وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( نَهَى
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ اَلْوِصَالِ, فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ
اَلْمُسْلِمِينَ: فَإِنَّكَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ تُوَاصِلُ? قَالَ: وَأَيُّكُمْ
مِثْلِي? إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي فَلَمَّا أَبَوْا أَنْ
يَنْتَهُوا عَنِ اَلْوِصَالِ وَاصَلَ بِهِمْ يَوْمًا, ثُمَّ يَوْمًا, ثُمَّ
رَأَوُا اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: لَوْ تَأَخَّرَ اَلْهِلَالُ لَزِدْتُكُمْ
كَالْمُنَكِّلِ لَهُمْ حِينَ أَبَوْا أَنْ يَنْتَهُوا
) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
621. Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang puasa wishol (puasa bersambung tanpa makan). Lalu ada seorang dari kaum muslimin bertanya: Tetapi baginda sendiri puasa wishol, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: "Siapa di antara kamu yang seperti aku, aku bermalam dan Tuhanku memberi makan dan minum." Karena mereka menolak untuk berhenti puasa wishol, maka beliau shaum wishol bersama mereka sehari, kemudian sehari. Lalu mereka melihat bulan sabit, maka bersabdalah beliau: "Seandainya bulan sabit tertunda aku akan tambahkan puasa wishol untukmu, sebagai pelajaran bagi mereka yang menolak untuk berhenti." Muttafaq Alaihi.
Takhrij Hadits :
Shahih Al Bukhari (1965), Shahih Muslim (1103), Al Muwatha (1/301).
Keterangan :
Abdullah Al-Basam mengatakan,
والوصال: مواصلة الصيام اليومين فأكثر، من غير إفطار
بالليل
Al Wishaal' Maksudnya di sini adalah menyambung puasa dua hari atau lebih
tanpa berbuka pada malam harinya. (Taudhihul Ahkam).
Dalam catatan kaki Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq disebutkan:
وصل الصوم متابعة بعضه بعضا دون فطر أو سحور
(Wishal dalam berpuasa maksudnya) menyambung berpuasa terus-menerus dan
berturut-turut tanpa berbuka atau sahur.
المنكِّل : المعاقب لهم بما يردعهم عن مثل صنيعهم
Al Munakil Yaitu hukuman yang disebabkan tidak mau meninggalkan perbuatan
mereka.
Imam Ash Shan'ani mengatakan,
الْحَدِيثُ عِنْدَ الشَّيْخَيْنِ مِنْ حَدِيثِ أَبِي
هُرَيْرَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَعَائِشَةَ وَأَنَسٍ وَتَفَرَّدَ مُسْلِمٌ
بِإِخْرَاجِهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
Hadits ini menurut Asy Syaikhain (Bukhari dan Muslim) dari Abu Hurairah,
Ibnu Umar, Aisyah dan Anas, lalu Muslim secara pribadi meriwayatkannya dari Abu
Said.
وَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِ الْوِصَالِ؛ لِأَنَّهُ
الْأَصْلُ فِي النَّهْيِ، وَقَدْ أُبِيحَ الْوِصَالُ إلَى السَّحَرِ لِحَدِيثِ
أَبِي سَعِيدٍ
Hadits ini menunjukkan haramnya puasa wishal, karena pada dasarnya sebuah
larangan menunjukkan keharaman. Namun kemudian puasa wishal diperbolehkan
hingga waktu sahur berdasarkan hadits Abu Said,
«فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ إلَى السَّحَرِ»
"Maka barangsiapa dari kalian ingin ruishal, hendaklah ia melakukannya
hingga waktu sahur."
وَفِي حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ هَذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ
إمْسَاكَ بَعْضِ اللَّيْلِ مُوَاصَلَةٌ. وَهُوَ يَرُدُّ عَلَى مَنْ قَالَ: إنَّ
اللَّيْلَ لَيْسَ مَحَلًّا لِلصَّوْمِ فَلَا يَنْعَقِدُ بِنِيَّتِهِ.
Dalam hadits ini ada dalil menunjukkan, bahwa menahan diri dari makan dan
minum pada sebagian waktu malam juga dinamakan wishal. Hal ini membantah
pendapat yang mengatakan, "Malam hari bukan saatnya untuk berpuasa, maka
tidak sah meniatkan puasa pada malam hari."
