Metode Pengambilan Hukum Islam (Bagian 2) : Sumber Hukum

Metode Pengambilan Hukum Islam (Bagian 2) : Sumber Hukum

Sumber Hukum Islam

Sumber hukum Islam yang tidak diperselisihkan dan tidak akan pernah berubah adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sumber hukum ini disebut sebagai usul asy-syar’iyyah al-muttafaq ‘alaiha. Setiap muslim dituntut untuk menerima ketentuan-ketentuan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atau Al-Hadits secara kaffah.

Al-Qur'an

(a). Ta'rif Al-Qur'an

Menurut A.Hasan, Al-Qur’an ialah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang diperintah untuk dicatat dan dikitabkan.

 

Dalam ta’rif lain :

هُوَ الكِتَابُ المُنَزَّلُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم المَكْتُوْبُ فِيْ المَصَاحِفِ المَنْقُوْلُ إلَيْنَا عَنْهُ نَقْلًا مَتَوَاتِرًا بِلَا شُبْهَةٍ.

“Al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, tanpa ada keraguan”.

Cukup banyak istilah-istilah atau ta’rif-ta’rif yang dibuat oleh para ulama, adapun jika digabungkan beberapa ta’rif dari pada ulama, maka akan menghasilan definisi sebagai berikut :

“Al-Qur’an adalah wahyu yang berupa kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat Jibril, disampaikannya kepada Nabi Muhammad SAW. Isinya tidak dapat ditandingi oleh siapa pun dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumi suatu ibadah”.

Al-Qur'an Dari Aspek Turunnya

(b) Al-Qur’an dari Aspek Nuzulnya.

Al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad SAW dengan pasti tanpa ada keraguan. Proses turunnya Al-Qur’an yang tanpa keraguan itu disebutkan Qat’i al-Wurud atau Al-Tsubut yaitu ; pasti dan meyakinkan dari segi periwayatannya bahkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatit pula.

Al-Qur'an Dari Aspek Dilalahnya

(c) Al-Qur’an dari Aspek Dilalahnya.

Adapun dilihat dari aspek dilalahnya (menunjuk makna) terdiri atas dua bagian, yaitu ; Qat’i Al-Dilalah dan Dzanni Al- Dilalah.
Qat’i Al-Dilalahyaitu makna lafadz (teks) Al-Qur’an itu pasti tidak memberikan kemungkinan arti lain ; hanya ada satu pengertian pada teks tersebut, seperti ayat :
الزَّانِيَةُ والزَّانِي فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ...(النور : 2)
“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”. (QS. An-Nur [24] ayat 2)

Ayat ini dengan tegas menyatakan hukum bagi yang melakukan zina adalah dera sebanyak seratus kali dera. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang kata seratus kali dera. Karena dilalahnya tegas dan jelas, serta ayat ini tidak memberikan kemungkinan makna yang lain.

Pada aspek nas-nas yang bersifat Qat’i Al-Dilalah sama sekali tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Adapun Zanni Al-Dilalah, yaitu lafadz-lafadz Al-Qur’an yang memberikan kemungkinan beberapa arti atau penafsiran. Seperti ayat ;
وَالمُطَلّقَاتُ يَتَرَبَصْنَ بِأنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُؤٍ.. (البقرة : 228)
“Wanita-wanita yand ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru...”. (QS. Al-Baqarah [2] ayat 228)

Pengertian quru dalam ayat ini bisa diartikan “Suci” dan juga diartikan “haid”.

Timbulnya perbedaan pendapat di kalangan ulama, senantiasa ada dalam nas-nas yang maknanya bersifat Zanni Al-Dilalah. Untuk memaknainya diperlukan qarinah (keterangan pendukung), sehingga diketahui makna yang paling kuat dari salah satu arti atau penafsiran tersebut. Untuk mengetahui qarinah tersebut diperlukan pemahaman secara mendalam tentang ‘Ulum Al-Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an).

