Mendirikan Shalat Menurut Para Ulama
قَالَ رسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : صلوا كما رأيمتوني أصلِّي. رواه أحمد بإسناده الصحيح برقم : 20531 [34 : 157]
Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda : “Shalatlah sebagaimana kamu mengetahui aku shalat”. Diriwayatkan dia oleh Ahmad dengan Isnad yang shahih no. 20531 (34 : 157)
Yang Dimaksud dengan “إقامة الصلاة”
قال الراغب : إنَّ المَقْصُوْدَ مِنْهَا تَوْفِيَةُ شَرَائِطِهَا لَا الإِتْيَانُ بِهَيْئَاتِهَا [معجم مفردات الألفظ القرأن : ...]
Ar Raghib berkata ; Sesungguhnya yang dimaksud dengan mendirikan sholat yaitu, menyempurnakan semua syarat-syaratnya, tidak sekedar peragaannya saja.” (Mu’jam Mufradat Al Fadz Al Quran : ....)
قال إبنُ كَثِيْر : فَأَتِمُّوْهَا و أقِيْمُوْهَا كَمَا اُمِرْتُمْ بِحُدُوْدِهَا, وَخُشُوْعِهَا وَ رُكُوْعِهَا وَ سُجُوْدِهَا وَجَمِيْعِ شُؤُوْنِهَا
Ibnu Katsir berpendapat - Dalam menafsirkan Quran Surat An Nisa ayat 103-; Sempurnakanlah, Dirikanlah sebagaimana kamu diperintahkan bersama dengan batasan-batasannnya, khusyu-nya, ruku’nya dan sujudnya dan semua urusan-urusannya.
وقال : فَأَقِمُوْا الصَّلَاةَ الْمَفْرُوْضَةَ بِحُدُوْدِهَا وآوْقَاتِهَا وَمَا يَتَّبِعُهَا مِنَ نَوَفِلَ رَاتِبَةٍ وَغَيْرِ رَاتِبَةٍ.
Ibnu Katsir berkata – dalam menafsirkan Qur’an Surat An Nisa ayat 3 - : maka dirikanlah sholat fardlu dengan batasan-batasannya dan di waktu-waktunya dan melaksanakan sholat sunnat rawatib dan bukan rawatib.
وقال الصَّابُوْنِيُّ : أَدَائُهَا عَلَى الوَجْهِ الأَكْمَالِ بِشُرُوْتِهَا وأرْكَانِهَا وخُشُوْعِهَا وآدَابِهَا.
Ash Shabuniy berkata ; - yaitu – melaksanakannya berdasarkan bentuk yang sempurna dengan syarat-syaratnya dan rukun-rukunnya, ke-khusyuannya dan adab-adabnya. (Shafwah At Tafasir Jilid 1 hlm 32)
قَالَ المَرَاغِيُّ : أدَائُهَا بِتَعدِيْلِ أرْكَانِهَا وَمُرَاعَاةِ شَر َئِطِهَا وَلَا تَقْصُرُوْا مِنْ هَيْئَتِهَا
Al Maraghi berkata – dalam menafsirkan Quran Surat An Nisa ayat 103 - : Melaksanakannya dengan menyempurnakan rukun-rukunnya dan memelihara syarat-syaratnya dan tidak mengurangi dari peragaannya. (Tafsir Al Maraghi jilid 2 hlm 303)
Menurut Saya : Mendirikan Shalat adalah melaksanakan shalat sesuai ketentuannya ; menyempurnakan yang syarat wajibnya, yang sunnatnya, yang mustahabnya seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Arah Pandangan Mata Di Waktu Shalat
Untuk menjaga kekhusyu’an shalat, hendaklah kita dapat menjaga pandangan mata, jangan menoleh ke sebelah kanan atau pun kiri, demikian pula tidak menoleh ke arah langit, sebagaimana dalam hadits berikut ini :
وَعَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنه قَالَتْ : سَألَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الإِلْتِفَاتِ فِيْ الصَّلَاةِ ؟ فَقَالَ : هُوَ إخْتِلَاسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَيْطَانُ مِنَ الصَّلَاةِ العَبْدِ. رواه البُخاري.
