Sa’ad bin khaulad, seorang sahabat yang banyak perjuangan jihadnya, turut hijrah ke negeri Habsyah (etiopia) pada saat gangguan dan penganiayaan orang Quraisy di Mekah memuncak, dan dia turut hijrah ke madinah dan turut dalam perang Badar yang melumpuhkan kekuatan orang Quraisy. Dia dipanggil Allah swt sewaktu ia menunaikan ibadah haji bersama Rasulullah saw pada hujjatul-wada’, Sa’ad meninggalkan seorang istri bernama Subai’ah yang sedang hamil tua.
Kurang dari satu bulan setelah suaminya meninggal, Subai’ah melahirkan. Nampaknya peristiwa Subai’ah ini adalah yang pertama terjadi, yaitu suami wafat meninggalkan istri yang sedang hamil tua.
Subai’ah merasa dirinya sudah bebas, habis masa idahnya, dan dia halal kawin bila ia menghendakinya. Akan tetapi, ada seorang sahabat yang mengatakan bahwa Subai’ah belum halal kawin sebab ia masih dalam keadaan idah. Ia harus menunggu habis idahnya lebih dahulu, yaitu empat bulan sepuluh hari sejak saat suaminya meninggal. Pendapat yang pertama mengingat ayat Al Qur-an surat Ath-thalaq : 4 ; yang mengatakan bahwa idah perempuan hamil itu habis pada saat bayinya lahir, dan pendapat yang kedua mengingat ayat Al Qur-an surat Al Baqarah : 234 ; yang maksudnya, perempuan yang ditinggal mati suaminya, idahnya empat bulan sepuluh hari.
Perbedaan pendapat dikalangan sahabat sering terjadi, tetapi tidak menjadi madzhab dan tidak pula mereka mencari pengikut untuk menguatkan pendapat mereka. Mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.
Subai’ah tidak mengutus orang menghadap Rasulullah saw, tetapi dia sendiri yang menghadap untuk meminta keterangan yang sah dari Rasulullah saw untuk menghilangkan keragu-raguan dan mencegah agar jangan timbul perselisihan.
Subai’ah berkata :
“Rasulullah berfatwa kepadaku bahwa aku sudah halal (habis idahku) sejak aku melahirkan, dan beliau menyuruhku bersuami lagi bila aku menghendaki.” (H.R. Muslim).
Dengan bayan atau penjelas dari Rasulullah saw, maka hilanglah ikhtilaf di kalangan umat Islam, tidak ada lagi perselisihan paham di kalangan para sahabat, dan mereka sepakat mengembalikan segala persoalan yang diperdebatkan kepada Allah dan Rasul-nya. Dengan penjelasan itu para sahabat mengerti bahwa ayat surat Ath-Thalaq yang menerangkan batas idah bagi yang hamil itu sifatnya umum, termasuk bagi istri yang ditinggal wafat oleh suaminya, tidak ada yang dikecualikan. Sedangkan ayat 234 surat Al-Baqarah yang menerangkan bahwa idah yang ditinggal mati oleh suaminya empat bulan sepuluh hari, itu juga bersifat umum, termasuk yang ditinggalkan mati oleh suaminya dalam keadaan haid, yang haidnya masih berjalan teratur, yang sudah tidak haid, yang haidnya tidak teratur, juga istri yang ditinggal mati oleh suaminya sebelum dhukhul (dicampuri). Idah mereka tetap empat bulan sepuluh hari. Akan tetapi, yang ditinggal mati dalam keadaan hamil, idahnya habis bila anaknya lahir.
Perempuan yang ditalak oleh suaminya sebelum dhukhul (dicampuri) tidak ber-idah. Perempuan tersebut boleh atau halal kawin dengan laki-laki lain setelah dijatuhi talak. Bila ia ditinggal mati, artinya bukan ditinggal talak, walaupun dia belum dhukhul, idahnya tetap empat bulan sepuluh hari sehingga kalau mau kawin lagi ia harus menunggu idahnya habis.
Setelah Rasulullah saw wafat, segala perselisihan dan ikhtilaf mesti kembali kepada Qur-an dan sunnah (hadits yang shahih), dan wajib tunduk dan merasa puas dengan keputusan dan ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya.
Imam Muslim dalam kitabnya mencatat ucapan Ibnu Shihab :
“tidak ada halangan dia kawin setelah ia melahirkan, sekalipun dalam keadaan masih nifas, hanya suaminya jangan mendekati dia sampai dia suci dari nifasnya”.
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.