وَعَنْ حَفْصَةَ أُمِّ اَلْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهَا, عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ
اَلصِّيَامَ قَبْلَ اَلْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ,
وَمَالَ النَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ إِلَى تَرْجِيحِ وَقْفِهِ, وَصَحَّحَهُ
مَرْفُوعًا اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ.
615. Dari Hafshah Ummul Mukminin bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya." Riwayat Imam Lima. Tirmidzi dan Nasa'i lebih cenderung menilainya hadits mauquf. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menilainya shahih secara marfu'.
وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ: ( لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ
يَفْرِضْهُ مِنَ اَللَّيْلِ )
Menurut riwayat Daruquthni: "Tidak ada puasa bagi orang yang tidak
meniatkan puasa wajib semenjak malam."
Takhrij Hadits :
Ahmad, Abu Dawud (2454), Tirmidzi (730), Nasai (4/196) (no. 2331), Ibnu
Majah (1700).
Sunan Tirmidzi (3/108)
Sunan Nasai (3/197).
Shahih Ibnu Khuzaimah (3/212 no. 1933)
Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/46).
Keterangan :
Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam Syarah Bulughul Maram mengatakan :
الْحَدِيثُ اخْتَلَفَ الْأَئِمَّةُ فِي رَفْعِهِ
وَوَقْفِهِ وَقَالَ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ حَزْمٍ: الِاخْتِلَافُ فِيهِ يُزِيدُ
الْخِبْرَةَ قُوَّةً؛ لِأَنَّ مَنْ رَوَاهُ مَرْفُوعًا قَدْ رَوَاهُ مَوْقُوفًا،
وَقَدْ أَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ مِنْ طَرِيقٍ أُخْرَى وَقَالَ: رِجَالُهَا
ثِقَاتٌ.
Status hadits ini diperselisihkan ulama, apakah ia hadits marfu' atau
mauquf. Kemudian Abu Muhammad bin Hazm berkata, 'Perselisihan tersebut justru
akan menambah kekuatan hadits itu sendiri, karena mereka yang telah
meriwayatkan secara marfu', secara tidak langsung telah meriwayatkannya secara
mauquf. Kemudian Ath-Thabari telah meriwayatkan dari jalur lain lalu ia
berkomentar, "Perawi-perawinya tsiqah."
وَهُوَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَصِحُّ الصِّيَامُ
إلَّا بِتَبْيِيتِ النِّيَّةِ وَهُوَ أَنْ يَنْوِيَ الصِّيَامَ فِي أَيِّ جُزْءٍ
مِنْ اللَّيْلِ وَأَوَّلُ وَقْتِهَا الْغُرُوبُ وَذَلِكَ؛ لِأَنَّ الصَّوْمَ
عَمَلٌ وَالْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَأَجْزَاءُ النَّهَارِ غَيْرُ مُنْفَصِلَةٍ
مِنْ اللَّيْلِ بِفَاصِلٍ يُتَحَقَّقُ فَلَا يَتَحَقَّقُ إلَّا إذَا كَانَتْ
النِّيَّةُ وَاقِعَةً فِي جُزْءٍ مِنْ اللَّيْلِ،
Hadits ini menunjukkan, bahwa puasa tidak sah kecuali jika diniatkan sejak
malam hari. Yaitu, dengan cara berniat pada malam hari untuk puasa hari esok.
Dianggap sebagai waktu malam, terhitung sejak terbenamnya matahari hingga
terbit fajar. Hal ini disebabkan, karena puasa adalah suatu pekerjaan -amal
ibadah- dan setiap pekerjaan harus memiliki niat, sedang antara waktu siang
hari dan malam hari tidak terpisahkan dengan pemisah yang jelas, oleh karenanya
permulaan puasa tidak akan jelas kecuali dengan adanya niat pada malam hari.
وَتُشْتَرَطُ النِّيَّةُ لِكُلِّ يَوْمٍ عَلَى
انْفِرَادِهِ وَهَذَا مَشْهُورٌ مِنْ مَذْهَبِ أَحْمَدَ وَلَهُ قَوْلٌ: إنَّهُ
إذَا نَوَى مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ تُجْزِئُهُ.
