وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: (
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ
وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ,
وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ. وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ: ( فِي رَمَضَانَ )
623. Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mencium sewaktu shaum dan mencumbu sewaku shaum, akan tetapi beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya di antara kamu. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim. Dalam suatu riwayat ditambahkan: Pada bulan Ramadhan.
Takhrij Hadits :
Shahih Al Bukhari (1927) dan (65/1106).
Diriwayatkan pula oleh Abi Dawud (2382). Ibnu Majah (1687), Ibnu Khuzaimah no. (1998), Al Baihaqi (4/230), Ahmad (6/42, 216, 230), At Tirmidzi (729), semuanya dari jalur Al Aswad darinya.
Mufradat Hadits[1]
:
يباشر: المباشرة
مأخوذة من: البشرة، وهو ظاهر الجلد، ويراد بها هنا: القُبلة،
واللمس لشهوة، وهو من عطف العام على الخاص، فالخاص القبلة، والعام المباشرة
Yubaasyir : Al-Mubasyarah diambil dari kata Basyarah yaitu bagian luar
kulit, yang dimaksud di sini adalah mencium dan menyentuh dengan syahwat, kata
ini termasuk menghubungkan kata umum kepada kata khusus. Kata yang khusus yaitu
al-Qublah (mencium) dan kata yang umum adalah Mubasyarah.
إربه: بكسر الهمزة
وسكون الراء المهملة وكسر الباء الموحدة التحتية، المراد به هنا: الذكر خاصة، والمعنى: أنَّه كان
غالبًا لشهوته
Irbihi : Maksudnya di sini adalah kemaluan secara khusus. Artinya ia dapat
mengendalikan hawa nafsunya.
قال النووي: رويت هذه
اللفظة بكسر الهمزة وإسكان الراء، وبفتح الهمزة والراء، ومعناها بالكسر: الحاجة،
وكذا بالفتح، ولكنه أيضًا يطلق على العضو، وأريد به الذكر من الأعضاء خاصة
Imam An-Nawawi berkata, "Lafazh ini diriwayatkan dengan dikasrahkan
hamzah dan disukunkan ra' dan diriwayatkan dengan difathahkan dan dikasrahkan
hamzah dan ra'. Artinya dengan dikasrahkan adalah kebutuhan, demikian juga jika
difathahkan, tetapi ia juga digunakan secara umum untuk anggota badan dan
secara khusus yang dimaksud adalah kemaluan.
أملككم: من ملك يملك
مُلكًا وملَكَة، وأملك اسم تفضيل، قال في "المحيط": ملك نفسه عند شهوتها؛ أي: قدر على
حبسها
Amlakakum : Dikatakan dalam Al-Muhith, memiliki dirinya ketika timbul
syahwat, maksudnya adalah mampu mengendalikannya.
Keterangan :
قَالَ الْعُلَمَاءُ: مَعْنَى الْحَدِيثِ أَنَّهُ
يَنْبَغِي لَكُمْ الِاحْتِرَازُ مِنْ الْقُبْلَةِ وَلَا تَتَوَهَّمُوا أَنَّكُمْ
مِثْلُ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي
اسْتِبَاحَتِهَا؛ لِأَنَّهُ يَمْلِكُ نَفْسَهُ وَيَأْمَنُ مِنْ وُقُوعِ
الْقُبْلَةِ أَنْ يَتَوَلَّدَ عَنْهَا إنْزَالٌ أَوْ شَهْوَةٌ أَوْ هَيَجَانُ
نَفْسٍ أَوْ نَحْوُ ذَلِكَ وَأَنْتُمْ لَا تَأْمَنُونَ ذَلِكَ فَطَرِيقُكُمْ كَفُّ
النَّفْسِ عَنْ ذَلِكَ.