Dari ‘Aisyah r.a, ia berkata ; “aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang menoleh di saat shalat ? Nabi menjawab : “itu adalah sama dengan kecopetan oleh syetan dari shalat seseorang”. (HR. Al-Bukhari)
عَن ْجَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لَيْنتَهِيَنَّ أقْوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أبْصَارَهُمْ إلَى السَّمَاءِ فِيْ الصَّلَاةِ أوْ لَا يَرْجِعُ إلَيْهِمْ. رَواه مسلم.
Dari Jabir bin Samurah, ia berkata ; Rasulullah SAW bersabda : “Hendaklah orang-orang berhenti dari menengadah penglihatannya ke langit dalam shalat, atau tidak akan kembali lagi (penglihatannya) itu kepada mereka”. (HR. Muslim)
Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda :
لَا يَزَالُ اللهُ مُقْبِلًا عَلَى عَبْدِهِ فِيْ صلَاتِهِ مَالَمْ يَلْتَفِتْ, فإذَا صَرَفَ وَجْهَهُ إنْصَرَفَ عَنْهُ. رواه ابوُ دَاود.
“Allah SWT akan senantiasa menghadap kepada hamba-Nya dalam shalatnya selama ia tidak menoleh, maka jika ia memalingkan wajahnya, Allah juga berpaling darinya”. (HR. Abu Daud)
عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُبَيْرٍ عَنْ أبِيْهِ أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إذَا جَلَسَ فِيْ الصَّلَاةِ وَضَعَ كَفَّهُ اليُسْرَى عَلَى فَخْذِهِ اليُسْرَى وَكَفَّهُ اليُمْنَى عَلَى فَخْذِهِ اليُمْنَى وَأشَّارَ بِأُصْبُعِهِ السَّبَابَةِ لَا يُجَاوِزُ بَصَرُهُ إشَارَتَهُ. رواه البَيْهَقِي, 2 : 132.
Dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Az-Zubair, dari ayahnya : “Sesungguhnya Nabi SAW apabila duduk (tasyahud) dalam shalat, beliau meletakkan telapak tangan yang kiri di atas paha kiri, dan telapak tangan kanan di atas paha kanan, serta ia berisyarat dengan jari telunjuknya di mana penglihatan/pandangannya tidak melebihi (tempat/arah) isyaratnya”.
Hadits-hadits tersebut di atas menunjukkan bahwa orang yang sedang shalat hendaklah fokus penglihatannya ke arah tempat sujudnya, jangan menoleh ke kanan atau ke kiri atau menengadahkan penglihatannya karena hal itu akan mengganggu konsentrasi seseorang di waktu shalat.
Bagamana Cara Mengangkat Tangan Dalam Takbiratul Ihraam?
Dalam hal mengangkat tangan ketika bertakbir ada dua cara, yaitu :
1. Lurus dua pundaknya, hal ini berdasarkan hadits berikut ini :
عن ابن عمر قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا قام للصلاة وفع يديه حتى تكونا حذو منكبيه ثم كبر – رواه مسلم, 1 :165
“Dari Ibnu ‘Umar ia berkata : ‘Keadaan Rasulullah Saw. Apabila berdiri untuk shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga bertepatan dengan kedua bahunya, kemudian beliau bertakbir”. – HR. Muslim 1 : 165
ان عبد الله عمر رضي الله عنه قال : رايت النبي صلى الله عليه وسلم افتتح التكبير في الصلاة فرفع يديه حين يكبر حتى يجعلهما حذو منكبيه – رواه البخاري –
“Sesungguhnya ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : ‘Aku melihat Nabi Saw. Memulai takbir dalam shalat, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya di saat bertakbir hingga menjadikan kedua tangannya lurus kedua bahunya.” – HR. Bukhari -
2. Lurus dua telinga, berdasarkan hadits berikut ini :
عن مالك ابن الحويرث ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان اذا كبر رفع يديه حتى يحادي بهما اذنيه -رواه مسلم 1 : 166
“Dari Malik bin Al-Huwairits : ‘Sesungguhnya Rasulullah Saw. Apabila bertakbir beliau mengangkat kedua tangannya lurus kedua telinganya.” – HR. Muslim, 1:166 –
Berdasarkan hadits-hadits tersebut di atas, berarti mengangkat tangan dalam bertakbir boleh lurus dua pundak, boleh juga lurus dua telinga.
