Kritera Ulama Menurut Para Ahli
Shahabat Ibnu ‘Abbas mendefinisikan ulama sebagai berikut :
“(yang disebut) orang alim di antara hamba Allah ialah orang yang tidak menyekutukan Allah kepada sesuatu pun, ia menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Allah, dan mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah, menjaga wasiat-Nya, yakin bahwa ia akan menghadap kepada-Nya, dan Dia (Allah) akan memperhitungkan semua amal perbuatannya”. (Al-Maraghi)
Seorang Ulama generasi tabi’in ; Hasan Al-Bashri mendefisikan – Ulama – sebagai berikut ;
“Orang alim ialah orang yang takut kepada Allah dalam keadaan ghaib dan suka berbuat apa yang disukai oleh Allah, dan menahan diri dari pada yang membuat murka Allah”. (Al-Maraghi, 22: 126)
Dari dua definisi tersebut, dapat disimpulkan, bahwa kriteria seorang alim itu ialah ;
1. Takut kepada Allah dan tidak takut oleh selain Allah
2. Tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun
3. Komitmen terhadap hukum Allah, menghalalkan akan yang dihalakan oleh-Nya dan mengharamkan apa yang diharamkan oleh-Nya
4. Menjaga dan memelihara pesan-pesan Allah
5. Senang melakukan apa yang disukai oleh Allah, dan meninggalkan apa yang membuat murka Allah
6. Yakin bahwa ia akan menghadap kepada Allah dan akan diminta pertanggung jawabannya.
Ulama Sebagai Saksi Kebenaran
Sepanjang sejarahnya, ulama adalah manusia-manusia istimewa yang
selalu menjadi saksi kebenaran. Mereka akan selalu membenarkan yang benar, dan
tidak akan pernah membiarkan ketidakbenaran dianggap sebuah kebenaran. Bahkan
di sebuah kaum yang rusak sekalipun, seperti Bani Israil (kaum Yahudi dan
Kristen), para ulama mereka akan selalu menjadi saksi hidup kebenaran, sehingga
menjadi rujukan kebenaran.
Ayat di atas menegaskan hal ini. Bahwa kebenaran Al-Qur’an diakui
dan disaksikan kebenarannya oleh para ulama Bani Israil. Tentunya sebagaimana
ditegaskan Al-Hafizh Ibnu Katsir – para ulama yang lurus. Sementara yang tidak
lurus, mereka tidak layak menyandang gelar ulama. Sebab memang tidak disebut
istilah ulama, pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang selalu berlaku
lurus dan takut kepada Allah Swt. seperti pada Qur’an Surat Al-Fathir :
وَمِنَ
ٱلنَّاسِ وَٱلدَّوَآبِّ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ مُخۡتَلِفٌ أَلۡوَٰنُهُۥ كَذَٰلِكَۗ
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ
غَفُورٌ ٢٨
Dan demikian (pula) di antara
manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun. (QS. Al-Fathir [35] : 28)
Para ulama Bani Israil yang
dimaksud adalah mereka yang disebutkan oleh ayat lain :
ٱلَّذِينَ
يَتَّبِعُونَ ٱلرَّسُولَ ٱلنَّبِيَّ ٱلۡأُمِّيَّ ٱلَّذِي يَجِدُونَهُۥ مَكۡتُوبًا
عِندَهُمۡ فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَٱلۡإِنجِيلِ يَأۡمُرُهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِ
وَيَنۡهَىٰهُمۡ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ
عَلَيۡهِمُ ٱلۡخَبَٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنۡهُمۡ إِصۡرَهُمۡ وَٱلۡأَغۡلَٰلَ ٱلَّتِي
كَانَتۡ عَلَيۡهِمۡۚ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِهِۦ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَٱتَّبَعُواْ
ٱلنُّورَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ مَعَهُۥٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٥٧
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi
yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang
ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma´ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang
baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang
beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang
yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.
