Pengamalan tersebut, cenderung berlandaskan argumen-argumen sebagai
berikut:
Pertama, merupakan
penafsiran dari keumuman firman Allah Swt yang berbunyi;
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah [2] ayat 185).
Kedua, ditafsirkan demikian karena ditemukan adanya hadits sebagai berikut,
مَنْ اَحْيَا لَيْلَةَ الفِطْرِ وَلَيْلَةَ الْأَضْحَى
لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ.
“Barangsiapa yang menghidupkan malam fithri dan malam Adha, tidak akan mati hatinya di kala hati orang-orang menjadi mati.”
Kata Imam al-Haitsami, redaksi di atas diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam
kitabnya al-Mu’jam al-Kabir dan al-Mu’jam al-Awsat.[1]
Namun yang kami temukan dalam al-Mu’jam al-Awsat dengan redaksi berikut:
مَنْ صلَّى لَيْلَةَ الفِطْرِ وَلَيْلَةَ الْأَضْحَى
لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ.
“Barangsiapa yang shalat pada malam Fithri dan malam Adha, tidak akan mati hatinya di kala orang-orang menjadi mati.” (HR. At-Thabrani).[2]
Hadits ini adalah hadits maudhu (palsu). Artinya hadits ini dibuat
atas nama Rasulullah Saw, karena di dalam sanadnya hadits ini terdapat rawi
yang bernama Umar bin Harun as-Saqafi al-Balkhi.
Di bawah ini keterangan mengenai Umar bin Harun As-Saqafi:
·
Ali bin Al-Husain bin Al-Jundi Ar-Razi
mengatakan, “Saya mendengar Yahya bin Ma’in mengatakan, ‘Umar bin Harun itu kadzdzab
(tukang dusta).
·
Abi Thalib mengatakan, ‘Saya mendengar Ahmad bin
Hanbal berkata, ‘Umar bin Harun saya tidak meriwayatkan apa – apa darinya,
.......maka aku telah meninggalkan haditsnya.
· Abu Zakariya mengatakan, ‘Umar bin Harun Al-Balkhi kadzdzabun (pendusta), Khabisun (buruk) haditsnya........Aku telah membakar semua hadits-hadits tiada yang tersisa kecuali satu kalimat yang ada pada sampul kitab dan aku pun telah membakar semuanya.[3]
Hadits di atas diriwayatkan pula dengan redaksi :
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْعِيْدَيْنِ مُحْتَسِبًا لِلَّهِ، لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ.
“Barangsiapa bangkit (bangun) pada malam Fithri dan malam Adha karena mengharapkan (pahala) Allah, tidak akan mati hatinya di kala hati orang-orang menjadi mati.” (HR. Ibnu Majah. Sunan Ibnu Majah, II:658.
Menurut Imam Al-‘Iraqi, “Sanadnya dha’if, (Takhir Al-Ihya, I:328). Kata Al Haitsami, “Sanadnya dha’if karena tadlis (penyamaran) riwayat dari Baqiyyah bin al-Walid.” Kata Syekh al-Albani, “Hadits ini sangat dha’if.”
Dengan demikian ayat di atas (QS. Al-Baqarah, 2: 185) tidak tepat untuk dijadikan landasan keyakinan dan amal bertakbiran di malam ‘Ied, bahkan pada hakikatnya tidak ada kaitan dengan takbiran malam hari raya semalam suntuk apalagi dengan berkeliling dengan berbagai tetabuhan yang menimbulkan kegaduhan dan kebisingan, karena hadits yang menerangkan tentang bangun (tidak tidur) semalam suntuk sangat lemah bahkan palsu. Sampai saat ini kami belum menemukan asalan lain yang lebih kuat selain alasan yang telah dipaparkan di atas.
Ketiga, Amaliyah
tabi’in:
قَالَ اخْبَرَنَا ابْرَاهِيْمُ قَالَ حَدَّثَنِي صَالِحُ
بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَائِدَةَ أنَّهُ سَمِعَ ابْنَ المُسَيَّبِ وَعُرْوَةَ بْنَ
الزُبَيْرِ وَابَا سَلَمَةَ وَابَا بَكْرِ بْنِ الرَّحْمَنِ يُكَبِّرُوْنَ
لَيْلَةَ الْفِطْرِ فِيْ الْمَسْجِدِ يَجْهَرُوْنَ بِالْتَّكْبِيْرِ.