As-Sunnah, Pengertiannya dan Kehujahannya

a.      Ta’rif As-Sunnah

As-Sunnah atau Al-Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW. Selain Al-Qur’an, baik berupa qaul (perkataan), fi’il (perbuatan), taqrir (persetujuan), maupun sifar Nabi SAW.

Kehujahan Sunnah

Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya muttaba’ah (diikuti) yaitu ta’ah dan qurbah (dalam keta’atan dan takarub kepada Allah) misalnya dalan urusan akidah dan ibadah, tetapi ada ghaer mutaba’ah (tidak diikuti), yaitu jibilyah (tabi’at dan budaya) dan khususiyah (yang dikhususkan untuk Nabi SAW). Contoh Jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh khususiyyah adalah beristri lebih dari empat, Shaum wishal sampai dua hari, dan shalat dua raka’at ba’da ‘Ashar.

Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an

(c) Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an

As-Sunnah dapat dilihat dari hubungannya dengan Al-Qur’an atau As-Sunnah itu secara mandiri. Dari aspek hubungan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan hierarkis. Pada aspel lain As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah beberapa firman Allah SWT berikut ;
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“....Dan apa yang diberikan kepada Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.....” (QS. Al-Hasyr ayat 7)
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44)
“....Dan Kami menurunkan Adz-Dizkra (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menjelaskan apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berfikir”. (QS. An-Nahl ayat 44)
وَمَا أَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (64)
“Dan kami menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu hanyalah agar kamu menjelaskan kepada mereka (tentang hal-hal) yang mereka berselisih padanya, dan sebagai tuntunan dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (QS. An-Nahl [16] ayat 64)
Dan sabda Nabi SAW ;
ألَا إِنِّي أُوْتِيْتُ القُرْأنَ وِمِثْلَهُ مَعَهُ.  رواه ابو داود
“Ingat! Bahwa saya diberi Al-Qur’an dan yang seperti Al-Qur’an (Sunnah).” (Hr. Abu Dawud).

Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an

Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai tiga pungsi :

 

1.     As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada di dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai dua dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap atau penentu hukum, dan As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Seperti perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan yang lainnya.

 

2.     As-Sunnah berfungsi sebagai bayan (penjelasan) ayat yang masih mujmal (global), seperti peritah shalat dalam Al-Qur’an bersifat mujmal, kemudian dijabarkan oleh As-Sunnah berikut :

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي. رواه البخاري

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat (mengetahui) aku shalat”. HR. Al-Bukhari

 

Begitu pula ketentuan haji di dalam Al-Qur’an, kemudian dijelaskan oleh As-Sunnah :

خُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ. رواه البيهقي.

“Ambillah oleh kalian dariku cara manasik haji kalian”. HR. Al-Baehaqiy

 

Contoh As-Sunnah sebagai takhsis (pengkhusus) ayat-ayat yang ‘am (umum), seperti penghalalan jual-beli dalam ayat berikut :

وأحَلَّ اللهُ البَيْعَ......-البقرة282.

“.....Allah telah menghalalkan jual-beli”. QS. Al-Baqarah : 282

 

Lafadz Al-bai’ pada ayat ini bersifat umum mencakup semua jual-beli. Kemudian dikecualikan oleh As-Sunnah beberapa jual-beli tertentu, antara lain jual-beli gharar.

 

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الحَصَّاةِ وَعَنْ بَيْعِ الغَرَرِ.

“Dari Abi Hurairah Ra, ia berkata ; Rasulullah SAW melarang jual-beli dengan melempar batu dan jual beli gharar (yang belum jelas harga, barang, waktu atau tempat)”. HR. Muslim

 

Contoh As-Sunnah berfungsi sebagai taqyid (pengikat) ayat-ayat yang muthlaq (tidak terbatasi), seperti berwasiat kepada bukan ahli waris dalam ayat berikut :

 

مِنْ بَعْدِ وَصِيَةٍ يُوْصِي بِهَا أوْ دَيْنٍ......-النساء : 11.

“(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar utangnya”. QS. An-Nisa : 11.

