Kawin Kontrak
Oleh KH. Usman Sholehuddin (Alm)
Akhir-akhir ini sering terdengar adanya “Kawin Kontrak”, lebih dikenal dengan istilah Kawin Mut’ah, kawin muaqqat, (kawin sementara) atau kawin munqathi’ (kawin yang terputus). Maksudnya adalah: seorang laki-laki mengawini seorang perempuan untuk sementara misalnya sehari, seminggu, sebulan. Bila telah sampai pada waktu yang ditentukan maka, dengan sendirinya, putuslah perkawinan itu. Syarat-syarat perkawinan ini, seperti juga perkawinan biasa.
Kawin Mut’ah dilakukan guna melampiaskan syahwat atau
memenuhi kebutuhan seksual tanpa disertai maksud untuk mempunyai keturunan,
memelihara, dan mendidiknya. Demikian menurut As-Sayyid Sabiq, dalam Fiqhus
Sunnah bab Zuwajul Mut’ah.
Rasulullah Saw pernah mengizinkan kawin Mut’ah, sebagaimana
hadits berikut :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ، كُنَّا
نَغْزُو مَعَ رَسُوْلِ اللهِ لَيْسَ مَعَنَا نِسَاءٌ فَقُلْنَا: أَلاَ نَخْتَصِي،
فَنَهَانَا مِنْ ذَلِكَ ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا بَعْدُ أنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ إلَى
أَجَلٍ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمُ
Dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan : Kami pernah berperang
dengan Rasulullah Saw, pada saat itu istri-istri kami tidak ikut. Kemudian kami
bertanya, bolehkah kami mengebiri diri kami ? Beliau melarang kami dari
perbuatan ini, kemudian Rasulullah Saw memberi kelonggaran kepada kami untuk
kawin dengan seorang wanita dengan imbalan sehelai kain.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim).
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ،
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: إِنَّمَا كَانَتِ المُتْعَةُ فِيْ أَوَّلِ
الْإِسْلاَمِ، كَانَ الرَّجُلُ يَقْدَمُ الْبَلْدَةَ لَيْسَ لَهُ بِهَا مَعْرِفَةٌ
فَيَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ بِقَدْرِ مَا يَرَى أَنَّهُ يُقِيْمُ فَتَحْفَظُ لَهُ
مَتَاعَهُ، وَتُصِلْحُ لَهُ شَأْنَ، حَتَّى نَزَلَتْ هِذِهِ الْآَيَةُ : (إلاَّ
عَلَى أزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُهُمْ) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ :
فَكُلُّ فَرْجٍ سِوَاهُمَا حَرَامٌ. رَوَاهُ التِرْمِذِيُّ.
Dari Muhammad bin Ka’ab, dari Ibnu Abbas, ia berkata : “Kawit
Mut’ah itu dahulu di awal Islam, yaitu seorang laki-laki datang ke suatu negeri
ia tidak mempunyai kenalan di sana, kemudian ia kawin dengan seorang perempuan
(untuk sementara), yang diperkiraan akan menetap sementara itu. Perempuan itu
mengurus barang-barangnya dan memperhatikan keperluannya. Kemudian turun ayat,”
...............Illa ‘ala azwajihim au maa malakat aimaanuhum (kecuali
terhadap istri-istri mereka dan yang dimiliki oleh tangan kanan (budak) mereka.
Ibnu Abbas berkata, “Fakhulu farjin siwahumaaa haram (maka semua wanita
selain kedua ini adalah haram).” (HR. at-Tirmidzi).
