Tatacara Shalat Lengkap (Bagian 2)

Tatacara Shalat Lengkap (Bagian 2)

Daftar Isi:

Membaca Surat yang Sama Dalam Raka’at Pertama dan Kedua

Tidak apa-apa membaca surat yang sama dalam dua raka’at. Hal ini mengingat ada hadis Nabi SAW sebagai berikut ;

وَعَنْ رَجُلٍ مِنْ جُهَيْنَةَ أنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ يَقْرَأُ فِيْ الصُبْحِ إذَا زُلْزِلَتِ الأْرْضُ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ كِلْتَيْهِمَا, قَالَ : فَلَا أدْرِي أنَسِيَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أمْ قَرَأَ ذَلِكَ عَمْدًا. –رواه ابو داود-

Dari seorang laki-laki dari Juhainah : “Sesungguhnya ia mendengar Nabi SAW membaca dalam shalat shubuh surat Idza Zulzilatil- Ardhu dalam kedua raka’atnya, ia mengatakan : “Aku tidak tahu, apakah Rasulullah SAW lupa atau ia membaca hal itu dengan sengaja”. (HR. Abu Daud)
Hadits ini menunjukkan bolehnya membaca surat yang sama dalam kedua raka’at shalat.

Membaca Dua Atau Tiga Surat Dalam Satu Raka’at

عَنْ أنَسٍ قَالَ : كَانَ رَجُلٌ مِنَ الأنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِيْ مَسْجِدِ قُبَاءٍ فَكَانَ كُلَّمَا إفْتَتَحَ سُوْرَةً يَقْرَأُ بِهَا لَهُمْ فِيْ الصَّلَاةِ مِمَّا يَقْرَأُ بِهِ إفْتَتَحَ بِقُلْ هُوَ اللهُ أحَدٌ حَتَّى يَفْرَغَ مِنْهَا ثُمَّ يَقْرَأُ سُوْرَةً أُخْرَى مَعَهَا فَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِيْ كُلِّ رَكَعَةٍ, فَلَمَّا أتَاهُمُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أخَبَرُوْهُ الخَبَرَ, فَقَالَ : وَمَا يَحْمِلُكَ علَى لُزُوْمِ هذِهِ السُوْرَةِ فِيْ كُلِّ رَكَعَةٍ ؟ قَالَ : إنِّي أُحِبُّهَا, قَالَ : حُبُّكَ إيَّاكَ أدْخَلَكَ الجَنَّةَ. – رواه الترمِذي, نيل الأوْطار, 2 : 255-
Dari Anas, ia berkata : “Ada seseorang laki-laki dari kaum Anshar mengimami mereka di mesjid Quba, maka setiap ia memulai membaca surat yang ia baca untuk mereka dalam shalatnya ia memulai dengan surat Qul Huwa Allahu Ahadun, sampai selesai, kemudian membaca surat yang lainnya bersamanya. Maka ia lakukan hal itu pada setiap raka’at, maka ketika Nabi SAW datang kepada mereka, mereka memberitahukan hal itu kepadanya, lalu Nabi bersabda : “Apa yang mendorongmu untuk membiasakan membaca surat itu di setiap raka’at ? ia menjawab : “Aku mencintai surat itu (al-ikhlas)”. Lalu Nabi SAW bersabda :”Cintamu terhadap surat itu bisa membuatmu masuk surga”. (HR. At- Tirmidzi; Nael Al-Authar, 2 : 255)

Hadits ini menunjukkan boleh membaca dua surat atau lebih dalam satu raka’at.

Membaca Beberapa Ayat Dari Tengah-tengah Surat

Para ulama telah sepakat bahwa boleh membaca beberapa ayat dari tengah-tengah surat. Hal ini berdasarkan hadits di bawah ini :
قَالَ أبُوْ سَعِيْدٍ : أُمِرْنَا أنْ نَقْرَأَ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ. روَاه ابو دَاود, 2 : 188.
Abu Sa’id berkata : “Kami diperintahkan untuk membaca Al-Fathihah dan apa yang mudah”. (HR. Abu Daud, 2 : 188)

Tetapi para ulama melarang tankis ayat-ayat Al-Qur’an. Yang dimaksud dengan tankis ialah membalikkan susunan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti umpamanya di raka’at pertama membaca ayat 20 sampai dengan ayat 30 surat Ali ‘Imran, sedangkan di raka’at kedua membaca ayat 10 sampai dengan ayat 20 Ali ‘Imran. Membaca seperti ini berarti mengubah susunan ayat-ayat Al-Qur’an.