Para ulama berkata, "Maksud hadits ini, hendaklah kalian tidak
melakukan ciuman. Janganlah kalian mengira bahwa kalian seperti Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau bisa mengendalikan dirinya dan tidak
khawatir akan terjadi hal-hal yang lebih jauh, baik keluarnya mani, timbulnya
syahwat, gejolak dan lain sebagainya. Sedangkan kalian tidak bisa menjamin
hal-hal tersebut tidak akan terjadi. Maka hanya ada satu jalan keluar untuk
kaliary yaitu menahan diri untuk tidak melakukan ciuman."
وَأَخْرَجَ النَّسَائِيّ مِنْ طَرِيقِ الْأَسْوَدِ
«قُلْت لِعَائِشَةَ: أَيُبَاشِرُ الصَّائِمُ؟ قَالَتْ: لَا، قُلْت: أَلَيْسَ
رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يُبَاشِرُ وَهُوَ
صَائِمٌ؟ قَالَتْ: إنَّهُ كَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ»
An-Nasa'i meriwayatkan dari jalur Al-Aswad, 'Aku bertanya kepada Aisyah,
'Apakah laki-laki yang sedang berpuasa boleh mencium?" Beliau menjawab,
"Tidak." Aku katakan, "Bukankah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam menyentuh [istrinya] padahal beliau sedang berpuasa?" Beliau
menjawab, "Sesungguhnya beliau adalah orang yang paling bisa mengendalikan
dirinya di antara kalian."[2]
وَظَاهِرُ هَذَا أَنَّهَا اعْتَقَدَتْ أَنَّ ذَلِكَ
خَاصٌّ بِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
-
Zhahir hadits ini mengisyaratkan, bahwa menurut Aisyah hal tersebut
merupakan kekhususan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
قَالَ الْقُرْطُبِيُّ: وَهُوَ اجْتِهَادٌ مِنْهَا
وَقِيلَ: الظَّاهِرُ أَنَّهَا تَرَى كَرَاهَةَ الْقُبْلَةِ لِغَيْرِهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَرَاهَةَ تَنْزِيهٍ لَا تَحْرِيمٍ كَمَا يَدُلُّ
لَهُ قَوْلُهَا: " أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ
"
Al-Qurthubi berkata, "Itu adalah ijtihad pribadinya." Ada juga
yang mengatakan, Aisyah berpendapat bahwa berciuman hukumnya makruh bagi selain
Nabi, dan beliau tidak mengharamkannya. Hal itu berdasarkan ungkapan beliau,
"Sesungguhnya beliau adalah orang yang paling bisa mengendalikan dirinya
di antara kalian."
وَفِي كِتَابِ الصِّيَامِ؛ لِأَبِي يُوسُفَ الْقَاضِي
مِنْ طَرِيقِ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ " سُئِلَتْ عَائِشَةُ عَنْ
الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَكَرِهَتْهَا.
Di dalam Kitab As-Shiyam karya Abu Yusuf Al-Qadhi dari Hammad bin Salamah
'Aku bertanya kepada Aisyah tentang [hukum] bersentuhan untuk orang yang sedang
berpuasa? Maka beliau memakruhkannya."
وَظَاهِرُ حَدِيثِ الْبَابِ جَوَازُ الْقُبْلَةِ
وَالْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ لِدَلِيلِ التَّأَسِّي بِهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَلِأَنَّهَا ذَكَرَتْ عَائِشَةُ الْحَدِيثَ جَوَابًا
عَمَّنْ سَأَلَ عَنْ الْقُبْلَةِ وَهُوَ صَائِمٌ وَجَوَابُهَا قَاضٍ
بِالْإِبَاحَةِ مُسْتَدِلَّةً بِمَا كَانَ يَفْعَلُهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ -
Zhahir hadits ini menunjukkan, bahwa berciuman dan menyentuh istri bagi
orang yang sedang berpuasa hukumnya boleh berdasarkan perilaku Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam. Di samping itu Aisyah menyebutkan masalah ini
ketika beliau ditanya tentang hukum berciuman pada saat sedang berpuasa, dan
jawaban beliau menunjukkan bolehnya hal tersebut berdasarkan perilaku
Rasulullah.