Macam-macam Do'a Iftitah
عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رَضي اللهُ عنه قَالَ : كَانَ رسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إذَا كَبَّرَ فِيْ الصَّلَاةِ سَكَتَ هُنَيْهَةً قَبْلَ القِرَأةِ, فَقُلْتُ : يَا رسُوْلَ اللهِ بِأبِيْ أنْتَ وأمِّي أرَيْتَكَ سُكُوْتَكَ بَيْنَ التَّكْبِيْرِ وَ القِرَأةِ مَا تَقُوْلُ ؟ قَالَ : أقُوْلُ : اللهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْربِ, اللهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَوْبُ الأبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ, اللهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ والبَرَدِ. متفق عليه
Dari Abi Hurairah r.a, ia berkata ; “Adalah Rasulullah Saw. Apabial bertakbir untuk shalat, beliau diam sebentar sebelum (fatihah), kemudian aku bertanya kepadanya dengan nama ayah dan ibunya : “Terangkanlah kepada kami apa yang engkau baca di waktu diam antara takbir dan membaca al-fatihah ?” Rasulullah SAW menjawab : “Kami membaca, Ya Allah, jauhkanlah antaraku dan kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan timur dan barat. Ya Allah! Bersihkanlah segala kesalahanku sebagaimana dibersihkannya baju yang putih dari kotoran. Ya Allah! Bersihkanlah kesalahanku dengan air, salju dan embun”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
عَنْ علِيٍّ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إذَا قَامَ إلَى الصَّلَاةِ كَبَّرَ ثُمَّ قَالَ : وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ والأرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أنَا مِنَ المُشْرِكِيْنَ, إنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ ربِّ العَالَمِيْنَ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وأنَا مِنَ المُسْلِمِيْنَ, اللهُمَّ انْتَ المَالِكُ لَا إلَهَ إلّا أنْتَ, أنْتَ ربِّي وأنَّا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِي وأعْتَرَفْتُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِي ذُنُوْبِيْ جَمِيْعًا إنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُنُوْبَ إلَّا أنْتَ وَاهْدِنِي لِأحْسَنِ الأخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأحْسَنِهَا إلَّا اَنْتَ واصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرَفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إلّا أنْتَ لَبَيِّكَ وَسَعْدَيْكَ والخَيْرُ كُلُّهُ فَيْ يَدَيْكَ وَالشَرُّ لَيْسَ إلَيْكَ انَا بِكَ وإلَيْكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إلَيْكَ. روَاه أحْمدُ وَمُسْلِمٌ, فقه السنة 1 : 262.
Dari ‘Ali r.a, ia berkata ; “Adalah Rasulullah SAW apabila berdiri shalat, ia bertakbir, kemudian ia membaca : “Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi cenderung berserah diri, dan tidaklah aku tergolong orang yang musyrik. Sesungguhnya Shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah karena Allah Tuhan Semesta Alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan untuk itulah aku diperintahkan dan aku adalah di antara orang muslim. Ya Allah! Engkaulah raja, tiada Tuhan kecuali Engkau, Engkaulah Tuhanku, dan aku adalah hamba-Mu, aku telah dzalim terhadap diriku, dan aku sadar akan dosa-dosaku, ampunilah dosa-dosaku semuanya, sesungguhnya tiada yang dapat mengampuni segala dosa, kecuali Engkau, tunjukanlah aku kepada akhlah yang terbaik, tiada yang dapat menunjukkan kepada apa pun juga kecuali Engkau. Palingkanlah aku dari akhlak yang jelek, sesungguhnya tiada yang dapat memalingkan dari akhlak yang jelek kecuali Engkau, aku akan selalu taat kepada-Mu dan mengikuti agama-Mu dan semua kebaikan ada di tanganmu dan kejelekan bukan di tangan-Mu dan (kembali) kepada-Mu. Maha agung Engkau dan Maha Luhur. Aku mohon ampun kepada-Mu”. (HR. Ahmad dan Muslim, Fiqih Sunnah, 1 : 262)
وَعَنْ عُمَرَ أنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ بَعْدَ تَكْبِيْرِ الإحْرَامِ : سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إلَهَ غَيْرُكَ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ بِسَنَدٍ مُنْقَطِعٍ والدَّارُقُطْنِي مَوْصُوْلًا وَمَوْقُوْفًا عَلَى عُمَرَ
Dari ‘Umar r.a, “Sesungguhnya ia suka membaca setelah takbiratul-ihram, (Maha suci Engkau, Ya Allah dan dengan memuji-Mu, Maha Agung nama-Mu, serta Maha Luhur keagungan-Mu, tiada Tuhan selain Engkau)”. (HR. Muslim dengan sanad yang munqathi’ (putus) dan Diriwayatkan oleh oleh Ad-Daruquthni dengan Maushul (bersambung) dan Mauquf kepada ‘Umar).
