1. Asbab An-Nuzul dan Asbab Al-Wurud
a). Pengertian
Asbab An-Nuzul ialah sesuatu ungkapan yang menerangkan tentang latar belakang suatu peristiwa yang dapat membantu sampai kepada penentuan hukum, walaupun tidak banyak pengaruhnya. Dari kalangan ulama berpendapat bahwa Asbab An-Nuzul berkaitan dengan situasi, kondisi dan tempat ketika surat atau ayat Al-Qur’an turun, sementara Asbab Al-Wurud berkaitan dengan situasi, kondisi dan tempat ketika hadits itu muncul.
Ilmu-ilmu ini amat penting dalam rangka istinbat hukum karena Asbab An-Nuzul dan Asbab Al-Wurud akan memberikan penjelasan atau rincian terhadap peristiwa yang terjadi. Adapun indikator adanya Asbab Al-Wurud ini antara Al-Qur’an dan hadits adakalanya saling mempengaruhi. Sebagai misal, dapat terjadi Asbab An-Nuzul ayat ini diterangkan dalam hadits atau sebaiknya Asbab Al-Wurud adanya hadits ini karena adanya ayat tertentu yang turun.
Adapun hubungan antara Asbab An-Nuzul ayat dengan Asbab Al-Wurud suatu hadits dengan penetapan hukum, yaitu untuk memahami ungkapan atau lafal yang dikandung dalam teks-teks Al-Qur’an atau Al-Hadits, dan dalam rangka mengompromikan dan menarjihkan tatkala adanya pertentangan. Bahkan dalam kasus tertentu dapat digunakan untuk melihat terjadinya nasikh-mansukh. Namun demikian, kaidah yang diterapkan dalam ketetapan hukum terletak pada keumuman lafal, bukan pada sebabnya, sebagaimana disebutkan :
العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ.
“Yang dijadikan pegangan itu berdasarkan kepada keumuman lafal bukan kekhsususan sebab”.
b). Fungsi Asbab An-Nuzul
Sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud asbab an-nuzul dalam konsep ini ialah setiap surat atau ayat turun ketika peristiwa terjadi. Surat-surat atau ayat dalam Al-Qur’an banyak yang memiliki Asbab An-Nuzul. Adakalanya langsung diterangkan pada ayat atau surat itu adakalanya batu dideteksi melalai hadits-hadits Nabi Saw. Ketika Rasul menjawab persoalan yang ditanyakan sahabat atau orang kafir waktu itu merupakan Asbab An-Nuzul yang langsung dengan turun ayat atau surat. Umpamanya dengan menggunakan lafal yas’alunaka. Disisi lain adakalanya satu surat atau ayat memiliki riwayat Asbab An-Nuzul yang berbeda-beda. Adakalanya Asbab An-Nuzul itu da’if , maka tentu tidak digunakan. Adakalanya juga banyak riwayat, maka harus dicari lebih Shahih. Sementara bila kedua riwayat itu shahih, ada kemungkinan terjadi nuzul ayat sama dalam kasus yang lebih dari satu atau yang berulang.
Adapun fungsi Asbab An-Nuzul adalah sebagai berikut :
1. Menerangkan hikmah yang diperlukan dalam menentukan hukum-hukum Islam dan mengetahui perhatian Syara’ dalam memelihara kemaslahatan manusia.
2. Menentukan kekhususan syara’ yang ditentukan secara umum atau sebaliknya, seperti Al-‘Ibrah bi ‘umumil lafdzi la bikhusi sabab atau al-‘ibrah bi khusus as-sabab la bi umum al-lafdzi.
3. Cara yang paling baik untuk memahami Al-Qur’an yang sulit tanpa mengetahui sebab turunnya.
C. Ketentuan Asbab An-Nuzul (Sebab turun)
1. Bila bentuk ungkapannya sharih (jelas), seperti :
سَبَبُ نُزُوْلِ هَذِهِ الآيَةِ كَذَا, أوْ حَدَّثَ كَذَا, أَوْ سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ كذَا فَنَزَلَتِ الأَيَةُ.
“Sebab turun ayat ini begini, beliau menceritakan begini, atau Rasulullah Saw. Ditanya mengenai seperti ini, maka ayat ini turun, maka pertanyaan itu tak ada pertentangan.
1. Bila salah satu ungkapan gair sharih (tidak tegas) dan yang lainnya menggunakan sebab yang berbeda, maka yang digunakan adalah yang secara tekz menerangkan sebabnya.
2. Bila banyak riwayat dan semuanya secara tegas sebabnya, tetapi salah satu sanad shahih, dan lainnya tidak, maka diambil riwayat yang shahih.
3. Bila keshahihan riwayat itu sama maka bisa dilakukan jama’.
4. Bila semula riwayat sama Shahih dan sulit di-jama’ maka dilakukan tarjih, dengan mengambil yang arjah (paling kuat).
5. Bila tidak mungkin dikompromikan karena masa yang jauh, maka ada kemungkinan beberapa kali turun.
D. Fungsi Asbab Al-Wurud
Fungsi Asbab Al-Wurud adalah sebagai berikut :
1. Takhsis Al-‘Am (mengkhususkan yang umum)
Misalnya dalam suatu hadits diterangkan :
عَنْ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِي اللهُ عنه : قَالَ : سَألْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ صلَاةِ الرَّجُلِ وَهُوَ قَاعِدٌ فَقَالَ : مَنْ صلَّى قَائِمًا فَهُوَ أفْضلُ, وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَائِمِ.
“Dari ‘Imran bin Husain, ia berkata ; Saya bertanya kepada Rasulullah Saw, tentang shalat seseorang sambil duduk. Beliau menjawab : “Siapa yang shalat sambil berdiri, hal itu lebih utama, dan siapa yang shalat sambil duduk, baginya setengah dari pahala yang shalat sambil berdiri”. HR. Al-Bukhari.
Hadits ini dianggap berlaku umum untuk semua orang, tetapi sebenarnya hadits ini khusus bagi orang yang mampu berdiri, lalu ia shalat sunnat sambil duduk, sementara orang sakit yang merasa berat untuk shalat sambil berdiri, lalu ia shalat sambil duduk, tidak termasuk hadits ini.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.