Daftar Isi:
Sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam yang tidak diperselisihkan dan tidak akan pernah berubah adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sumber hukum ini disebut sebagai usul asy-syar’iyyah al-muttafaq ‘alaiha. Setiap muslim dituntut untuk menerima ketentuan-ketentuan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atau Al-Hadits secara kaffah.
Al-Qur'an
(a). Ta'rif Al-Qur'an
Menurut
A.Hasan, Al-Qur’an ialah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Yang diperintah untuk dicatat dan dikitabkan.
Dalam ta’rif lain
:
هُوَ الكِتَابُ المُنَزَّلُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ
مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم المَكْتُوْبُ فِيْ المَصَاحِفِ المَنْقُوْلُ
إلَيْنَا عَنْهُ نَقْلًا مَتَوَاتِرًا بِلَا شُبْهَةٍ.
“Al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, tanpa ada keraguan”.
Cukup banyak istilah-istilah atau ta’rif-ta’rif yang dibuat oleh para ulama, adapun jika digabungkan beberapa ta’rif dari pada ulama, maka akan menghasilan definisi sebagai berikut :
“Al-Qur’an
adalah wahyu yang berupa kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat Jibril,
disampaikannya kepada Nabi Muhammad SAW. Isinya tidak dapat ditandingi oleh
siapa pun dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya
dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumi suatu ibadah”.
Al-Qur'an Dari Aspek Turunnya
Al-Qur'an Dari Aspek Dilalahnya
As-Sunnah, Pengertiannya dan Kehujahannya
a. Ta’rif As-Sunnah
As-Sunnah atau Al-Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW. Selain Al-Qur’an, baik berupa qaul (perkataan), fi’il (perbuatan), taqrir (persetujuan), maupun sifar Nabi SAW.
Kehujahan Sunnah
Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya muttaba’ah (diikuti) yaitu ta’ah dan qurbah (dalam keta’atan dan takarub kepada Allah) misalnya dalan urusan akidah dan ibadah, tetapi ada ghaer mutaba’ah (tidak diikuti), yaitu jibilyah (tabi’at dan budaya) dan khususiyah (yang dikhususkan untuk Nabi SAW). Contoh Jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh khususiyyah adalah beristri lebih dari empat, Shaum wishal sampai dua hari, dan shalat dua raka’at ba’da ‘Ashar.
Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
dari segi kandungan hukum mempunyai tiga pungsi :
1. As-Sunnah
berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum
yang telah ada di dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai dua dasar hukum,
yaitu Al-Qur’an sebagai penetap atau penentu hukum, dan As-Sunnah sebagai
penguat dan pendukungnya. Seperti perintah mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, larangan syirik, riba dan yang lainnya.
2. As-Sunnah
berfungsi sebagai bayan (penjelasan) ayat
yang masih mujmal (global), seperti peritah shalat dalam
Al-Qur’an bersifat mujmal, kemudian dijabarkan oleh As-Sunnah
berikut :
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي. رواه البخاري
“Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat (mengetahui) aku shalat”. HR. Al-Bukhari
Begitu pula
ketentuan haji di dalam Al-Qur’an, kemudian dijelaskan oleh As-Sunnah :
خُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ. رواه البيهقي.
“Ambillah
oleh kalian dariku cara manasik haji kalian”. HR.
Al-Baehaqiy
Contoh
As-Sunnah sebagai takhsis (pengkhusus) ayat-ayat
yang ‘am (umum), seperti penghalalan jual-beli dalam ayat
berikut :
وأحَلَّ
اللهُ البَيْعَ......-البقرة : 282.
“.....Allah
telah menghalalkan jual-beli”. QS. Al-Baqarah : 282
Lafadz Al-bai’ pada
ayat ini bersifat umum mencakup semua jual-beli. Kemudian dikecualikan oleh
As-Sunnah beberapa jual-beli tertentu, antara lain jual-beli gharar.
عَنْ
أبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم عَنْ بَيْعِ الحَصَّاةِ وَعَنْ بَيْعِ الغَرَرِ.
“Dari
Abi Hurairah Ra, ia berkata ; Rasulullah SAW melarang jual-beli dengan melempar
batu dan jual beli gharar (yang belum jelas harga, barang, waktu atau
tempat)”. HR.
Muslim
Contoh
As-Sunnah berfungsi sebagai taqyid (pengikat) ayat-ayat
yang muthlaq (tidak terbatasi), seperti berwasiat kepada bukan
ahli waris dalam ayat berikut :
مِنْ بَعْدِ وَصِيَةٍ يُوْصِي بِهَا أوْ
دَيْنٍ......-النساء : 11.