قَالَ ابْنُ القَيِّمِ : صَحَّ عَنْ عُمَرَ أنَّهُ كَانَ يَسْتَفْتِحُ بِهِ فِيْ مَقَامِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَيَجْهَرُ بِهِ ويُعَلِّمُهُ النَّاسَ وَهُوَ بِهَذَا الوَجْهِ فِيْ حُكْمِ المَرْفُوْعِ.
Telah berkata Ibnu Qayim : “Sungguh telah shahih dari ‘Umar bahwa ia membaca do’a iftitah dengan do’a tersebut di tempat Nabi SAW, dan suka menjaharkannya, dan suka mengajarkannya kepada yang lain, oleh sebab itulah hadits tersebut digolongkan kepada marfu hukman (bersambung dari Nabi)”.
وَلِهَذَا قَالَ الإِمَامُ أحْمَدَ : أمَّا أنَا فأذَهَبُ إلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَلَوْ أنَّ رَجُلًا إسْتَفْتَحَ بِبَعْضِ مَا رُوِيَ كَانَ حَسَنًا. فقه السنة 1 : 263.
Untuk itu Imam Ahmad berkata ; “Adapun aku berpedang kepada doa iftitah yang diriwayatkan oleh ‘Umar, namun andai kata seseorang membaca doa iftitah dengan yang mana saja dari yang telah diriwayatkankan dari Nabi SAW, maka itu baik juga adanya”. (fiqih As-Sunnah, 1 : 263)
Posisi Tangan Di Waktu Berdiri
Kenyataan di masyrakat, posisi tangan di waktu berdiri ternyata beragam yaitu :
1. Ada yang lepas tangan, tidak sedekap seperti yang penulis pernah melihat di Masjid Al-Haram.
Mereka yang berpendapat seperti ini adalah yang bermadzhab Hanafi, beliau berpendapat seperti ini mengingat beliau tidak mendapatkan hadits yang memerintahkan sedekap, padahal haditsnya ada dan shahih sebagaimana berikut ini :
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ : كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أنْ يَضَعَ الرِّجَلَ يَدَهُ اليُمْنَى عَلى ذِرَاعِهِ فِيْ الصَّلَاةِ. رواه البُخَارِي, 1 : 135.
Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata : “Adalah manusia diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanannya di atas sikutnya”. (HR. Al-Bukhari,1 : 135)
وَعَنِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إنَّا مَعْشَرَ ألأَنْبِيَاءِ, أُمِرْنَا بِتَجْعِيْلِ فِطْرِنَا وَتَأخِيْرِ سُحُوْرِنَا وأنْ نَضَعُ أيْمَانَنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فِيْ الصَّلَاةِ. رَواه الطبراني, مجمع الزوائد, 3 : 105.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata ; “aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Kami golongan para nabi diperintahkan untuk menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan sahur, dan kami diperitahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di waktu shalat”. (HR. Ath-Thabrani, Majma’ Al-Zawaid, 3 : 105)
2. Menempatkan tangan di pinggang
Adapun alasan mereka karena syetan suka berada di pinggang sebelah kiri untuk menggoda manusia yang sedang shalat. Maka dengan menempatkan tangan di sebelah kiri bermaksud untuk menghimpit syetan supaya tidak menggoda.
Alasan ini tidak penulis dapatkan dari mana rujukannya, baik di kitab hadits ataupun di kitab fiqih. Berarti pendapat ini tidak kuat karena tidak ada dasarnya sama sekali. Ada juga yang berpendapat bahwa penempatan tangan di pinggang itu pada asalnya dalam kondisi berperang menghadapi lawan, di mana dituntut harus senantiasa siaga karena takut musuh menyerang dengan tiba-tiba. Tetapi dalam kondisi aman tentu saja tidak perlu dengan posisi seperti itu dan hendaklah posisi tangan sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits shahih, yaitu dengan posisi sedekap.