Niat harus dilakukan pada setiap hari, demikian pendapat yang masyhur dari
madzhab Ahmad. Ada riwayat lain dari Ahmad, bahwa apabila seseorang meniatkan
puasa dari permulaan bulan maka niat itu sudah mencukupi.
وَقَوَّى هَذَا الْقَوْلَ ابْنُ عَقِيلٍ بِأَنَّهُ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى» وَهَذَا
قَدْ نَوَى جَمِيعَ الشَّهْرِ، وَلِأَنَّ رَمَضَانَ بِمَنْزِلَةِ الْعِبَادَةِ
الْوَاحِدَةِ؛ لِأَنَّ الْفِطْرَ فِي لَيَالِيه عِبَادَةٌ أَيْضًا يُسْتَعَانُ
بِهَا عَلَى صَوْمِ نَهَارِهِ وَأَطَالَ فِي الِاسْتِدْلَالِ عَلَى هَذَا بِمَا يَدُلُّ عَلَى قُوَّتِهِ وَالْحَدِيثُ عَامٌّ
لِلْفَرْضِ وَالنَّفَلِ وَالْقَضَاءِ وَالنَّذْرِ مُعَيَّنًا وَمُطْلَقًا وَفِيهِ
خِلَافٌ وَتَفَاصِيلُ.
Pendapat (kedua ini) didukung oleh Ibnu Aqil dengan berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu Alaihi wa sallam, "Dan bagi setiap orang sesuai
dengan apa yang ia niatkan." Jadi, orang tersebut telah meniatkan puasa
sepanjang bulan. Ramadhan dianggap satu kesatuan ibadah, bahkan berbukanya
seseorang pada malam hari pun dianggap sebagai ibadah. Karena dengan begitu ia
akan menjadi kuat untuk melaksanakan puasa pada siang hari. Beliau menjelaskan
berbagai argumen yang menunjukkan kekuatan pendapat tersebut. Hadits tersebut,
bersifat umum, meliputi puasa wajib, puasa sunnah, puasa qadha', dan puasa
nadzar. Baik yang ditentukan waktunya maupun tidak. Namun, dalam hal ini ada
beberapa Pendapat dan penjelasannya.
وَاسْتَدَلَّ مَنْ قَالَ بِعَدَمِ وُجُوبِ التَّبْيِيتِ
بِحَدِيثِ الْبُخَارِيِّ «أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بَعَثَ
رَجُلًا يُنَادِي فِي النَّاسِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ إنَّ مَنْ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ
أَوْ فَلْيَصُمْ وَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ فَلَا يَأْكُلْ»
Sedangkan bagi mereka yang tidak mewajibkan niat puasa di malam hari,
mereka berargumen dengan hadits Al-Bukhari, "Bahwasanya Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam mengutus seseorang untuk menyeru pada hari 'Asyura',
"Barangsiapa yang telah makan, hendaklah ia menyempurnakan puasanya, atau
hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa yang belum makan, hendaklah ia tidak
makan.' (Hadits ini shahih, Al-Bukhari (1924).
قَالُوا: وَقَدْ كَانَ وَاجِبًا ثُمَّ نُسِخَ وُجُوبُهُ
بِصَوْمِ رَمَضَانَ وَنَسْخُ وُجُوبِهِ لَا يَرْفَعُ سَائِرَ الْأَحْكَامِ فَقِيسَ
عَلَيْهِ رَمَضَانُ وَمَا فِي حُكْمِهِ مِنْ النَّذْرِ الْمُعَيَّنِ
وَالتَّطَوُّعِ فَخُصَّ عُمُومُ " فَلَا صِيَامَ لَهُ " بِالْقِيَاسِ
وَبِحَدِيثِ عَائِشَةَ الْآتِي فَإِنَّهُ دَلَّ عَلَى «أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يَصُومُ تَطَوُّعًا مِنْ غَيْرِ تَبْيِيتِ النِّيَّةِ» .
