Puasa dan Hariraya Karena Melihat Hilal

Puasa dan Hariraya Karena Melihat Hilal

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

611. Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) shaumlah, dan apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) berbukalah, dan jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah." Muttafaq Alaihi.

وَلِمُسْلِمٍ: ( فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ )

Menurut riwayat Muslim: "Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah tiga puluh hari."

وَلِلْبُخَارِيِّ: ( فَأَكْمِلُوا اَلْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ )

Menurut riwayat Bukhari: "Maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tigapuluh hari."

Keterangan :

الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى وُجُوبِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِرُؤْيَةِ هِلَالِهِ وَإِفْطَارِهِ أَوَّلَ يَوْمٍ مِنْ شَوَّالٍ لِرُؤْيَةِ هِلَالِهِ وَظَاهِرُهُ اشْتِرَاطُ رُؤْيَةِ الْجَمِيعِ لَهُ مِنْ الْمُخَاطَبِينَ لَكِنْ قَامَ الْإِجْمَاعُ عَلَى عَدَمِ وُجُوبِ ذَلِكَ بَلْ الْمُرَادُ مَا يَثْبُتُ بِهِ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ مِنْ إخْبَارِ الْوَاحِدِ الْعَدْلِ أَوْ الِاثْنَيْنِ عَلَى خِلَافٍ فِي ذَلِكَ

Hadits ini menunjukkan wajibnya berpuasa bulan Ramadhan karena melihat hilal bulan Ramadhan, dan wajibnya berbuka [berhari raya pada awal bulan Syawal dengan melihat hilal pula. Zhahir hadits ini mengisyaratkan, agar semua kaum muslimin melihatnya, akan tetapi para ulama telah berijma' bahwa hal tersebut tidak wajlb, namun cukup dengan adanya kesaksian yang diakui oleh syariat dari satu atau dua orang yang adil, karena adanya perbedaan pendapat dalam jumlah tersebut.

فَمَعْنَى إذَا رَأَيْتُمُوهُ أَيْ إذَا وُجِدَتْ فِيمَا بَيْنَكُمْ الرُّؤْيَةُ، فَيَدُلُّ هَذَا عَلَى أَنَّ رُؤْيَةَ بَلَدٍ رُؤْيَةٌ لِجَمِيعِ أَهْلِ الْبِلَادِ فَيَلْزَمُ الْحُكْمُ.

Makna dari sabda beliau, "Jika kalian telah melihatnya [hilal]..." yakni, jika salah seorang dari kalian melihat hilal, maka dianggap sebagai ru'yah dalam suatu negara dan berlaku untuk semua penduduk negara tersebut.

وَقِيلَ: لَا يُعْتَبَرُ؛ لِأَنَّ قَوْلَهُ: " إذَا رَأَيْتُمُوهُ " خِطَابٌ لِأُنَاسٍ مَخْصُوصِينَ بِهِ. وَفِي الْمَسْأَلَةِ أَقْوَالٌ لَيْسَ عَلَى أَحَدِهَا دَلِيلٌ نَاهِضٌ وَالْأَقْرَبُ لُزُومُ أَهْلِ بَلَدِ الرُّؤْيَةِ وَمَا يَتَّصِلُ بِهَا مِنْ الْجِهَاتِ الَّتِي عَلَى سَمْتِهَا

Ada juga yang berpendapat sebaliknya, bahwa hal itu tidak berlaku untuk semua, karena sabda beliau, "Jika kalian telah melihatnya..." ditujukan kepada orang-orang tertentu saat itu. Dalam masalah ini ada beberapa pendapat yang masing-masing tidak didukung oleh dalil yang kuat, namun pendapat yang paling bagus ialah ru'yah suatu negeri berlaku untuk negeri tersebut beserta daerah-daerah yang berbatasan dengannya dan memiliki sifat-sifat yang sama.

وَفِي قَوْلِهِ: (لِرُؤْيَتِهِ) دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْوَاحِدَ إذَا انْفَرَدَ بِرُؤْيَةِ الْهِلَالِ لَزِمَهُ الصَّوْمُ وَالْإِفْطَارُ وَهُوَ قَوْلُ أَئِمَّةِ الْآلِ وَأَئِمَّةِ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ فِي الصَّوْمِ. وَاخْتَلَفُوا فِي الْإِفْطَارِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ: يُفْطِرُ وَيُخْفِيه، وَقَالَ الْأَكْثَرُ: يَسْتَمِرُّ صَائِمًا احْتِيَاطًا كَذَا قَالَهُ فِي الشَّرْحِ وَلَكِنَّهُ تَقَدَّمَ لَهُ فِي أَوَّلِ بَابِ صَلَاةِ الْعِيدَيْنِ أَنَّهُ لَمْ يَقُلْ بِأَنَّهُ يَتْرُكُ يَقِينَ نَفْسِهِ وَيُتَابِعُ حُكْمَ النَّاسِ إلَّا مُحَمَّدَ بْنَ الْحَسَنِ الشَّيْبَانِيَّ وَأَنَّ الْجُمْهُورَ يَقُولُونَ: إنَّهُ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ حُكْمُ نَفْسِهِ فِيمَا يَتَيَقَّنُهُ فَنَاقَضَ هُنَا مَا سَلَفَ،

