Umat Islam pada zaman itu melihat dua golongan dari luar Islam yang melakukpbelakang dalam menggauli istri-istri Mereka yang sedang haid. Ada golongan yang ceroboh. Tidak mengenal kebersihan ; mereka melakukan hubungan tubuh sekalipun istrinya dalam keadaan haid. Dan golongan sebaliknya dari mereka. Yaitu tidak mau makan-minum bahkan serumah dengan istri-istri mereka yang sedang haid, apalagi satu tempat tidur. Maka sehubungan dengan hal itu mereka bertanya kepada Rasulullah saw, bagaimana sikap Islam dalam menggauli istri yang sedang haid.
Pertanyaan itu dijawab dalam ayat tersebut di atas dengan ringkas dan tegas. Mereka dihalalkan bergaul dengan istri mereka sebagaimana biasa. Hanya satu perkara yang dilarang, yaitu mahidnya.
Mahid dapat diartikan haid, yaitu saat haid atau tempat keluar dari haid (vagina), dan arti yang terakhir cocok dengan masalah yang ditanyakan mereka. Islam memerintahkan agar suami menjauhkan diri dari istrinya. Mahid-nya (vagina) atau tempat keluar darah haid, tidak boleh diganggu selama darah haid belum berhenti, dan setelah berhenti bila belum mandi janabat.
perempuan yang sudah berhenti haidnya, sudah bersih mahidnya, belum suci bila ia belum mandi janabat. Baginya larangan itu masih berlaku, yaitu tidak boleh duduk di Mesjid, tidak boleh thawaf, tidak sah salatnya, tidak sah puasanya dan tidak boleh bersenggama. Dalam ayat itu diterangkan bahwa larangan tersebut baru dicabut kembali hatta yath-hurna, setelah mandi ketika sudah bersih dari haid.
Suci di sini bukan lawan dari kotor, tapi suci istilah agama, yaitu bebas dari hadats besar dengan mandi, atau dari hadats kecil dengan wudu.
Baca juga :
0 Comments
Informasi:
Form komentar ini menggunakan moderasi, setiap komentar yang masuk akan melalui proses pemeriksaan sebelum ditampilkan dalam kolom komentar. Memasang link di komentar tidak akan ditampilkan. Hanya komentar yang membangun dan sesuai topik artikel saja yang akan saya tampilkan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.