وَفِي الْمَسْأَلَةِ أَقْوَالٌ: الْأَوَّلُ -
لِلْمَالِكِيَّةِ أَنَّهُ مَكْرُوهٌ مُطْلَقًا
Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat:
1. Makruh secara mutlak menurut Al-Malikiyah.
الثَّانِي - أَنَّهُ مُحَرَّمٌ مُسْتَدِلِّينَ
بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ} [البقرة: 187] فَإِنَّهُ مَنَعَ
الْمُبَاشَرَةَ فِي النَّهَارِ وَأُجِيبَ بِأَنَّ الْمُرَادَ بِهَا فِي الْآيَةِ
الْجِمَاعُ وَقَدْ بَيَّنَ ذَلِكَ فِعْلُهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
كَمَا أَفَادَهُ حَدِيثُ الْبَابِ. وَقَالَ قَوْمٌ: إنَّهَا تُحَرِّمُ
الْقُبْلَةَ، وَقَالُوا: إنَّ مَنْ قَبَّلَ بَطَلَ صَوْمُهُ.
2. Haram, berdasarkan firman Allah, "Maka sekarang campurilah
mereka." (QS. Al-Baqarah: 187) ayat tersebut melarang bersentuhan pada
siang hari. Namun pendapat ini dibantah, bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut
ialah bersetubuh, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh perbuatan Rasulullah
shallsllahu Alaihi wa Sallam di dalam hadits nomor ini.
Ada golongan yang berpendapat bahwa berciuman itu haram. Mereka mengatakan,
bahwa bagi yang berciuman maka puasanya batal.
الثَّالِثُ - أَنَّهُ مُبَاحٌ وَبَالَغَ بَعْضُ
الظَّاهِرِيَّةِ فَقَالَ: إنَّهُ مُسْتَحَبٌّ.
3. Mubah, bahkan sebagian ahli Zhahir berpendapat bahwa hal tersebut
hukumnya mustahab.
الرَّابِعُ - التَّفْصِيلُ فَقَالُوا: يُكْرَهُ
لِلشَّابِّ وَيُبَاحُ لِلشَّيْخِ، وَيُرْوَى عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَدَلِيلُهُ مَا
أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد «أَنَّهُ أَتَاهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
رَجُلٌ فَسَأَلَهُ عَنْ الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ
آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ فَإِذَا الَّذِي رُخِّصَ لَهُ شَيْخٌ وَاَلَّذِي
نَهَاهُ شَابٌّ»
4. Ada perincian hukum masing-masing, yaitu makruh bagi anak muda dan mubah
bagi orang tua, hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, "Bahwasanya seseorang
telah datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa SaIIam lalu ia menanyakan
hukum bersentuhan bagi orang yang sedang berpuasa, maka Rasulullah Shallallahu
Alaihi raa Sallam memberikan keringanan baginya, kemudian orang lain datang
kepadanya menanyakan hal yang sama, namun Rasulullah melarangnya, dan ternyata
orang yang mendapat izin ialah orang tua, sedang orang yang beliau larang ialah
anak muda.[3]
(الْخَامِسُ) أَنَّ مَنْ مَلَكَ
نَفْسَهُ جَازَ لَهُ وَإِلَّا فَلَا وَهُوَ مَرْوِيٌّ عَنْ الشَّافِعِيِّ
وَاسْتَدَلَّ لَهُ بِحَدِيثِ «عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ لَمَّا سَأَلَ
النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَأَخْبَرَتْهُ أُمُّهُ أُمُّ
سَلَمَةَ أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَصْنَعُ ذَلِكَ فَقَالَ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَك مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِك وَمَا
تَأَخَّرَ فَقَالَ: إنِّي أَخْشَاكُمْ لِلَّهِ»
5. Diperbolehkan bagi orang yang mampu mengendalikan dirinya, jika tidak,
maka tidak diperbolehkan. Pendapat ini diriwayatkan dari Asy-Syaff i,
berdasarkan hadits Umar bin Abi Salamah ketika bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka ibunya, Ummu Salamah memberitahunya bahwa
Rasulullah melakukan hal tersebut, maka ia berkata, "Wahai Rasuiullah,
Allah telah mengampuni dosa-dosamu baik pada masa lalu maupun pada masa
mendatang, maka beliau menjawab, "sesungguhnya aku adalah olang yang paling
takut kepada Allah, di antara kalian,"[4]
فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ الشَّابِّ
وَالشَّيْخِ وَإِلَّا لَبَيَّنَهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لِعُمَرَ
لَا سِيَّمَا وَعُمَرُ كَانَ فِي ابْتِدَاءِ تَكْلِيفِهِ
Hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara orang muda dan
orang tua, jika tidak, tentulah Nabi menjelaskannya kepada Umar, apalagi saat
itu Umar baru saja memasuki masa akil baligh.
