Adab-adab Buang Air (Qadha Hajat)

 

Adab-adab Buang Air (Qadha Hajat)


Qadha Hajat  (Buang Air)

Ada beberapa etika dan tatakrama yang harus diperhatikan oleh seorang Muslim ketika hendak qadha' hajat (buang air besar atau kecil). Di antaranya adalah :

1. Tidak diperkenankan membawa benda apa pun yang bertuliskan lafazh Allah, kecuali jika dikhawatirkan akan hilang atau karena tidak adanya tempat penitipan barang. Hal ini berdasarkan pada hadits yang bersumber dari Anas ra,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَبِسَ خَاتَمًا نَقَشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ، فَكَانَ إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ وَضَعَهُ، رَوَاهُ الْاَرْبَعَةُ

Bahwasannya Nabi Saw, memakai cincin yang bertuliskan 'Muhammad Rasulullah'. Setiap kali hendak masuk ke dalam toilet, beliau melepaskannya terlebih dahulu. (HR. Imam yang Empat), Abu Dawud (19), Tirmidzi (1746), Nasai (8/178), Ibnu Majah (303).

al-Hafizh Ibnu Hajar memberi komentar berkaitan hadits ini dengen berkata, "Ini hadist ma'lul (cacat)". Abu Dawud juga berkata, "Ini hadits munkar." Meskipun begitu, bagian pertama dari hadits ini adalah shahih.

2. Menjauh dan memasang tabir sehingga tidak terlihat oleh orang lain, terutama saat buang air besar. Hal ini bertujuan agar suara yang keluar darinya tidak terdengar atau baunya tidak tercium oleh orang lain. Sebagai landasan hal ini adalah hadits yang bersumber dari Jabir ra, Ia berkata,

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فيِ سَفَرٍ فَكَانَ لاَ يَأْتِي الْبَرَازَ حَتَّى يَغِيْبَ فَلاَ يَرَى رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهٍ.

"Kami bepergian bersama Nabi Saw, beliau tidak buang air besar kecuali jika sudah berada di tempat yang sunyi dan jauh dari penglihatan orang lain." (HR. Ibnu Majah (335).

Abu Dawud meriwayatkan,

كَانَ إِذَا أَرَادَ الْبَرَازَ اِنْطَلَقَ حَتَّى لاَ يَرَاهُ أَحَدٌ.

"Apabila Rasulullah Saw hendak buang air besar, beliau menjauh sehingga tidak terlihat oleh seorang pun." (HR. Abu Dawud (2).

وَلَهُ: (أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا ذَهَبَ الْمَذْهَبَ أَبْعَدَ.

Dalam riwayatnya yang lain, ia berkata, "Apabila Nabi Saw mencari tempat buang air, beliau mencari tempat yang jauh." (HR. Abu Dawud (1).

3. Membaca basmalah dan isti'adzah dengan suara keras ketika hendak masuk ke dalam jamban dan ketika hendak mengangkat pakaiannya jika berada di tanah lapang. Sebagai dasarnya atas hal ini adalah hadits yang berasal dari Anas ra, di mana ia berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلى الله عليه وسلم إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ الْخَلاَءَ قَالَ: (بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إِنِي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ) رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ

Apabila Nabi Saw hendak memasuki jamban, beliau membaca, "Dengan nama Allah, Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari gangguan setan laki-laki dan setan perempuan." (HR. Al-Jama’ah yaitu Bukhari (142), Muslim (375), Abu Dawud (4), Tirmidzi (5), Nasai (19), Ibnu Majah (298).

