Terdapat sejumlah hadits yang
menerangkan bahwa hari-hari di bulan Ramadhan diklasifikasi menjadi tiga:
awalnya Rahmat, pertengahannya Maghfirah dan akhirnya ‘Itqun minan Nar (pembebas
dari api neraka).
Dilihat dari redaksinya, hadits tentang keutamaan tersebut terbagi menjadi dua macam :
Pertama, diawal dengan kalimat-kalimat lain
sebagai berikut :
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ خَطَبَنَا
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ شَهْرٌ مُبَارَكٌ شَهْرٌ
فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً
وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ
كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً
كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ
وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ وَشَهْرُ الْمُسَاوَةِ وَشَهْرٌ يَزْدَادُ
فِيْهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ مَنْ فَطَّرَ فِيْهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً
لِذُنُوْبِهِ وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ
مِنْ غَيْرِ أنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيئٌ قَالُوْا لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ
مَا يُفْطِرُ الصَّائِمَ فَقَالَ يُعْطِي اللهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ
صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ أوْ شُرْبَةِ مَاءٍ أوْ مَذَقَةِ لَبَنٍ وَهُوَ شَهْرٌ
أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ.....
Dari Salman, ia berkata, “Pada hari
akhir bulan Sya’ban Rasulullah Saw berkhutbah kepada kami. Beliau bersabda,
“Hai manusia! Telah menaungi kamu bulan yang agung, bulan yang penuh dengan
berkah, bulan yang padanya ada satu malam lebih baik dari seribu bulan. Allah
tetapkan shaum padanya sebagai satu kewajiban, dan shalat pada malamnya sebagai
tathawwu’ (sunnat). Siapa yang mendekatkan (melaksanakan) sesuatu
kebaikan (sunnat), maka (pahalanya) seperti (pahala) bagi orang yang menunaikan
kewajiban. Dan siapa yang menunaikan kewajiban, (pahalanya) seperti (pahala)
yang menunaikan kewajiban sebanyak tujuh puluh kali. Bulan itu adalah bulan
(penuh dengan) kesabaran dan bersabar itu pahalanya surga. Bulan yang penuh
dengan kebaikan, bulan yang akan bertambah rezeki seorang mukmin. Barangsiapa
memberi makan orang shaum pada bulan itu, maka hal itu merupakan maghfirah bagi
dosa-dosanya dan lehenrnya akan terlepas dari api neraka, dan baginya (orang
yang memberi makan) akan mendapatkan pahala seperti pahala yang shaum tanpa
terkurangi sedikit pun dari pahalanya itu. Para sahabat bertanya, ‘Kami semua
tidak mempunyai sesuatu untuk memberi makan yang shaum, beliau menjawab, ‘Allah
akan memberi pahala seperti ini kepada orang yang memberi makan yang shaum
walaupun hanya dengan sebiji kurma, atau seteguk air, atau sesuatu yang
dicampur dengan susu. Dan bulan itu
adalah bulan yang awalnya (penuh) rahmat, pertengahannya (penuh) maghfirah dan
akhirnya pembebasan dari neraka..” (HR. Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dan
al-Haitsami)[1]
Hadits ini bersumber dari dua rawii
yang dha’if, yaitu :
1. Ali bin Zaid bin Jud’an. Ia adalah Ali bin Zaid bin Abdullah bin Abu Mulaikah. Namanya Zuhair bin Abdullah bin Jud’an bin Amr bin Ka’ab bin Taim bin Murrah al-Qurasyi at-Tamimi. Dia telah dinyatakan dha’if oleh para ahli hadits, antara lain : Abu Bakar bin Khuzaimah mengatakan, ‘Ali tidak berhujjah dengannya karena ia buruk hafalan’.[2]