Mereka mengatakan, bahwa pada saat itu Puasa tersebut [Asyura] hukumnya
wajib, kemudian dinasakh -diganti- dengan kewajiban puasa bulan Ramadhan, dan
nasakh hukum tersebut tidak secara otomatis menghapus semua hukumnya, lalu
puasa bulan Ramadhan dianalogikan kepada Puasa Asyura dan juga kepada
puasa-puasa yang sejenis seperti Puasa nadzar yang telah ditentukan harinya,
puasa sunnah pada hari-hari tertentu, sehingga keumuman hadits, "...maka
tidak puasa baginya... " dibatasi oleh analogi ini, juga oleh hadits
Aisyah yang akan datang, yang mana hadits tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan puasa sunnah tanpa berniat pada malam
hari.
وَأُجِيبَ : بِأَنَّ صَوْمَ عَاشُورَاءَ غَيْرُ مُسَاوٍ
لِصَوْمِ رَمَضَانَ حَتَّى يُقَاسَ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - أَلْزَمَ الْإِمْسَاكَ لِمَنْ قَدْ أَكَلَ وَلِمَنْ لَمْ يَأْكُلْ
فَعُلِمَ أَنَّهُ أَمْرٌ خَاصٌّ وَلِأَنَّهُ إنَّمَا أَجْزَأَ عَاشُورَاءُ
بِغَيْرِ تَبْيِيتٍ لِتَعَذُّرِهِ فَيُقَاسُ عَلَيْهِ مَا سِوَاهُ كَمَنْ نَامَ
حَتَّى أَصْبَحَ، عَلَى أَنَّهُ لَا يَلْزَمُ مِنْ تَمَامِ الْإِمْسَاكِ
وَوُجُوبِهِ أَنَّهُ صَوْمٌ مُجْزِئٌ، وَأَمَّا حَدِيثُ عَائِشَةَ وَهُوَ.
Bantahan atas pendapat di atas, bahwa Puasa Asyura tidak sama dengan puasa
Ramadhan sehingga berlaku hukum analogi pada keduanya, lalu beliau Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan kepada orang-orang yang terlanjur
makan maupun yang belum makan untuk menahan diri dan tidak makan dengan begitu
jelas bahwa hal ini adalah perintah khusus, dan khusus untuk puasa Asyura sah
tanpa meniatkannya dari malam hari karena adanya uzur, lalu hal-hal yang serupa
itu dianalogikan kepadanya, seperti orang yang ketiduran hingga datang saat
Subuh, yang mana imsak -menahan diri dari yang membatalkan- yang disertai hukum
wajib yang telah tiba saat itu tidak secara otomatis menjadi orang tersebut
berpuasa, sedangkan hadits Aisyah yang berbunyi,
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: (
دَخَلَ عَلَيَّ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ. فَقَالَ: هَلْ
عِنْدَكُمْ شَيْءٌ? قُلْنَا: لَا. قَالَ:
فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ ثُمَّ
أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ, فَقُلْنَا: أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ, فَقَالَ: أَرِينِيهِ, فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا فَأَكَلَ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
616. Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Suatu hari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam masuk ke rumahku, lalu beliau bertanya: "Apakah ada sesuatu padamu?" Aku menjawab: Tidak ada. Beliau bersabda: "Kalau begitu aku shaum." Pada hari lain beliau mendatangi kami dan kami katakan: Kami diberi hadiah makanan hais (terbuat dari kurma, samin, dan susu kering). Beliau bersabda: "Tunjukkan padaku, sungguh tadi pagi aku shaum." Lalu beliau makan. (HR. Muslim).
Sumber : Subulus Salam Syarh Bulughul Maram versi arab (2/425). Lihat Kitab Subulus Salam al Mushilah ila al bulugh al maram ditahqiq dan ditakhrij oleh Muhammad Shabhi Hasan Halaq (4/91).
Kesimpulan kami :
Bahwa Hadits Hafshah menunjukkan bahwa kewajiban berniat sebelum fajar itu
adalah bagi orang yang hendak shaum wajib. Seperti shaum Ramadhan.
Sementara hadits Aisyah (sebagaimana akan kami uraikan) menunjukkan tidak wajibnya niat sebelum fajar bagi yang shaum sunnat.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.