(QS. Al-A’raf [7] : 157)
Dalam ayat lain, sifat para
ulama Bani Israil ini dijelaskan :
وَإِذَا
سَمِعُواْ مَآ أُنزِلَ إِلَى ٱلرَّسُولِ تَرَىٰٓ أَعۡيُنَهُمۡ تَفِيضُ مِنَ ٱلدَّمۡعِ
مِمَّا عَرَفُواْ مِنَ ٱلۡحَقِّۖ يَقُولُونَ رَبَّنَآ ءَامَنَّا فَٱكۡتُبۡنَا
مَعَ ٱلشَّٰهِدِينَ ٨٣
Dan apabila mereka
mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata
mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka
ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami,
kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi
(atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.). (QS. Al-Maidah [5] :
83)
Ayat tersebut semakna dengan
ayat yang terdapat pada Surat Al-Baqarah ayat 121 :
ٱلَّذِينَ
ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَتۡلُونَهُۥ حَقَّ تِلَاوَتِهِۦٓ أُوْلَٰٓئِكَ
يُؤۡمِنُونَ بِهِۦۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ ١٢١
Orang-orang yang telah Kami
berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya,
mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka
mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS. Al-Baqarah [2] : 121)
Demikian juga sifat ulama
Bani Israil disebutkan pada surat Ali-Imran :
۞لَيۡسُواْ سَوَآءٗۗ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ
أُمَّةٞ قَآئِمَةٞ يَتۡلُونَ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ وَهُمۡ
يَسۡجُدُونَ ١١٣ يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ
وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ
مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١١٤
113. Mereka itu tidak sama; di antara Ahli
Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada
beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang)
114. Mereka beriman kepada
Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah
dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka
itu termasuk orang-orang yang saleh. (QS. Ali-Imran [3] : 113
-114)
Ulama-ulama Bani Israil ini
adalah mereka yang disebut juga sebagai Ahlu Dzikr dalam Qur’an Surat
An-Nahl ayat 43 dan Al-Anbiya ayat 7.
وَمَآ
أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ إِلَّا رِجَالٗا نُّوحِيٓ إِلَيۡهِمۡۖ فَسَۡٔلُوٓاْ
أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٤٣
Dan Kami tidak mengutus
sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka;
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui. (QS. An-Nahl [16] : 43)
وَمَآ
أَرۡسَلۡنَا قَبۡلَكَ إِلَّا رِجَالٗا نُّوحِيٓ إِلَيۡهِمۡۖ فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ
إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٧
Kami tiada mengutus rasul
rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami
beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang
berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (QS. Al-Anbiya [21] : 7)
Mereka semua yang memiliki
sifat-sifat yang tersebut pada ayat-ayat di atas bisa dijadikan rujukan sebab
mereka selalu menjadi saksi kebenaran. Maka dari itu tidak heran jika pada
Qur’an Surat Ali-Imran ayat 18, Allah Swt menyetarakan para ulama ini dengan
malaikat dan bahkan dengan Allah Swt sendiri, sebagai saksi-saksi kebenaran di
mana pun mereka berada. Maka barang siapa yang mengabaikan kedudukan para ulama
dengan tidak mendengarkan kesaksian mereka atau enggan disaksikan oleh mereka,
mereka sudah pasti orang-orang yang menyimpang jauh dari kebenaran. Na’udzubilahi
Min Dzalik (Kami berlindung dari yang demikian).
Sumber : Majalah Risalah
Persatuan Islam bulan Desember 2016, hlm : 82.
Ulama Penentu Keselamatan Umat
Ulama penentu keselamatan dan kemaslahatan umat adalah ulama yang lurus, yang memberikan fatwa sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah, demikian juga ia harus menjadi teladan bagi umatnya dalam merealisasikan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut.
Begitu pentingnya eksistensi ulama, Rasulullah SAW pernah bersabda :
العُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأْنْبِيَاءِ. رواه ابو داود رقم : 3643.
“Ulama itu pewaris para Nabi” HR. Abu Daud, no. 3643, Al- hatstsu ‘Ala Thalabil-Ilmi (dorongan untuk menuntut ilmu)
Bahkan ulama yang lurus itu mesti dijadikan pembimbing bagi para Ahli Ibadah dan Pengusaha.