2. Yusuf bin Ziyad
an-Nahdi. Dia telah dinyatakan dha’if oleh para ahli hadits, antara
lain, al-Bukhari dan Abu Hatim berkata; ‘Munkaru al-Hadits (haditsnya
tidak halal diriwayatkan).”[3]
Penilaian para ulama terhadap hadits
di atas :
Kata Ibnu Abu Hatim, ‘Saya bertanya
kepada ayah saya tentang hadits .......(di atas). Maka beliau menjawab : “Ini
hadits yang munkar, Abdullah bin Bakr telah melakukan kesalahan di
dalamnya, rawi sebenarnya tiada lain Aban bin Abu ‘Ayyas, lalu Abdullah bin
Bakar menjadikan (mengganti) Aban dengan ‘Iyas.[4]
Ibnu Hajar mengatakan, “Haditsnya
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab Syu’banul Iman melalui beberapa
jalur periwayatan: Dari Ali bin Hujr dengan sanad ini. Dan dari jalur lain:
dari Abdullah bin Bakr as Sahimi, dari Iyas bin Abdullah Gaffar, dari Ali bin
Zaid. Jalur pertama lebih komplit dan porosnya Ali bin Zaid, dan dia dha’if,
Adapun Yusuf bin Ziyad, maka ia sangat dha’if. Sedangkan Iyas bin
Abdullah Ghaffar, maka aku tidak mengenalnya.[5]
Kedua, tanpa diawali oleh
kalimat-kalimat lain :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ
وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah
Saw bersabda, “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah maghfirah
dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.” (HR. Ibnu Adi, al-‘Uqaili,
ad-Dailami dan al-Khathib al-Baghdadi).[6]
Hadits ini bersumber dari dua orang
rawi yang dinyatakan dha’if, yaitu :
1. Maslamah bin
as-Shalt, Abu Hatim berkata, “Matruk al-Hadits.” [7]
2. Salam bin Sawwar.
Nama lengkapnya Salam bin Sulaiman bin Sawwar, Abul Abbas, as-Saqafi, al-Madain.
Menurut Abu Hatim, ‘Ia rawi yang tidak kuat’. Ibnu Adi berkata, ‘Munkar al-Hadits.”
[8]
Penilaian para ulama terhadap hadits
di atas :
Kata al-Khatib al-Baghdadi: “Salam
bin Sawwar dha’if dalam hadits, dan di antaranya bentuk ke-dha’ifannya
terdapat Ikhtilaf dalam meriwayatkan hadits ini.[9]
Kata Muhammad al-Lakmi : “Sanadnya
sangat dha’if, dan hadits ini munkar.”[10]
Kata Syekh al-Albani, “hadits ini
sangat dha’if. Dalam kitabnya yang lain, Syekh al-Albani berkata, “Munkar”.[11]
Kesimpulan : Hadits-hadits yang berkaitan dengan klasifikasi hari di bulan Ramadhan kedudukannya dha’if dan tidak dapat dijadikan hujjah untuk keyakinan adanya klasifikasi tersebut.
Disalin dari buku Masalah seputar Shaum Ramadhan dan Idul Fithri (hal. 25-28)
[1][1]
Shahih Ibnu Khuzaimah, III:192, No. 1887, Fadhail al Awqat, 43 dan 40,
dan Musnad al-Harits atau Zawaid al Haitsami, I:413, no. 321.
[2] Tahdzibul Kamal, XX: 434-445).
[3] Mizan al-I’tidal, IV: 465).
[4] Ilal al-Hadits, 289.
[5] Ittihaful Muhirrah bi Fawaid al-Mubtakirah min Athraf
al-Asyrah, V: 560).
[6]
Al-Kamil fi Dhu’afa ar Rijal, IV: 325, adh-Dhu’afa al-Kabir, III:
437, No. 750, al-Firdawus bin Ma’sur al-Khitab, I: 138, No. 79 dan Mawudih
Awham al-Jam’i wat Tafriq, II: 144, No. 233.
[7] al-Jarh wa at-Ta’dil, III:269, dan adh-Dhu’afa wa al Matrukin, III: 119).
[8] Mizan al-I’tidal, II: 178).
[9] Mawdhih Awham al-Jam’i wa at-Tafriq, II: 144.
[10]
Masyikah Abi Thahir Ibn Abu as-Saqr, 83.
[11] Shahih wa Dha’if al-Jami’ as-Shaghir wa Ziyadatuhu, 495.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.