Kalau tankis surat tidak apa-apa, seperti di raka’at pertama membaca surat An-Nas sedangkan di raka’at kedua membaca surat Al-Falaq. Kemudian Nabi sendiri pernah membaca surat An-Nisa di raka’at pertama dan Ali ‘Imran di raka’at kedua.

Jika membaca beberapa ayat dari tengah-tengah surat, maka tidak usah membaca basmalah dan jika membaca surat Al-Qur’an dari awal, maka hendaklah dengan membaca basmalahnya, karena basmalahnya ditulis di awal surat, kecuali surat At-Taubah, karena basmalahnya tidak ditulis di awal surat At-Taubah.

Tempat-tempat Takbir Sambil Mengangkat Tangan

عَنْ عَبْدِ اللِه بْنِ عُمَرَ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إذَا إفْتَتَحَ الصَّلَاةِ, وَإذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوْعِ وَإذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ ... وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِيْ السُّجُوْدِ. روَاه البُخَارِي, 1 : 135.
Dari ‘Abdillah bin ‘Umar ; “Sesungguhnya Rasulullah SAW suka mengangkat kedua tangannya dengan lurus kedua pundaknya di saat beliau memulai shalat, dan di saat takbir untuk ruku’ dan di saat mengangkat kepalanya dari ruku’........dan beliau tidak melakukannya di saat mau sujud”. (HR. Al-Bukhari, 1 ; 135)
...وإذَا قَامَ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ رَفَعَ يَدَيْهِ......رواه البُخَاري.
“....dan di saat bangkit dari dua raka’at, beliau mengangkat kedua tangannya”. (HR. Al-Bukhari)
Berdasarkan hadits tersebut di atas berarti ada empat tempat takbir dengan mengangkat tangan, yaitu :
1.      Di saat Takbiratul-ihram.
2.      Di saat takbir untuk ruku’.
3.      Di saat bangkit dari ruku’.
4.      Di saat bangkit dari duduk dua raka’at.

Cara Ruku’ Sesuai Sunnah Rasulullah SAW

Dalam suatu hadits dinyatakan sebagai berikut :
....وَإذَا رَكَعَ أمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فإِذَا رَفَعَ رَأسَهُ إسْتَوَى حَتَّى يَعُوْدَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ. – رواه البُخَاري-
“.....dan apabila ruku’ beliau tekankan kedua tangannya di dua lututnya, kemudian beliau ratakan punggungnya dan apabila beliau mengangkat kepalanya, beliau berdiri tegak hingga tiap-tiap tulang kembali ke tempatnya”. (HR. Bukhari)

...وَكاَنَ إذَا رَكَعَ لَمْ يُشْخِصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ.- رواه مسلم-
“.....dan apabila beliau ruku’ beliau tidak mengangkat kepalanya dan tidak menundukkannya tetapi di antara itu”. (HR. Muslim)

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إذَا رَكَعَ فَرَّجَ بَيْنَ أصَابِعِهِ وَإذَا سَجَدَ ضَمَّ أصَابِعَهُ. - رواه الحَاكِم-
Dari Wail bin Hujr : “Sesungguhnya Nabi SAW apabila ruku’ beliau suka merenggangkan jari-jarinya dan apabila sujud beliau suka merapatkan jari-jarinya”. (HR. Al-Hakim)

Hadits-hadits tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa tatacara ruku’ itu ialah :

1.      Hendaklah meluruskan punggung dengan kepala sampai kelihatan sejajar.

2.      Tidak terlalu menundukkan kepala dan tidak menengadahkannya.

3.      Hendaklah bangkit dari ruku’ sampai tegak berdiri hingga setiap tulang kembali ke tempatnya.

4.      Merenggangkan jari-jari tangan di saat menekan kedua lututnya.

Apa Saja Bacaan Ruku’ yang Dicontohkan Oleh Nabi Saw. ?