“(Pembagian-pembagian
tersebut di atas) setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah
dibayar utangnya”. QS. An-Nisa : 11.
Lafal wasiat
pada ayat ini bersifat muthlaq tanpa batasan, baik sebagian
maupun seluruh harta si mayit. Kemudian kemutlakannya dibatasi oleh As-Sunnah
bahwa wasiat paling banyak sepertiga dari harta yang ditinggalkan, sebagaimana
hadits berikut :
عَنْ سَعْدِ بْنِ أبِيْ وَقَاصٍ رَضيَ اللهُ عنه قَالَ :
جَاءَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَعُوْدُنِي وَانَا بِمَكَةَ وَهُوَ يَكْرَهُ
أنْ يَمُوْتَ بِالأَرْضِ التِيْ هَاجَرَ مِنْهَا قَالَ : يَرْحَمُ اللهُ بْنَ
عَفْرَاءَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, أُوْصِي بِمَالِي كُلِّهِ قَالَ : لَا,
قُلْتُ : فَشَرْطُ ؟ قَالَ : لَا, قُلْتُ : الثُّلُثُ. قَالَ : فَالثُّلُثُ
وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ. رواه مسلم
“Dari Sa’ad bin Abi Waqash semoga Allah meridhai dia, ia berkata ; “Nabi SAW datang menjengukku (saat aku sakit) ketika aku berada di Makkah.” Dia tidak suka bila meninggal di negeri mana dia sudah berhijrah darinya. Beliau bersabda : “Semoga Allah merahmati Ibnu Afra’. Aku katakan ; Wahai Rasulullah, aku mau berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku”. Beliau bersabda : “Jangan”. Aku katakan ; Setelah?. Beliau bersabda : “Jangan”. Aku katakan lagi : Sepertiganya?. Beliau bersabda : “Ya, sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak”. HR. Al-Bukhari.
3. As-Sunnah Al-Mustaqillah, yaitu As-Sunnah yang berfungsi untuk menetapkan hukum atau syari’at yang tidak ditegaskan atau disebutkan oleh Al-Qur’an, seperti hukum ‘aqiqah dan pengurusan jenazah, diharamkannya memadu dengan bibi istri, dan lain-lainnya. Semuanya ditetapkan berdasarkan sunnah Nabi SAW. Terhadap As-Sunnah yang ketiga ini, ada kelompok yang tidak mau menerimanya, seperti paham (kelompok) inkar As-Sunnah.
Inkar As-Sunnah ada tiga kelompok ; pertama : menolak sama sekali dengan alasan Al-Islam Huwa Al-Qur’an Wahdah (Islam itu hanya Al-Qur’an saja), Kedua : menerima As-Sunnah Al-Mutawatir saja; dan ketiga : menerima hadits yang ada kaitannya dengan nas Al-Qur’an secara langsung, seperti bab aqiqah dan pengurusan jenazah itu ditolak.
Dilalah As-Sunnah terhadap Hukum
e. Dilalah As-Sunnah
terhadap Hukum
Sebagaimana halnya Al-Qur’an, dilalah As-Sunnah terhadap hukum ada dua ; Qat’i Ad-Dilalah dan Zanni
Ad-Dilalah. As-Sunnah Qat’i Ad-Dilalah ketika lafalnya tidak mengandung beberapa makna.
Seperti sabda Nabi SAW ;
فإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا مِنَ الإِبِلِ فَفِيْهَا شَاةٌ.
روَاه البُخَارِيُّ
“Jika telah mencapai lima ekor unta, pada (zakat) seekor kambing”. HR. Al-Bukhari.
Sementara
As-Sunnah Zanni Ad-Dilalah ketika lafalnya mengandung beberapa
makna. Seperti sabda Nabi SAW :
لَا صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ
الكِتَابِ. روَاه البُخَارِيُّ
“Tidak sah raka’at seseorang yang tidak membaca al-fatihah”. HR. Al-Bukhari.
Para ulama
dalam memahami hadits ini berbeda pendapat. Jumhur ulama memahami maksud hadits
ini dengan arti ; “tidak sah shalat”. Sementara itu Hanafiyah
berpendapat “Tidak sempurna shalat”.
Referensi : Turuqul Istinbat Karya Dewan Hisbah Persatuan Islam
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.