 

Lafal wasiat pada ayat ini bersifat muthlaq tanpa batasan, baik sebagian maupun seluruh harta si mayit. Kemudian kemutlakannya dibatasi oleh As-Sunnah bahwa wasiat paling banyak sepertiga dari harta yang ditinggalkan, sebagaimana hadits berikut :

 

عَنْ سَعْدِ بْنِ أبِيْ وَقَاصٍ رَضيَ اللهُ عنه قَالَ : جَاءَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَعُوْدُنِي وَانَا بِمَكَةَ وَهُوَ يَكْرَهُ أنْ يَمُوْتَ بِالأَرْضِ التِيْ هَاجَرَ مِنْهَا قَالَ : يَرْحَمُ اللهُ بْنَ عَفْرَاءَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, أُوْصِي بِمَالِي كُلِّهِ قَالَ : لَا, قُلْتُ : فَشَرْطُ ؟ قَالَ : لَا, قُلْتُ : الثُّلُثُ. قَالَ : فَالثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ. رواه مسلم

“Dari Sa’ad bin Abi Waqash semoga Allah meridhai dia, ia berkata ; “Nabi SAW datang menjengukku (saat aku sakit) ketika aku berada di Makkah.” Dia tidak suka bila meninggal di negeri mana dia sudah berhijrah darinya. Beliau bersabda : “Semoga Allah merahmati Ibnu Afra’. Aku katakan ; Wahai Rasulullah, aku mau berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku”. Beliau bersabda : “Jangan”. Aku katakan ; Setelah?. Beliau bersabda : “Jangan”. Aku katakan lagi : Sepertiganya?. Beliau bersabda : “Ya, sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak”. HR. Al-Bukhari.

3.     As-Sunnah Al-Mustaqillah, yaitu As-Sunnah yang berfungsi untuk menetapkan hukum atau syari’at yang tidak ditegaskan atau disebutkan oleh Al-Qur’an, seperti hukum ‘aqiqah dan pengurusan jenazah, diharamkannya memadu dengan bibi istri, dan lain-lainnya. Semuanya ditetapkan berdasarkan sunnah Nabi SAW. Terhadap As-Sunnah yang ketiga ini, ada kelompok yang tidak mau menerimanya, seperti paham (kelompok) inkar As-Sunnah.

Inkar As-Sunnah ada tiga kelompok ; pertama : menolak sama sekali dengan alasan Al-Islam Huwa Al-Qur’an Wahdah (Islam itu hanya Al-Qur’an saja), Kedua : menerima As-Sunnah Al-Mutawatir saja; dan ketiga : menerima hadits yang ada kaitannya dengan nas Al-Qur’an secara langsung, seperti bab aqiqah dan pengurusan jenazah itu ditolak.

Dilalah As-Sunnah terhadap Hukum

e. Dilalah As-Sunnah terhadap Hukum

 Sebagaimana halnya Al-Qur’an, dilalah As-Sunnah terhadap hukum ada dua ; Qat’i Ad-Dilalah dan Zanni Ad-Dilalah. As-Sunnah Qat’i Ad-Dilalah ketika lafalnya tidak mengandung beberapa makna. Seperti sabda Nabi SAW ;

فإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا مِنَ الإِبِلِ فَفِيْهَا شَاةٌ. روَاه البُخَارِيُّ

“Jika telah mencapai lima ekor unta, pada (zakat) seekor kambing”. HR. Al-Bukhari.

Sementara As-Sunnah Zanni Ad-Dilalah ketika lafalnya mengandung beberapa makna. Seperti sabda Nabi SAW :

لَا صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ. روَاه البُخَارِيُّ

“Tidak sah raka’at seseorang yang tidak membaca al-fatihah”. HR. Al-Bukhari.

Para ulama dalam memahami hadits ini berbeda pendapat. Jumhur ulama memahami maksud hadits ini dengan arti ; “tidak sah shalat”. Sementara itu Hanafiyah berpendapat “Tidak sempurna shalat”.

Referensi : Turuqul Istinbat Karya Dewan Hisbah Persatuan Islam

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

Contact Us