3. Menempatkan tangan di bawah pusar, sebagaimana hadits berikut :
قَالَ عَلِيٌّ رضي الله عنه : السُنَّةُ وَضْعُ الكَفِّ عَلَى الكَفِّ فِيْ الصَّلَاةِ تَحْتَ السِّرَّةِ. رواه ابو داود, 1 : 174.
Dari ‘Ali r.a, “Termasuk sunnah, adalah meletakkan telapak tangan (kanan) di atas telapak tangan (kiri) di waktu shalat di bawah pusar”. (HR. Abu Daud, 1 : 174)
Hadits ini dhaif, karena rawi yang bernama ‘Abdurrahman bin Ishaq Al-Wasithi, menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan Abu Hatim, dia itu munkar al-hadits. Dan menurut Al-Bukhari Fihi Nadharun (perlu tinjau kembali) dan menurut An-Nawawi, ia itu dhaif, dengan demikian, hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah.
4. Menempatkan tangan di atas dada, berdasarkan hadits di bawah ini ;
قَالَ طَاوُسٌ رضي الله عنه : كَانَ رَسُوْلُ الله ِصلى الله عليه وسلم يَضَعُ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى يَدَهُ اليُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ. روَاه ابو دَاود.
Thawus berkata : “Rasulullah SAW suka menyimpan tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian mengokohkan keduanya di atas dadanya sedang beliau dalam shalat”. (HR. Abu Daud)
عَنْ قَبِيْصَةَ بْنِ هُلْبٍ عَنْ أبِيْهِ قَالَ : رَأيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَنْصَرِفُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ وَرَأَيْتُهُ يَضَعُ هَذِهِ عَلَى صَدْرِهِ وَوَصَفَ يَدَهُ اليُمْنَى عَلى اليُسْرَى فَوْقَ المِفْصَلِ. روَاه احْمَد.
Dari Qabishah bin Hulb dari bapaknya, ia berkata : “Saya melihat Rasulullah SAW menoleh ke kanan dan ke kirinya, dan saya melihatnya menyimpan ini (tangannya) di atas dada, (Yahya salah seorang rawi hadits) mensifati (memperaktekkan) tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas mifshal (persambungan antara telapak tangan dengan pergelangannya”. (HR. Ahmad)
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ : صَلَيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَوَضَعَ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى اليُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ. رواه ابن خُزَيْمَة.
Dari Wail bin Hujr, ia berkata : “Saya pernah shalat bersama Rasulullah SAW, beliau menyimpan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada”. (HR. Ahmad)
Dalam kitab Shahih Muslim dinyatakan sebagai berikut :
بَابُ وَضْعِ يَدِهِ اليُمْنَى عَلَى اليُسْرَى بَعْدَ تَكْبِيْرِ الإحْرَامِ تَحْتَ صَدْرِهِ فَوْقَ سِرَّتِهِ. رَواه مسلم, 1 ؛ 171.
“Bab meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri setelah takbiratul-ihram di bawah dada, di atas pusar”. (HR. Muslim, 1 : 171)
Keterangan :
Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Posisi lepas tangan di saat berdiri di waktu shalat tidak memiliki alasan yang kuat bahkan menyalahi hadits yang shahih yang menyatakan harus sedekap.
2. Menempatkan tangan kiri di pinggang sebelah kiri dengan maksud untuk menghimpit syetan agar tidak menggoda, tidak memiliki alasan yang kuat.
3. Menempatkan kedua tangan di bawah pusar haditsnya dhaif.
4. Menempatkan kedua tangan di atas dada haditsnya shahih.
5. Pengertian di atas dada bukan berarti di atas dada menurut pengertian kita, yaitu dalam artian dada di bawah leher tetapi di atas pusar di bawah dada sebagaimana penjelasan Imam Muslim dalam kitab shahihnya.