Dengan menyimak hadits di atas, ternyata kawin Mut’ah
itu hanyalahh diizinkan oleh Rasulullah Saw bagi mereka yang tidak dapat
menahan syahwat dan memelihara kehormatan dirinya di dalam perjalanan, seperti
yang disebutkan oleh Ibnu Mas’ud berikut ini :
وَهَذَا الْحُكْمُ كَانَ
مُبَاحًا مَشْرُوْعًا فِيْ صَدْرِ الْإِسْلاَمِ وَإِنَّمَا أَبَاحَهُ النَّبِيُّ
صلى الله عليه وسلم لَهُمْ لِسَبَبِ الَّذِي ذَكَرَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ وَإِنَّمَا
كَانَ ذَلِكَ يَكُوْنُ فِيْ أَسْفَارِهِمْ وَلَمْ يَبْلَغْنَا أنَّ الْنَبِيَّ صلى
الله عليه وسلم أبَاحَهُ لَهُمْ وَهُمْ فِيْ بُيُوْتِهِمْ وَلِهَذَا نَهَاهُمْ
عَنْهُ غَيْرُ مَرَّةٍ ثُمَّ أبَاحَهُ لَهُمْ فِيْ أَوْقَاتٍ مُخْتَلِفَةٍ حَتَّى
حرَّمَهُ عَلَيْهِمْ فِيْ آخِرِ أَيَّامِهِ صَلى الله عليه وسلم فِيْ حَجَّةِ
الْوَدَاعِ وكَانَ تَحْرِيْمُ تَأْبِيْدٍ لاَ تَأْقِيْتٍ، فَلَمْ يَبْقَى
الْيَوْمَ فِيْ ذَلِكَ خِلاَفٌ بَيْنَ فُقَهَاءِ الْأَمْصَارِ وَأَئِمَّةِ
الْأُمَّةِ إلاَّ شَيْئًا ذَهَبَ إلَيْهِ بَعْدُ الشِّيْعَةِ.
Kawin Mut’ah itu hukumnya mubah, yang disyari’atkan di
awal Islam, dan Nabi Saw membolehkan hanya kepada para shahabat dengan sebab,
sebagaimana yang diturukan oleh Ibnu Mas’ud: hal itu pernah terjadi hanya di
perjalanan mereka, dan tidak sampai berita kepada kami, bahwa Nabi Saw
membolehkan kepada mereka di nergeri mereka sendiri. Karena itu, beliau
melarang kawin mut’ah tidak hanya sekali, kemudian membolehkannya pula pada
waktu yang berbeda-beda. Sehingga diharamkan pada mereka di akhir hanya beliau
pada haji Wada’, dan ketetapan haramnya itu untuk selama-lamanya dan bukan
untuk sementara waktu. Kini tidak terdapat perbedaan pendapat lagi, di kalangan
ahli fiqih dan pemimpin umat, kecuali sekelompok kecil aliran Syi’ah. (Lihat Tuhfatul
Ahwadzi Syarah Sunan Tirmidzi, 4/268).
Adapun dasar aliran Syi’ah membolehkan kawit Mut’ah ialah
ayat al-Qur’an yang berbunyi :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ
مِنْهُنَّ "إلَى أجَلٍ مُسَمَّى" فَأَتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ
فَرِيْضَةً.
“Maka apa yang kamu tamatu’ (kawin campur) sampai
waktu yang ditentukan, maka bayarlah masakawinnya sebagai suatu kewajiban.”
(QS. An-Nisa [4] : 24).
Qira’ah pada ayat di atas terdapat kata-kata illa ajalim
musamma (sampai waktu yang ditentukan). Ayat dengan tambahan kata-kata
inilah yang menjadi pegangan mereka. Qira’ah ini dari tiga Shahabat, yaitu Ibnu
Abbas, Ubay dan Ibnu Mas’ud. (Tafsir al-Manar, 5: 13).
Mengenai hal ini tafsir Al-Manar mengatakan :
فَأَمَّا الْقِرَأَةُ فَهِيَ
شَاذَّةٌ لَمْ تَثْبُتْ قُرْأَنًا، فَالزِيَادَةُ فِيْهِ مِنْ قُبَيْلِ
التَفْسِيْرِ، وَهُوَ فَهْمٌ لِصَاحِبِهِ، وَفَهْمُ الصَّحَابِي لَيْسَ حُجَّةٌ
فِيْ الدِّيْنِ.