4. Hendaklah menahan dari pembicaraan, baik berupa dzikir atau yang lain. Oleh karena itu, orang yang berada dalam jamban tidak diwajibkan menjawab salam atau adzan. Kecuali jika ada sesuatu yang amat penting, seperti memberi arahan kepada orang buta yang dikhawatirkan akan terjerumus ke jurang. Jika seseorang yang bedada di dalam jamban bersin, cukup baginya membaca hamdalah dalam hati tanpa mengucapkannya dengan lisan. Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits yang berasal dari Ibnu Umar ra,

أَنَّ رَجُلاً مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ يَبُوْلُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِرَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلا الْبخُاَرِيَّ

bahwasannya ada seorang lelaki melintasi Nabi Saw yang saat itu beliau sedang buang air kecil. Lelaki tersebut mengucapkan salam kepada Rasulullah Saw, tapi beliau tidak (langsung) menjawab salamnya. (HR. al-Jama’ah kecuali al-Bukhari yaitu Muslim (370), Abu Dawud (16), Tirmidzi (90), Nasai (37), Ibnu Majah (353).

Abu Sa'id ra, berkata, saya mendengar Rasulullah Saw bersabda,

سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (لا يخرج الرجلان يضربان الغائط (٤كاشفين عن عورتيهما يتحدثان فإن الله يمقت على ذلك) رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه

"Jangan sampai ada dua orang laki-laki masuk ke dalam satu jamban secara bersamaan, lalu keduanya membuka aurat sambil berbincang-bincang, sebab Allah amat murka dengen perbuatan yang demikian itu." (HR. Ahmad (3/36), Abu Dawud (15), Ibnu Majah (342).

Hadits ini secara zhahir (tekstual) mengharamkan berbicara di dalam jamban. Namun para ulama telah sepakat bahwa hukum berbicara dalam jamban adalah makruh.

5. Hendaklah tetap mengagungkan kiblat dengan tidak menghadap ke arahnya atau membelakanginya. Abu Hurairah berkata,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (إذا جلس أحدكم لحاجته فلا يستقبل القبلة ولا يستدبرهارواه أحمد ومسلم

"Rasulullah Saw bersabda, "Jika salah seorang dari kalian duduk buang hajar, hendaklah ia tidak menghadap ke arah kiblat atau membelakanginya." (HR. Ahmad dan Muslim (365).

Larangan dalam hadits ini mengandung arti makruh berdasarkan penjelasan hadits dari Ibnu Umar ra, ia berkata,

رقيت يوما بيت حفصة فرأيت النبي صلى الله عليه وسلم على حاجته مستقبل الشام مستدبر الكعبةرواه الجماعة

"Pada suatu hari, saya memasuki rumah Hafshah. Dan saya melihat Nabi Muhammad Saw sedang membuang hajat dengan menghadap ke arah Syam dan membelakangi arah Kiblat.” (HR. al-Jama’ah ; Bukhari (148), Muslim (266), Abu Dawud (12), Tirmidzi (11), Nasai (23), Ibnu Majah (322).

Dari kedua hadits di atas dapat disimpulkan bahwa larangan menghadap ke arah kiblat jika berada di tanah lapang. Sementara kalau berada dalam ruangan tertutup, diperbolehkan menghadap arah manapun termasuk ke arah kiblat.

Marwan al-Ashghar berkata,

أيت ابن عمر أناخ راحلته مستقبل القبلة يبول إليها، فقلت: أبا عبد الرحمن ... أليس قد نهي عن ذلك؟ قال: بلى ... إنما نهي عن هذا في الفضاء فإذا كان بينك وبين القبلة شئ يسترك فلا بأس) رواه أبو داود وابن خزيمة والحاكم

"Saya pernah melihat Ibnu Umar menghentikan untanya dengan menghadap ke arah kiblat, kemudian ia kencing menghadap ke arah untanya. Saya bertanya, "Wahai Abu Abdurrahman, Bukankah Rasulullah Saw melarang hal yang demikian?' Ibnu Umar menjawab, 'Benar'. Tapi larangan itu ketika di tempat terbuka. Dengan demikian, jika terdapat penghalang antara orang yang membuang hajat dengan kiblat, maka ia dibolehkan menghadap ke arah mana saja." (HR. Abu Dawud (11), Ibnu Khuzaimah (60), Hakim (1/154).