Ada beberapa macam mengenai bacaan ruku’, diantaranya :
عن حذيفة  قال : صليت مع نبي –ص- فكان يقول في ركوعه, سبحان ربي العظيم, و في سجوده : سبحان ربي الاعلى (رواه البخاري)
“Dari Khudzaifah r.a, ia berkata : “Aku shalat bersama Nabi Saw., ia dalam ruku’nya membaca; subhaana rabbiyal ‘azhiim (Maha suci Tuhanku Yang Maha Besar), dan dalam sujudnya membaca; subhaana rabbiyal a’laa (Maha suci Tuhanku Yang Maha Tinggi).” –HR. Abu Dawud-
و عن عائشة  - ر- قالت : كان رسول الله – ص- يكبر ان يقول في ركوعه و سجوده : سبحانك اللهم ربنا و بحمدك اللهم اغفرلي, يتاول القرانز – رواه الجماعة –
“Dari ‘Aisyah r.a, ia berkata : “ Adalah Rasulullah Saw. Dalam ruku’ dan sujudnya sering membaca subhaanaka allaahumma rabbanaa wa bihamdika, allaahummaghfirlii (Maha suci Engkau Yaa Allah Tuhan kami, dengan memuji-Mu Yaa Allah ampunilah aku). Itu adalah mengamalkan A-Qur an.” –HR. Al-Jamaa’ah-
معنى : يتاول القران, اي يعمل بقول الله تعالى فسبح بحمد ربك واستغفره. – فقه السنة, 1 : 29 –
Ma’na : ”Yata-awwalul qur aan, yaitu mengamalkan kandungan isi firman Allah Swt.,  Fasabbih... artinya; (Hendaklah engkau me-Maha Suci-kan dengan memuji Tuhanmu dan mintalah ampun kepada-Nya).” – Fiqh As-Sunnah 1:29 –
وعن عائشة ان رسول الله –ص- كان يقول في ركوعه و سجوده : سبوح قدوس رب الملائكة و الرح. – رواه مسلم : نيل الاوطار, 2:275
“Dari ‘Aisyah r.a : “Sesungguhnya Rasulullah Saw. Dalam ruku’ dan sujudnya membaca; Subbuuhun qudduusun rabbul malaaikati war ruuhi (Dia Maha Suci Maha Bersih, Rabbnya Malaikat Jibril).” –HR. Muslim; Nailul Authar, 2:275-

Bolehkah Lebih Dari Tiga Kali Dalam Bacaan Subhana Rabbiya al-‘Azhimi ?

Dalam hal ini perhatikan hadits-hadits di bawah ini ;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إذَا رَكَعَ أحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ : سُبْحَانَ رَبِيَ العَظِيْمِ, وَذَلِكَ أدْنَاهُ. رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد 1 : 204.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud r.a, ia berkata ; Rasulullah SAW bersabda : “Apabila salah seorang di antara kamu ruku’, maka bacalah ; SUBHANA RABBIYA AL-‘AZHIM, tiga kali. Dan (tiga kali) itu paling sedikit”. (HR. Abu Daud, 1 : 204)

قَالَ ابُوْ دَاوُدَ : هَذَا مُرْسَلٌ, عَوْنُ لَمْ يُدْرِكْ عَبْدَ اللهِ.- رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد-
Abu Daud telah berkata ; hadits ini mursal, ‘Aun tidak pernah bertemu dengan ‘Abdullah”. (HR. Abu Daud 1 : 204)

وَيَنْبَغِي أنْ لاَ يَنْقُصَ التَّسْبِيْحُ فِيْ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ عَنْ ثَلَاثِ تَسْبِيْحَاتٍ.
Dan sepantasnya tasbih dalam ruku’ dan sujud itu tidak kurang dari tiga kali.”

قَالَ التِرْمِذِيُّ : والعَمَلُ عَلَى هذَا عِنْدَ أهْلِ العِلْمِ يَسْتَحِبُّوْنَ أنْ لَا يَنْقُصَ الرَّجُلُ فِيْ الرُّكُوْعِ والسُّجُوْدِ عَنْ ثَلَاثِ تَسْبِيحَاتٍ- فقه السنّة 1 : 297.
Imam At-Tirmidzi berkata ; “Dan mengamalkan hadits tersebut menurut ahli ilmu, mereka menganjurkan seseorang tidak mengurangi bacaan tasbih dari tiga kali dalam ruku’ dan sujudnya”. (Fiqih As-Sunnah, 1 : 297)