Qiraah tambahan di atas adalah
termasuk qira’at syadzah (bacaan yang tidak bisa diterima), (bukan
Qur’an yang resmi bahwa) qira’ah tambahan itu termasuk interpretasi (tafsir),
yaitu pemahaman, orang yang memahaminya, dan pemahaman Shahabat bukan dalil
agama yang bisa dijadikan hujjah (alasan) untuk ketetapan hukum Syara. (Lihat
Tafsir al-Manar, 5/13).
Menurut Imam an-Nawawi :
وَقَرَاءُ ابْنُ مَسْعُوْدٍ لاَ
يُحْتَجُّ قُرْآنًا وَلاَ خَبَراً وَلاَ يُلْزَمُ الْعَمَلُ بِهَا
Qiraah Ibnu Mas’ud ini tidak bisa dijadikan hujjah sebagai
Qur’an maupun hadits, dan tidak ada keharusan hukum untuk mengamalkannya.
(Lihat an-Nawawi, Syarah
Shahih Muslim, 9/179).
Dalam kitab Ahlu Syi’ah wa Ushuluha, yang dikarang oleh ulama
Syi’ah ternama, diakui pula bahwa kata-kata ilaa ajalim musamma itu
tidak termasuk ayat Qur’an, tetapi tafsiran semata, (Lihat KH. E Abdurrahman, Risalah,
No. 67-68 Th. 1969).
Sedangkan, menurut riwayat An-Nuhas dari Ali bin Abi Thalib,
bahwa beliau pernah menegur Ibnu Abbas :
إنَّكَ رَجُلٌ تَائِهٌ، أنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ الْمُعْتَةِ.
Sungguh engkau seorang yang kesasar.
Sesungguhnya Nabi Saw telah melarang nikah Mut’ah itu. (Lihat Tafsir ad-Durrul
Mansur fi Tafsiril Ma’sur, 5/486).
Teguran ‘Ali bin Abi Thalib ini sejalan dengan keheranan
Shahabat Sa’ide bin Jubair, “Wahai Ibnu Abbas bagaimana dengan fatwamu itu,
yang telah menyebar, engkau telah membolehkan mut’ah.” mendengar teguran
itu Ibnu Abbas menjawab:
إِنَّا لِلّهِ وَإنَا الَيْهِ
رَاجِعُوْنَ وَاللهِ مَا بِهَذَا أفْتَيْتُ، وَلاَ هَذَا أَرَدْتُ، وَلاَ
أحْلَلْتُ إلاَ مِثْلُ مَا أَحَلَّ اللهُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ
الْخِنْزِيْرِ وَمَا نُحِلَّ إلاَّ لِلْمُضْطَرِّ.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Demi Allah, sungguh aku tidak berfatwa seperti itu dan bukan semacam itu pula
aku maksud. Aku tidak menghalalkan (dahulupun) nikat mut’ah, kecuali apa yang
Allah halalkan untuk makan bangkai, darah, dan daging babi, bagi orang yang ada
dalam keadaan darurat.” (Lihat Fiqus-Sunnah, 6/94).
Imam Qurthubi mencatat dua shahabat, yaitu Aisyah Ummu
Mukminin dan al-Qasim bin Muhammad, keduaanya mengatakan :
تَحْرِيْمُهَا وَنَسْخُهَا فِيْ
الْقُرْآنِ وَذَلِكَ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى : وَالّذِيْنَ لِفُرُوْجِهِمْ
حَافِظُوْنَ إلاَّ عَلَى أزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإنَّهُمْ
غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. وَلَيْسَ الْمُتْعَةُ نِكَاحًا وَلاَ مِلْكَ الْيَمِيْنِ.