6. Hendaklah mencari tempat yang lembab dan rendah agar yang bersangkutan tidak terkena najis. Sebagai landasan atas hal ini adalah sebuah hadits yang berasal dari Abu Musa ra, ia berkata,

أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى مكان دمث  إلى جنب حائط فبال. وقال: إذا بال أحدكم فليرتد) لبوله) رواه أحمد وأبو داود

bahwasannya Rasulullah Saw pergi ke suatu tempat yang rendah yang berdekatan dengan perkebunan (kurma di Madinah). Di sana beliau membuang air kecil. Lantas beliau bersabda, 'Jika salah seorang dari kalian hendak membuang air kecil, maka hendaklah ia memilih tempat yang lebih rendah untuk kencing." (HR. Ahmad (4/414), Abu Dawud (3)

Meskipun terdapat perawi yang majhul (tidak dikenal) dalam hadits ini, namun maksudnya shahih atau benar.

7. Sebisa mungkin tidak membuang air kencing ataupun kotoran pada lubang. Hal ini bertujuan agar tidak mengganggu hewan atau makhluk yang mungkin ada di situ. Sebagai dasar atas hal ini adalah hadits Qatadah yang berasal dari Abdullah bin Sarjis, ia berkata,

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يبال في الجحر، قالوا لقتادةما يكره من البول في الجحر؟ قالإنها مساكن الجنرواه أحمد والنسائي وأبو داود والحاكم والبيهقي، وصححه ابن خزيمة وابن السكن

Rasulullah Saw melarang kencing di lubang. Orang yang hadir ketika itu bertanya kepada Qatadah, Apa yang menjadi alasan sehingga kami dilarang kencing di lubang?'. Dia menjawab, 'Karena lubang merupakan tempat tinggal jin.' (HR. Ahmad (5/82), Nasai (34), Abu Dawud (29), Hakim (1/186), Baihaqi dalam al-Kubra (1/99).

Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Sakan mengategorikannya sebagai hadits shahih.

8. Sebisa mungkin menjauh dari (pepohonan) yang dijadikan tempat berteduh, jalan yang dilalui (orang) dan tempat persinggahan. Sebagai landasannya adalah hadits yang berasal dari Abu Hurairah ra,

 أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (اتقوا اللاعنين (٤) !) قالوا: وما اللاعنان يا رسول الله؟ قال: (الذي يتخلى في طريق الناس أو ظلتهمرواه أحمد ومسلم وأبو داود

bahwasannya Nabi Saw bersabda, "Hindarilah dua perkara yang dapat mendatangkan laknat dan kutukan dari orang." Para sahabat bertanya, "Apa yang dimaksud dengan dua perkara yang dapat mendatangkan laknat dan kutukan itu, wahai Rasulullah Saw?' Beliau menjawab, "Yaitu buang air di jalan yang dilalui manusia dan dijadikan tempat teduhan mereka." (HR. Ahmad (2/372), Muslim (269), Abu Dawud (25)

9. Hendaklah tidak buang air kecil di tempat pemandian, air yang tergenang atau pun air yang mengalir. Sebagai landasannya adalah hadits yang berasal dari Abdullah bin Mughaffal ra, ia mengatakan,

إنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لا يبولن أحدكم في مستحمه ثم يتوضأ فيه، فإن عامة الوسواس منهرواه الخمسة

Bahwa Rasulullah Saw bersabda, "janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian membuang air kecil di tempat pemandian, lalu mengambil wudhu dari tempat itu. Sebab, kebanyakan was-was selalu berasal dari sana." (HR. Imam yang lima, Ahmad (5/56), Abu Dawud (27), Tirmidzi (21), Nasai (36), Ibnu Majah (304)

Kalimat "Lalu mengambil air wudhu dari tempat itu" terdapat pada riwayat Ahmad dan Abu Daud.

