Membayar Hutang Puasa Orang yang Meninggal Dunia

Membayar Hutang Puasa Orang yang Meninggal Dunia

Untuk membahas masalah menggantikan shaum orang lain, perlu mengadakan muqadimah, sebagai pengantar dan perbandingan, yaitu :

Hadits yang shahih sanadnya, kuat perawinya, belum tentu shahih matan dan isinya, sebab ada hadits yang shahih sanadnya tidak dimasukkan dalam golongan hadits shahih, bila ia bertentangan dengan al-Qur’an.

Waktu Siti Aisyah mendengar dari Umar mnerangkan hadits Nabi yang mengatakan bahwa bila mayit dalam kubur ditangisi orang maka mayit itu akan disiksa disebabkan kesalahan/pelanggaran orang lain (yang menangisi).

Hadits itu diterima dari orang kuat, yaitu Umar, tapi Aisyah mengatakan bahwa orang yang kuat ingatan dan amanatpun tidak mustahil salah dengar, karenanya hadits itu ditolak sekalipun sanadnya (rawinya) kuat, sebab bertentangan dengan al Qur’an yaitu kata Aisyah :

Ø­َسبُÙƒُÙ…ُ الْÙ‚ُرْØ£َÙ†ُ Ùˆَلاَ تَزِرُ ÙˆَازِرَØ©ً Ùˆِزْرَ Ø£ُØ®ْرَÙ‰

“Cukup buat kalian Al-Qur’an, (yang menyatakan): Sesungguhnya seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.”

Aisyah mengatakan dengan tegas, bahwa hadits yang dikatakan dari Nabi dengan sanad yang kuat, bila bertentangan dengan al-Qur’an, maka hadits itu tidak mungkin dari Nabi, sekalipun diriwayatkan oleh orang yang jujur, sebab tidak mustahil salah dengar atau keliru tangkap. Sehubungan dengan itu Aisyah berkata :

Rasulullah Saw bersabda :

Ù…َÙ†ْ Ù…َاتَ ÙˆَعَÙ„َÙŠْÙ‡ِ صِÙŠَامٌ صَامَ عَÙ†ْÙ‡ُ ÙˆَÙ„ِÙŠُّÙ‡ُ

“Barangsiapa mati dan baginya ada utang shaum, maka walinya (ahli warisnya) shaum menggantikan dia.” (HR. al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, III:35 No. 1952, dan Muslim, Shahih Muslim, II: 803 No. 1147).

Hadits ini sanadnya shahih, layak dan patut ditulis dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, akan tetapi bagi hadits ini berlaku kaidah seperti yang diterangkan tadi, bila bertentangan dengan ayat al-Qur’an, hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah. Ayat Qur’an dengan jelas diterangkan dalam beberapa ayat :

ÙˆَّÙ„َا تُجْزَÙˆْÙ†َ اِÙ„َّا Ù…َا ÙƒُÙ†ْتُÙ…ْ تَعْÙ…َÙ„ُÙˆْÙ†َ

“Dan tidak akan dibalas, melainkan apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Yasin [36]: 54).

ÙˆَاَÙ†ْ Ù„َّÙŠْسَ Ù„ِÙ„ْاِÙ†ْسَانِ اِÙ„َّا Ù…َا سَعٰÙ‰ۙ

“Dan manusia tidak akan menerima pahala kecuali apa yang telah ia kerjakan.” (QS. An-Najm [53] : 39).

Ù„َÙ‡َا Ù…َا Ùƒَسَبَتْ ÙˆَعَÙ„َÙŠْÙ‡َا Ù…َا اكْتَسَبَتْ

“Baginyalah ganjaran apa yang telah dikerjakan dan atasnyalah tanggungan dosa yang telah ia lakukan.” (QS. Al-Baqarah [2] : 286).

ÙƒُÙ„ُّ اُÙ…َّØ©ٍ تُدْعٰٓÙ‰ اِÙ„ٰÙ‰ ÙƒِتٰبِÙ‡َاۗ اَÙ„ْÙŠَÙˆْÙ…َ تُجْزَÙˆْÙ†َ Ù…َا ÙƒُÙ†ْتُÙ…ْ تَعْÙ…َÙ„ُÙˆْÙ†َ

“Tiap-tiap umat akan dipanggil untuk menerima kitab catatan amalnya (yang akan menentukan nasibnya, dan dikatakan) pada hari itu kamu akan dibalas terhadap apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Jatsiyah [45] : 28).

Ayat itu tidak perlu dikomentari lagi, cukup jelas. Amal yang dilakukan oleh orang lain ganjaran bukan untuk kita, dan nasib masing-masing tergantung hanya kepada amalnya sendiri, tidak dapat diwakili oleh orang lain :

Sehubungan ini Ibnu Umar berkata :

لاَ ÙŠَصُÙˆْÙ…ٌ أحَدٌ عَÙ†ْ Ø£َØ­َدٍ، Ùˆَلاَ ÙŠَصُÙˆْÙ…ُ أحَدٌ عَÙ†ْ أحَدٍ

“Tidak boleh seorang shaumkan seseorang, dan tidak boleh seorang menggantikan shalat seseorang.” (HR. Malik, al-Muwatha (I: 322, No. 835).

Imam Abu Hanifah (Hanafi) dan Imam Malik (Maliki) berkata, bahwa orang hidup tidak boleh shaum menggantikan orang yang telah mati.

Imam Syafi’i berkata dalam al-Umm, bahwa orang yang mati itu, tidak boleh digantikan shalat dan shaumnya oleh yang hidup.

Dan dapat ditegaskan lagi, shaum yang ditinggalkan dengan sengaja, tidak dapat diqadha sekalipun oleh dia sendiri, apalagi oleh orang lain.

Shaum yang ditinggalkan karena ada rukshah dari agama, yaitu sakit, safar, atau perempuan haid, diperintahkan supaya mengqadhanya atau shaum menggantikan shaum yang ditinggalkan itu, pada hari-hari yang lain dengan mutlaq, kapan saja, jadi bila belum dibayar, dan ajal datang, maka ia bebas dan tidak berdosa, tidak melanggar undang-undang, tidak berhutang, seperti yang mati akhir Sya’ban sehari sebelum datang bulan Ramadhan, ia tidak shaum Ramadhan pada tahun itu tidak berdosa, mengapa mesti dibayar oleh orang lain.

Kesimpulan : Membayar hutang shaum orang yang meninggal dunia tidak disyari’atkan. .

Masalah seputar Shaum Ramadhan dan Idul Fithri (hal. 30-33).

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

Contact Us