Ketetapan haram dan penghapusannya
telah ada dlaam al-Qur’an, yaitu firman Allah Ta’ala : Dan yang memelihara
kemaluan mereka, kecuali terhadap istri-istri mereka dan apa yang dimiliki oleh
tangan kanan mereka (budak mereka), maka tidaklah mereka tercela. Sedangkan
kawin mut’ah ini bukanlah nikah (yang shah) dan bukan pula milkul yamin.
(al-Jami’ liahkam Qur’an, Tafsir al-Qurthubi, 5.130).
Kemudian, Abu Ja’far bin Jarir
ath-Thabari mengatakan :
وَأَوْلَى التَأْوِلَيْنِ فِيْ
ذَلِكَ بِالْصَوَّابِ، تَأْوِيْلُ مَنْ تَأَوَّلَهُ: فَانْكَحْتُمُوْهُ مِنْهُنَّ
فَجَامَعْتُمُوْهُ، فَأَتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ لِقِيَامِ الْحُجَّةِ بِتَحْرِيْمِ
اللهِ مُعْتَةَ الْنِسَاءِ.
Tafsir yang mendekati kepada yang hak, ialah tafsir orang
yang mengatakan ‘apa yang kamu nikahi dari mereka, kemudian kamu campuri, maka
serahkanlah maskawinnya’. Berdasarkan hujjah ini bahwa Allah telah mengharamkan
kawin mut’ah ini.” (Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an, Tafsir ath-Thabari,
5/10).
Mungkin kita agak menjadi ragu, karena ada shahabat yang
membolehkan mut’ah. seolah-olah apa yang telah diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya ternyata dilanggar, atau berupa ketetapan yang berubah dari yang
halal menjadi haram.
Imam Syaukani menukil kata-kata Ibnu Hazm, bahwa ada beberapa
orang, di antara shahabat Nabi Saw yang menghalalkan mut’ah setelah Rasulullah
Saw wafat. Mereka adalah Ibnu Mas’ud, Muawiyah, Abu Sa’ide, Ibnu Abbas, Salamah
dan Ma’bad (Kedua anak Umayah bin Khalaf), Jabir bin Abdillah dan Amr bin
Huraits. (Nailul Authar, 6/89).
Tetapi, kalau kita memperhatikan penjelasan Imam Syihabuddin
Abil Fadl al-Ashqalani, dalam kitabnya Fathul Bari, mengatakan,
Pertama, tentang kasus Ibnu Mas’ud, Ibnu Mas’ud pernah menerangkan
mengenai kawin mut’ah (lihat hadits di atas), bahwa Rasulullah Saw memberi
kelonggaran hanya dengan sehelai kain sebagai maskawinnya. Tetapi Abu Uwanah
dari jalan Muawiyah dari Ismail bin Abi Khalid, Ibnu Mas’ud mengatakan, “Kami
telah berbuat dan kami telah meninggalkan perbuatan itu.”
Kemudian Imam Abdurrazaq, Ibnu Mundzir dan Baihaqi
meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, mengatakan, “Mut’ah itu terhapus (mansukh),
dihapus oleh thalaq, maskawin, iddah dan waris (ad-Darrul Mansur fi Tafsiril
Matsur, 2/486).
Kedua, tentang kasus Muawiyah, Imam Abdurrazaq meriwayatkan dari jalan Shafwan
bin Ya’la bin Umayyah dan dari jalur Abi Zubair dari Jabir, bahwa Muawwiyah
pernah kawin mut’ah, waktu datang di Thaif, dengan seorang perempuan Bani
al-Hadhrami namanya Ma-aanah.
Jabir mengatakan, “Ma-aanah berumur panjang sampai Muawiyah
menjadi Khalifah, dan setiap tahun beliau mengirimkan bingkisan kepada bekas
istri mut’ahnya itu.”
