الأدلَّة:
(Dalil-Dalil)
:
setelah disepakati
atas mesti pensyaratan niat dalam ibadah : bagi firman Allah ta’ala ;
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ (البينة : 5)
“Padahal
mereka hanya diperintah beribadah kepada Allah dengan ikhlas menta’atinya
semata-mata karena menjalankan agama”. (QS. Al Bayyinah {98}: 5)
dan bagi sabda
Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam :
((إنَّما الأعمال بالنِّيَّة،
وإنَّما لكلِّ امرئ ما نوى (7) )) (
8
“Amal-amal itu hanya tergantung niatnya”.
Hadits Shahih Riwayat Bukhari.
مَحَلُّ
النِّيَّة القلب، ولا يُشرَع النُّطق بها، وهذا مذهب المالكيَّة1 ([i]9) ، وهو قولٌ للحنفيَّة2 ، والمنصوص عن أحمد3 ، واختاره ابن تيميَّة ، وابن القيِّم ، وهو ظاهر اختيار الكمال ابن الهمام، واختاره ابن باز ، وابن عثيمين ، وعليه
فتوى اللَّجنة الدَّائمة، وحُكي الإجماع على ذلك .
Tempat niat itu dalam hati, dan tidak disyari’atkan pengucapannya, demikian
ini madzhab Malikiyah 1 , ia itu pernyataan bagi Hanafiyah 2, dan ditetapkan
sebagai Nash dari Imam Ahmad 3, dan Ibnu Taimiyah memilihnya, dan Ibnu qayim
juga, ia itu jelas terpilih menurut Ibnu Hamam, dan Ibnu Baz memilihnya dan
Ibnu Utsmaini juga dan atas demikian juga fatwa laznah Daimah dan Ijma yang
dihikayatkan atas perkara tersebut ;
وقالت
طائفة من أصحاب مالك، وأحمد، وغيرهما: لا يُستحب التلفُّظ بها؛ لأنَّ ذلك بدعة لم يُنقَل عن رسول الله صلَّى الله عليه
وسلَّمَ ولا أصحابه، ولا أمر النبيُّ صلَّى
الله عليه وسلَّمَ أحدًا من أمَّته أن يلفظ بالنيَّة، ولا علَّم ذلك أحدًا من المسلمين، ولو كان هذا مشروعًا لم يهملْه
النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّمَ وأصحابُه،
مع أنَّ الأمَّة مبتلاة به كلَّ يوم وليلة. وهذا القول أصحُّ، بل التلفُّظ بالنيَّة نقص في العقل والدِّين: أمَّا
في الدِّين فلأنَّه بدعة، وأمَّا في العقل؛
فلأنَّ هذا بمنزلة مَن يريد أكْل الطَّعام فقال: أنوي بوضْع يدي في هذا الإناء أني آخُذ منه لُقمة، فأضعها في فمِي
فأمضغها، ثم أبلعها لأشبع، فهذا حمق وجهل؛
وذلك أنَّ النيَّة تتبع العِلم، فمتى علم العبد ما يفعل كان قد نواه ضرورة، فلا يتصوَّر مع وجود العلم به أن لا تحصُل
نيَّة، وقد اتَّفق الأئمَّة على أنَّ الجهر
بالنيَّة وتكريرها ليس بمشروع، بل مَن اعتاده، فإنَّه ينبغي له أن يؤدَّب تأديبًا يمنعه عن التعبُّد بالبِدع، وإيذاء
النَّاس برفْع صوته، والله أعلم). ((الفتاوى
الكبرى)) (1/214). وقال أيضًا: (الجهر بلفظ النية أيضا منهي عنه عند الشافعي
وسائر أئمة الإسلام وفاعل ذلك مسيء، وإن اعتقد
ذلك دينا فقد خرج عن إجماع المسلمين ويجب نهيه عن ذلك وإن عزل عن الإمامة إذا لم ينته). ((مجموع فتاوى ابن تيمية))
Sekelompok dari sahabat Malik, Ahmad dan
selain keduannya : tidak dianjurkan melafadzkan (mengucapkan) niat, karena
sesungguhnya itu bid’ah yang tidak ada pengutipan dari Rasulullah shallalahu ‘alaihi
wa sallam dan tidak dari shahabat beliau pun, dan Nabi tidak menyuruh seorang
pun untuk mengucapkan niat, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui hal itu
dari muslimin, seandainya perkara ini disyariatkan tentu Nabi Shallalahu ‘alaihi
wa sallam tidak akan membiarkan begitu saja bersama sahabatnya, bersamaan
umatnya akan diuji pada tiap tiap hari dan malamnya, dan ini pernyataan yang
jelas, bahkan mengucapkan niat itu kekurangan akal dan di dalam agama
sesungguhnya demikian itu bid’ah. Adapun akal, maka ini merupakan tempat orang
yang ingin makan lalu dia berkata : aku berniat meletakkan tanganku di dalam
bejana sesungguhnya aku akan mengambilnya satu suap lalu aku meletakkannya di
dalam mulutku lalu aku pun mengunyahnya, kemudian sampailah aku benar-benar
kenyang, maka ini adalah kebodohan, dan hal itu bahwa niat itu mengikuti ilmu,
maka kapan hamba mengetahui apa yang dilakukannya sungguh ia akan berniat
sebagai kebutuhan maka tidak terhasilnya niat itu tidak tashawwur (tergambakan)
bersama adanya ilmu dengannya, dan
sungguh para imam telah bersepakat bahwa menjaharkan niat dan mengucapkannya
itu tidak disyariatkan, tapi orang yang menjadikannya sebagai dasar maka ia
mesti mendidik diri sendiri agar terhalang dari bid’ah dan agar terhalang menyakiti
manusia dengan mengeraskan suara padahal Allah itu lebih tahu (FATAWA KUBRA
1/14) dan dinyatakan juga (menjaharkan lafadz niat itu terlarang dari Syafi’i
dan semua imam-imam Islam dan bagi pelakunya itu berdosa, jika beri’tiqad hal
itu sebagai agama maka ia telah keluar dari jama’ah Muslimin dan wajib untuk
mencegahnya dari hal itu meskipun harus
mengasingkannya dari imamah apabila tidak sampai tujuan (MAJMU’ FATAWA IBNU
TAEMIYAH).
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.