Basmalah Itu Termasuk Dari Pada Surat Al-Fatihah
1. Basmalah ditulis dengan resmi di awal surat Al-Fatihah dan surat-surat yang lainnya di dalam mushaf Al-Imam yang ditulis oleh para pencatat Al-Qur’an di zaman khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq, kecuali surat At-Taubah.
2. Para Sahabat (pencatat Al-Qur’an) menulis basmalah dalam mushaf adalah karena resmi bahwa basmalah itu termasuk Al-Qur’an.
3. Para Sahabat tidak menulis basmalah di surat At-Taubah bukan berarti mereka lupa mencatatkannya, tetapi karena resminya tidak ada.
4. Ta’awudz dan Amin tidak ditulis di dalam Al-Qur’an karena Ta’awudz dan Amin tidak termasuk Al-Qur’an.
5. Menambah tulisan Al-Qur’an itu haram walau hanya satu huruf saja.
Berarti alasan terkuat bahwa basmalah termasuk Al-Fatihah dan surat-surat lainnya adalah bukti otentik bahwa basmalah ditulis dalam Al-Qur’an dengan persetujuan para sahabat dan tidak ada seorang pun sahabat yang mengingkarinya.
Basmalah Dibaca Jahar Dalam Bacaan Yang Jahar Dan Dibaca Sir, Dalam Bacaan Yang Sir
1. Ada hadits yang dengan tegas menyatakan bahwa Nabi membaca basmalah di antara :
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ : أنّهَا سُئِلَتْ عَنْ قِرَاءَةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله علَيْه وسلم فَقَالَتْ : كَاَنَ يَقْطَعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ, الحَمْدُ لِلَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. روَاه احْمد و ابُوْ دَاوَدَ.
Dari Ummi Salamah, sesungguhnya ia telah ditanya tentang bacaan Rasulullah, ia menjawab : “Adalah Nabi memutuskan bacaannya satu ayat-satu ayat, BISMILAHIRRAHMANIRAHIM (berhenti) kemudian; AL-HAMDULILLAHIRABIL ‘ALAMIN”. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
وَعَنْ قَتَادَةَ قَالَ : سُئِلَ أنَسٌ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : كَانَتْ مُدًّا ثُمَّ قَرَأَ : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ وَيَمُدُّ بِالرَّحِيْمِ. – رواه البُخَارِي-
Dari Qatadah, ia berkata : “Bahwa Anas telah ditanya tentang bagaimana tentang bacaan Nabi, kemudian ia menjawab : “Bacaannya panjang, ia membaca; BISMILLAHIR-RAHMANIR-RAHIM dengan memanjangkan lafadz AR-RAHMANI dan AR-RAHIMI”. (HR. Bukhari)
عَنْ نُعَيْمِ المُجْمِرِ رضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : صَلَيْتُ وَرَاءَ أبِيْ هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ, ثُمَّ قَرَأ بِأُمِّ القُرْأنِ وَ فِيْهِ يَقُوْلُ إذَا سَلّمَ, وَالذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ إنِّيْ لَأشْبَهَكُمْ صَلَاةً بِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم.
Dari Nu’aim Al-Mujmir r.a, ia berkata : “Saya telah shalat di belakang Abu Hurairah, kemudian ia membaca ; Bismillahirrahmanirrahim, lalu membaca Ummul Qur’an. Dalam hadits ini ia menerangkan di waktu salam : “Demi diriku yang dalam tangan kekuasaan-Nya, Sesungguhnya aku adalah orang yang paling serupa shalatnya dengan Rasulullah Saw”.
وَقَدْ صَحَّحَ هَذَا الحَدِيْثِ إبْنُ خُزَيْمَةَ وابْنُ حِبَّانَ وَالحَاكِمُ وقَالَ : عَلَى شَرْطِ البُخَارِيْ وَ مُسلِمٍ, وأقَرَّهُ الحَافِظُ الذَّهَبِيّ, وَقَالَ البَيْهَقِيُّ : صَحِيْحُ الإسْنَادِ وَلَهُ شَوَاهِدُ. وَقالَ ابُوْ بَكْرٍ الخَطِيْبُ : فِيْهِ ثَابِتُ صَحِيْحٌ لَا يَتَوَجَّهُ عَلَيْهِ تَعْلِيْلٌ. –المنار, 1 : 88-
Hadits ini telah dinyatakan Shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim, menurutnya hadits ini shahih berdasarkan kriteria Bukhari Muslim, serta diakui oleh Al-Hafidz Adz-Dzahabiy. Menurut Al-Baehaqiy sanadnya Shahih serta mempunyai Syawahid (para saksi). Menurut Abu Bakar Al-Khatib ; hadits tersebut Shahih, tidak ada tuduhan ilat atasnya. (Al-Manar, 1 : 88)
