itu bukan amalnya yang menyebabkannya pantas disiksa (terkena 'iqab)? Di dalam kubur, manusia diazab karena ucapan sebagian manusia, dan merasa sakit karena melihat atau mendengar ucap-an mereka. Karena itu, alQadhi Abu Ya'la berfatwa bahwa jika di dekat mereka dikerjakan maksiat, mereka akan merasakan sakit, sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis. Jadi, mereka diazab karena perbuatan maksiat yang dilakukan di dekat kubur mereka, seperti halnya mereka diazab karena ratapan orang-orang atas kematian mereka. Jadi, ratapan adalah sebab azab[14].
Pemahaman
semacam inilah yang diambil oleh Ibn Taimiyah. Pemahaman ini didukung oleh
beberapa hadis. An-Nu'-man ibn Basyir berkata,
أغمي على عبد الله بن رواحة رضي الله
عنه، فجعلت أخته عمرة تبكي: واجبلاه، واكذا، واكذا، تعدد عليه، فقال حين أفاق: ما
قلت شيئاً إلا قيل لي، أنت كذلك؟! فلما مات لم تبك عليه
“Abdullah
Ibn Rawahah pingsan. Istrinya, 'Amrah, menangisinya, 'Aduh suamiku!'
berulang-ulang. Lalu Abdullah berkata setelah ia sadar, 'Aku dengar apa yang
kau ucapkan tadi. Kenapa engkau berbuat seperti itu?!' Karena itu, tatkala
Abdullah wafat, istrinya tidak menangisi kepergiannya." (HR. Bukhari)[15]
Makna
yang lebih jelas terdapat dalam hadis dari Abu Musa al-Asy'ari :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
" ما من ميت يموت، فيقوم باكيه، فيقول: واجبلاه! واسيداه! أو نحو ذلك، إلا
وكل به ملكان يلهزانه: أهكذا كنت " رواه الترمذي. وقال: هذا
حديث حسن غريب
Bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Bila seseorang mati, lalu orang menangisi
kepergiannya dan berkata, 'Aduh,aku ditinggal! Wahai Tuanku!' atau perkataan
semacam itu, maka dua malaikat menyertainya dan memukulnya, 'Apakah dulu kamu
juga begitu!?'" (HR. Tirmidzi dan ia berkata, “Ini hadis hasan
gharib.")[16]
Al-Hafizh
berkata setelah menuturkan hadis ini dalam at-Talkhis, “Hadis ini diriwayatkan
dan disahihkan oleh Hakim serta dikuatkan oleh hadis sahih dari an-Nu'man ibn
Basyir.”[17]
Perlu ditekankan pula di sini bahwa tidak
semua orang mati diazab karena ratapan. Karena, terkadang penyebabnya tertolak oleh hal yang bertentangan dengannya-sebagaimana pendapat Ibn Taimiyah, seperti terjadi pada sebagian manusia yang ka-rena kekuatannya dapat menolak bahaya dari suara-suara menakutkan, roh dan bentuk-bentuk yang buruk. Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa dalam hadis-hadis ancaman itu disebutkan sebabnya, dan terkadang sebab itu terkalahkan oleh penghalang-penghalang yang menolaknya, seperti tobat yang diterima, ke-baikan yang dapat menghapus dosa, musibah-musibah yang meng-hapus dosa, syafaat orangorang yang dapat memberikan syafaat dan atau karena karunia, rahmat, dan ampunan Allah. Terakhir, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa azab yang menimpa orang mati yang mukmin di dalam kubur, karena ia diratapi, oleh Allah akan dijadikan penghapus dosa orang itu.[18]
Referensi : Yaumul Akhir karya Syekh Dr. Umar Asyqar, (hal. 61 - 67)
[1]
Syekh
Nashiruddin al-Albani berkata dalam Ahkam al-Jana'i,h.15,“Hadis ini
diriwayatkan oleh Ibn Majah (II, h.82), Ahmad (IV, h. 136; V, h. 7), dan
Bai-haqi (X, h.1142).Salah satu sanadnya sahih, sedang yang lainnya seperti
sanad dalam Ibn Majah. Al-Bushiri menilainya sahih dalam az-Zawa'id. Teks hadis
dan riwayat kedua adalah versi Baihaqi, dan tambahannya adalah versi Ahmad.
[2]
Syekh
al-Albani berkata dalam Ahkam al-Jana'iz, h. 15.,"Hadis ini diriwayat-kan
oleh Abu Dawud (II, h. 84), Nasa'i (II, h. 233), Hakim (II, h.25,26),Baihaqi
(VI, h. 4, 76), ath-Thayalisi dalam Musnadnya (no. 891-892), dan Ahmad (V, h.
11,13,20). Sebagian perawi meriwayatkan dari asy-Sya'bi dari Samirah, dan
se-bagian memasukkan Sam'an ibn Musyannaj di antara keduanya. Redaksi versi
pertama sahih menurut syarat Bukhari-Muslim sebagaimana dikatakan oleh al-Hakim
dan disetujui adz-Dzahabi. Versi kedua sahih (saja).” Syekh al-Albani
menyebutkan orang-orang yang mengeluarkan riwayat-riwayat itu berikut
tam-bahan-tambahannya.
[3]
Diriwayatkan
oleh Bukhari, bab "Jenazah", bab "Sabda Nabi saw.: Ma-yat Diazab
Karena Keluarganya Menangisinya". Lihat Fath al-Bari, III, h.151. Hadis
ini juga diriwayatkan oleh Muslim. Lihat Jami'al-Ushul, XI, h. 92.
[4]
Lihat
Shahih al-Bukhari, bab "Jenazah". Lihat Fath al-Bari, III, h. 151.
[5]
Lihat
takwil-takwil ini dalam Fath al-Bari, III, h. 152.
[6]
Fath
al-Bari, III, h. 154.
[7]
Lihat
Fath al-Bari, III,h. 150.
[8] Al-Qurthubi,
at-Tadzkirah, h. 102.
[9]
Ibn al-Atsir, Jami'al-Ushul, h. 102.
[10] Majmu'
al-Fatawa, XXIV, h. 370.
[11]
Majmu'
al-Fatawa, XXIV, h. 370.
[12]
Majmu'
Fatawa, XXIV, h, 371.
[13]
Majmu'
Fatawa, XXIV, h, 371.
[14]
Majmu'
Fatawa, XXIV, h, 371.
[15]
Diriwayatkan
oleh Bukhari dalam Shahih-nya, bab “Peperangan”,bab "Perang Mu'tah"
[16]
Sunan
at-Tirmidzi, bab "Jenazah", bab "Hadis Mengenai Kemakruhan
Menangisi Orang Mati", III, h. 326, hadis no. 1003.
[17]
Ibn
Hajar, Talkhis a-Habir,II, h.140, no. 806.
[18] Majmu'al-Fatawa, IV, h. 375.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.