Pengertian I’tikaf itu ada dua; I’tikaf lughawi (secara bahasa) dan Syar’i (secara syari’at). I’tikaf menurut bahasa adalah menetap atau tinggal di mana saja dan kapan saja untuk kebaikan maupun kejelekan. I’tikaf Syar’i ialah tinggal di mesjid Jami’ selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan dengan niat beribadah.
Adapun dalil-dalil terkait dengan i’tikaf adalah sebagai berikut :
1.
Syari’at
I’tikaf dalam Al-Qur’an
وَاِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً
لِّلنَّاسِ وَاَمْنًاۗ وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّىۗ
وَعَهِدْنَآ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ اَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ
لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ
Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan
rumah (Ka’bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan
jadikanlah maqam Ibrahim itu tempat
salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah
rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf, orang yang rukuk dan
orang yang sujud!”. (QS. al-Baqarah [2] : 125).
2. Hadits-hadits
tentang waktu I’tikaf Rasulullah Saw pada bulan Ramadhan, antara lain :
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ
الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ.
Dari ‘Aisyah, ia mengatakan,
“Rasulullah Saw biasa beri’tikaf sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, sampai
beliau wafat.” (Muttafaq ‘Alaih, Fath al-Bari IV: 34, Shahih Muslim, I: 479).
Hadits di atas menunjukkan bahwa
syari’at I’tikaf adalah hari terakhir pada bulan Ramadhan.
3. Hadits-hadits
tentang waktu I’tikaf qadha di luar bulan Ramadhan, antara lain :
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم
يَعْتَكِفُ فِيْ العَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ
خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ
أنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا فَضَرَبَتْ خِبَاءً فَلَمَّا رَأَتْهُ
زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ فَلَمَّا اصْبَحَ النَّبِيُّ صلى
الله عليه وسلم البِرَّ تُرَوْنَ بِهِنَّ فَتَرَكَ الإِعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ
ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ.
Dari ‘Aisyah Ra, berkata: “Nabi Saw
beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan dan aku membuat tenda
khusus untuk beliau, kemudian shalat Shubuh, lalu masuk ke dalam tenda
tersebut. Kemudian Hafshah meminta izin kepada Aisyah untuk membuat tenda, maka
‘Aisyah mengizinkannya. Lalu Hafshah membuatnya. Ketika Zainab putri dari Jahsy
melihatnya ia pun membuat tenda yang lain buatnya. Pada pagi harinya Nabi Saw
melihat tenda-tenda tersebut lalu berkata: “Apa ini ?” lalu beliau diberitahu.
Maka Nabi Saw berkata : “Apakah kalian memandang baik tenda-tenda ini?”
Akhirnya beliau meninggalkan i’tikaf pada bulan itu lalu Beliau beri’tikaf
sepuluh hati pada bulan Syawwal.” (HR. al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, III: 48).
Hadits tersebut menunjukkan: pertama, bahwa i’tikaf itu dilakukan
sepuluh hari di akhir Ramadhan siang dan malam, di mulai pada Shubuh. Kedua,
bagi yang mendawamkan i’tikaf setiap bulan Ramadhan, bila berhalangan, maka
boleh diqadha pada sepuluh hari di bulan Syawwal.
4.
Hadits-hadits
tentang ketentuan I’tikaf, antara lain :
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ : السُنَّةُ عَلَى اْلمُعْتَكِفِ أنْ لاَ يَعُوْدَ مَرِيْضًا
وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً وَلاَ يَمَسَّ امْرَأَةً وَلا يُبَاشِرَهَا وَلاَ
يَخْرُجَ إلاَّ لِحَاجَةٍ مَا لاَ بُدَّ مِنْهُ وَلاَ اعْتِكَافَ إلاَّ بِصَوْمٍ
وَلاَ اعْتِكَافَ اِلاَّ فِيْ مَسْجِدِ جَامِعٍ.
Dari Aisyah, ia mengatakan, “Sunah (disyari’atkan) atau mu’takif (yang sedang beri’tikaf) adalah tidak boleh menengok
yang sakit, tidak boleh menghadiri jenazah, tidak boleh menyentuh istri, tidak
boleh menggaulinya dan tidak boleh keluar dari masjid, kecuali untuk keperluan
yang mesti (hajat). Dan tidak ada I’tikaf kecuali di Masjid Jami’. (HR. Abu
Dawud, Sunan Abu Dawud, I: 575).
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّهَا كَانَتْ تُرَجِّلُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم هِيَ حَائِضٌ
وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فِيْ الْمَسْجِدِ وَهِيَ فِيْ حُجْرَتِهَا يُنَاوِلُهَا
رَأْسَهُ، وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ البَيْتَ إلاَّ لحَاجَةِ الْإنْسَانِ إذَا كَانَ
مُعْتَكِفًا
Dari Aisyah, bahwa ia menyisiri rambut Rasulullah Saw ketika sedang haid, dan Rasulullah Saw sedang beri’tikaf di mesjid, ia di kamarnya menjangkau kepada beliau. Dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk keperluan manusiawi apabila sedang beri’tikaf. (Muttafaq ‘Alaih, Fath al-Bari, IV: 343 No. 2029, Shahih Muslim, I: 150, No. 297).
Dari hadits-hadits di atas dapat disimpulkan : 1. I’tikaf Ramadhan kurang dari atau lebih dari sepuluh hari tidak disyari’atkan (bid’ah). 2. Bagi yang telah mendawamkan i’tikaf Ramadhan bila ada halangan dapat diqadha pada 10 hari bulan Syawwal. 3. I’tikaf di luar bulan Ramadhan tidak disyari’atkan (bid’ah). .
Masalah seputar Shaum Ramadhan dan Idul Fithri Karya Dewan Hisbah
PP Persis (hal. 55-57).
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.