Karena ketiga golongan tersebut ; ulama, ahli ibadah dan pengusaha adalah penentu kemaslahatan umat.
Ibnu Katsir pernah berkata – dalam menafsirkan Qur’an Surat At-Taubah ayat 34 :
هَؤُلَاءِ هُمُ القِسْمُ الثَّالِثُ مِنْ رُؤُوْسِ النَّاسِ, فَإِنَّ النَّاسَ عَالَةٌ عَلَى العُلَمَاءِ, وَعلَى العُبَّادِ, وَعلَى أرْبَابِ الأمْوَالِ, فإِذَا فسَدَتْ أحْوَالُ هُؤُلَاءِ فَسَدَتْ أحْوَالُ النَّاسِ.
“Inilah jenis ketiga dari pemimpin manusia, sebab manusia hidupnya sangat bergantung kepada para ulama, ahli-ahli ibadah, dan orang-orang yang berharta. Jika mereka bertiga ruksak, maka rusak pulalah kehidupan manusia”.
Dari keterangan tersebut, menunjukkan bahwa kepemimpinan ulama lebih dominan dari semuanya sebab merekalah yang mempunyai tugas juga untuk membimbing penguasa dan pengusaha, di samping umat pada umumnya. Andalan terakhir dari keselamatan manusia itu ada pada kepemimpinan para ulama ini.
Pemimpin Memberikan Fasilitas Ahli Ilmu Untuk Menyebarkan Ilmu
Ada satu teladan dari khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (61 – 101 H) sebagai seorang kepala pemerintahan, dalam mengukuhkan kepemimpinan para ulama ini. Sebagaimana yang ditulis oleh imam Al-Bukhari dalam shahih al-Bukhari kitab ‘ilmu bab kaifa yuqbadul ‘ilm ;
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm ; “periksalah hadits Rasulullah SAW, lalu tulislah. Sungguh aku takut hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama. Janganlah kamu menerima selain hadits Nabi SAW. Lalu sebarkanlah ilmu itu dan buatlah majelis- majelis, sehingga orang yang tidak tahu bisa diberi pengajaran ilmu. Sebab sungguh ilmu tidak akan hilang sehingga keadaannya menjadi tersembunyi/rahasia”.
Artinya, Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mendukung penuh dan memberikan fasilitas yang layak kepada para ulama agar mereka bisa leluasa menyebarkan ilmunya, sehingga ketika mereka wafat, sudah ada ulama-ulama yang akan menggantikannya. Sebagai seorang pemimpin negera, Khalifah mendukung penuh program penyebaran majelis-majelis ilmu dan peningkatan penulisan karya-karya ilmiah. Ini tentunya disadari oleh sebuah keinsafan bahwa regenerasi kepemimpinan ulama tidak boleh terputus.
Apa yang dilakukan ini tidak jauh beda dengan kakek buyutnya, ‘Umar bin Al-Khaththab, yang di masa menjadi khalifahnya sengaja mengangkat para qura (ulama-ulama Ahli Qur’an) untuk menjadi penasihatnya, ini tentunya juga didasari sebuah keinsafan bahwa keberadaan ulama dengan segenap nasihat dan arahannya akan menjadikan pengelolaan negara tetap dalam jalur yang diridhai Allah.
Ibnu ‘Abbas r.a berkata :
وَكَانَ القُرَاءُ أصْحَابُ مَجَالِسِ عُمَرَ وَمُشَاوَرَتِهِ كُهُوْلًا كَانُوْا أوْ شُبَّانًا.
“para qura adalah orang-orang yang menjadi pendamping ‘Umar di majelis-majelisnya dan ahli musyawarahnya, baik itu yang sudah tua atau anak muda” (Shahih Al-Bukhari, Kitab Tafsir Al-Qur’an bab surat Al-A’raf ; khudzil ‘afwa wa’mur bil urfi. No. 4642)
Baca Juga
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.