Jabir ra mengatakan :

أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يبال في الماء الراكدرواه أحمد والنسائي وابن ماجه

Bahwasannya Nabi Saw melarang kencing di atas air yang menggenang." (HR. Ahmad (5/350), Nasai (35), Ibnu Majah (353), Diriwayatkan pula oleh Muslim (281).

Jabir ra juga mengatakan :

أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يبال في الماء الجارى

Bahwasannya Rasulullah Saw melarang kencing di atas air yang mengalir."

Pengarang kitab Majma' az-Zawaid berkata, "Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dan semua perawinya tsiqah." (Thabrani dalam al Awsath (1770), Majma' az Zawaid (1/204).

Jika kencing di air bekas cucian, seperti saluran air kotor, maka hal yang demikian dibolehkan.

10. Hendaklah tidak kencing sambil berdiri karena kencing sambil berdiri tidak bisa membuat hati tenang, berlawanan dengan tradisi setempat, dan tidak bagus dilihat dari sisi etika. Juga dikhawatirkan, yang bersangkutan terkena percikan kencingnya. Namun, jika diyakini air kencingnya tidak memercik dan tidak dikhawatirkan mengenai dirinya, maka ia boleh kencing sambil berdiri.

Aisyah ra berkata,

من حدثكم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بال قائما فلا تصدقوه، ما كان يبول إلا جالسارواه الخمسة إلا أبا داود

"Barangsiapa yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw pernah kencing dalam keadaan berdiri, maka janganlah kalian memercayai ucapannya. Beliau tidak pernah kencing kecuali dalam keadaan duduk." (HR. Imam yang Lima kecuali Abu Dawud). Ahmad (6/136 dan 192), Tirmidzi (12), Nasai (29), Ibnu Majah (307)

Imam Tirmidzi berkata, "Hadits ini merupakan hadits terbaik yang berkaitan dengan masalah etika saat buang air kecil dan termasuk hadits yang paling shahih."

Apa yang dikatakan Aisyah ini berdasarkan atas pengetahuannya selama hidup bersama Rasulullah Saw. Meskipun demikian, pernyataan yang dikemukakan Aisyah ini tidak meniadakan (mengingkari) adanya hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah ra. Ia mengatakan,

أن النبي صلى الله عليه وسلم انتهى إلى سباطة قوم فبال قائما فتنحيت فقال(أدنه) فدنوت حتى قمت عند عقبيه فتوضأ ومسح على خفيه) رواه الجماعة

"Suatu ketika, Rasulullah Saw singgah di sebuah tempat pembuangan sampah. Lantas beliau membuang air kecil sambil berdiri. Melihat hal itu, aku segera menjauh tapi beliau berkata, "Mendekatlah ke mari!" Aku segera menghampiri beliau hingga berdiri berdekatan dengan tumitnya. Kemudian aku melihatnya berwudhu dan mengusap kedua alas kakinya (khuf)." (HR. al-Jama'ah) (al-Bukhari (224), Muslim (273), Abu Dawud (23), Nasai (18), Ibnu Majah (305)

Berkaitan dengan kedua hadits ini,

قال النوويالبول جالسا أحب إلي، وقائما مباح، وكل ذلك ثابت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم

Nawawi berkata, "Dalam pandanganku, kencing dalam keadaan duduk itu lebih baik. Tapi, jika seseorang kencing dalam keadaan berdiri, hal itu juga dibolehkan. Kedua kondisi tersebut pernah dilakulakan oleh Rasulullah Saw.

