Redaksi Takbir Idul Fithri dan Adha dan Tatacaranya

 

Redaksi Takbir Idul Fithri dan Adha dan Tatacaranya

Petunjuk tentang redaksi dan kaifiyat takbir didapatkan dari ucapan atau amal shahabat (hadits mauquf), baik secara khusus berkaitan dengan ‘Id maupun bukan ‘Id. Keterangan redaksi takbir selain ‘Ide merujuk kepada penjelasan Salman al-Farisi, sebagai berikut :

عَنْ أَبِيْ عُثْمَانَ ألنَّهْدِي قَالَ: كَانَ سَلْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُعَلِّمُنَا التَّكْبِيْرَ يَقُوْلُ: كَبِّرُوْا، اللهُ أكْبَرُ. اللهُ أكْبَرُ. اللهُ أكْبَرُ كَبِيْرًا.

Dari Abu Usman An-Nahdi, ia berkata, “Salman mengajarkan takbir kepada kami, ia berkata, “Bertakbirlah Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Kabira.” (HR. al-Baihaqi).[1]

Sedangkan redaksi takbir berkenaan dengan ‘Id, merujuk kepada keterangan para shahabat Nabi Saw sebagai berikut :

عَنْ أصْحَابِ عَبْدِ اللهِ، عَنْ عَبْدِ اللهِ أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ صَلاَةَ الْغَدَاةِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَيَقْطَعُ صَلاَةَ الْعَصْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ، يُكَبِّرُ إذَا صَلَّى الْعَصْرَ، قَال: وكَانَ يُكَبِّرُ: اللهُ أكْبَرُ. اللهُ أكْبَرُ. لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ واللهُ أكْبَرُ، اللّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

“Dari para shahabat Ibnu Mas’ud, dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia bertakbir sejak shalat Shubuh pada hari Arafah dan berhenti pada shalat Ashar di hari Nahar (10 Dzulhijjah), setelah Ashar beliau bertakbir, ia (rawi) berkata, Kana yukabbiru; Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, la ilaaha illalahu wallahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu.” (HR. Ath-Thabrani).[2]

Dalam riwayat lain disebutkan:

عَنْ أَبِيْ الْأحْوَص عَنْ عَبْدِ اللهِ أَنَّهُ كَاَن يُكَبِّرُ أيَّامَ التَّشْرِيْقِ، اللهُ أكْبَرُ. اللهُ أكْبَرُ. لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ واللهُ أكْبَرُ، اللّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

Dari Abu al-Ahwash, dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia bertakbir pada hari-hari tasyrik; ; Allahu Akbar, Allahu Akbar, la ilaaha illalahu wallahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu.”[3]

Pengamalan takbir versi Ibnu Mas’ud di atas sejalan dengan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana dijelaskan Syarik bin Abdullah an-Nakha’i :

قُلْتُ لِأَبِي إسْحَاقَ : كَيْفَ كَانَ تَكْبِيْرُ عَلِيٍّ، وَعَبْدِ اللهِ، فَقَالَ: كَانَا يَقُوْلانِ اللهُ أكْبَرُ. اللهُ أكْبَرُ. لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ واللهُ أكْبَرُ، اللّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ. اللهُ أكْبَرُ. اللهُ أكْبَرُ. لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ واللهُ أكْبَرُ، اللّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

“Saya bertanya kepada Abu Ishaq, “Bagaimana takbir Ali dan Ibnu Mas’ud?” Maka ia menjawab, ‘Kedunya mengucapkan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, la ilaaha illalahu wallahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).[4]

Begitu pula pengamalan Umar bin Khattab, sebagaimana diterangkan Ubaid bin Umair :

أنَّ عُمَرَ كَانَ يُكَبِّرُ مَنْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ يَوْمَ عَرَفَةَ إلَى صَلاَةِ الظُهْرِ مِنْ آيَامِ التَّشْرِيْقِ يُكَبِّرُ فِيْ الْعَصْرِ يَقُوْلُ : اللهُ أكْبَرُ. اللهُ أكْبَرُ. لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ واللهُ أكْبَرُ، اللّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