2. Basmalah termasuk Al-Fatihah, buktinya basmalah ditulis di awal surat Al-Fatihah.
3. Ta’awudz hendaklah dibaca sebelum membaca Al-Fatihah, demikian juga Amin dibaca di akhir surat Al-Fatihah padahal kedua-duanya tidak ditulis dalam Al-Qur’an.
Jadi, yang tidak ditulis saja dibaca apalagi basmalah ditulis di awal surat Al-Fatihah sungguh tidak logis kalau yang tidak ditulis harus dibaca, sementara yang tidak ditulis mesti dibaca.
Bolehkah Menjaharkan Bacaan Al-fatihah Atau surat Dalam Shalat Zhuhur dan ‘Ashar ?
Dalam shalat Maghrib, ‘Isya dan Shubuh Nabi SAW suka menjaharkan bacaannya, sedangkan dalam shalat zhuhur dan ‘ashar Nabi SAW suka men-sir-kan bacaannya, tetapi kadang Nabi menjaharkan bacaannya dalam shalat zhuhur dan ‘ashar sebagaimana dalam hadits berikut ini :
وَعَنْ قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي بِنَا فَيَقْرَأُ فِيْ الظُهْرِ وَالعَصْرِ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ الأوَّلَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ وَسُوْرَتَيْنِ وَيسْمِعُنَا الأيَةَ أحْيَانًا وَيُطَوِّلُ الرَّكْعَةَ الأُوْلَى وَيَقْرَأُ فِيْ الأُخْرَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ. –متفق عليه-
Dari Qatadah r.a, ia berkata ; “Rasulullah SAW pernah shalat bersama kami, kemudian ia membaca al-fatihah dan membaca surat dalam shalat zhuhur dan ‘ashar pada dua raka’at yang pertama dan kadang-kadang Nabi memperdengarkan bacaannya kepada kami dan memanjangkan raka’at perama dan membaca al-fatihah al-kitab dalam dua raka’at terakhir”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi SAW kadang-kadang mengeraskan bacaannya dalam shalat zhuhur dan ‘ashar. Berarti boleh saja menjaharkan bacaan waktu shalat zhuhur dan ‘ashar, tetapi andai mau mencoba menjaharkan harus memberitahu dulu ma’mum supaya tidak kaget. Dan yang paling utama, tentu saja men-sir-kan bacaan sebagaimana yang dibiasakan oleh Nabi SAW.
Bacaan Amin Imam dan Ma’mum Itu Berbarengan
عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إذَا أمَّنَ الإِمَامُ فَأمِّنُوْا فإنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأمِيْنُهُ تَأمِيْنَ المَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. روَاه البُخَارِي. فتح الباري 2 : 262.
Dari Abi Hurairah, bahwasannya Nabi SAW bersabda : “apabila imam hendak mengucapkan amin, hendaklah kamu –mengucapkannya juga-, karena sesungguhnya siapa yang mengucapkan amin – berbarengan dengan amin malaikat – niscaya di ampuni dosanya yang telah lalu”. HR. Bukhari, Fathul-Bari, 2 : 262)
وأجَابَ الجُمْهُوْرُ : ..... بِأنَّ المُرَادَ بِقَوْلِهِ : إذَا أمَّنَ, ايْ أرَادَ التَأمِيْنَ لِيَتَوَافقَ تَأْمِيْنُ الإِمَامِ وَ المَأمُوْمِ مَعًا. فتح الباري : 2 : 262.
Jumhur ulama menjelaskan ; “Bahwa yang dimaksud dengan kalimat ; IDZA AMMANA (apabila imam amin) ialah apabila imam hendak mengucapkan amin, agar bersama-sama amin imam dengan amin ma’mun”. (Fathul-Bari, 2 : 262)
Di ujung hadits Abi Hurairah di atas ada ungkapan ;
فإنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأمِيْنُهُ تَأمِيْنَ المَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
.....” sesungguhnya siapa yang mengucapkan amin – berbarengan dengan amin malaikat – niscaya di ampuni dosanya yang telah lalu”.