والظَاهِرُ انَّ هَذِهِ الأحَادِيْثَ بِمَجْمُوْعِهَا تَصْلُحُ أنْ يُسْتَدَلُّ بِهَا عَلَى إسْتِحْبَابِ أنْ لَا يَنْقُصَ الرَّجُلُ فِيْ الرُّكُوْعِ والسُّجُودِ مِنْ ثلَاثِ تَسْبِيْحَاتٍ. (والله تعالى أعلم). – تحفة الأحوذي, 2 : 120-
Dan yang jelas, sesungguhnya hadits-hadits ini keseluruhannya pantas untuk dijadikan dalil atas anjuran bagi seseorang agar tidak mengurangi bacaan tasbih sebanyak tiga kali dalam ruku’ dan sujudnya, tetapi Allah SWT yang lebih mengetahui”. (Tuhfah Al-Ahwadzi. 2 : 120)

وَعَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أنَسٍ قَالَ : مَا صَلَّيْتُ وَرَاءَ أحَدٍ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أشْبَهَ صَلَاةً بِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ هذَا الفَتَى : يَعْنِي عُمَرَ بْنَ العَزِيْز. قَالَ : فَحَزَرْنَا فِيْ رُكُوْعِهِ عَشْرَ تَسْبِيحَاتٍ وَفِيْ سُجُوْدِهِ عَشْرَ تَسْبِيحَاتٍ. – رواه احمد وابو داود, نيل الأوطال, 2 : 277.
Dari Sa’id bin Jubair dari Anas, ia berkata ; “Tidaklah aku shalat di belakang seorang pun setelah Rasulullah wafat yang paling menyerupai shalat Rasulullah Saw daripada laki-laki ini, yaitu ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Ia berkata ; “Kami mengira dalam ruku’nya (ia membaca) sepuluh kali tasbih”. (HR. Ahmad dan Abu Daud; Nael Al-Authar, 2 : 277).

Kedudukan Tambahan WABIHAMDIHI Dalam Bacaan Ruku’ dan Sujud

Masih ada orang yang suka mengamalkan do’a ruku’ dengan tambahan WABIHAMDIHI padahal haditsnya dhaif, perhatikan keterangan di bawah ini :
حَدَّثَنَا أحْمدُ بْنُ يُوْنُسَ ثَنا اللَّيْثُ يَعْنِي ابْنَ مَسْعُوْدٍ عَنْ ايُوْبَ بْنِ مُوسَى أوْ مُوْسَى بْنِ أيُوْبَ عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَوْمِهِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ بِمَعْنَاهُ : زَادَ قَال : فَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إذَا رَكَعَ قَالَ : سُبْحَانَ رَبِّي العَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ ثَلاثًا, وإذَا سَجَدَ قَالَ : سُبْحَانَ رَبِّيَ الأعْلَى وَبِحَمْدِهِ ثَلاثًا.- رواه ابو داود, 1 : 201.
Telah meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Alaits yakni Sa’ad dari Ayyub bin Musa atau Musa bin Ayyub dari seorang laki-laki kaumnya dari ‘Uqbah bin ‘Amir (meriwayatkan hadits) yang semakna, ia menambahkan, ia berkata ; “Keadaan Rasulullah SAW, apabila ruku’ ia membaca : SUBHANA RABBIYA AL-AZHIM WABIHAMDIHI, dan ia membaca tiga kali. Dan apabila sujud ia membaca : SUBHANA RABBIYA AL- A’LA WABIHAMDIHI, ia membacanya tiga kali”. (HR. Abu Daud, 1 : 201)

قَالَ ابُوْ دَاوُدَ : وَهذِهِ الزِّيَادَةُ نَخَافُ أنْ لَا يَكُوْنَ مَحْفُوْظَةً. رَوَاه ابُوْ دَاود, 1 : 201.
Abu Daud berkata : “(tentang) tambahan ini, kami khawatir kedudukkannya tidak terpelihara (tidak shahih)”. (HR. Abu Daud, 1 : 201)

وَسُئِلَ أحْمَدُ عَنْهَا فَقَالَ : أمَّا أنَا فَلَا أقُوْلُ وَبِحَمْدِهِ. نيل الأوطار, 2 : 274.
Imam Ahmad ditanya tentang kedudukan tambahan tersebut, maka imam Ahmad menjawab : “Adapun saya tidak membaca WABIHAMDIHI”. (Nail Al-Authar, 2 : 274)