وَقَدْ ظَهَرَ مِمَّا عَرَفْت أَنَّ الْإِبَاحَةَ
أَقْوَى الْأَقْوَالِ وَيَدُلُّ ذَلِكَ مَا أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد
مِنْ حَدِيثِ «عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: هَشِشْت يَوْمًا فَقَبَّلْت وَأَنَا
صَائِمٌ، فَأَتَيْت النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقُلْت:
صَنَعْت الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْت وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَرَأَيْت لَوْ تَمَضْمَضْت
بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ؟ قُلْت: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ؛ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَفِيمَ»
.
Dari penjelasan di atas sangatlah jelas bahwa pendapat yang memperbolehkan
berciuman di siang hari di saat berpuasa lebih kuat. Hal ini didukung oleh
hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dari Umar bin Khaththab, ia
berkata, "Pada suatu hari aku sedang siang gembira, maka aku mencium
[istriku] padahal saat itu aku sedang berpuasa, maka aku mendatangi Nabi
Shallallahu Alaihi zna Sallam,lalu aku berkata, "Hari ini aku telah
melakukan sesuatu yang besar, aku telah mencium istriku padahal aku sedang berpuasa."
Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa SaIIam bersabda, 'Apa pendapatmu jika
engkau berkumur-kumur dengan air padahal engkau sedang berpuasa?" Aku
katakan, "Tidak apa-apa." Lalu Rasuhilah Shallallahu Alaihi wa SaIIam
bersabda, "Jika demikian, lalu kenapa?".[5]
وَاخْتَلَفُوا أَيْضًا فِيمَا إذَا قَبَّلَ أَوْ نَظَرَ
أَوْ بَاشَرَ فَأَنْزَلَ أَوْ أَمْذَى فَعَنْ الشَّافِعِيِّ وَغَيْرِهِ أَنَّهُ
يَقْضِي إذَا أَنْزَلَ فِي غَيْرِ النَّظَرِ وَلَا قَضَاءَ فِي الْإِمْذَاءِ
Para ulama berbeda pendapat bagaimana hukumnya jika orang yang mencium,
melihat atau menyentuh [istrinya] lalu keluar mani atau madzi? Asy-Syafi'i dan
yang lainnya berpendapat, bahwa orang tersebut harus mengqadha' puasanya jika
keluarnya mani itu disebabkan karena mencium atau menyentuh [istrinya], tetapi
jika keluarnya mani hanya karena sekedar melihat [istrinya] saja maka tidak
wajib mengqadha'-, sedangkan keluarnya madzi tidak mewajibkan qadha' puasa.