Asy-Syafi’i berkata, “Ibrahim telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, Shalih bin Muhammad Ibnu Zaidah telah menceritakan kepadaku sesungguhnya ia mendengar Ibnul Musayyab, Urwah bin Az-Zuber, Abu Salamah dan Abu Bakar bin Abdurrahman, mereka takbir di masjid pada malam Fithri dengan menjaharkan takbir itu.[4]
Namun keterangan ini pun dha’if karena bersumber dari Shalih bin Muhammad bin Zaidah. Menurut Al-Bukhari, “Dia munkarul hadits (hadits yang tidak halal diriwayatkan).[5]
Dengan demikian takbiran pada malam ‘Ied yang biasa dilakukan oleh sebagian kaum muslimin itu tidak diperintahkna dan tidak pula dicontohkan oleh Nabi. Sehubungan dengan itu, Ibnul Qayyim menjelaskan:
ثُمَّ نَامَ حَتَّى اَصْبَحَ وَلَمْ يُحْيِ تِلْكَ
اللَّيْلَةَ، وَلاَ صَحَّ عَنْهُ فِي اِحْيَاءِ لَيْلَتِي الْعِيْدَيْنِ شَيئٌ.
“Kemudian beliau tidur hingga shubuh, dan beliau tidak menghidupkan (dengan ibadah) malam itu, dan tidaak ada satu pun yang shahih dari beliau bahwa beliau menghidupkan malam Fithri dan malam Adha.”[6]
Yang dicontohkan oleh Nabi Saw, ialah bertakbir sejak dari rumah menuju lapang sampai memulai shalat ‘Ied.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
كَانَ يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالْتَكْبِيْرِ وَالتَّهْلِيْلِ حَالَ خُرُوْجِهِ إلَى
الْعِيْدِ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأتِي الْمُصَلَّى.
Dari Ibnu Umar sesungguhnya Nabi Saw bertakbir dan bertahlil (menyebut la ilaha illallah) dengan suara keras dari mulai keluar hendak pergi shalat ‘Idul Fithri hingga sampai ke lapang. (HR. Al-Baihaqi).[7]
عَنِ الزُهْرِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه
وسلم كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ خَتَّى يَأَتِيَ الْمُصَلَّى
Az-Zuhri berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw keluar pada hari ‘Idul Fithri dengan bertakbir hingga sampai di lapang.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).[8]
Sedangkan bertakbir pada ‘Idul Adha dilakukan sejak shubuh 9 Dzulhijah
hingga Ashar 13 Dzulhijjah. Membacanya tidak terus-menerus, melainkan bila ada
kesempatan, baik ketika berkumpul di masjid atau di rumah masing-masing.
عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّارٍ أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه
وسلم ....وَكَانَ يُكَبِّرُ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ بَعْدَ صلاَةَ الْغَدَاةِ
وَيَقْطَعُهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ آخِرَ أيَّامِ التَّشْرِيق.
Dari Ali dan Ammar sesungguhnya Nabi Saw .... dan belaiu bertakbir sejak hari Arafah setelah shalat Shubuh dan menghentikannya pada shalat Ashar di akhir hari Tasyriq. (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi).[9]
Disalin dari Buku Masalah seputar shaum Ramadhan dan 'Idul Fithri Karya Dewan Hisbah Persatuan Islam (hal. 73-77).
[1] Majma
Az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, II: 198.
[2] al-Mu’jam al-Awsat, I,57, No. 159.
[3] Tahdzibul Kamal fi Asma’ ar Rijal,
XXI, 525-528.
[4][4]
Al-Um, I:231.
[5] Tahdzibul Kamal fi Asma’ ar-Rijal, XIII:87.
[6][6]
Zad Al Ma’ad
fi Hadyi Khairi al-Ibad, I: 212.
[7] Nail Al-Awthar, III: 355
[8] Al-Mushannaf, I:487.
[9] Al-Mustadrak, I:439 dan as-Sunanul Kubra, III:312.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.