عَنْ حُذَيْفَةَ : أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُوْلُ فِيْ رُكُوْعِهِ : سُبْحَانَ رَبِيَ العَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ ثَلَاثًا, وفِيْ سُجُوْدِهِ : سُبْحَانَ رَبِّيَ الأعْلَى وَبْحَمْدِهِ ثَلَاثًا. –رواه الدارقطني,1 : 341.
Dari Hudzaifah: “Sesungguhnya Nabi SAW dalam ruku’nya membaca ; SUBHANA RABBIYA AL ‘AZHIM WABIHAMDIHI, tiga kali, dan dalam sujudnya membaca ; SUBHANA RABBIYA AL-A’LA WABIHAMDIHI, tiga kali”. (HR. Ad-Daruquthni, 1 : 341)

وَفِيْ إسْنَادِهِ : مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أبِيْ لَيْلى ضَعِيْفٌ. –عون المعبود 3 :122.
“Dalam sanadnya ada orang yang bernama Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Laila, ia itu dhaif”. (‘Aun Al-Ma’bud, 3 ; 122)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : مِنَ السُّنَّةِ أنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ فِيْ رَكُوْعِهِ : سُبْحَانَ رَبِّيَ العَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ, وفِيْ سُجُوْدِهِ : سُبْحَانَ رَبِّيَ الأعْلَى وَبْحَمْدِهِ. –رواه الدارقطني, 1 : 341-.

Dari ‘Abdillah bin Mas’ud, berkata ; “(Termasuk) sunnah Nabi, apabila seseorang dalam ruku’nya membaca SUBHANA RABBIYA AL ‘AZHIM WABIHAMDIHI.” Dan pada sujudnya (membaca) : “SUBHANA RABBIYA AL-A’LA WABIHAMDIHI “(HR. Ad-Daruquthni, 1 : 341)

والسِّرِي بْنُ إسْمَاعِيْلَ عَنْ الشَعْبِي عَنْ مَسْرُوْقٍ عَنْهُ والسِّرِيُّ ضَعِيْفٌ.- عون المعبود, 3 : 122.
“padanya (hadits ini) ada yang bernama Sirri bin Isma’il dari As-Sa’bi dari Masruq dan Sirri itu lemah”. (‘Aunul Ma’bud, 3 : 122)

وَقَدْ أنْكَرَ هَذِهِ الزِيَادِةَ ابْنُ الصَّلَاحِ وَغَيْرُهُ. –روَاه الدارقطني-
“Sungguh telah mengingkari tambahan ini Ibnu Shalah dan yang lainnya.” (HR. Ad-Daruquthni, 1 : 34)

Ma’mum Membaca Sami’a Allahu Liman Hamidah ?

Dalam hadits shahih dinyatakan sebagai berikut :
وَإذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ, فَقُوْلُوْا : اللهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ. رَواه ابو داود.
“Dan apabila imam membaca : SAMI’A ALLAHU LIMAN HAMIDAH, maka ucapkanlah oleh kalian (ma’mum); ALLAHUMMA RABBANA LAKAL-HAMDU”. (HR. Abu Daud)

Hadits ini dengan tegas menyatakan bahwa ma’mum tidak usah membaca ; SAMI’A ALLAHU LIMAN HAMIDAH, tetapi langsung saja membaca ; ALLAHUMMA RABBANA LAKAL-HAMDU. Tetapi ingat, bahwa bacaan tersebut hendaklah dibaca setelah tegak berdiri, jangan di saat bangkit dari ruku’.

Posisi Tangan Di Waktu I’tidal

Sebagian ulama berpendapat bahwa posisi tangan di saat i’tidal hendaknya dengan sedekap, berdasarkan hadits-hadits berikut ini ;
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ : كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أنْ يَضَعَ الرِّجَلَ يَدَهُ اليُمْنَى عَلى ذِرَاعِهِ فِيْ الصَّلَاةِ. رواه البُخَارِي.
Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata : “Adalah manusia diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanannya di atas sikutnya”. (HR. Al-Bukhari,1 : 135)
وَعَنِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إنَّا مَعْشَرَ ألأَنْبِيَاءِ, أُمِرْنَا بِتَجْعِيْلِ فِطْرِنَا وَتَأخِيْرِ سُحُوْرِنَا وأنْ نَضَعُ أيْمَانَنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فِيْ الصَّلَاةِ. رَواه الطبراني, مجمع الزوائد, 3 : 105.