Kemudian beliau mengatakan,
وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ الْوِصَالَ مِنْ
خَصَائِصِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
-
Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa puasa wishal merupakan
kekhususan Nabi Shallallahu Alaihi wa SaIIam.
وَقَدْ اُخْتُلِفَ فِي حَقِّ غَيْرِهِ فَقِيلَ:
التَّحْرِيمُ مُطْلَقًا، وَقِيلَ: مُحَرَّمٌ فِي حَقِّ مَنْ يَشُقُّ عَلَيْهِ
وَيُبَاحُ لِمَنْ لَا يَشُقُّ عَلَيْهِ
Telah berbeda pendapat tentang wishal yang dilakukan oleh selain Nabi.
Pendapat (pertama) mengatakan bahwa hukum puasa wishal haram secara mutlak.
Pendapat (kedua) mengatakan bahwa puasa wishal hukumnya haram bagi orang yang
merasa keberatan untuk melakukanya, dan diperbolehkan bagi orang yang tidak
merasa keberatan.
الْأَوَّلُ رَأْيُ الْأَكْثَرِ لِلنَّهْيِ وَأَصْلُهُ
التَّحْرِيمُ.
Pendapat pertama ini pendapat kebanyakan ulama, karena hukum asal sebuah
larangan ialah pengharaman.
وَاسْتَدَلَّ مَنْ قَالَ: إنَّهُ لَا يَحْرُمُ بِأَنَّهُ
- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَاصَلَ بِهِمْ وَلَوْ كَانَ النَّهْيُ
لِلتَّحْرِيمِ لَمَا أَقَرَّهُمْ عَلَيْهِ فَهُوَ قَرِينَةٌ أَنَّهُ لِلْكَرَاهَةِ
رَحْمَةً لَهُمْ وَتَخْفِيفًا عَنْهُمْ، وَلِأَنَّهُ أَخْرَجَ أَبُو دَاوُد عَنْ
رَجُلٍ مِنْ الصَّحَابَةِ:
Orang yang berpendapat; wishal tidak haram karena Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam melakukannya bersama Para sahabat' Jika larangan tersebut
bermakna haram, tentu Rasulullah tidak akan membiarkannya. Sehingga, kenyataan
ini menjadi isyarat bahwa hukum puasa wishal adalah makruh sebagai bentuk kasih
sayang dan keringanan bagi mereka. Di samping itu, Abu Dawud meriwayatkan dari
salah seorang sahabat,
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ
الْحِجَامَةِ وَالْمُوَاصَلَةِ وَلَمْ يُحَرِّمْهُمَا إبْقَاءً عَلَى أَصْحَابِهِ»
إسْنَادُهُ صَحِيحٌ " وَإِبْقَاءً " مُتَعَلِّقٌ بِقَوْلِهِ: "
نَهَى ".
"Rasulullah melarang berbekam dan wishal, namun beliau tidak
mengharamkannya sebagai perlindungan kepada para sahabatnya." (Isnadnya
shahih), kata Ibqa'an berkaitan dengam sabdanya Nahaa (melarang).
وَرَوَى الْبَزَّارُ وَالطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ
مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ «نَهَى النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
عَنْ الْوِصَالِ وَلَيْسَ بِالْعَزِيمَةِ»
Di dalam Al-Ausath, Al-Bazzar dan At-Thabrani meriwayatkan dari Samurah,
"Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang wishal namun tidak serius
-haram-.'
وَيَدُلُّ لَهُ أَيْضًا مُوَاصَلَةُ الصَّحَابَةِ
فَرَوَى ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ " أَنَّ ابْنَ الزُّبَيْرِ
كَانَ يُوَاصِلُ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا " وَذَكَرَ ذَلِكَ عَنْ جَمَاعَةٍ
غَيْرُهُ فَلَوْ فَهِمُوا التَّحْرِيمَ لَمَا فَعَلُوهُ،
Hal ini juga didukung beberapa riwayat dari sahabat yang melakukan wishal,
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih, "Bahwasanya Ibnu
Az-Zubair melakukan wishal selama lima belas hari."Hal ini juga
diriwayatkan dari beberapa orang sahabat yang lain. Maka seandainya mereka
memahami larangan tersebut bermakna haram, tentulah mereka tidak akan
mela-kukannya.