11. Wajib membersihkan sisa najis yang masih ada pada tempat keluarnya najis dengan menggunakan batu ataupun benda padat lainnya yang suci dan dapat menghilangkan najis dan tidak termasuk benda yang dimuliakan. Atau hanya dengan menggunakan air. Sebagai dasar atas hal ini adalah hadist dari Aisyah, ra, bahwasannya Rasulullah Saw bersabda,

إذا ذهب أحدكم إلى الغائط فليستطب (٢) بثلاثة أحجار فإنها تجزئ عنه) رواه أحمد والنسائي وأبو داود والدارقطني

"Jika salah seorang di antara kalian selesai buang air (besar atau kecil), maka hendaknya ia beristinja' dengan tiga buah batu karena yang demikian itu sudah mencukupi." (HR. Ahmad (6/108), Nasai (44), Abu Dawud (40), Nasai (44), Daruquthni (144)

Anas ra berkata,

ان رسول الله صلى الله عليه وسلم يدخل الخلاء فأحمل أنا وغلام نحوي إداوة (٣) من ماء وعنزه فيستنجي بالماء) متفق عليه.

"Ketika Rasulullah Saw masuk ke dalam jamban, aku dan orang yang sebaya denganku membawa seember air dan gayung. Lantas Rasulullah Saw bersuci dengan air tersebut". Muttafaq 'Alaih (Bukhari (152), Muslim (271)

Ibnu Abbas ra, berkata,

إنهما يعذبان، وما يعذبان في كبير (١) أما أحدهما فكان لا يستنزه من البول (٢وأما الاخر فكان يمشي بالنميمة رواه الجماعة

"Rasulullah Saw pernah melintasi dua makam. Lantas beliau berkata, "Kedua penghuni makam ini dalam keadaan disiksa. Mereka tidak disiksa atas dosa besar; salah seorang dari mereka tidak bersuci setelah kencing dan yang satu lagi, ia selalu mengadu domba saat berjalan." HR. Jama'ah. (Bukhari (216), Muslim (292), Abu Dawud (20), Tirmidzi (70), Nasai (31), Ibnu Majah (347)

Anas ra meriwayatkan sebuah hadits marfu' yang berbunyi

تنزهوا من البول فإن عامة عذاب القبر منه

"Bersucilah kalian dari air kencing, sebab pada umumnya siksa kubur berasal darinya." (Daruquthni (453), al-Mundzir dalam at-Targhib (261)

12. Hendaklah tidak bersuci dengan menggunakan tangan kanan agar tangan kanan tidak sampai menyentuh barang yang kotor secara langsung. Sebagai dasar hal ini adalah hadits yang berasal dari Abdurrahman bin Zaid. Ia berkata,

قيل لسلمان: قد علمكم نبيكم كل شئ حتى الخراءة فقال سلمانأجل ... نهانا أن نستقبل القبلة بغائط أو ببول، أو نستنجي باليمين أو يستنجي أحدنا بأقل من ثلاثة أحجار، وأن لا يستنجي برجيع (٥أو بعظم) رواه مسلم وأبو داود والترمذي

"Ada seseorang yang bertanya kepada Salman; 'Apakah Nabimu telah mengejarkan segala sesuatu sampai masalah kotoran?

Salman menjawab, 'Ya', Tidak hanya itu, bahkan kami dilarang menghadap kiblat pada saat membuang air besan maupun kecil. Kami dilarang bersuci dengan menggunakan tangan kanan. Kami dilarang bersuci kurang dari tiga biji batu. Dan kami juga dilarang bersuci dengan menggunakan barang najis atau tulang." (HR. Muslim (262), Abu Dawud (7), Tirmidzi (16)

Hafshah ra berkata,

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يجعل يمينه لاكله وشربه وثيابه وأخذه وعطائه، وشماله لما سوى ذلك، رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه وابن حبان والحاكم والبيهقي

"Rasulullah Saw senantiasa menggunakan tangan kanannya untuk makan, minum, mengenakan pakaian, memberi dan menerima sesuatu, sementara tangan kirinya dipergunakan untuk perkara selain itu." (HR. Ahmad (6/287, 288), Abu Dawud (32), Ibnu Majah, Ibnu Hibban (5227), Hakim (4/109), Baihaqi (1/113).