وَقَالَ مَالِكٌ يَقْضِي فِي كُلِّ ذَلِكَ وَيُكَفِّرُ
إلَّا فِي الْإِمْذَاءِ فَيَقْضِي فَقَطْ وَثَمَّةُ خِلَافَاتٌ أُخَرُ الْأَظْهَرُ
أَنَّهُ لَا قَضَاءَ وَلَا كَفَّارَةَ إلَّا عَلَى مَنْ جَامَعَ وَإِلْحَاقُ
غَيْرِ الْمُجَامِعِ بِهِ بَعِيدٌ.
Malik berkata, "Dalam semua kondisi orang tersebut harus mengqadha'
puasa dan membayar denda, kecuali dalam masalah madzi, hanya wajib qadha' tanpa
denda." Dalam masalah ini masih terdapat berbagai pendapat, namun yang
kelihatan kuat ialah bahwa orang tersebut tidak wajib mengqadha' dan tidak pula
wajib membayar denda, kecuali jika orang tersebut bersetubuh. Dan
menganalogikan orang yang tidak melakukan jima' terhadap orang yang
melakukannya nampak sebagai analogi yang jauh -dari kebenaran-.
(تَنْبِيهٌ) قَوْلُهَا: "
وَهُوَ صَائِمٌ " لَا يَدُلُّ أَنَّهُ قَبَّلَهَا وَهِيَ صَائِمَةٌ، وَقَدْ
أَخْرَجَ ابْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ عَنْ عَائِشَةَ «كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ
نِسَائِهِ فِي الْفَرِيضَةِ وَالتَّطَوُّعِ» ثُمَّ سَاقَ بِإِسْنَادِهِ كَانَ لَا
يَمَسُّ وَجْهَهَا وَهِيَ صَائِمَةٌ» وَقَالَ: لَيْسَ بَيْنَ الْخَبَرَيْنِ
تَضَادٌّ؛ لِأَنَّهُ كَانَ يَمْلِكُ إرْبَهُ وَنُبِّهَ بِفِعْلِهِ ذَلِكَ عَلَى
جَوَازِ هَذَا الْفِعْلِ لِمَنْ هُوَ بِمِثْلِ حَالِهِ وَتَرْكِ اسْتِعْمَالِهِ
إذَا كَانَتْ الْمَرْأَةُ صَائِمَةً عِلْمًا مِنْهُ بِمَا رُكِّبَ فِي النِّسَاءِ
مِنْ الضَّعْفِ عِنْدَ الْأَشْيَاءِ الَّتِي تَرِدُ عَلَيْهِنَّ. انْتَهَى.
Ungkapan hadits, "... padahal beliau sedang berpunsa...', tidak menunjukkan secara langsung bahwa pada saat itu beliau mencium istrinya, dan istrinya sedang berpuasa jual. Ibnu Hibban ( Shahih Ibni Hibban (813'14).) telah meriwayatkan di dalam Shahih lbni Hibban, dari Aisyah, "Bahwasanya beliau mencium istri-istrinya pada puasa wajib maupun pada puasa sunnah." Kemudian ia lanjutkan dengan sanadnya, "Bahwasanya Rasulullah shsllallahu Alaihi wa sallam tidak menyentuh wajah istrinya pada saat ia -istrinya- sedang berpuasa.' (Shahih lbni Hibban (8/315) Lalu ia berkomentar, "Tidak ada pertentangan antara kedua hadits ini, karena Nabi shallallahu Alaihi wa sallam mampu mengendalikan dirinya, lalu beliau melakukan hal ini untuk menunjukkan bahwa hal itu hukumnya mubah, bagi orang yang seperti dirinya, lalu beliau tidak melakukannya pada saat istrinya sedang berpuasa, karena biasanya wanita lebih lemah, ketika meng-hadapi suatu perlakuan padanya."
Referensi :
Subulus Salam Syarh Bulughul Maram versi arab (2/433-437).
Lihat Kitab Subulus Salam al Mushilah ila al bulugh al maram ditahqiq dan
ditakhrij oleh Muhammad Shabhi Hasan Halaq (4/101).
Taudhihul
Ahkam.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.