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata ; “aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Kami golongan para nabi diperintahkan untuk menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan sahur, dan kami diperitahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di waktu shalat”. (HR. Ath-Thabrani, Majma’ Al-Zawaid, 3 : 105)

Dari Ghadhif bin Harits, ia berkata ; “Kami tidak lupa dari beberapa perkara yang (biasa) kami lupakan, sesungguhnya kami melihat Rasulullah SAW meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam shalat”. (HR. Ahmad, Fathur-Rabbani, 3 : 173)

عَنْ قَبِيْصَةَ بْنِ هُلْبٍ عَنْ أبِيْهِ قَالَ : رَأيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَنْصَرِفُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ وَرَأَيْتُهُ يَضَعُ هَذِهِ عَلَى صَدْرِهِ وَوَصَفَ يَدَهُ اليُمْنَى عَلى اليُسْرَى فَوْقَ المِفْصَلِ. روَاه احْمَد.

Dari Qabishah bin Hulb dari bapaknya, ia berkata : “Saya melihat Rasulullah SAW menoleh ke kanan dan ke kirinya, dan saya melihatnya menyimpan ini (tangannya) di atas dada, (Yahya salah seorang rawi hadits) mensifati (memperaktekkan) tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas mifshal (persambungan antara telapak tangan dengan pergelangannya”. (HR. Ahmad)

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ : صَلَيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَوَضَعَ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى اليُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ. رواه ابن خُزَيْمَة.
Dari Wail bin Hujr, ia berkata : “Saya pernah shalat bersama Rasulullah SAW, beliau menyimpan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada”. (HR. Ahmad)
Jawaban :

Menurut para ulama yang lainnya, posisi tangan di saat i’tidal hendaklah dengan posisi irsal (lepas tangan), mengingat :

1.     Hadits-hadits yang dijadikan dasar tentang sedekap bukan dalil yang qath’i yang menunjukkan harus sedekap. Buktinya tidak semua ulama berpendapat seperti itu, dan pendapat adanya sedekap itu baru muncul kurang lebih di tahun 1970-an, sedangkan di zaman para sahabat dan tabi’in atau para imam madzhab belum muncul pendapat harus sedekap.
2.     Ungkapan : “في الصلاة  dalam hadits tersebut bisa saja diungkapkan secara kulli (keseluruhan) padahal yang dimaksud adalah Aj-juz’i (sebagaian), seperti Abu Bakar pernah memohon untuk diajari do’a yang harus ia baca di waktu shalat, ungkapannya : “في صلاتي” (dalam shalatku) secara kulli padahal kenyataannya diamalkan di saat tasyahud.

Kulli padahal kenyataannya diamalkan di saat tasyahud. Jika seorang anak ditanya; sedang apa ayahmu? Anak itu menjawab : Ayahku sedang shalat. Jawaban tersebut tidak salah walau kenyataannya ayahnya sedang ruku’ dan tidak usah menjawab; ayahku sedang ruku’ sebentar lagi i’tidal.

3.     Kalau berpegang kepada umunya hadits ya’ni; selama dalam shalat hendaklah sedekap kecuali di saat ruku’, sujud dan tasyahud, mengingat ada hadits khusus yang menjelaskan tidak sedekap, berarti di luar itu hendaklah dengan posisi sedekap, termasuk;

a.      Di saat turun sujud
b.     Di saat bangkit dari sujud
c.     Di saat duduk diantara dua sujud

Mengingat dalam ketiga masalah ini tidak ada takhshish (pengkhususan).
4.     Pelaksanaan irsaali (tidak sedekap di waktu i’tidaal) termasuk hal yang telah disepakati bersama atau dengan kata lain, bisa disebut mutawaatir ‘amali, yaitu sejak dulu ummat Islam di seluruh dunia telah mengamalkan irsaal (tidak sedekap), sedangkan cara sedekap di waktu i’tidaal tidak terdapat seorangpun sahabat, tabi’in atau para imam terdahulu yang menganjurkan atau mengamalkannya. Dan pendapat ini baru muncul di abad ke-20.

5.     Andai cara irsaal itu menjadi sunnah, tentu saja para shahabat akan mengingkarinya, demikian para tabi’in dan para muhadditsiin dan kalau cara irsaal itu dianggap satu penyimpangan, kira-kira dari kapan terjadi penyimpangan itu? Dan mengapa para ‘ulama diam, tidak ada yang mengkritiknya.

Dengan alasan tersebut di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat yang tidak sedekap alias irsaal di waktu i’tidaal. Untuk lebih jelasnya, penulis teelah mengkajinya dengan panjang lebar di buku Al-Hidaayah Jilid 1.

Referensi : Al Fatawa al-Ustadz KH. A. Zakaria
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

Contact Us