وَيَدُلُّ لِلْجَوَازِ أَيْضًا مَا أَخْرَجَهُ ابْنُ
السَّكَنِ مَرْفُوعًا «إنَّ اللَّهَ لَمْ يَكْتُبْ الصِّيَامَ بِاللَّيْلِ فَمَنْ
شَاءَ فَلْيَتَّبِعْنِي وَلَا أَجْرَ لَهُ»
Hal ini juga diperkuat oleh hadits marfu' yang diriwayatkan oleh Ibnu
As-Sakan, "Sesungguhnya Allah tidak mezoajibkan berpuasa pada malam hari,
maka barangsiapa berkenan ia boleh mengikutiku, namun tiada pahala
baginya."
قَالُوا: وَالتَّعْلِيلُ بِأَنَّهُ مِنْ فِعْلِ
النَّصَارَى لَا يَقْتَضِي التَّحْرِيمَ
Sedangkan alasan yang mengatakan bahwa perbuatan itu adalah kebiasaan
orang-orang Nashrani, maka kondisi ini tidak secara otomatis mengharamkannya,
sebagaimana larangan mengakhirkan berbuka dengan alasan hal itu adat kebiasaan
orang-orang ahli kitab, itu tidak menjadikannya haram.
وَاعْتَذَرَ الْجُمْهُورُ عَنْ مُوَاصَلَتِهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِالصَّحَابَةِ بِأَنَّ ذَلِكَ كَانَ تَقْرِيعًا
لَهُمْ وَتَنْكِيلًا بِهِمْ وَاحْتَمَلَ جَوَازَ ذَلِكَ؛ لِأَجْلِ مَصْلَحَةِ
النَّهْيِ فِي تَأْكِيدِ زَجْرِهِمْ؛ لِأَنَّهُمْ إذَا بَاشَرُوهُ ظَهَرَتْ لَهُمْ
حِكْمَةُ النَّهْيِ وَكَانَ ذَلِكَ أَدْعَى إلَى قَبُولِهِ لِمَا يَتَرَتَّبُ
عَلَيْهِ مِنْ الْمَلَلِ فِي الْعِبَادَةِ وَالتَّقْصِيرِ فِيمَا هُوَ أَهَمُّ
مِنْهُ وَأَرْجَحُ مِنْ وَظَائِفِ الْعِبَادَاتِ
Namun, jumhur ulama mengatakan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi
uta Sallam melakukan wishal bersama para sahabat, beliau bermaksud untuk
memberikan peringatan keras kepada mereka yang mungkin saja hal itu
diperbolehkan untuk lebih menegaskan larangan tersebut, karena jika mereka
telah mencobanya -melakukan wishal- mereka akan segera memahami hikmah dibalik
larangan tersebut, dan cara itu akan lebih mudah diterima karena mereka akan
segera merasakan kebosanan dalam beribadah dan akan melalaikan berbagai macam
ibadah yang lebih utama dari wishal tersebut.
Beliau mengatakan,
وَالْأَقْرَبُ مِنْ الْأَقْوَالِ هُوَ التَّفْصِيلُ
وَقَوْلُهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - " وَأَيُّكُمْ مِثْلِي
" اسْتِفْهَامُ إنْكَارٍ وَتَوْبِيخٍ أَيْ أَيُّكُمْ عَلَى صِفَتِي
وَمَنْزِلَتِي مِنْ رَبِّي
Dan menurut saya yang lebih mendekati (logis) ialah pendapat yang
membedakan (antara yang tidak merasa keberatan.) Sabda beliau, "Siapakah
di antarakamu yang seperti aku?" merupakan pertanyaan bernada menyindir,
maksudnya, siapakah di antara kalian yang memiliki sifat seperti diriku?
mempunyai kedudukan di sisi Allah seperti diriku?
وَاخْتُلِفَ فِي قَوْلِهِ (يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِي)
فَقِيلَ: هُوَ عَلَى حَقِيقَتِهِ كَانَ يُطْعَمُ وَيُسْقَى مِنْ عِنْدِ اللَّهِ،
وَتَعَقَّبَ بِأَنَّهُ لَوْ كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَكُنْ مُوَاصِلًا.
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami maksud sabda beliau, " ...
sesungguhnya aku bermalam dalam keadaan diberi makan dan minum...." Ada
yang memahami hadits ini, bahwa beliau mendapatkan makan dan minum dari sisi
Allah. Namun, hal ini dibantah, jika demikian maka beliau tidak termasuk mereka
yang melakukan wishal.
