Maqbul dari aspek pertentangan Hadits (Ta’arud), Hadits Mardud, dan Hadits Dha'if

Maqbul dari aspek pertentangan Hadits (Ta’arud), Hadits Mardud, dan Hadits Dha'if

a.2 Maqbul dari aspek pertentangan Hadits (Ta’arud)
                              
Dilihat dari aspek pertentangan antar hadits (ta’arud al-hadits), hadits Maqbul dibagi menjadi 2 bagian : Ma’mul bih (diamalkan) dan Ghaer Ma’mul bih (tidak diamalkan). Jika hadits Maqbul itu selamat dari pertentangan maka disebut hadits Muhkam. Jika bertentangan dengan hadits yang semisal namun masih dapat dikompromikan (di-jam’u) di antara keduanya, maka disebut Mukhtalif Al-Hadits. Jika tidak dapat dikompromikan di antara keduanya, lalu diketahui waktu kedatangannya (wurud al-hadits), maka hadits Nasikh (yang menghapus) didahulukan dan diamalkan, jika tidak diketahui wurud al-hadits, maka ditempuh cara tarjih. Hadits yang Rajih (kuat) diamalkan dan yang Marjuh ditinggalkan.

Dengan demikian, hadits  Maqbul Ma’mul bih meliputi hadits Muhkam, Mukhtalif, Nasikh, dan Rajih. Sedangkan Ghaer Ma’mul bih meliputi hadits Mansukh dan Marjuh.

Persyaratan hadits Maqbul mengharuskan suatu hadits berderajat Shahih atau Hasan dari segi Sanad (Jalur periwayatan) dan Shahih Matan (isi hadits). Jika hadits itu Shahih atau Hasan sanad dan Shahih Matan, maka dinilai sebagai Hadits Maqbul Ma’mul bih. Namun jika hadits itu Shahih atau Hasan sanad dan da’if matan, maka dinilai sebagai hadits Maqbul Ghair Ma’mul bih.

Contoh hadits Maqbul Ghait Ma’mul bih karena Mukhalafah sebagai berikut :

عَنْ ابِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إلَّا ظِلُّهُ : الإِمَامُ العَادِلُ وشَابٌ نَشَاءَ بِعِبَادَةِ اللهِ ورَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِيْ المَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِيْ اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وتَفَرَقَا عَلَيْهِ وَرجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصَبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ : إنِّي أخَافُ اللهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَتِهِ فَأخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ يَمِيْنُهُ مَا تُنْفَقُ شِمَالُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ.

Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw, beliau bersabda : “Ada tujuh yang akan mendapat naungan Allah, pada hari di mana tidak ada naungan selain naungan-Nya. Yaitu ; Seorang imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, seorang laki-laki yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua orang saling mencintai karena Allah yang mereka berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, seorang laki-laki yang dirayu oleh wanita bangsawan lagi cantik, lalu ia berkata : Aku takut kepada Allah, Dan seorang yang bersedekah lalu ia menyembunyikannya, sehingga tangan kanannya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kirinya. Dan seorang yang berdo’a kepada Allah dikala sendiri lalu meneteskan air matanya”. HR. Muslim

Pada hadits ini tertulis kalimat ;
حَتَّى لَا تَعْلَمُ يَمِيْنُهُ مَا تُنْفِقُ شِمَالُهُ
“Sehingga tangan kanannya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kirinya”.

Pada kalimat yang sebenarnya adalah :
حَتَّى لَا تَعْلَمُ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
“Sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kanannya”.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari jalur lain serta riwayat imam lainnya.

b). Hadits Mardud

Pengertian hadits Mardud

الخَبَرُ المَرْدُوْدُ هُوَ الذِيْ لَمْ يَتَرَجَحْ صِدْقُ المُخْبِرِ بِهِ وذَلِكَ بِفَقْدِ شَرْطٍ أَوْ أكْثَرَ مِنْ شُرُوْطِ القَبُوْل.
“Khabar mardud ialah khabar (berita) yang tidak kuat kejujuran orang yang mengabarkannya. Demikian itu disebabkan hilang salah satu syarat di antara syarat-syarat maqbul (persyaratan Shahih dan Hasan)

Pada ulama hadits membagi hadits Mardud menjadi beberapa jenis. Masing-masing jenis diberikan istilah khusus. Namun ada pula yang tidak memberikan istilah khusus, namun menyebutkannya dengan istilah umum.

b.1 Hadits Da’if

Hadits da’if ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits hasan apalagi persyaratan hadits shahih.

Adapun sebab-sebab keda’ifan hadits secara umum terbagi menjadi dua macam :

1.     Terputus Sanadnya (سَقْطٌ مِنْ إسْنَادٍ)

2.     Cacat pada rawinya (طَعْنٌ فِيْ رَاوٍ)

Contoh hadits da’if terputus sanadnya :

أنَّ عَائِشَةَ أمَّتْ نِسْوَةً فِيْ المَكْتُوْبَةِ فأمَّتْهُنَّ بَيْنَهُمَا وَسَطًا.

A’isyah pernah mengimami perempuan-perempuan pada shalat Fardhu, maka dia berdiri di tengah-tengah mereka.” (HR. Baihaqi).

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Baihaqi melalui jalur periwayatan Muhammad bin Ya’qub, dari Abdullah bin Ahmad, dari Ahmad bin Hanbal, dari Waki’ dari Sufyan, dari Maisarah Abu Hazim, dari Raitah al-Hanafiyah, dari Aisyah. (Sunan Al-Kubra, III:131, No. 5138)

Sanad hadits ini terputus, karena perawi Maisarah Abu Hazim tidak menerima hadits itu dari Raitah al-Hanafiyah.

Contoh hadits dha’if karena cacat rawi :

Siapa yang melahirkan anak, lalu diazani pada telinga sebelah kanan dan diiqamati pada telinga sebelah kirinya, maka anak itu tidak akan diganggu oleh Ummu al-Sibyan (jin)”. (HR. Abu Ya’la, Ibnu Sunni, Ibnu Asakir dan Abu Thahir al-Quraisyi.

Hadits ini dhaif, bahkan disinyalir palsu (maudhu’), sebab pada sanadnya terdapat dua rawi bernama : (1) Yahya bin al-‘Ala al-Bajaliy al-Razy dan (2) Marwan bin Salim al-Ghifari. Menurut Imam Ahmad, Yahya bin al-‘Ala seorang pendusta dan pemalsu hadits. Sementara Marwan bin Salim al-Ghifari, menurut Imam al-Haitsami tertuduh dusta (matruk).

b.2. Kehujjahan Hadits Dha’if

 Hadits dha’if tidak bisa dijadikan hujjah dalam agama, tidak dapat diterima untuk menentukan ajaran, lebih-lebih hukum. Namun ada yang berpendapat dalam kasus tertentu yang mendesak keperluannya, hadits dha’if dapat dipakai untuk sekedar sebagai pembatas, sebagaimana dinyatakan oleh A. Hassan. (Soal-Jawab: I:161-162).

Penetapan shahih, hasan dan dhaif tersebut merupakan hasil ijtihad ulama hadits atau para pakar dalam bidangnya. Maka tidak heran bila para ulama hadits ada nuansa dalam menetaokan hadits shahih. Paradigma tasyabbuh, tasahul, dan tawaqquf ketika menetapkan suatu hadits itu shahih  dan tidaknya.

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

Contact Us