Dari sabda beliau,"...karena melihatnya [hilal]..."disimpulkan bahwa jika seseorang melihat ru'yah sendirian, maka ia harus melaksanakan konsekwensinya baik untuk berpuasa (awal ramadhan) maupun berbuka (hari raya), demikianlah pendapat para imam dari Aal, juga pendapat imam empat madzhab khususnya dalam masalah keharusan orang tersebut untuk berpuasa. namun dalam masalah berbuka (berhari raya) mereka berbeda pendapat. Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang tersebut harus berbuka (berhari raya), namun ia harus merahasiakannya, sedangkan kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa orang tersebut harus terus berpuasa sebagai bentuk kehati-hatian, demikian yang dijelaskan di dalam As-Syarh. Namun perlu diingat, telah disebutkan dalam awal bab shalat Idul Fitri dan Idul Adha, bahwa tidak ada seorangpun yang mengatakan agar seseorang meninggalkan keyakinannya untuk mengikuti kebanyakan orang, kecuali Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani, sedangkan jumhur ulama dalam masalah ini mengatakan bahwa orang tersebut harus mengikuti keyakinannya. Sehingga terlihat di sini, pendapat jumhur yang saling bertentangan sendiri.

وَسَبَبُ الْخِلَافِ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ لِكُرَيْبٍ إنَّهُ لَا يَعْتَدُّ بِرُؤْيَةِ الْهِلَالِ وَهُوَ بِالشَّامِ بَلْ يُوَافِقُ أَهْلَ الْمَدِينَةِ فَيَصُومُ الْحَادِيَ وَالثَّلَاثِينَ بِاعْتِبَارِ رُؤْيَةِ الشَّامِ؛ لِأَنَّهُ يَوْمُ الثَّلَاثِينَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إنَّ ذَلِكَ مِنْ السُّنَّةِ.

Sebab perbedaan pendapat dalam masalah ini, adalah ucapan Ibnu Abbas kepada Kuraib, "Bahwasanya ia tidak berpuasa ketika melihat hilal saat berada di Syam, namun ia berpuasa bersama puasanya orang-orang Madinah" sehingga ia berpuasa pada hari ke 31 dalam hitungan orang-orang Syam atau pada hari ke 30 menurut hitungan orang-orang Madinah." Dan Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya hal itu dari sunnah."

وَتَقَدَّمَ الْحَدِيثُ وَلَيْسَ بِنَصٍّ فِيمَا احْتَجُّوا بِهِ لِاحْتِمَالِهِ كَمَا تَقَدَّمَ فَالْحَقُّ أَنَّهُ يَعْمَلُ بِيَقِينِ نَفْسِهِ صَوْمًا وَإِفْطَارًا وَيَحْسُنُ التَّكَتُّمُ بِهَا صَوْنًا لِلْعِبَادِ عَنْ إثْمِهِمْ بِإِسَاءَةِ الظَّنِّ بِهِ

Dan kami telah menyebutkan hadits yang menguatkan hal tersebut, walaupun itu baru kemungkinan karena adanya kemungkinan cara pandang yang lain. Yang benar adalah, hendaklah orang tersebut berbuat berdasarkan keyakinannya baik untuk berpuasa maupun untuk berbuka [berhari raya], dan sebaiknya ia merahasiakan-nya untuk menjaga orang lain dari prasangka buruk kepadanya.

(وَلِمُسْلِمٍ) أَيْ عَنْ ابْنِ عُمَرَ «فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ»

Di dalam riwayat Muslim dari Ibnu umar, "Jika kalian terhalang oleh awan, maka genapkanlah tiga puluh hari."

وَلِلْبُخَارِيِّ أَيْ عَنْ ابْنِ عُمَرَ (فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ) قَوْلُهُ: " فَاقْدُرُوا لَهُ " هُوَ أَمْرٌ هَمْزَتُهُ هَمْزَةُ وَصْلٍ وَتُكْسَرُ الدَّالُ وَتُضَمُّ، وَقِيلَ: الضَّمُّ خَطَأٌ، وَفَسَّرَ الْمُرَادَ بِهِ قَوْلُهُ: " فَاقْدُرُوا لَهُ " ثَلَاثِينَ وَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ، وَالْمَعْنَى أَفْطِرُوا يَوْمَ الثَّلَاثِينَ وَاحْسِبُوا تَمَامَ الشَّهْرِ وَهَذَا أَحْسَنُ تَفَاسِيرِهِ وَفِيهِ تَفَاسِيرُ أُخَرُ نَقَلَهَا الشَّارِحُ خَارِجَةً عَنْ ظَاهِرِ الْمُرَادِ مِنْ الْحَدِيثِ

Al-Bukhari dari Ibnu umar, "Maka sempurnakanlah hitungannya tiga puluh hari." Maknanya, berbukalah (berhari rayalah) kalian pada hari ke 30, dan sempurnakanlah hitungan bulan [Ramadhan] hingga 30 hari, inilah penafsiran yang paling benar dari berbagai tafsiran yang disebutkan oleh Asy-syarih -Ibnu Hajar-, namun tafsiran-tafsiran keluar dari tujuan hadits ini.

قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ: فِي الْحَدِيثِ دَفْعٌ لِمُرَاعَاةِ الْمُنَجِّمِينَ، وَإِنَّمَا الْمُعَوَّلُ عَلَيْهِ رُؤْيَةُ الْأَهِلَّةِ وَقَدْ نُهِينَا عَنْ التَّكَلُّفِ، وَقَدْ قَالَ الْبَاجِيُّ فِي الرَّدِّ عَلَى مَنْ قَالَ: إنَّهُ يَجُوزُ لِلْحَاسِبِ وَالْمُنَجِّمِ وَغَيْرِهِمَا الصَّوْمُ وَالْإِفْطَارُ اعْتِمَادًا عَلَى النُّجُومِ: إنَّ إجْمَاعَ السَّلَفِ حُجَّةٌ عَلَيْهِمْ، وَقَالَ ابْنُ بَزِيزَةَ: هُوَ مَذْهَبٌ بَاطِلٌ قَدْ نَهَتْ الشَّرِيعَةُ عَلَى الْخَوْضِ فِي عِلْمِ النُّجُومِ؛ لِأَنَّهَا حَدْسٌ وَتَخْمِينٌ لَيْسَ فِيهَا قَطْعٌ.

Ibnu Baththal berkata, "Hadits ini menolak mereka yang berpegang kepada -teori- para ahli perbintangan, karena dasar hukum dalam masalah ini ialah cukup dengan ru'yah hilal, yang mana kita dilarang untuk mempersulit diri." Al-Baji, ketika membantah mereka yang berpendapat bahwa ahli hisab, ahli perbintangan dan yang lainnya diperbolehkan untuk berpuasa maupun berbuka berdasarkan pada ilmu perbintangan astronomi-, ia berkata, "Ijma' ulama salaf mematahkan pendapat mereka ini." Ibnu Barirah berkata, "Itu adalah madzhab yang batil, syariat Islam telah melarang berkutat dalam ilmu perbintangan, karena ilmu ini hanyalah dugaan dan perkiraan yang tidak ada kepastian padanya."

قَالَ الشَّارِحُ: قُلْت: وَالْجَوَابُ الْوَاضِحُ عَلَيْهِمْ مَا أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ:

Kemudian Ibnu Hajar berkata, "Menurut saya; Dan jawaban untuk mereka itu sangatlah jelas, yaitu apa yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi shallallaahu Alaihi wa sallnm bersabda,

«إنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرَ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي تِسْعًا وَعِشْرِينَ مَرَّةً وَثَلَاثِينَ مَرَّةً» .

"Sesungguhnya kami adalah kaum yang buta huruf, kami tidak menulis dan tidak menghitung, [hitungan] bulan ialah seperti ini dan seperti ini. yakni: terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari." (Al-Bukhari (1913) dan Muslim (1080).

***

وَلَهُ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ( فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ )

612. Menurut riwayatnya dari hadits Abu Hurairah: "Maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban 30 hari." (Al-Bukhari (1909).

Keterangan :

(وَلَهُ) أَيْ الْبُخَارِيِّ

(Dan menurutnya) maksudnya menurut riwayat al Bukhari.

هُوَ تَصْرِيحٌ بِمُفَادِ الْأَمْرِ بِالصَّوْمِ لِرُؤْيَتِهِ فِي رِوَايَةٍ فَإِنْ غُمَّ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ أَيْ عِدَّةَ شَعْبَانَ

Hadits ini menegaskan, bahwa perintah puasa dikaitkan dengan ru'yah hilal (melihat hilal), (dalam satu riwayat) maka jika terhalang oleh awan maka hendaknya hitungan bulan Sya'ban digenapkan menjadi tiga puluh hari.

وَهَذِهِ الْأَحَادِيثُ نُصُوصٌ فِي أَنَّهُ لَا صَوْمَ وَلَا إفْطَارَ إلَّا بِالرُّؤْيَةِ لِلْهِلَالِ أَوْ إكْمَالِ الْعِدَّةِ.

Hadits-hadits semacam ini menjelaskan bahwa tidak [diperintahkan] untuk puasa maupun berbuka [berhari raya] kecuali dengan melihat hilal atau menyempurnakan hitungan bulan [30 hari].

Sumber :  Subulus Salam Syarh Bulughul Maram (2/421). Lihat Kitab Subulus Salam al Mushilah ila al bulugh al maram ditahqiq dan ditakhrij oleh Muhammad Shabhi Hasan Halaq (4/87).

Baca Juga : 

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

Contact Us