وَأُجِيبَ عَنْهُ بِأَنَّ مَا كَانَ مِنْ طَعَامِ
الْجَنَّةِ عَلَى جِهَةِ التَّكْرِيمِ فَإِنَّهُ لَا يُنَافِي التَّكْلِيفَ وَلَا
يَكُونُ لَهُ حُكْمُ طَعَامِ الدُّنْيَا
Namun bantahan ini dijawab, makanan tersebut adalah makanan dari surga
sebagai penghormatan. Hal ini tidak bertentangan dengan hukum taklif, dan
makanan tersebut tidak memiliki implikasi hukum seperti makanan dunia.
وَقَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ: الْمُرَادُ مَا يُغَذِّيهِ
اللَّهُ مِنْ مَعَارِفِهِ وَمَا يُفِيضُهُ عَلَى قَلْبِهِ مِنْ لَذَّةِ
مُنَاجَاتِهِ وَقُرَّةِ عَيْنِهِ بِقُرْبِهِ وَتَنَعُّمِهِ بِحُبِّهِ وَالشَّوْقِ
إلَيْهِ وَتَوَابِعِ ذَلِكَ مِنْ الْأَحْوَالِ الَّتِي هِيَ غِذَاءُ الْقُلُوبِ
وَتَنْعِيمُ الْأَرْوَاحِ وَقُرَّةُ الْعَيْنِ وَبَهْجَةُ النُّفُوسِ،
وَلِلْقَلْبِ وَالرُّوحِ بِهَا أَعْظَمُ غِذَاءٍ وَأَجْوَدُهُ وَأَنْفَعُهُ وَقَدْ
يَقْوَى هَذَا الْغِذَاءُ حَتَّى يُغْنِيَ عَنْ غِذَاءِ الْأَجْسَامِ بُرْهَةً
مِنْ الزَّمَانِ كَمَا قِيلَ شِعْرًا.
Ibnu Al-Qayyim berkata, "Maksudnya, segala yang Allah berikan berupa
pengetahuan dan segala yang Allah alirkan ke dalam hati berupa kenikmatan
munajat, kesenangan hati dengan kedekatannya dengan Allah, kenyamanan dengan
kecintaan dan kerinduan pada-Nya dan sebagainya, semua itu merupakan santapan
hati, hidangan nurani dan penyejuk mata. Kepuasan jiwa, hati dan ruh dengan
semua itu merupakan nutrisi paling agung paling utama dan paling berdaya guna.
Nutrisi ini menjadikan seorang kuat hingga terkadang tidak memerlukan lagi
asupan jasmani untuk beberapa waktu, sebagaimana yang dikatakan di dalam satu
syair,
لَهَا أَحَادِيثُ مِنْ ذِكْرَاك
Dia memiliki cerita-cerita tentangmu
تَشْغَلُهَا عَنْ الشَّرَابِ
Yang melupakannya untuk minum dan makan
وَتُلْهِيهَا عَنْ الزَّادِ لَهَا بِوَجْهِك نُورٌ
يُسْتَضَاءُ لَهُ
Karena wajahmu, ia memiliki cahaya yang menerangi
وَمِنْ حَدِيثِك فِي أَعْقَابِهَا حَادِي
Dan dari kisah-kisah tentangmu di belakangnya ada pengikut
وَمَنْ لَهُ أَدْنَى مَعْرِفَةٍ أَوْ تَشَوُّقٍ يَعْلَمُ
اسْتِغْنَاءَ الْجِسْمِ بِغِذَاءِ الْقَلْبِ وَالرُّوحِ عَنْ كَثِيرٍ مِنْ
الْغِذَاءِ الْحَيَوَانِيِّ وَلَا سِيَّمَا الْمَسْرُورُ الْفَرْحَانُ الظَّافِرُ
بِمَطْلُوبِهِ الَّذِي قَرَّتْ عَيْنُهُ بِمَحْبُوبِهِ وَتَنَعَّمَ بِقُرْبِهِ
وَالرِّضَا عَنْهُ، وَسَاقَ هَذَا الْمَعْنَى وَاخْتَارَ هَذَا الْوَجْهَ فِي
الْإِطْعَامِ وَالْإِسْقَاءِ.