13. Setelah bersuci, hendaklah menggosokkan tangannya ke tanah atau mencucinya dengan sabun dan yang sejenisnya. Hal ini bertujuan agar bau tidak sedap yang masih menempel di tangannya hilang. Sebagai dasar atas hal ini adalah hadits yang berasal dari Abu Hurairah ra, Ia berkata,

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا أتى الخلاء أتيته بماء في تور أو ركوة (٦) فاستنجى ثم مسح يده على الارض) رواه أبو داود والنسائي والبيهقي وابن ماجه

"Jika Rasulullah Saw masuk dalam jamban, aku membawakan air dengan bejana yang terbuat dari tembaga atau kulit. Kemudian beliau bersuci (dengan air). setelah itu, beliau menggosokkan tangannya ke tanah." (HR. Abu Dawud (45), Nasai (50), Baihaqi (1/106), Ibnu Majah (358)

14. Jika selesai kencing, hendaklah memercikkan air ke kemaluan dan celananya. Hal ini bertujuan untuk menghindari rasa was-was yang masih tersimpan dalam hati, sehingga pada saat ia melihat bagian yang basah, ia meyakini bahwa yang basah tersebut merupakan bekas percikan air. Sebagai dasar atas hal ini adalah hadits yang bersumber dari Hakam bin Sufyan atau Sufyan bin al-Hakam ra, Ia berkata,

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا بال توضأ وينتضح

"Jika Rasulullah Saw selesai membuang air kecil, beliau berwudhu dan memercikkan air." (Abu Dawud (166), Nasai (135), Ahmad (3/410)

Dalam riwayat yang lain, Hakam berkata,

وفي رواية: (رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم بال ثم نضح فرجه)

"Saya melihat Rasulullah Saw membuang air kecil, kemudian beliau memercikkan air pada kemaluannya."

وكان ابن عمر ينضح فرجه حتى يبل سراويله

Ibnu Umar juga selalu menyiramkan air pada kemaluannya sampai celananya basah.

15. Hendaklah mendahulukan kaki kiri ketika hendak memasuki jamban, dan mendahulukan kaki kanan ketika keluar dari jamban sambil berdoa,

غفرانك

"Aku memohon ampunan-Mu."

Aisyah ra, berkata,

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا خرج من الخلاء قال: غفرانك رواه الخمسة إلا النسائي

Bahwasannya Nabi Saw bila hendak keluar dari jamban, beliau membaca, "Ghufranaka (Aku memohon ampunan-Mu (ya Alllah)". HR. Imam yang lima (Abu Dawud (20), Tirmidzi (7), Ibnu Majah (300), Ahmad (6/155)

وحديث عائشة أصح ما ورد في هذا الباب كما قال أبو حاتم

Abu Hatim berkata, "Berkaitan dengan masalah ini, hadits yang bersumber dari Aisyah ini lah yang paling sahih.

Ada juga sebuah riwayat dengan sanad yang dhaif, sebagai berikut, Bahwasannya Rasulullah Saw setelah buang hajar, beliau membaca do'a.

الحمد لله الذي أذهب عني الاذى وعافاني

"Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah menghilangkan penyakit dariku dan memberi kesehatan kepadaku." (Ibnu Majah (301), Ibnu Sina dalam amal al yaum wa al lail (22)

Sesekali Rasulullah Saw juga membaca doa berikut,

الحمد لله الذي أذاقني لذته، وأبقى في قوته، وأذهب عني أذاه

"Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah memberi kenikmatan kepadaku, mengekalkan kekuatan padaku dan menghilangkan penyakit dari diriku." (Ibnu Sina dalam amal al yaum wa al lail (25) dari Ibnu Umar.

Referensi :

Fiqih as-Sunnah karya Syekh Sayyid Sabiq (hal. 25-28).

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

Contact Us