Muawiyah meninggalkan mut’ah karena mendengar Umar bin
Khatthab menyampaikan larangan Rasulullah Saw. Imam Thahawi mengatakan: Umar
berkhutbah dan melarang nikah mut’ah, ia menyampaikan larangan Nabi Saw. dan
ternyata tidak ada seorang pun dari para shahabat yang mengingkarinya. ini
menjadi dalil bahwa mereka mematuhi larangan umat itu (ijma’).
Ketiga, tentang kasus Abu Sa’id, maka Imam Abdurrazaq meriwayat dari
Ibnu Juraij bahwa Atha; berkata : Beritakanlah padaku apa yang kau inginkan
dari Abu Sa’id. Abu Sa’ide mengatakan, “Sungguh di antara kami ada yang kawin
mut’ah hanya dengan secangkir sawiq (bahan makanan yang dapat dimakan dengan
dicampur air panas). Riwayat ini lemah, karena dalam sanadnya ada seorang rawi
yang namanya tidak jelas. Kalaupun riwayat ini dapat dianggap atau diterima,
tidak diterangkan kapan terjadinya, apakah sebelum atau sesudah Rasulullah Saw
wafat.
Keempat, tentang Ibnu Abbas, maka terdapat ikhtilaf. Sebagian
ada yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas membolehkan, dan ada juga yang mengatakan
bahwa Ibnu Abbas mengharamkan dan menganggap sebagai farji’ yang haram.
(Lihat hadits di atas).
Kelima, mengenai
kasus Salamah dan Ma’bad. Keduanya adalah anak Umayyah bin Khalaf. Sehubungan
dengan dua orang ini, ada suatu cerita yaitu ada seorang perempuan yang hamil,
tetapi tidak jelas apakah dari Salamah atau dari Ma’bad. Karena tidak jelas
maka riwayat ini tidak bisa dianggap sebagai hujjah untuk menentukan Syara’.
Keenam, Tentang
Jabir bin Abdillah. Dalam riwayat Abu Nadhrah dari Jabir, menurut Muslim bahwa
ia mengatakan, “Umat telah melarang kami, dan karena itu kami tidak melakukan
lagi.”
Ketujuh, Amr bin Hurait. Kisah ini hampir sama dengan kisah Jabir bin
Abdillah.
Kemudian, pernah juga diketahui bahwa Ibnu Hazm sendiri
pernah mengatakan pendiriannya bahwa kawin mut’ah itu haram. Berdasarkan sabda
Nabi Saw, : “Mut’ah itu haram sampai hari Qiyamat.” Katanya, “amma bihadzal
qaul”. Kami beriman dengan kata-kata ini sebagai ‘naskhut tahrim’, penghapusan
yang asalnya boleh) menjadi haram. (Fathul Bari, 11/78-79).
Setelah agak jauh menelusuri masalah kawin mut’ah, sekarang
marilah kita perhatikan hadits di bawah ini :
عَنْ سَبْرَةَ الْجُهَنِيِّ
أَنَّهُ كَانَ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إنِّي كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِيْ
الإِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِسَاءِ وَإنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْئٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيْلَهُ
وَلاَ تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا. رَوَاهُ احْمَدُ وَمُسْلِمٌ.
Dari Sabrah al-Juhaini, bahwa ia
bersama Nabi Saw, kemudian beliau bersabda, “Wahai manusia, sungguh aku telah
mengizinkan bagi kamu nikah mut’ah dengan wanita, tetapi sesungguhnya Allah
telah mengharamkan yang demikian itu (sekarang) sampai hari Qiyamat. Karena itu
siapa yang masih ada padanya wanita dari nikah mut’ah putuskan dia, dan
janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan kepada
mereka.” (HR. Ahmad, Muslim).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah itu
hukumnya menurut Syara’, haram. Sehingga kaum muslimin tidak boleh atau
dilarang melakukannya.
Sumber: Majalah Risalah, No. 5 Th.
XXIV, Dzulqa’sudah-Dzulhijjah 1406H/1986 Hal : 46-48.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.