Siapapun yang memiliki sedikit ma'rifah dan kerinduan ia akan memahami
betapa jasadnya tidak lagi memerlukan santapan hewani terlalu banyak karena ia
telah memiliki santapan hati dan ruhani. Apalagi orang yang sedang merasa
gembira lagi senang yang telah berhasil mendapatkan apa yang ia idam-idamkan,
yang mana ia merasa nyaman berada di dekatnya dan mendapatkan keridhaannya.
Beliau menjelaskan makna ini dan memilihnya sebagai penjelasan sabda beliau
" . ..Sesungguhnya aku bermalam dalam keadaan diberi makan dan
minum..."
وَأَمَّا الْوِصَالُ إلَى السَّحَرِ فَقَدْ أَذِنَ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِيهِ كَمَا فِي حَدِيثِ الْبُخَارِيِّ
عِنْدَ أَبِي سَعِيدٍ " أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - يَقُولُ: «لَا تُوَاصِلُوا فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ
فَلْيُوَاصِلْ إلَى السَّحَرِ» .
Sedangkan wishal hingga saat sahur, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam telah mengizinkannya, sebagaimana yang disebutkan di dalam Shahih
Al-Bukhari dari hadits Abu Said, "Bahwasanya ia telah mendengarkan
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Janganlah kalian
melakukan wishal, barangsiapa di antara kalian ingin melakukan wishal,
hendaklah ia melakukannya hingga waktu sahur.'
وَأَمَّا حَدِيثُ عُمَرَ فِي الصَّحِيحَيْنِ مَرْفُوعًا
«إذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا
وَغَرَبَتْ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ» فَإِنَّهُ لَا يُنَافِي
الْوِصَالَ؛ لِأَنَّ الْمُرَادَ بِأَفْطَرَ دَخَلَ فِي وَقْتِ الْإِفْطَارِ لَا
أَنَّهُ صَارَ مُفْطِرًا حَقِيقَةً كَمَا قِيلَ؛ لِأَنَّهُ لَوْ صَارَ مُفْطِرًا
حَقِيقَةً لَمَا وَرَدَ الْحَثُّ عَلَى تَعْجِيلِ الْإِفْطَارِ وَلَا النَّهْيُ
عَنْ الْوِصَالِ وَلَا اسْتَقَامَ الْإِذْنُ بِالْوِصَالِ إلَى السَّحَرِ.
Sedangkan hadits marfu' dari Umar di dalam Ash-Shahihain -Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim-, "Jika malam telah datang dari sebelah sini, siang telah berlalu dari sebelah sini dan matahari telah terbenam, maka orang-orang yang berpuasa telah berbuka. Hadits ini tidak menghalangi seseorang dari wishal, karena yang dimaksud dengan sabda beliau, " .,.telah berbuka." Yakni, mereka telah memasuki saat untuk berbuka, bukan berarti mereka telah berbuka secara otomatis, karena jika mereka berbuka dalam arti sesungguhnya maka tidak ada artinya ketika Rasulullah memerintahkan untuk menyegerakan berbuka, atau ketika beliau melarang puasa wishal, dan tidak ada artinya izin beliau untuk melakukan wishal hingga waktu sahur.
Referensi : Subulus Salam Syarh Bulughul Maram versi arab (2/433-437). Lihat Kitab Subulus Salam al Mushilah ila al bulugh al maram ditahqiq dan ditakhrij oleh Muhammad Shabhi Hasan Halaq (4/98).
Kesimpulan :
·
Bahwa shaum wishal diharamkan bagi umat Nabi
Muhammad Saw
·
Shaum Wishal merupakan merupakan kekhususan Nabi
Shallallahu Alaihi wa SaIIam.
·
Ada sebagian ulama yang membolehkan shaum wishal
bagi yang mampu melakukannya dan tidak memberatkannya.
Abdulllah Al Bassam mengatakan,
الحكمة -والله أعلم- في النهي عن الوصال: هو ما يحصل به من الضعف والسآمة،
والعجز عن المواظبة على كثير من وظائف الطاعات، والقيام بحقوقها
Hikmah larangan shaum Wishal
diantaranya karena menyebabkan tubuh lemah, rasa bosan, tidak mampu melakukan
aktivitas ketaatan, dan melaksanakan kewajiban. (Taudhihul Ahkam (3/478).
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.