Hadits ini menunjukkan bahwa amin imam dengan ma’mum itu mesti berbarengan karena kalau tidak berbarengan berarti ada amin yang tidak bareng dengan amin malaikat.
Dalam hadits lain dijelaskan sebagai berikut :
عَنْ ابِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إذَا قَالَ الإِمَامُ : غَيْرِ المَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ ولَا الضَّالِيْنَ, فَقُوْلُوْا : آمِيْنَ, فإنَّ المَلَائِكَةَ يَقُوْلُوْنَ آمِيْنَ وإنَّ الإِمَامَ يَقُوْلُ آمِيْنَ, فَمَنْ وَافَقَ تَأمِيْنُهُ تَأمِيْنَ المَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رَواه احمد, الفتح الربَانِي, 3 : 204.
Dari Abi Hurairah r.a, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda : “Apabila imam membaca; GHAIRIL- MAGHDUBI ‘ALAIHIM WALAD- DALLIN, maka ucapkanlah AAMIN. Sesungguhnya Malaikat mengucapkan AAMIN ketika imam mengucapkan AAMIN. Barangsiapa sesuai aminnya imam dengan aminnya malaikat, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Ahmad, Fathur-Rabbani, 3 : 204)
قَالَ النَّوَوِيُّ رَحِمَهُ اللهُ : فِيْ هَذِهِ الأحَادِيْثِ إسْتِحَبَابُ التَّامِيْنِ عَقِبِ الفَاتِحَةِ للإِمَامِ وَالمأمُوْمِ والمُنْفَرِدِ وأنَّهُ يَنْبَغِيْ أنْ يَكُوْنَ تَأمِيْنُ المَأمُوْمِ مَعَ تَأمِيْنِ الإِمَامِ لَا قَبْلَهُ ولَا بَعْدَهُ لِقَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم : وإذَا قَالَ : ولَا الضَّالِيْنَ, فَقُوْلُوْاَ : آمِيْنَ وَامَّا رِوَايَةُ : إذَا أمَّنَ فأَمِّنُوَا فَمَعْنَاهُ : إذَا أرَادَ التَّامِيْنَ. –فتح الرباني, 3 : 205-
Menurut Imam An-nawawi : “hadits-hadits ini – di atas- menunjukkan disunnahkannya amin setelah al-fatihah, baik imam, ma’mum, atau yang shalat munfarid – sendirian- seyogyanya amin ma’mum itu bersamaan dengan amin imam, jangan sebelumnya atau sesudahnya, mengingat sabda Nabi SAW ; “apabila imam membaca WALAD DHALIN, ucapkan AAMIN”. Adapun riwayat : IDZA AMMANA FA AMMINU, maksudnya ; apabila imam hendak mengucapkan AAMIN”. (Fathur-rabbani, 3 : 205)
Beberapa Macam Bacaan I’tidal
1. رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ. رَواه البُخَارِيُّ, 1 : 133.
2. رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ. رَواه البُخَارِيُّ,1 : 127.
3. اللهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ. رَواه البُخَارِيُّ, 1 : 144.
4. اللهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ. رَواه البُخَارِيُّ,1 : 144
5. اللهُمَّ رَبَّنَا َلَكَ الحَمْدُ مِلْءُ السَّمَوَاتِ وَمِلْءُ الأرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْئٍ بَعْدُ. رَواه مُسلم, 1 : 198.
6. اللهُمَّ رَبَّنَا َلَكَ الحَمْدُ مِلْءُ السَّمَوَاتِ وَمِلْءُ الأرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْئٍ بَعْدُ أهْلَ الثَّنَاءِ وَالمَجْدِ أحَقُّ مَا قَالَ العَبْدُ وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ, اللهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الجَدُّ. رَواه مسلم, 1 : 199.
7. رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ. رَواه البُخَارِي.
Itulah macam-macam bacaan I’tidal, semuanya shahih, mau yang mana saja bebas karena semuanya berdasarkan hadits-hadits yang shahih.
Referensi : Al-Fatawa al-Ustadz A Zakaria
Baca Juga
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.