Ahliyah (الأَهْلِيَّةُ)

 

Ahliyah (الأَهْلِيَّةُ)


Ahliyah (الأَهْلِيَّةُ)

Dilihat dari sudut etimologi, ahliyyah (الأَهْلِيَّةُ) berarti kecakapan menangani sesuatu urusan. Adapun secara terminologi, Abdul Aziz Al-Bukhari, dalam Kasyf Al-Asrar mendefinisikan:

suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh syari, (pembuat hukum) untuk menentukan seseorang telah cakap diienai tuntutan syara'.

صِفَةٌ يُقَدِّرُهَا الشَّارِعُ فِيْ الشَّخْصِ تَجْعَلُهُ مَحَلاًّ صَالِحًا لِخِطَابٍ تَشْرِيْعِيٍّ

Artinya, ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Apabila seseorang telah memiliki sifat ini, ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak kepada orang lain. Ahli ushul fikih membagi ahliyyah kepada dua bentuk, yaitu ahliyyah al-wujub dan ahliyyah al-ada'.

Ahliyah al-Ada’ (أهْلِيَّة الأَدَاءِ) 

Ahliyyah Al-Ada' (أهْلِيَّة الأَدَاءِ)  adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang dituntut syara' maka ia dianggap telah memenuhi kewajiban dan untuk itu ia diberi pahala. Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyah ada', mempunyai tiga keadaan sebagai berikut.

1.      Terkadang ia sama sekali tidak mempunyai ada', atau sama sekali sepi daripadanya. Inilah anak kecil pada masa kanak-kanaknya dan orang gila dalam usia berapa pun.

 

2.      Adakalanya ia adalah kurang ahliyyah ada'-nya, yaitu orang yang telah pintar tetapi belum baligh. Ini berkenaan dengan anak kecil pada periode tamyiz (pandai membedakan antara baik dan buruk) sebelum baligh, dan berkenaan pula pada orang yang kurang waras otaknya, karena sesungguhnya orang yang kurang waras otaknya adalah orang yang cacat akalnya, bukan tidak berakal. Ia hanya lemah akal, kurang sempurna akalnya. Jadi, hukumnya sama dengan anak kecil yang mumayyiz.

 

3.      Adakalanya ia mempunyai ahliyyah ada' yang sempurna, yaitu orang yang telah mencapai akil baligh. Ahliyyah ada' yang sempurna terwujud dengan ke-baligh-an manusia dalam keadaan berakal.

Ulama ushul fikih menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah al-ada' adalah akil baligh dan cerdas. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :

وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ ۚ

Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya....... (QS. An-Nisa [4] ayat 6).

Kalimat cukup umur dalam ayat di atas menunjukkan seseorang yang telah bermimpi dengan mengeluarkan sperma untuk pria dan haid untuk wanita. Orang seperti ini dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum.

Ahliyah Wujub

Ahliyyah wujub adalah kelayakan seorang manusia untuk ditetapkan padanya hak dan kewajiban. Atau sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. Asasnya adalah kekhususan yang diciptakan Allah kepada manusia dan Dia khususkan kepada manusia, tidak kepada aneka ragam hewan. Dengan kekhususan tersebut manusia patut memperoleh ketetapan hak dan kewajiban yang wajib atas dirinya. Kekhususan ini oleh fuqaha disebut dengan dzimmah (tanggungan).

 

Dzimmah adalah suatu sifat alami kemanusiaan yang menetapkan hak bagi manusia pada orang lain dan mewajibkan berbagai kewajiban padanya untuk orang lain. Manusia ditinjau dari ahliyyah wujub mempunyai dua keadaan sebagai berikut.

 

1.      Terkadang ia mempunyai ahliyyatul wujub yang kurang, yaitu apabila ia layak untuk memperoleh hak, akan tetapi tidak layak untuk dibebani kewajiban atau sebaliknya.

2.      Adakalanya ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna, apabila ia layak untuk memperoleh berbagai hak dan dibebani berbagai kewajiban. Ahliyyatul wujub ini tetap pada setiap manusia semenjak ia lahir, ketika ia kanak-kanak, dalam usia menjelang baligh-nya (mumayyiz) dan setelah ia baligh. Dalam keadaan apa pun ia berbeda pada periode dari perkembangan kehidupannya, ia mempunyai ahliyyah wujub yang sempurna. Misalnya, apabila seseorang menghibahkan hartanya kepada orang yang memiliki ahliyyah al-wujub maka yang disebut terakhir ini telah cakap menerima hibah tersebut. Apabila harta bendanya dirusak orang lain, maka ia dianggap cakap untuk menerima ganti rugi.

 

Ahli ushul fikih membagi Ahliyyah Al-Wujub kepada dua bentuk, yaitu Ahliyyah Al-Wujub An-Naqishah dan Ahliyyah Al-Wujub Al-Kamilah.

 

Ahliyah Wujub Al Kamilah (أهلِيَّة الوُجُوْبِ الكَامِلَة)

Ahliyyah Al-wujub Al-Kamilah (أهلِيَّة الوُجُوْبِ الكَامِلَة) adalah kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila. Dalam status Ahliyyah Al-Wujub (sempurna atau tidak) seseorang tidak dibebani tuntutan syara', baik yang bersifat ibadah seperti shalat dan puasa (yang bersifat rohani) maupun tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik.

 

Ahliyah Wujub An-Naqishah (أهلِيَّة الوُجُوْبِ النَاقِصَة)

Ahliyyah Al-wujub An-Naqishah (أهلِيَّة الوُجُوْبِ النَاقِصَة) adalah ketika seorang masih berada dalam kandungan ibunya (Janin). Janin dianggap memiliki Ahliyyah Al-Wujub yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat walau hanya sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya.

Ulama ushul fikih menetapkan ada empat hak janin yang masih dalam kandungan ibunya, yaitu;

1.       hak keturunan dari ayahnya,

2.       hak waris dari ahli warisnya yang meninggal dunia,

3.       wasiat yang ditujukan kepadanya, dan

4.       harta wakaf yang ditujukan kepadanya.

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

Contact Us