“Bahwa Umar bertakbir sejak shalat Shubuh pada hari ‘Arafah hingga shalat Zhuhur pada akhir hari tasyriq, beliau bertakbir pada waktu Asar dengan mengatakan: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, la ilaaha illalahu wallahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu.” (HR. Ibnu al-Mundzir).[5]

Pengamalan takbir seperti di atas bukan ijtihad pribadi shahabat, melainkan Ijma’ shahabat, karena selain merupakan amal jama’i (bersama) juga tidak didapatkan pengingkaran dari salah seorang pun shahabat Nabi. Amalan demikian itu sebagaimana diterangkan oleh Ibrahim an-Nakha’i :

كَانُوْا يُكَبِّرُوْنَ يَوْمَ عَرَفَةَ وَأَحَدُهُمْ مُسْتَقْبِلُ الْقِبْلَةَ فِيْ دُبُرِ الصَّلاَةِ : اللهُ أكْبَرُ. اللهُ أكْبَرُ. لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ واللهُ أكْبَرُ، اللّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

“Mereka bertakbir pada hari ‘Arafah, dan salah seorang di antara mereka menghadap kiblat setelah melaksanakan shalat, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, la ilaaha illalahu wallahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).[6]

Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa redaksi takbir dalam ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, yang sesuai dengan petunjuk syari’at, dapat menggunakan dua versi redaksi :

1.      Allahu Akbar, Allahu Akbar, la ilaaha illalahu wallahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu.

2.      Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Kabira.

Sementara dengan lafal Allahu Akbar tiga kali. Dan tambahan redaksi lainnya, tidak berdasarkan dalil yang shahih, bahkan tidak berdalil sama sekali. Sehubungan dengan itu, Imam Ahmad menegaskan takbir Ibnu Mas’ud (Allahu Akbar dua kali) merupakan takbir yang shahih.

Abu Dawud berkata,

قُلْتُ لِأَحْمَدَ : كَيْفَ التَّكْبِيْرُ، قَالَ كَتَكَبِيْرِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ، يَعْنِي : اللهُ أكْبَرُ. اللهُ أكْبَرُ. لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ واللهُ أكْبَرُ، اللّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ. قَالَ احْمَدُ : يَرْوُوْنَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ: يُكَبِّرُ ثَلاَثًا اللهُ أكْبَرُ. اللهُ أكْبَرُ (اللهُ أكْبَرُ). قَالَ احْمَدُ : كَبِّرْ تَكْبِيْرَ ابْنِ مَسْعُوْدٍ.

“Saya bertanya kepada Ahmad, ‘Bagaimana bertakbir?’ Ia menjawab, ‘Seperti takbirnya Ibnu Mas’ud, yaitu Allahu Akbar, Allahu Akbar, la ilaaha illalahu wallahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu. Ahmad berkata, ‘Mereka meriwayatkan dari Ibnu Umar, ‘Ia bertakbir tiga kali, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.’ Ahmad berkata, ‘Bertakbirlah seperti takbirnya Ibnu Mas’ud.’[7]

Takbir Silih Bergantian

Bertakbir dengan dipimpin secara bergantian, lalu diikuti oleh jama’ah secara bersama, itu adalah boleh karena sesuai dengan yang dilakukan di masa Rasulullah Saw “Yukabbiru bi takbirihim” (mereka bertakbir dengan takbir mereka).

Alasan kedua, perintah itu mutlak tidak disertai cara yang ditentukan. Pokoknya bertakbir baik sendirian, bersama, atau saling berganti, tidak lepas dari sifat bertakbir dan terpenuhilah perintah atau anjuran bertakbir itu.[8]

 

Disalin dari Buku Masalah seputar shaum Ramadhan dan 'Idul Fithri (hal. 78-81).

 


[1] As-Sunan a-Kubra, III: 316, No. 6076.

[2] Al-Mu’jam al-Kabir, IX: 307, No.9538.

[3] (HR. Ibnu Abi Syaibah). Al-Mushannaf, I:490, No. 5651.

[4] Al-Mushannaf, I:490, No. 5653.

[5] Al-Awsat fi as-Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, IV:33.

[6] Al-Mushannaf, I:490, No. 5650.

[7] Masail al Imam Ahmad Riwayat Abu Dawud as-Sijistani, I: 88.

[8] Sekitar Masalah Tarawih, Takbir dan Shalat Id, karya KH. E Abdurrahman (57-58).

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

Contact Us