Zakat Fitrah adalah ibadah yang mudayyaq, yaitu tertentu dan
terbatas waktunya. Karena itu membagikan zakat fitrah harus tepat pada
waktunya.
Abu Sa’id Al-Khudri berkata,
كُنَّا نُخْرِجُ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا مَنْ طَعَامٍ.
“Kami (para sahabat) mengeluarkan zakat fitrah di zaman Rasulullah Saw pada (waktu) hari raya fithri (berupa) satu sha’ dari makanan.” (HR. al-Bukhari).[1]
Keterangan Abu Sa’id di atas menjadi petunjuk bahwa ketentuan
waktu mengerjakan zakat fitrah yang berlaku di zaman Rasulullah Saw adalah pada
yawmal fithri (siang hari raya fithri), bukan pada malam hari.
Perbuatan sahabat di atas merupakan pengamalan dari instruksi
Rasulullah Saw sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Umar :
أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ
قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إلَى الصَّلاَةِ.
Bahwa Rasulullah Saw memerintah zakat
fithrah (supaya dilakukan) sebelum orang keluar (pergi) ke shalat (hari raya).
(HR. al-Bukhari).[2]
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَمَرَ بِزَكَاةِ
الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إلَى الصَّلاَةِ.
Bahwa Rasulullah Saw memerintah agar dikeluarkan zakat fitri sebelum
orang-orang berangkat menunaikan shalat Ied. (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasai, Abu
Dawud, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi, Abd bin Humaid dan Ibnul Jarud.[3]
Dalam riwayat lain dengan menggunakan redaksi berikut :
أَمَرَ بِإخْرَاجِ زَكَاةِ الْفِطْرِ.
“Memerintahkah agar mengeluarkan zakat fithri.” (HR. Ibnu
Khuzaimah dan Ad-Daruquthni).[4]
فَرَضَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم زكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلْصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ ادَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ
مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ ادَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ
الصَّدَقَاتِ.
Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan orang
yang shaum dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan
orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat (Idul Fithri), maka
zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu
hanya shadaqah (bukan zakat fithri) di antara berbagai shadaqah.” (HR, Abu
Dawud).[5]
Selain itu menggunakan pula kalimat Sadaqah al-Fithri ;
أَمَرَ بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ.
“Memerintahkan agar membayar sadaqah
fithri.” (HR. An-Nasai dan Ibnu Khuzaimah).[6]
Sedangkan dalam riwayat ad-Daruquthni dengan kalimat amara
biha (memerintahkannya). [7]
Sedangkan dalam riwayat At-Tirmidzi digunakan redaksi sebagai
berikut,
كَانَ يَأْمُرُ بِإخْرَاجِ
الزَّكَاةِ قَبْلَ الْغُدُوِّ لِلصَّلاَةِ يَوْمَ الفِطْرِ.
“Sesungguhnya Rasulullah Saw
memerintah untuk mengeluarkan zakat fithri pada hari fithri sebelum pergi
shalat (hari raya).” (HR. At-Tirmidzi).[8]
Berdasarkan dalil-dalil di atas (dengan berbagai bentuk
redaksi) maka semakin jelaslah makna yawmal fithri itu, yakni bukan
malam hari dan bukan pula sepanjang hari raya, tapi sebagainya saja, yaitu
sejak terbit fajar hingga selesai shalat hari raya (Ied) setempat.
Untuk lebih jelasnya, Ibnu Tin menyatakan sebagai berikut,
قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ
إلَى الصَلاَةِ أيْ قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إلَى الْعِيْدِ وَبَعْدَ صَلاَةِ
الْفَجْرِ.
“(Maksud) sebelum orang-orang keluar
(pergi) ke shalat (hari raya) ialah sebelum orang keluar untuk shalat ‘Idul
Fithri dan setelah shalat Shubuh.”[9]
Kemudian Ikrimah menegaskan pula, “Seseorang mendahulukan
zakatnya pada “hari raya fithri” di hadapan shalatnya, karena Allah telah berfirman;
اَفْلَحَ مَنْ
تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
Sungguh beruntung orang yang membersihkan
(berzakat) dan mengingat Tuhannya, kemudian ia shalat. (QS. Al-A’la (87: 14-15).[10]
Dengan demikian, waktu untuk menyampaikan zakat fitrah kepada para mustahiq itu adalah dimulai sejak terbit fajar hari raya fithri sampai selesai Shalat Ied setempat. Hal itu bukan hanya dicontohkan saja, melainkan diperintahkan, yang kemudian senantiasa dipraktekkan oleh para sahabat, baik pada zaman Rasulullah maupun sesudahnya. Ketentuan ini berlaku, baik bagi perorangan ataupun kelembagaan (jami’ zakat).
[1]
Shahih Al-Bukhari (II:548 no. 1439).
[2] Shahih Al-Bukhari (II:679 no. 1438).
[3]
Shahih Muslim, II:679 No. 986, Musnad Ahmad, II:67, No. 5345, II: 154 No. 6429,
Sunan Kubra, III:30 No. 2300, Sunan Abi Dawud, II: 111 No. 1610, Ibnu Khuzaimah,
IV:91, No. 2422, Sunan Kubra, IV: 174, No. 7526, Musnad Abd bin Humaid, I: 249,
No. 780, dan Al-Muntaqa, I: 98, No. 359.
[4]
Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:90 no. 2421, dan Sunan ad-Daruquthni (11:152 No. 66).
[5]
Sunan Abi Dawud No. 1609, dari Ibnu Abbas Ra.
[6]
Sunan An-Nasai (V: 54 No. 2521 dan Shahih Ibnu Khuzaimah, (IV: 91 No. 2423).
[7] Sunan ad-Daruquthni (11:153 No. 69).
[8] Sunan at-Tirmidzi, III:62 No. 677.
[9] Fathul Bari, III:439.
[10] Fathul Bari, III:439.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.